Tuhan dan Kemanusiaan
أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dzat wajibul maulana adalah yang
menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya
ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat
melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan
zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima
keinginan yang lain”
Manusia yang mendua adalah manusia yang
tidak sampai kepada derajat kemanunggalan.Sementara manusia yang
manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula
menyatu dengan Ilahi.
Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan
roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang
dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu.
Maka agar tidak terjadi split
personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan,
harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia.
Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan
di luarnya.
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam
bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat
dengan sakit atau pun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun
disini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang
tidak wajar,menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.
Segala sesuatu yang berwujud, yang
tersebar didunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang di
ciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” Tuhan adalah yang maha
meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu,
ke ghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya.
Oleh karenanya keberadaan segala
sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidak beradaan segala sesuatu,
termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut
sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga
seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi.
Sebab raga hanyalah sebagai tempat
wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya,
namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan
dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
“Gagasan adanya badan halus itu
mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya
diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang
tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan
wujud yang Mulia.“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan,
barat, timur dan tengah, yang adadi sana-sana hanya di sini adanya.
Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang
adadi dalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah
isi perut yang kotor.Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari
tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah
dan Madinah.”“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan
pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas
dan bukan kekosongan atau kehampaan.
Wujud saya ini jasad, yang akhirnya
menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi
dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau
aslinya,sebab semuanya barang baru, bukan asli.”“Maka saya ini Zat yang
sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi.
Pangeran saya bersifat jalal dan jamal,
artinya Maha mulia dan Maha indah. Ia tidak mau shalat atas
kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapa
pun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan
mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya
berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang,
tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.”
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri
manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia
penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau
raga manusia.
Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing
manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak
kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi
kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan
matematis.
Inilah titik spiritual yang akan
menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja
itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan
bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia,
pandangan itu keliru dan sesat.Sekali lagi apa yang terurai di atas,
adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi.
Jika masih ada terdapat tingkatan maka
sebaiknya disempurnakan lagi.Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi
satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan.
Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan
sekalian Alam,apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan
wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam
kehidupan yang sejati.Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang
malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan
di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya
kematian ini.
Saya akan hidup sempurna, langgeng
tiada ini itu.Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam
kematian yang sesungguhnya,di karenakan roh Ilahinya terpenjara dalam
badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi
dosa manusia.
Sehingga keberadaan manusia di dunia
penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam
setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam
kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian
Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala
kehidupan yang juga sempurna.
“Menduakan kerja bukan watak saya!
Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik
jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya,tidak
perlu ini itu.
Akan tetapi bila saya disuruh milih
hidup atau mati saya tidak sudi, Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri
yang menentukan ! Tidak usah Wali sanga memulangkan saya ke alam
kehidupan ! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong
pada sesamanya.
Nah marilah kamu saksikan! Saya akan
pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.Karena kematian hanya sebagai
pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya,maka sebenarnya
kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia
sebagai pribadi.
Oleh karena itu, kematian bukanlah
sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain.
Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai
keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena
itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada
istilah “dimatikan” atau “dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh
siapapun.
Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya
tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu kematian adalah
sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus di
selami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki
kematiannya itu.
Barulah jika seseorang memang tidak
pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu
kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang
dialami.
“Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati.
Kenikmatan ini dijumpai dalam mati,mati
yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah
meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya.
Menyebutkan mati syirik, lantaran
tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong
kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat,
lagi terjerumus, menjadikan kecemasan,menyusahkan dalam patinya, justru
bagi ilmu orang remeh…
ungkapan mistik itu keluar dari ucapan
darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan
Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la
ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut.
Para wali dan masyarakat
yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat,
dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan
agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan
tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar.
Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam
mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan,langgeng selamanya.
Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan,
Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus
cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke
dalam al-Ghaib,Dia Yang Sudah Dimuliakan.
Iringan cahaya bersinar cemerlang,
berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari,
menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas
dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna
memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya.
Tanpa bukti yang dinampak kan secara dzahir, maka kebenaran ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud.
Sebab pembuktian itu – sebagaimana
sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat
al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut jasad sang Guru
sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya.
Dengan kemartirannya dan kesediannya
sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai
Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu
Kasampurnan.
No comments:
Post a Comment