Sunday, November 11, 2012

Menjawab Pertanyaan Atheis Tentang Tuhan

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


Jika orang-orang atheis berkeyakinan bahwa segala sesuatu haruslah masuk akal agar bisa dipercayai justru pertanyaan yang diajukan olehnya tidaklah masuk akal. Hal ini menandakan bahwa pertanyaan tersebut bukanlah muncul dari akal sehat karena akal sehat tidaklah bertabrakan dengan kebenaran. Akan tetapi pertanyaan itu muncul dari bisikan setan didalam hatinya.
Syeikh Muhammad Shaleh al Munjid mengatakan jika kita membuka perdebatan terhadap pertanyaan Siapa Pencipta tuhan ? maka si penanya akan bertanya lagi : Siapa Pencipta yang Menciptakan Tuhan ? lalu Siapa Pencipta yang menciptakan si Pencipta Tuhan ? begitu seterusnya tanpa ada akhirnya, dan ini tidaklah masuk akal.
Sedangkan seluruh makhluk yang ada berujung pada Sang Pencipta Yang menciptakan segala sesuatu dan tak ada satu pun yang menciptakannya akan tetapi Dia lah Sang Pencipta yang tidak ada selain-Nya, dan inilah yang sesuai dengan akal dan logika
pertanyaan tersebut hanyalah bersumber dari setan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Setan akan mendatangi seorang dari kalian lalu mengatakan,’Siapa yang menciptakan ini ? Siapa yang menciptakan ini? sehingga dia akan berkata,’Siapa yang menciptakan Tuhanmu? Dan apabila dia menghinggapinya maka berlindunglah kepada Allah darinya dan hendaklah dia menyudahinya.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata bahwa Nabi saw bersabda,”Manusia akan senantiasa bertanya hingga yang dikatakan,’Ini adalah Allah yang menciptakan makluh lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ dan barangsiapa yang mendapatkan sedikit saja tentang hal ini maka katakanlah ‘Aku beriman kepada Allah.”
Nabi saw bersabda,”Manusia senantiasa bertanya hingga seorang dari mereka berkata,”Ini Allah yang menciptakan makhluk lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ Apabila mereka mengatakan demikian maka katakanlah :
اللهُ أَحَدٌ، اللهُ الصَّمَدُ، لمَ يَلِد وَلمَ يُولَد، وَلمَ يَكُن لَهُ كُفُواً أَحَد
(Allah Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.)
Kemudian meludahlah ke sebelah kiri tiga kali dan berlindunglah (kepada Allah) dari godaan setan.”
Dengan demikian jelaslah bahwa pertanyaan semacam itu adalah dari setan yang ingin merusak agama dan akal sehatnya dan mejauhkannya dari Allah swt dan kebenaran.
Mungkin saja jawaban seperti ini tidak diterima oleh seorang yang kafir kepada Allah dikarenakan sifat inkar dan dusta yang ada didalam hatinya telah menutupi kebenaran dan akal sehatnya namun tidak bagi seorang mukmin yang hatinya senantiasa hidup dengan mengingat Allah serta meyakini bahwa Allah adalah Sang Pencipta seluruh makhluk-Nya dan Dia lah Yang Awal dan Yang Akhir.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Hadid : 3)
Nabi saw apabila hendak tidur maka beliau berbaring diatas bagian sebelah kanan tubuhnya lalu berdoa :
اللَّهُمَّ، رَبَّ السَّمَوَاتِ وَرَبَّ الأَرضِ وَرَبَّ العَرشِ العَظِيم، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيءٍ، فَالِقَ الحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنزِلَ التَّورَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالفُرقَانِ، أَعُوذُ بِكَ مِن شَرِّ كُلِّ ذِي شَرِّ أَنتَ آخِذُ بِنَاصِيَتِهِ، اللَّهُمَّ، أَنتَ الأَوَّلُ فَلَيسَ قَبلَكَ شَيءٍ، وَأَنتَ الآخِرُ فَلَيسَ بَعدَكَ شَيءٍ، وَأَنتَ الظَّاهِرُ فَلَيسَ فَوقَكَ شَيءٍ، وَأَنتَ البَاطِنُ فَلَيسَ دُونَكَ شَيءٍ، اقضِ عَنَّا الدَّينَ، وَأَغنِنَا مِنَ الفَقرِ.”
“Wahai Allah Tuhan langit dan Tuhan bumi serta Tuhan arsy yang agung. Wahai Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, Yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan, Yang menurunkan taurat, injil dan al Furqon. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap pemilik kejahatan. Engkaulah yang menggenggam ubun-ubunnya. Wahai Allah, Engkaulah Yang Awal dan tidaklah ada sesuatu sebelum-Mu. Engkaulah Yang Akhir dan tidaklah ada sesuatu setelah-Mu. Engkaulah Yang Zhahir dan tidaklah ada sesuatu diatas-Mu, Engkaulah Yang Bathin dan tidaklah ada sesuatu tanpa-Mu maka tunaikanlah hutang kami dan cukupkanlah kami daripada kefakiran.”
Wallahu A’lam

