أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Wahai
 Ahmad! Sesungguhnya wajah-wajah ahli zuhud kekuning-kuningan 
dikarenakan kelelahan menghidupkan malam dan siang harinya berpuasa 
serta lisan mereka kaku karena banyak dzikir kepada Allah SWT. Hati-hati
 mereka terluka dalam dada-dadanya karena banyak diam. Mereka sudah 
mengeluarkan dari dirinya kerja keras bukan karena takut kepada neraka 
dan menginginkan surga, akan tetapi karena mereka melihat kepada malakut
 langit dan bumi sehingga mereka mengetahui bahwa Allah SWT. adalah 
berhak untuk disembah”.
Ibadah dan Penghambaan Ahli Zuhud
Kata
 zuhud dalam istilah ulama akhlak dan irfan diartikan; disebabkan 
(seseorang) sudah meraih kenikmatan-keinikmatan ukhrawi, dia menutup 
mata dari semua kenikmatan dunia dan tidak tamak dengannya. Dia 
meninggalkan aktifitas-aktifitas duniawi, pekerjaan dan usaha serta 
menyendiri untuk melakukan ibadah. Di sana ada sebagian hamba yang 
melakukan ibadah demi meraih balasan dan pahala Tuhan. Maqam yang lebih 
tinggi dari kedua kelompok ini adalah orang yang selain tidak perhatian 
kepada kelezatan dunia, tidak juga kepada kelezatan akherat atau pahala 
dari ibadah dan penghambaan; dalam istilah kelompok ini disebut dengan arif.Perbedaan antara âbid, zâhiddan ârifsering
 dikaji, akan tetapi berdasarkan riwayat ini (hadis mi’raj) zahid juga 
mencakup arif. Dengan kata lain, kezuhudan memiliki tingkatan-tingkatan 
dimana tingkatan tertinggi darinya adalah arif.
Pada
 bagian dari riwayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang zuhud, muka 
kekuning-kuningan dikarenakan ibadah dan menghidupkan malam dan 
dikarenakan sedikit tidur, warnah dari wajah mereka pun berubah. Di satu
 sisi, setiap malam sampai subuh mereka sibuk beribadah, selian itu 
siang harinya mereka berpuasa serta dikarenakan banyaknya berdzikir, 
lisan mereka menjadi kilu karena kelelahan. Dalam kalimat lain 
disebutkan “Dan lisan mereka kelu kecuali ketika berdzikir kepada Allah”
 artinya mereka kesulitan atau tidak terlalu berminat untuk berucap akan
 tetapi lisannya tidak pernah merasakan lelah ketika dzikir kepada 
Tuhan.
“Merekasudah mengeluarkan dari dirinya kerja keras bukan karena takut kepada neraka dan menginginkan surga”
Seperti
 apa yang telah disinggung, bahwa zahid (orang yang zuhud) dalam riwayat
 ini mencakup arif sementara para arif yang meletakkan istilah ‘arif’ 
sebagai lawan dari zahid atau dalam syair-syair Hafidz atau arif lain 
yang mencela seorang zahid, adalah dari sisi bahwa zahid menutup mata 
dati kenikmatan dunia dan menaruh hati kepada kenikmatan akherat, 
sedangkan seorang arif bahkan kepada kenikmatan akherat juga menutup 
mata dan hanya menginginkan keridhoan kekasihnya. Dalam riwayat ini 
dijelaskan bahwa ibadahnya seorang zahid; mulai dari malam hari sampai 
subuh, melakukan puasa, menahan kepedihan, menahan diri dari berbuat 
dosa dan menahan hawa nafsu adalah bukan karena takut kepada adzab Ilahi
 dan bukan dalam rangka meraih kelezatan surgawi, akan tetapi karena 
mereka melihat bahwa Tuhan patut untuk disembah:
“Akan tetapi mereka mlihat kepada malakut langit dan bumi sehingga mereka mengetahui bahwa Allah SWT. patut untuk disembah”
Kandungan seperti ini juga banyak disinggung dalam riwayat lain, diantaranya Imam Ali as. berkata:
“Ilahi
 tidaklah aku menyembahMu karena takut dari siksaanMu dan tidak juga 
tamak kepada surgaMu, akan tetapi aku mendapatkanMu pantas untuk 
disembah, maka akupun menyembahMu”.[1]
Tiga Pembagian Ibadah Manusia
Dalam sebuah riwayat, Imam Shadiq as. membagi para penyembah Tuhan kepada tiga kelompok:
“Satu kaum menyembah Allah Aza wa Jalla karena rasa takut, itu adalah ibadahnya seorang budak”
Kelompok pertama,
 mereka menyembah Tuhan karena takut kepada akherat dan rakus kepada 
surga, ini adalah ibadahnya seorang budak. (Barang siapa yang menyembah 
Tuhan karena takut akan siksaan, ibarat budak yang taak kepada tuannya 
karena takut akan cambukannya).
