أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ittihad
.Sketsa Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid
Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal
sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam
wilayah Qum,lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.Ayahnya
seorang pemimpin di Bistam dan ibunya seorang yang zahid, sedangkan
kakeknya seorang Majusi yang memeluk Islam dan menganut madzhab Hanafi
Abu Yazid mengatakan “Dua belas tahun
lamanya aku menjadi penempa besi bagiku. Kulempar diriku dalam tungku
riyadhah. Kubakar dengan api mujahadah. Kuletakkan diatas alas
penyesalan diri sehingga dapatlah kujumpai sebuah cermin diriku sendiri.
Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan
dengan bermacam-macam ibadah dan ketaqwaan. Setahun lamanya aku
memandang cermin diriku dengan penuh perhatian, ternyata diriku kulihat
terlilit sabuk takabbur, kecongkaan, ujub, riya’, ketergantungan kepada
ketaatan dan membanggakan amal. Kemudian aku beramal selama lima tahun
sehingga sabuk itu putus dan aku merasa memeluk Islam kembali. Kupandang
para makhluk dan aku lihat mereka semua mati, sehingga aku kembali dari
janazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan-Nya
tanpa perantara makhluk.
.
.Konsep al-Ittihad Abu Yazid al-Bustamia. Al-Fana’ dan al-Baqa’
Keadaan fana’-baqa’ dan ittihad
sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid dalam pengalaman tasawwufnya,
merupakan tiga aspek dalam suatu pengalaman sufi yang tejadi setelah
tercapainya makam ma’rifat. Dan hal ini tidak banyak sufi yang mencapai
tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari
dijumpainya prokontradari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari
kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam yang
setelah mencapai tingkatan ma’rifat hampir selalu dinyatakan sebagai
bertentangan dengan ajaran islam, meskipun upaya demikian dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta.
Dalam perspektif sufi hal ini sangat
penting, karena salah satu inti tasawuf adalah perasaan hilangnya
seluruh sifat kemanusiaan yang kmudian diganti dengan sifat-sifat
ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan sebuah keyakinan bahwa seluruh
sifat kemakhlukan manusia merupakan baying semu yang tidak tetap,
sedangkan sifat-sifat tuhan adalah permanen, yang diproses melalui
penghilangan kepribadian dan perasaan terhadap semua yang ada
disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya semua perasaan dan
kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai keinginan untuk
memiliki benda duniawi.
Seorang sufi yang hendak bersatu
dengan tuhan;ittihad terlebih dahulu harus melalui dengan dua keadaan
yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan fana’, yakni,
kesirnaan-peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang
tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’, tetap, kekal,
yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan.
Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa
diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui
penerangan yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena
perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya
sifatsifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka
pada dirinya akan muncul sifat-sifat terpuji
Fana’ dan baqa’ merupkn sesuatu yang kembar, karena ia terjadi dldm waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya disisi Tuhan.
Abu Yazid mendapatkan pengalaman ini setelah melalui perjalanan yang sangat berat yaitu ketika beliau melakukan ibadah haji;
Aku pergi ke Makkah dan melihat sebuah rumah berdiri tersendiri, aku berkata; hajiku tidak diterima karena aku melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi dan melihat rumah itu dan juga Tuhan rumah itu. Aku berkata, ini masih bukan pengesahan yang hakiki. Aku pergi untuk ketiga kalinya dan aku hanya melihat Tuhan rumah itu, kemudian suara dalam batinku berbisik; wahai bayazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik walau emgkau melihat seluruh jagad raya. Karena engkau masih melihat dirimu sendiri, engkau adalah seorang yang musyrik walaupun engkau buta terhadap seluruh jagad raya. Maka aku bertobat lagi, dan tobatku kali ini adalah tobat dari memandang wujudku sendiri
Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidak berlangsung secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung secara terus-menerus niscaya akan merusak ibadah lain yang justru merupakan hal yang dapat mengantar keadaannya kepada tingkatan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hal ini akan bertentangan dengan ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi.
Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk”hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya, apabila di kehendaki ia kembali kepada fana’
Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama, bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan jiwanya.
.
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatan fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manerus.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana
Fana’ dan baqa’ merupkn sesuatu yang kembar, karena ia terjadi dldm waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya disisi Tuhan.
Abu Yazid mendapatkan pengalaman ini setelah melalui perjalanan yang sangat berat yaitu ketika beliau melakukan ibadah haji;
Aku pergi ke Makkah dan melihat sebuah rumah berdiri tersendiri, aku berkata; hajiku tidak diterima karena aku melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi dan melihat rumah itu dan juga Tuhan rumah itu. Aku berkata, ini masih bukan pengesahan yang hakiki. Aku pergi untuk ketiga kalinya dan aku hanya melihat Tuhan rumah itu, kemudian suara dalam batinku berbisik; wahai bayazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik walau emgkau melihat seluruh jagad raya. Karena engkau masih melihat dirimu sendiri, engkau adalah seorang yang musyrik walaupun engkau buta terhadap seluruh jagad raya. Maka aku bertobat lagi, dan tobatku kali ini adalah tobat dari memandang wujudku sendiri
Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidak berlangsung secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung secara terus-menerus niscaya akan merusak ibadah lain yang justru merupakan hal yang dapat mengantar keadaannya kepada tingkatan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hal ini akan bertentangan dengan ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi.
Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk”hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya, apabila di kehendaki ia kembali kepada fana’
Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama, bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan jiwanya.
.
.Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatan fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manerus.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam
syatahatnya : “Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah
makhluk-Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku
adalah Engkau”, maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan
seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan
perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia berkata, “Engkau yang satu”. Aku
menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau adalah
engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan Abu
Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran
Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata
lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih
tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia bertanya: “Siapa yang engkau cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.
Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid pernah mengatakan “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia bertanya: “Siapa yang engkau cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.
Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid pernah mengatakan “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan
seorang sufi yang sedang dalam
keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah baqa’
dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud, selain wujud Tuhan adalah fana’,
atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya,
sudah tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada
hanyalah wujud Tuhan.
Dalam pengalaman tasawuf, keadaan
fana’ para sufi berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang kembali
kepada keadaan normal sehingga dia tetap menganggap dualitas antara
Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul merasakan fana’ yang
kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan
antara Tuhan, dengan alam, atau sebaliknya.
Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai
tokoh terpandang dalam bidangnya, ternyata juga mendapat kritik,
sebagai contoh adalah al-Thusi, yang memaparkan bahwa ittihad
sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang diawali oleh keadaan
fana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya, karena
menurutnya, sifat-sifat kemanusiaan tidak mungkin sirna dari manusia.
Oleh karena itu persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia
bersifat sebagaimana sifat ketuhanan, adalah keliru. Akibat ketidak
tahuannya, pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau
pendapat orang nasrani tentang Isa al-Masih.
Namun juga tidak kurang dari tokoh
sufi lain yang memberikan dukungan, sebagaimana di sampaikan oleh
Al-Junaidi, yang menyatakan dapat memahami ungkapan yang di keluarkan
Abu Yazid. Bahkan Abd alQadir al-Jailani memberikan komentar, “Terhadap
apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum, kecuali apa
yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar karena persoalannya tidak
lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-masing pelaku sufi
yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga keadaan alam
dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
Riwayat + inti ajaran
ABU YAZID AL-BUSTAMI
Nama kecilnya ialah Thallur
Pernah beliau berkata yang ‘ganjil’ dan
dalam, yang masih sangat hati hati memahamkannya, sebab dari mulut
Beliau kerap kali keluar kata kata yang berisi kepercayaan bahwasanya :
“HAMBA dan TUHAN sewaktu waktu BISA BERPADU MENJADI SATU (Hulul)”.
Sampai oleh ahli Sufi yang datang dibelakang diberi misal bahwasanya “Hulul” itu adalah seumpama Perpaduan diantara Api dengan Besi, Sebagian dari perkataan beliau :
Tidak Ada Tuhan Melainkan Saya
Sembahlah Saya
Amat Sucilah Saya
Alangkah Besar KuasaKu
Salah satu perkataan beliau :
Pernah Tuhan mengangkat Daku, dan
diletakkannya Aku dihadapannya sendiri, Maka berkatalah Dia kepadaku
“ABU YAZID” Makhlukku ingin melihat Engkau.
Lalu Aku berkata “Hiasilah Aku
dengan Wahdaniatmu, Pakaikanlah Kepadaku Keakuanmu, Angkatlah Aku
kedalam Kesatunmu, sehingga apabila Makhluk Melihat Daku mereka akan
berkata “ Kami telah melihat Engkau, maka Engkaulah itu, Dan Aku Tidak
Ada disana.
Pada akhirnya Beliau berkata :
Demi Sadarlah Aku, dan Tahulah Aku
Bahwa Sesungguhnya/bahwasanya sama sekali
Itu hanyalah Khayalan Belaka.
Kata kata yang demikian dinamai orang
SYATHATHAT artinya ialah kata kata yang penuh khayal yang tidak dapat
dipegangi, dan dikenakan hukum, karena orang yang berkata kata waktu itu
sedang Mabuk, bukan Mabuk Alkohol, Mabuk oleh tiada sadar akan dirinya
lagi, sebab tenggelam kedalam lautan tafakur, sebab itu menurut
pengamatan beliaulah yang mula mula sekali menciptakan suatu istilah
Paham Tasawuf yang bernama “ASSAKAR” artinya Mabuk, “ AL ‘ISYQ” artinya Rindu Dendam.
YAHYA BIN MA’AZ, Pernah mengirim surat kepada Abu Yazid Bustami, bahwasanya Dia sudah mabuk, oleh karena terlalu banyak meminum Khamar Cinta.
Maka Abu Yazid membalas. Orang lainpun
telah meminum Air demikian, sepenuh Lautan dan Bumi, tetapi Dia belum
juga merasa puas, Dia masih tetap mengulurkan lidahnya meminta tambah
lagi.
Tentu yang beliau maksud dengan orang lain itu ialah Dirinya sendiri. Disinilah masuknya pelajaran RABI’ATUL ADAWIYAH.
Cinta sejati tidak mengenal
hitung-hitungan, kalau masih ada rasa bahwa Aku adalah Aku, dan Engkau
adalah Engkau, belumlah sampai kepada inti Cinta.
Kadang kadang tak tahulah dia, apa yang
akan dibicarakannya lagi, “tersesat” mulutya, sehingga Dia berkata
karena saking Cintanya “ANA AL-HAQ”
Kadang kadang kemana saja dia memandang,
kekasih itu saja yang kelihatan, ke Matahari ke Bulan Purnama Allah, ke
Ombak bergulung, ke Angin sepoi sepoi Allah, ke Tangis Anak yang baru
lahir Allah, ke Kuburan yang sunyi sepi Allah. Kadang kadang memuncaklah
Cinta itu, sehingga merasa ingin mati saja mati saja dalam Cinta”.
“LAA ANA ILLA HUWA “ Tidak ada saya selain Dia.
No comments:
Post a Comment