Ihwal Orang-orang Arif Dalam Menghadapi Persoalan Tadbir

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

“Tenangkan dirimu dari memikirkan urusan duniawi, karena apa yang telah direncanakan Allah Ta’ala bagimu, tidak perlu kamu sibuk memikirkannya.”
Tadbir itu adalah rencana masa depan seorang hamba sesuai dengan kemauan dan kesanggupannya. Hal ini bukannya tidak diperkenankan kepada manusia, akan tetapi manusia perlu memahami bahwasannya sebagai sesuatu yang berlaku dalam hidup dunia ini, telah diatur oleh Allah Ta’ala atas diri seseorang, maka tidak lagi perlu ia ikut mengaturnya. Seperti ungkapan oleh Sayid Abu Hasan Asy Syadzili, “Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik aturlah agar kalian tidak mengatur.” Allah Swt. memberi kesempatan kepada manusia agar mempergunakan instink dan inderanya untuk merencanakan segala keperluan hidup dunianya, dan memberi kesempatan pula supaya mampu mempertahankan nikmat dan anugerah Allah yang telah diterima oleh manusia, karena itulah fitrah Allah yang berlaku atas diri manusia. Akan tetapi Allah juga mengingatkan kepada manusia, bahwa semua rencana Allah jualah yang akan berlaku, dan apa yang di atur oleh Allah atas manusia itulah yang pasti.
Allah Ta’ala berfirman, “Seandainya kalian semua bertawakal kepada Allah, dengan berserah diri sepenuhnya, maka tentu kalian akan memperoleh rezeki, seperti juga burung-burung mendapat rezekinya di pagi hari ketika mereka sedang lapar, dan kembali pulang ke sarangnya dengan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi)
Orang yang arif ketika menghadapi tadbir, adalah dengan cara tetap istiqamah beriman kepada ketentuan Allah Ta’ala yang datang kepada  kita, suka atau tidak, senang atau tidak. Menerima semua yang datang dari Allah sebagai anugerah yang tidak perlu disesalkan. Bahkan diikuti pula dengan ikhtiar baru guna mendapat ketentuan Allah yang baru pula. Menghidupkan rasa syukur dalam diri seorang hamba akan apa yang telah diterima sebagai nikmat dari Allah Swt. Rasa syukur itu diikuti pula dengan rasa sabar menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
Menerima semua yang ditetapkan Allah Ta’ala dengan rasa sabar akan melahirkan rasa tawakal, dengan rasa tawakal itulah seorang yang arif bijaksana akan mengukuhkan imannya.
Allah Ta’ala berfirman, Hanya orang yang sabar sajalah yang akan ditetapkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)
Dan sifat hamba seperti ini ditegaskan pula dalam surat Al-Ankabut ayat 56, bahwasannya iman seorang hamba yang tangguh adalah mereka yang sabar dan tawakal.
Ukuran orang arifin dalam menghadapi ketetapan Allah Ta’ala ialah ia dapat merasakan semua pemberian Allah itu sebagai suatu ujian atas kemampuan imannya. Ia terima semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran untung atau rugi, tetapi dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Ia tidak ingin keteguhan iman seorang hamba diukur dengan sesuatu yang lain, karena iman termasuk senjata pamungkas yang harus dijaga dan dipelihara agar tidak rusak, tidak berkarat, sehingga pada saat tertentu dapat dipergunakan menjadi perisai menghadapi semua kemungkinan yang datang dalam kehidupan anak manusia ini.
Kemenangan akhir manusia yang arif ialah mampu mempertahankan imannya di saat yang penting. Dengan kemenangan itu akan memberinya kemajuan dan ketinggian rohani yang luar biasa. Tidak ada kemenangan yang sangat disenangi oleh orang-orang arif, kecuali kemenangan iman. Dengan iman yang selalu menang itulah seorang hamba akan diantarkan ke surga jannatun na’im.
Semestinyalah orang beriman itu memahami benar bahwa rencana Allah atas kehidupan manusia bukanlah suatu rencana yang main-main. Karena segala yang diciptakan Allah dalam bentuk apa saja adalah rahasia Allah yang akan ditunjukkan kepada manusia, setelah berlakunya suatu rencana terhadap manusia.
Angan-angan manusia yang ada dalam benaknya tidak dilarang oleh Allah. Ikhtiar manusia untuk berhasilnya suatu kehendak pun boleh saja dilaksanakan. Akan tetapi ia harus yakin dengan keimanan yang teguh, bahwasannya semua yang direncanakan Allah, tak seorang pun yang mampu menghalanginya. Apabila Allah telah memberi karunia kepada manusia, maka karunia itu akan datang, walaupun ada yang menghalanginya. Demikian juga apabila Allah akan memberi sesuatu peringatan atau kesusahan kepada manusia karena perbuatannya, maka tak satu kekuasaan pun yang mampu menolak kehendak Allah itu.