“Dan kaum lain beribadah kepada Tuhan karena mengharap pahala, itu adalah ibadahnya pedagang”
Kelompok kedua, mereka yang menyembah Tuhan disebabkan harapannya untuk bisa mendapat balasan, ibadah jenis ini adalah ibadahnya pedagang.
Kelompok
 ini ibarat orang-orang yang bekerja untuk mendapat upah dan keuntungan 
dan bagaikan pedagang yang melakukan mu’amalah demi mendapat keuntungan,
 mereka pun beribadah kepada Tuhan demi bisa mendapatkan balasan akherat
 serta bidadari, pada hakekatnya mereka berdagang dengan Tuhan.
“Dan
 kaum lain beribadah kepada Tuhan karena kecintaan mereka kepadaNya, ini
 adalah ibadahnya orang yang merdeka dan ini adalah sebaik-baiknya 
ibadah”[2]
Kelompok ketiga,
 mereka dengan didasari kecintaan kepada Tuhan, mereka menyembahNya dan 
ini merupakan ibadahnya orang yang merdeka dan sebaik-baiknya ibadah.
Dalam riwayat lain, setelah menjelaskan dua kelompok hamba, Imam Shadiq as. berkata: “…akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaanku kepadaNya…”.[3]Walau
 begitu kita jangan berpikiran bahwa ibadah karena didasari rasa takut 
akan adzab Ilhai atau karena untuk bisa meraih balasan ukhrawi adalah 
sesuatu yang jelek, sebab dalam Al-Quran orang-orang yang beribadah dan 
meninggalkan dosa karena ketakwaan, karena ketakutan akan siksaan Tuhan 
atau karena ingin mendapat pahala ukhrawi, selalu mendapat pujian. Akan 
tetapi ketika dibandingkan dengan orang-orang yang menyembah Tuhan 
disebabkan kecintaan mereka kepadaNya, kedudukan mereka lebih rendah 
akan tetapi mereka meyakini akan hari akhir. Seperti halnya kita dalam 
rangka menyiapkan diri untuk menghadapi musim dingin atau musim panas, 
seperti menyiapkan peralatan pendingin atau pemanas – sebab kita yakin 
bahwa panas dan dingin ada wujudnya dan kita menyiapkan diri untuk 
menghadapinya –. Jika kita yakin bahwa surga dan neraka ada wujudnya dan
 kita berusaha mempersipakan segala hal agar kita tidak terjerumus 
kepada neraka atau supaya kita mendapat kenikmatan-kenikmatan surga, 
adalah sesuatu yang positif. Sangat disayangkan kita belum bisa meraih 
keyakinan ini; oleh karenanya kita jangan menyepelekan dua kelompok 
pertama:
$¯RÎ)ß$$swU`ÏB$uZÎn/§$·Böqt$Uqç7tã#\ÌsÜôJs%
Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.[4]
Tingkatan
 paling tinggi dari ibadah adalah ibadahnnya seseorang yang merasa bahwa
 Tuhan pantas untuk disembah dan dalam rangka menjadi hambaNya, ia 
bersedia menanggung segala kesulitan sehingga dia bisa beribadah sesuai 
dengan kemampuannya. Dia hanya menaruh hari kepada Tuhan dan baginya 
kedekatan, keridhoan dan kecintaan Ilahi merupakan sesuatu yang sangat 
berharga sehingga dia menganggap kecil semua kenikmatan surga. Seperti 
manusia yang sangat mencintai seseorang di dunia ini, dia selalu 
berharap bisa bertemu kekasihnya walau harus menghadapi panas, dingin, 
semalaman dia terjaga, sehingga dia bisa ketemu kekasihnya walau sesaat.
