أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Keinginan
untuk mengetahui tentang cela yang tersembunyi dalam batinmu, itu lebih
baik daripada keinginanmu untuk mengetahui masalah-masalah gaib yang
engkau tidak mampu mengalaminya.”
Usaha untuk mencapai makrifat kepada yang
gaib, memang tidaklah mudah. Diperlukan ilmu yang berkaitan dengan itu,
di samping pengalaman rohani kita sendiri yang terus menerus dilatih
dalam hubungan interaksi hamba dengan ma’bud-nya. Namun
demikian perlu diketahui bahwasannya barang gaib itu adalah rahasia
Allah. Manusia hanya diberi sedikit ilmu untuk sampai ke sana. Sedangkan
keinginan manusia sebagai hamba Allah, terus menerus berusaha dalam
batas ilmu insani untuk mengetahui dan mendapatkan semaksimal mungkin
tentang hal yang gaib, dalam hubungan ritualnya dari masa ke masa.
Untuk mencapai maqam yang mulia
dan suci itu, belum cukup bagi seorang hamba hanya dengan ilmu belaka.
Diperlukan sesuatu yang lain untuk memperlengkapi syarat-syarat
mengetahui yang gaib dan bermakrifat kepada Allah Ta’ala. Pembersihan
dan pensucian jiwa dan hati diperlukan. Karena perjalanan menuju Allah
dalam makrifat, adalah perjalanan yang suci dan mulia. Koreksi diri dan
introspeksi jiwa diperlukan pula, agar mampu mengetahui segala sesuatu
yang menyangkut kesucian. Bersih diri dan hati dari angkuh dan bangga.
Bersih diri dari iri dan dengki serta keinginan duniawi yang
menyesatkan, seperti tamak, tinggi diri, merasa lebih dari hamba Allah
lainnya, bahkan menunjukkan kelebihannya kepada para hamba yang
berkekurangan, dan lain-lain yang sangat tidak sesuai dengan niat hendak
mendekati Allah dan bermakrifat kepada-Nya. Hati dan jiwa yang kotor,
tidak mampu mendekati kegaiban. Kebodohan hamba mencapai makrifat dengan
hanya sekadar keinginan belaka, tidak akan menambah iman, bahkan bisa
menyesatkan iman, dan bisa juga menuju jalan sesat.
Oleh karena itu, meneliti aib dalam hati
dan kotoran yang melekat pada jiwa, serta berusaha membersihkannya
adalah lebih utama bagi seorang hamba, daripada sekadar mempunyai
keinginan mencapai kegaiban Ilahiyah tanpa memenuhi syarat-syarat yang
tersebut di atas. Riyadatunnafs dikerjakan tidak semata-mata
didorong oleh keinginan, akan tetapi diperlukan kesungguhan yang tidak
dimasukkan niat lain, kecuali semata-mata untuk mencapai rida Allah.
Abu Hamid Al Ghazaly dalam kitabnya
“Riyadunnafs”, mengemukakan bahwa, untuk mengoreksi aib diri, bisa
dengan jalan: Duduk-duduk bersama (bergaul) dengan orang alim yang dapat
memperingatkan aib kita, dengan contoh-contoh yang dapat membersihkan
diri dari aib yang melekat dalam sanubari kita. Bersahabat dengan
orang-orang saddiqin (yang memiliki kebersihan jiwa) yang akan
mengingatkannya di kala seorang hamba lupa.
No comments:
Post a Comment