Enhanced by Zemanta

Introspeksi Diri Lebih Baik

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

“Keinginan untuk mengetahui tentang cela yang tersembunyi dalam batinmu, itu lebih baik daripada keinginanmu untuk mengetahui masalah-masalah gaib yang engkau tidak mampu mengalaminya.”
Usaha untuk mencapai makrifat kepada yang gaib, memang tidaklah mudah. Diperlukan ilmu yang berkaitan dengan itu, di samping pengalaman rohani kita sendiri yang terus menerus dilatih dalam hubungan interaksi hamba dengan ma’bud-nya. Namun demikian perlu diketahui bahwasannya barang gaib itu adalah rahasia Allah. Manusia hanya diberi sedikit ilmu untuk sampai ke sana. Sedangkan keinginan manusia sebagai hamba Allah, terus menerus berusaha dalam batas ilmu insani untuk mengetahui dan mendapatkan semaksimal mungkin tentang hal yang gaib, dalam hubungan ritualnya dari masa ke masa.
Untuk mencapai maqam yang mulia dan suci itu, belum cukup bagi seorang hamba hanya dengan ilmu belaka. Diperlukan sesuatu yang lain untuk memperlengkapi syarat-syarat mengetahui yang gaib dan bermakrifat kepada Allah Ta’ala. Pembersihan dan pensucian jiwa dan hati diperlukan. Karena perjalanan menuju Allah dalam makrifat, adalah perjalanan yang suci dan mulia. Koreksi diri dan introspeksi jiwa diperlukan pula, agar mampu mengetahui segala sesuatu yang menyangkut kesucian. Bersih diri dan hati dari angkuh dan bangga. Bersih diri dari iri dan dengki serta keinginan duniawi yang menyesatkan, seperti tamak, tinggi diri, merasa lebih dari hamba Allah lainnya, bahkan menunjukkan kelebihannya kepada para hamba yang berkekurangan, dan lain-lain yang sangat tidak sesuai dengan niat hendak mendekati Allah dan bermakrifat kepada-Nya. Hati dan jiwa yang kotor, tidak mampu mendekati kegaiban. Kebodohan hamba mencapai makrifat dengan hanya sekadar keinginan belaka, tidak akan menambah iman, bahkan bisa menyesatkan iman, dan bisa juga menuju jalan sesat.
Oleh karena itu, meneliti aib dalam hati dan kotoran yang melekat pada jiwa, serta berusaha membersihkannya adalah lebih utama bagi seorang hamba, daripada sekadar mempunyai keinginan mencapai kegaiban Ilahiyah tanpa memenuhi syarat-syarat yang tersebut di atas. Riyadatunnafs dikerjakan tidak semata-mata didorong oleh keinginan, akan tetapi diperlukan kesungguhan yang tidak dimasukkan niat lain, kecuali semata-mata untuk mencapai rida Allah.
Abu Hamid Al Ghazaly dalam kitabnya “Riyadunnafs”, mengemukakan bahwa, untuk mengoreksi aib diri, bisa dengan jalan: Duduk-duduk bersama (bergaul) dengan orang alim yang dapat memperingatkan aib kita, dengan contoh-contoh yang dapat membersihkan diri dari aib yang melekat dalam sanubari kita. Bersahabat dengan orang-orang saddiqin (yang memiliki kebersihan jiwa) yang akan mengingatkannya di kala seorang hamba lupa.
Enhanced by Zemanta