 Begitu juga orang yang hatinya sangat mencintai Tuhan, baginya bertemu 
dengan Tuhan walau sesaat jauh lebih menyenangkan dari ribuan tahun 
merasakan kenikmatan surga! Alhasil, gambaran seperti ini sangat sulit 
bagi kita.
Sebagian
 orang yang tidak mengetahui hakekat dan ma’arif Ilahi, sering 
menyampaikan dalam tulisan dan ucapan mereka bahwa kecintaan kepada 
kenikmatan surga dan takut akan siksaan neraka adalah sesuatu rendah dan
 tidak bernilai serta sejenis penghambaan diri, manusia hendaklah 
mencari nilai-nilai dan bukan hanya mencari kesenangan diri dan 
terhindar dari siksaan neraka. Manusia yang sudah sampai kepada maqam 
tinggi hanya mencintai nilai-nilai dan bukan kenikmatan! Ucapan ini 
memang benar, akan tetapi diucapkan bukan pada tempatnya. Yang benar 
bahwa manusia yang memiliki maqam tinggi adalah mereka yang yakin akan 
hari akhir, surga dan neraka, akan tetapi hatinya hanya terpaut kepada 
Tuhan dan bukan pada itu semua. Dan bukan berarti mereka tidak perhatian
 kepada siksaan neraka dan kenikmatan surga, karena tidak mengimani dan 
meyakini itu semua. Selain itu, dalam pandangan mereka orang-orang 
seperti ini, nilai-nilai merupakan perkara wahmi dan khayali dimana 
bentuk terbaiknya termsuk kepada kesempurnaan jiwa, dan ini sebenarnya 
kembali kepada keakuan dan keegoisan!
Orang-orang
 yang berkata demikian pada hakekatnya tidak mengetahui bagaimana 
penghambaan orang-orang yang merdeka dan dengan apa yang dijelaskan oleh
 Imam Ali as.: “aku mendapatkan Engkau pantas untuk disembah”. 
Mereka tidak menyadari bahwa Imam Ali as. dan seluruh wali Tuhan 
meyakini akan adanya surga dan neraka. Walau mereka melihat luapan api 
dan zafir neraka, namun mereka tidak memperhatikannya, karena mereka 
khawatir dengan sesuatu yang lebih penting, takut kalau mereka tidak 
bisa meraih inayah kekasihnya.
Mungkin ayat yang berbunyi: “sesungguhnya kami takut dari Tuhan kami di hari yang kelam dan gelap”
 artinya; hari yang tidak ada rahmat Ilahi maka dunia bagi kita menjadi 
gelap dan kelam. Ketika keridhoan Tuhan tidak menyertai kita dan tidak 
merasa mendapatkan kebaikan dan kecintaan Tuhan, maka hari itu bagi kita
 akan terasa gelap dan kelam, tidak ada bedanya; baik kita berada di 
surga ataupun berada dineraka. Ucapan ini terdapat dalam doa:
“Ya Ilahi, Tuanku, Pemimpinku dan Rabku! Aku bersabar atas adzabMu, bagaimana aku bisa sabar berpisah denganMu?!”[5]
Dia yang merasakan pahitnya perpisahan, baginya siksaan neraka sudah lagi tidak berarti, oleh karenanya dia berkata: “tidaklah aku menyembahMu karena takut akan apiMu…”.
 Akan tetapi kita tidak boleh putus asa dari kebaikan dan rahmat Tuhan 
dan dengan memperhatikan masalah ini akan menyebabkan keluarnya 
kecintaan kepada kotoran dan keburukan dunia. (Tuhan akan memberikan 
kebaikan dan nikmatNya kepada hambanya yang pantas dimana mereka 
berusaha untuk membersihkan diri dari kotoran dan dosa). Mendengar hal 
ini akan mengakibatkan munculnya ketakutan akan siksaan Ilahi dan akan 
meningkatnya keimanan kita kepada hari akhir yang akhirnya kita kepada 
maqam orang-orang yang kita tahu bahwa hati mereka hanya terpaut kepada 
Tuhan dan langkah untuk bergabung dnegan barisan para maksumin as.
Melewati Dunia Merupakan Langkah Awal Untuk Sampai Kepada Mengenal Tuhan
Bagi
 orang yang ingin melangkah di jalan makrifat murni Tuhan dan kecintaan 
kepadaNya dan memalingkan hati kita dari yang selainNya, langkah pertama
 adalah hendaklah dia meninggalkan kelezatan duniawi. Selama kita masih 
belum melewati kenikmatan-kenikmatan yang bercampur dengan kesulitan, 
bala dan kesusahan ini, bagaimana kita bisa melewati 
kenikmatan-kenikmatan akherat yang bersih dari segala kesulitan dan 
ujian.
Mengenai kenikmatan surga, Tuhan berfirman:
wtbqãã£|Áã$pk÷]tãwurtbqèùÍ\ã
Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk.[6]
Ditempat lain Tuhan berfirman:
wöNßg¡yJt$ygÏùÒ=|ÁtR$tBurNèd$pk÷]ÏiBtûüÅ_t÷ßJÎ/
Mereka tidak merasa lelah di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan daripadanya.[7]
Maka,
 ketika sudah bisa melewati kenikmatan surgawi yang sangat berharga 
dimana dimulai dari kenikmatan dunia yang lebih rendah dan mengurangi 
keterikatan kepada dunia. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, kecuali 
kita mulai dari dengan menghindar dari kanikmatan yang haran kemudian 
kepada kenikmatan-kenikmatan dunia yang halal. Sebab semakin besar 
kenikmatan yang sudah kita rasakan walaupun itu yang halal, maka hal itu
 akan menguatkan kecintaan kita kepadanya yang pada akhirnya akan 
terjerumus kepada kenikmatan-menikmatan yang haram. Jika manusia 
menginginkan agar tidak terjerumus kepada yang haram, hendaklah dia 
membuat batasan dan penghalang serta menghindar dari sebagian kenikmatan
 halal sehingga tidak terjerumus kepada yang haram. Janganlah melihat 
kepada sebagian perkara yang halal dan boleh sehingga kita tidak 
terjerumus kepada melihat sesuatu yang haram, sebab jika tidak, ketika 
manusia berjalan di ujung batas, dengan sekali kesalahan dia akan 
terjerumus.
Walaupun
 boleh bagi manusia untuk memakan makanan halal atau meminum minuman 
halal, akan tetapi pada saat-saat tertentu seperti bulan-bulan yang 
penuh berkah; di bulan rajab menjalankan puasa. Dengan ini maka kita 
akan terbiasa melawan hawa nafsu, begitu pula tentang pakaian, tempat 
tinggal dan yang lainnya. Tidak diragukan bahwa termasuk kepada jalan 
terbaik untuk bisa melawan sifat rakus diri dan menghindar dari sebagian
 nikmat adalah infak dan sedekah, dimana tentang hal ini Tuhan 
berfirman:
`s9(#qä9$oYs?§É9ø9$#4Ó®Lym(#qà)ÏÿZè?$£JÏBcq6ÏtéB4
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai…[8]
Di ayat lain Tuhan berfirman:
õè{ô`ÏBöNÏlÎ;ºuqøBr&Zps%y|¹öNèdãÎdgsÜè?NÍkÏj.tè?ur$pkÍ5
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan…[9]
Menginfakkan
 harta serta apa saja yang disukai oleh manusia akan mengurangi 
keterikata dia kepada dunia. Dari satu sisi dia berpaling dari 
kenikmatan yang halal sehingga dia tidak terjerumus kepada yang haram, 
dan dari sini juga dia masuk kepada tahapan dimana dia bisa menutup mata
 dari kenikmatan surga – ini merupakan segi negative dan berlawanan 
dengan hawa nafsu dan meninggalkan rakus –, di sisi lain dari sisi 
positif, apa yang harus diperbuat sehingga dia pikirannnya hanya kepada 
Tuhan?