Nur Syu’a'ul Basirah Ainul Basirah ~ Haqqul Basirah

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


Syu’a'ul basirah, menjadi saksi bagimu, yang engkau datang mendekati Allah, dan Allah Ta’ala dekat dengan engkau. Ainul basirah, menunjukkan ketiadaan engkau, karena adanya Allah. Haqqul basirah, menampakkan padamu adanya Allah (wujud), bukan pada ketiadaanmu, dan bukan pula pada adanya dirimu.”
Sinar yang bercahaya, adalah sinar hati dan cahaya akal yang menunjukkan kepada iman. Sedang ainul basirah, adalah cahaya ilmu (nurul ilm), dan haqqul basirah (menyaksikan adanya Allah dengan mata hati yang terang benderang), itu adalah cahaya akal. Diri mereka menjadi saksi atas akal mereka, dan juga menyaksikan adanya Allah dengan mata akal dan mata hati. Tuhan sangat dekat dengan mereka yang bermakrifat kepada-Nya, mengenal akan Allah adalah dengan ilmu, dengan mengenal Tuhan seperti ini, mereka pun akan mengenal diri mereka.
Para ulama Sufi mengungkapkan: “Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu.” (Barangsiapa mengenal dirinya, pasti ia akan mengenal Tuhannya).
Ulama memberi sinar kepada alam sekitarnya dengan ilmu. Hamba menjadi saksi atas Tuhannya, bukan pada wujudnya. Penyaksian itu adalah pada cahaya kebenaran. Tidak ada penyaksian lain oleh seorang hamba, kecuali pada-Nya (Allah). Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang dimaksud, (Allah itu ada, dan wujudnya Allah, tiada satu pun yang sama dengan-Nya. Adanya Allah sekarang sama dengan wujud semula).
Mengenal Allah melalui sinar mata rohani dan mata hati, itulah maqam pertama orang arif yang bermakrifat. Mengenal Allah dan mendekati Allah dengan mata hati harus dengan ilmu untuk meyakinkan wujud Allah seperti disebut dalam ilmu Aqaid (Tauhidullah). Mengenal Allah melalui ainul basirah (keyakinan mata), menunjukkan kemampuan ilmu setelah meningkat ke maqam penyaksian yang haq tentang wujud Allah dan seluruh ciptaan-Nya (ainul yaqin). Mengenal Allah melalui haqqul basirah, artinya dengan ilmu yang mampu mengantar orang arifin mendekati wujud yang benar tentang Allah Ta’ala, sehingga ia mencapai maqam lanjutan, yakni meyakini melalui ilmu (penglihatan akal), basirah (penglihatan hati sanubari) dan keyakinan iman yang meliputi seluruh pemahaman makrifat. Dalam wujudnya Allah Ta’ala dikenal seperti sabda Nabi Muhammad Saw.: “Wa’budullah ka annaka tarahu – Fa in takun tarahu – wa innallaha yaraka” (Sembahlah Tuhanmu, se akan-akan engkau melihatnya, jika engkau mampu melihat-Nya, sesungguhnya Dia (Allah) telah melihatmu.”) Inilah wujud makrifat yang sebenarnya menurut tuntunan Rasulullah, dan inilah yang dimaksudkan dengan Al Ihsan.
Enhanced by Zemanta

Isyarat Ahli Makrifat

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله


“Bukanlah orang yang arif, orang yang suka memberi isyarat, lalu mangatakan itulah wujud Al Haq (Allah Ta’ala) yang sangat dekat dengannya dari isyaratnya sendiri. Akan tetapi orang yang bermakrifat sebenarnya tidaklah mempunyai isyarat apa pun karena kefanaannya dalam wujud Allah. Ia pun tidak mampu melihat Allah.”
Isyarat itu adalah suatu gerakan yang berkaitan dengan batin hamba bermakrifat, sifatnya kinayah. Beberapa paham tarikat berpendapat, apabila seorang hamba yang taqarrub kepada Allah  memberi semacam isyarat apabila menghadapi suatu masalah, atau ada yang menanyakan sesuatu kepadanya. Gerakan yang dilakukan seperti ini dianggap oleh manusia umumnya, adalah gerakan orang yang sudah tinggi makrifatnya. Seakan-akan isyarat itu adalah isyarat Allah. Cara seperti ini adalah cara para ahli tariqah yang merasa dekat dengan Allah, sehingga isyarat darinya dianggap benar. Ia pun merasa bahwasannya Allah Azza Wa Jalla lebih dekat kepadanya daripada isyaratnya sendiri.
Akan tetapi sebenarnya yang disebut orang yang bermakrifat itu tidaklah suka mempergunakan isyarat-isyarat, dan tidak merasa mempunyai isyarat, meskipun tidak terasa ia telah menyampaikan isyarat, akan tetapi ia tidak memandang isyarat itu sebagai yang wajib diyakini kebenarannya. Ia lebih memandang bahwa segala sesuatu adalah wujud Allah sendiri, dan sendiri fana dalam wujud Allah.
Sesungguhnya manusia dalam arti yang luas, terikat dengan kehendak Allah. Ia tidak mampu memberi hidayah kepada manusia secara sempurna. Akan tetapi hamba yang makrifat hanya dapat memberi petunjuk sementara yang mengarah kepada kebaikan dan ketaatan. Kalaupun ada isyarat yang dianggap sebagai hal-hal yang luar biasa, tidaklah dapat dipastikan sebagai suatu yang tepat benar. Orang yang arif dalam ketauhidan dan ilmu makrifatullah tidak berkesimpulan seperti itu. Karena pengertian seperti itu tidak berasal dari kearifan yang benar, akan tetapi merupakan ibarat yang halus untuk membantu agar terlaksananya suatu kebaikan dan ketataan. Hamba Allah yang dekat dengan-Nya, lebih memilih jalan yang sesuai dengan akidah, sehingga ia tidak dianggap orang yang dapat mengetahui segala sesuatu yang belum dan akan terjadi. Sikap seperti ini adalah sikap orang-orang yang arif, agar terhindar dari sifat riya’ yang dapat menimbulkan syirik.
Enhanced by Zemanta