Puncak
 usaha kita dalam menjalankan kewajiban dan mengamalkan perintah Tuhan 
adalah supaya kita tidak terjerumus kepada siksaan neraka, dan jika 
neraka tidak ada, kita tentu tidak akan mengamalkan itu semua. Ketika 
manusia yakin bahwa dengan mengamalkan perintah Tuhan, dia tidak akan 
terkena api neraka, hendaklah dia berusaha untuk sebanyak mungkin meraih
 kenikmatan ukhrawi; ini merupakan kebahagiaan besar dimana dia bisa 
aman dari adzab Ilahi dan mendapat kenikmatan surga:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#qãZtB#uäö@ydö/ä39ßr&4n?tã;ot»pgÏB/ä3ÉfZè?ô`ÏiBA>#xtã8LìÏ9r&ÇÊÉÈtbqãZÏB÷sè?«!$$Î/¾Ï&Î!qßuurtbrßÎg»pgéBurÎûÈ@Î6y«!$#óOä3Ï9ºuqøBr'Î/öNä3Å¡àÿRr&ur4ö/ä3Ï9ºs×öyzö/ä3©9bÎ)÷LäêZä.tbqçHs>÷ès?
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?
(yaitu)
 kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah 
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu 
Mengetahui.[10]
Kita
 tidak bisa menutup mata dari kenikmatan-kenikmatan surga, walau pun 
keridhoan Tuhan terletak pada bahwa kita harus ada di neraka, kita tidak
 punya kekuatan untuk bisa tinggal disana, sebab kita lemah dan belum 
sampai kepada maqam penghambaan dan keikhlasan yang tinggi. Dalam hadis 
mi’raj Tuhan menyinggung hamba seorang mukmin dan sampainya seseorang 
kepada keharibaan rububi:
“Ya
 Tuhan! Jika ridhoMu terletak bahwa aku harus mati terpotong-potong dan 
terbunuh sebanyak tujuh puluh kali dengan kematian yang paling pedih 
dari semua kematian manusia, maka ridhoMu adalah yang paling aku cintai”
Makrifat
 ini tidak bisa diraih oleh kita (jika kita raih maka tentunya kita akan
 lebih siap untuk melepas semua kebahagiaan dunia), akan tetapi kita 
harus berusaha untuk mendekati jalur para wali Tuhan dan jika kita 
berhasil maka kita akan mendapat kebaikan dan pertolongan Tuhan. Untuk 
perkara penting ini, kita mulai dari perbuatan yang tidak banyak 
mengambil waktu dan tidak terlalu sulit; untuk perbuatan yang kiranya 
tidak penting kita berkata: Tuhan! aku lakukan ini hanya demi Engkau 
walaupun aku harus masuk ke neraka. Usahakanlah dalam setiap harinya 
minimal kita melakukan dua rakaat shalat sunnah, seperti shalat sebelum 
subuh dan berkata: wahai Tuhan! jika Engkau ingin memasukkanku ke dalam 
neraka, akan tetapi karena aku mencintaiMu dan Engkau senang dengan 
shalat, maka aku pun melakukan dua rakaat ini.
Jika
 semua perbuatan, amal serta niat kita bukan untuk mendapat keridhoan 
Tuhan, usahakanlah untuk beberapa saat kita gunakan untuk keridhoanNya 
dan melakukan dua rakaat shalat hanya untuk Tuhan bukan untuk mengharap 
balasan dan pahala. Walau hanya sekedar dua rakaat, saya piker hanya 
dengan dzikir “Allahu Akbar” atau “Laa ilaaha Illallahu” dengan niat 
seperti ini, akan lebih baik dari semua ibadah kita yang lain; sebab 
nilai ibadah tidak dilihat dari kuwantitas, akan tetapi dari niat.
Seharusnya
 dalam hati kita ada makrifat dan kecintaan sehingga kita bisa berniat 
dengan niat yang tinggi. Walaupun siang dan malam kita beribadah hanya 
supaya terhindar dari siksaan neraka dan meraih kenikmatan surga, sangat
 jauh dibanding dengan kita berdzikir hanya karena Tuhan. jika seseorang
 dengan keyakinan kepada siksaan neraka dan balasan surga, hanya dengan 
satu ucapan “ya Allah” dan hanya untuk Dia, bukan karena balasan surga 
atau takut neraka, akan lebih baik dari seluruh umur kita yang dipakai 
untuk beribadah tapi hanya karena mengharapkan surga dan takut neraka, 
dan ini bukan omong kosong.

 
 
No comments:
Post a Comment