Monday, November 5, 2012

Manusia Paling Dimanja Tuhan

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Adalah fakta bahwa Rasulullah Muhammad tercipta  sebagai manusia  paling dimanja  Allah swt. Beliaulah satu-satunya Nabi yang sering  diberi anugrah  tanpa harus mengajukan permintaan maupun  wasilah  syarat  yang rumit  demi terkabulnya semua harapannya. berikut sedikit bukti kongkritnya:
Ketika Musa merasa kebingungan dan khawatir terhadap  perlawanan  Fir’aun dan sekutunya , Musa meminta kepada Allah Swt   agar dilapangkan dadanya demi kesuksesan  dakwah yang ia emban. “Robbi srohli Sodri Wa Yassirli amri” Toha : 25.  Sebaliknya, Allah telah lebih dahulu melapangkan dada Muhammad  sebelum  dihadapkan kepada  orang-orang kafir,  para pembangkang dan munafikun. “Alam Nasroh Laka Sodrok” Alinsiroh : 1.
Ibrahim merasa dirinya belum aman dari kriteria manusia-manusia  yang terhina di hari kiamat kelak, ia pun meminta perlindungan Allah seraya berdo’a : “ Wala Tuhzinaa Yaumalqiyaamah”  ali imron : 194 , Disisi lain Allah Swt telah memberi garansi  dan berjanji  kepada   Muhammad beserta  umatnya semenjak di dunia,   terkait masalah perlindungan  dari  kehinaan di hari kiamat.“Yauma Layuhzi llahu Nabiyya”.  Attahrim : 8.
Keistimewaan yang tersirat dari sosok Muhammad di antara para Rasul dan Nabi lainnya adalah : Bahwa semua mukjizat yang  Allah berikan kepada para Nabi sejak Adam sampai Muhammad, Karomah para Wali dan Maunah bagi orang awam di seluruh dunia ini  merupakan pancaran  dari hakikat mukjizatNya Rasulullah Muhammad. Allah Swt  berkata : “ Jika bukan karena Kamu, maka alam semesta ini tidak akan Aku ciptakan” – .
karena itu tidak ada satupun mukjizat para Nabi yang tidak dimiliki Muhammad.
Mukjizat Muhammad Anugrah Adam!!

Berikut sedikit bukti yang telah dan akan nyata atas keistimewaan mutlak  seorang Rasulullah Muhammad  bagi para Khalifah Allah di bumi ini:

  • Perihal  keutamaan ilmu Adam dibandingkan malaikat sampai perintah Sujud terhadap Adam.  Ternyata Malaikat bersujud kepada “Nur Muhammad”  yang telah Allah letakkan  dalam diri Adam. Sudah jamak diketahui bahwa Nur Muhammad adalah mahluk pertama dari semua Ciptaan-Nya.

  • Mahar pernikahan dua sejoli yang bersemayam di surga ini adalah dengan membacakan “Sholawat kepada Rasulullah Muhammad”. Ketika Adam merasa bingung dengan kewajiban maharnya, Allah swt menunjukkan jalan keluarnya, yaitu  dengan menyuruh Adam agar  berwasilah melalui kekasihNya  “Habibullah”  Muhammad. Wasilah Adam kepada Allah dengan ‘derajat keutamaan Habibullah yang tidak diketahui hakikatnya kecuali DIA”.

  • Adam merasa heran atas perlakuan Khusus Allah swt terhadap Muhammad setelah melihat tembok arsy yang tertulis nama Muhammad bersanding dengan asma Allah.  Adam pun bertanya langsung kepada sang Khaliq perihal tulisan itu.  Allah Swt menjawab :” dia adalah kekasihku “Habibullah”, Muhammad adalah salah satu dari keturunanmu yang akan diutus sebagai nabi terakhir, walaupun nabi terakhir, Muhammad adalah Pioner dari para utusanku di akherat kelak. Dan Aku menciptakan alam semesta seisinya ini semata-mata hanya untuk dia”.

  • Keistimewaan derajat Muhammad pula yang menjadi wasilah ampunan Adam saat Adam dan Hawa terusir dari Surga.  Sampai akhirnya dua sejoli ini diampuni dan dipertemukan kembali di tanah Arofah tepatnya di jabal Rahmah.

  • Pengakuan dan pengukuhan  bahwa Muhammad adalah keturunan terbaiknya. Hal ini dinyatakan langsung oleh Adam ketika Rasulullah Muhammad melangsungkan Isra’ Mi’rajnya  dan menemui beberapa Nabi, termasuk Adam.

  • Syafaat Udzma, Hanya Rasulullah Muhammad yang sanggup memberikan pertolongan kepada umat manusia dihari kiamat kelak. Tatkala semua Nabi termasuk Adam menolak memberikan syafaat kepada umatnya,  mereka  gelisah dengan keselamatannya  sendiri-sendiri. Sementara Muhammad – sang wasilah agung ini memanggil-manggil pengikutnya – : “ummati- ummati” – mengharap   ampunan terhadap  umatnya terutama ahli maksiat.  Beliaulah satu-satunya Nabi yang berani mengorbankan dirinya di hari yang paling mengerikan itu. Karena alasan ini pula mengapa umatnya wajib mencintai Rasulullah, lebih dari harta, keluarga bahkan nyawa kita sendiri. Beliau lah sang penyelamat  dan wasilah agung di hari dimana harta dan anak tidak lagi bermanfaat kecuali mereka yang datang dengan hati yang selamat. – Ya Rasulallah.

  • Gelar Habib sebenarnya sudah sangat mulia dan lebih dari cukup.  Diantara makna Habib adalah kekasih sejati,  pecinta yang merasakan apapun yang dirasa sang kerkasih, dan memberikan apapun yang di mau tanpa harus dimintai dahulu. Berbeda dengan gelar Khalil yang disematkan kepada Ibrohim, Khalil hanyalah teman mulia saja, bandingkan dengan Kekasih sejati.  Tidak salah jika Adam sering meminjam perantara Habib ini kepada Allah Swt.

  • Disamping sebagai Habib, Rasulullah Muhammad pun diberi gelar SAYYYED –sang pemimpin/ ketua besar-  bagi seluruh umat manusia semenjak Adam sampai hari akhir kelak. Dalam satu riwayat beliau berkata : Ana Sayyidu walidibni Adam Wala Fakhr– Alhadis.  Hadis ini pula yang memansuh / menghapus  dilarangnya memberi gelar SAYYID kepada Rasulullah saat kita membaca sholawat setelah Tasyahhud dalam Sholat.  ucapkanlah : Allahumma Solli ala Sayyidina Muhammad wala alih.
Ringkasan  singkat ini hanyalah gambaran sangat kecil dari semua Rahasia keistimewaan Muhammad yang takkan pernah habis tertulis bahkan oleh lautan tinta.  Sesuatu yang tidak dapat diambil hikmah dan manfaatnya secara penuh, hendaknya  jangan kau tinggalkan semuanya.  Semoga  cinta sejati kita  kepadanya  benar adanya, bukan sekedar  pemanis bibir dan perlawanan bodoh  lagi sadar  yang sering membuat Beliau terluka dan menangis di alam sana.


Enhanced by Zemanta

Saturday, November 3, 2012

asal muasal diri alam marifat

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Maka Allah lingkup nya di nur Muhammad itu sendirinya didalam perkata'an Kun Fayakun dan Nur Muhammad itu sendiri di dalam lingkup dari pada Nur Dzat. Semesta sekalian alam semsesta ini perbuatan Nur juga, maka barang siapa belum tahu jalan ini jangan membaca ini karena akan menjadikan sesat kepada dirinya dan jika sudah tahu bacalah, karena inilah ilmu yang haq. Syareat tanpa Hakekat hampa dan hakekat tanpa syareat bathil atau sia sia.
Adapaun yang bernama Rahasia itu sir ALLAH JUA.
Adapun kita ini bertubuhkan Muhammad zahir dan bathin, bertubuhkan Roh namanya maka tiada kita kenang kenang lagi hati dan tubuh hanya bertubuh bathin saja namanya artinya Muhammad jua yang jadi tubuh kita ini. Jadi hakekatnya kita ini bertubuh kan Roh Idhafi juga, sebab Muhammad itulah yang bernama Rahasia Sir Allah.
Adapun ujud itu ujud Allah Ta'ala, sekali kali jangan ada ujud yang lain daripada Allah Ta'ala inilah sebenar benarnya diri. Begitu pula kelakuan jangan ada yang lain, karena jika ada menjadi Nafsiah Hamba juga.
Adapun Nafsiah Robbah itu tidak menerima salah satu melainkan suci zahir bathin. Dzat artinya Ujud Allah semata mata, itu yang sebenar benarnya diri kita. Jangan ragu lagi pada kata ini, baik berjalan itu ujud Allah, melihat itu Bashar Allah dan berkata kata itu Kalam Allah dan lain lainnya, jangan ada ujud yang lain jika ada maka batal. Firman Allah
" Ana fi dzhoni Abdi " Aku berada dalam prasangka hamba Ku.
Maka sudah lengkap ujud kita ini, ujud Allah Ta'ala. Ingat lah akan firman Allah tersebut jangan lagi mengatakan batil jika sudah tahu ujud dirinya ujud Allah juga dan tiada lupa dan tiada berserikat dan tiada berhakekat dan bermarifat melainkan kudrat sendirinya.
" Al insaanu sirri wa anaa sirrahu wa sirri sifaati wa sifaatii laghairi " insan itu rahasia Ku dan Akulah rahasianya dan rahasia itu sifat Ku dan sifat Ku itu tiada lain dari pada Aku
Adapun Alif Allah itu yaitu Dzat Allah Ta'ala dan diri Allah Ta'ala dan sebenar benar nya diri yaitu Roh Nabi Muhammad, adapun sifat Allah Ta'ala itu rupa nabi Muhammad dan Af'al Allah Ta'ala itu yaitu kelakuan Nabi Muhammad. Maka inilah Roh Idhafi menjadi rahasia kepada kita didalam jantung tempatnya. Adapun Akbar itu tubuh kita ini jadi bisa berlaku laku dan sebagainya. Adapun rahasia itu sendiri memerintah hati dan hati itu memerintah tubuh berlakunya tubuh itu berbagai kelakuan. Inilah sebenar benarnya diri yang kita kenal siang dan malam, sebab semuanya daripada Muhammad.
Tatkala rahasia itu sehari semalam dalam rahim ibu HU . . HU pujinya
Tatkala rahasia itu tiga hari tiga malam dalam rahim ibu Subhanallahi pujinya artinya suci sendiri nya
Tatkala rahasia itu empat puluh hari empat puluh malam dalam rahim ibu Alhamdulillahi pujinya artinya Dzat Allah pujinya
Tatkala rahasia itu tiga bulan dalam rahim ibu Allahu Akbar pujinya artinya Maha Besar Allah meliputi sekalian alam
Tatkala rahasia itu sembilan bulan dalam rahim ibu La ilaha illa Allah pujinya




Wahai diri yang mulia wahai jiwa yang luhur wahai pribadi yang agung bagaimana mungkin aku merasa cukup dengan amal dan ilmu ku bila aku harus bercermin pada keteladanan mu yang telah memikat segala bentuk hati dan perasa'an. Sementara Engkau telah menjelma dengan sifat sifat ke Tuhanan yang pengasih lagi penyayang. Engkau telah menjadi cahaya mata bagi para perindu dan nama mu menjadi sumber bagi yang mengamal bahkan sifat dan keteladanan mu menjadi syair bagi para pencinta. Kehadiran mu telah dinantikan semenjak awal segala pencipta'an dan nama mu telah terukir dengan agung nya yang disandingkan ditempat yang tak mungkin satupun makhluk dapat menyandingnya.

Wahai keutama'an yang menjadikan seluruh penghuni langit dan bumi bersholawat kepada mu, bagaimana mungkin laut akan cukup menjadi tinta untuk menulis ke utama'an mu itu, bila laut saja dijadikan sebab dari pada keada'an mu

Wahai raja dari segala yang zahir maupun bathin, tiada lah yang ghaib tersingkap seluruhnya karena kaulah  sang pengawas dan digenggaman mu semua yang zahir karena kuasa untuk mu.

Tiadalah dapat bulan dan mentari menandingi cahaya mu bila engkaulah sumber segala cahaya itu.

Pada diri mu lah dapat menemukan kebenaran Tuhan dan pada jiwa mulah tersingkap rahasia ke Tuhanan

Wahai sang kekasih . . . . . .

Enhanced by Zemanta

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,
كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.”
Mukhollad bin Al Husain mengatakan,
الشكر ترك المعاصي
“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”
Intinya, seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: [1] mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), [2] membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan [3] menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan).

Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
 
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.
Enhanced by Zemanta