أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
FADHILAH “AL-HAWQOLAH”
FADHILAH “AL-HAWQOLAH”
Di
antara kalimat-kalimat dzikir yang memiliki keutamaan dan hakikat makna
yang agung dalam syari’at Islam adalah “al-Hawqolah” yaitu kalimat;
لاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ
Laa
Haula walaa Quwwata illaa Billaah, yang secara bahasa berarti; “Tiada
daya dan kekuatan melainkan dengan daya dan kekuatan (pertolongan) dari
Allah”.
Keutamaan kalimat tersebut termaktub dalam nash-nash yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para Sahabatnya. Di antaranya adalah riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda kepada sahabatnya:
ألاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ؟ لاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ
“Tidakkah
engkau ingin aku tunjukkan satu kalimat, yang ia merupakan harta dari
harta karun surgawi? (dialah kalimat) ‘Laa haula walaa quwwata illaa
billaah’”. [Shahih Bukhari: 4205, 6384, Shahih Muslim: 2704]
Di antaranya juga adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
مَا
عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُــوْلُ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكْبَرُ
وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَـمْدُ لِلّـهِ وَلاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ
باِللهِ، إلاَّ كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوْبُهُ وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ
زَبْدِ الْبَحْرِ
“Tidaklah
ada seseorang di atas bumi yang mengucapkan; (yang artinya: Tiada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan Allah
Mahabesar, Mahasuci Allah, segala pujian bagi Allah, dan tiada daya
kekuatan melainkan dengan daya kekuatan Allah), kecuali pasti Allah akan
menghapus dosa-dosanya sekalipun dosa tersebut lebih banyak dari buih
di lautan”. [HR. Tirmidzi dan al-Hakim, Shahiihul Jaami’: 5636]
Diriwayatkan
bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan pernah ditanya tentang tafsiran
“al-Baaqiyaatus Shoolihaat” (amal-amal shalih yang kekal) dalam firman
Allah (QS. al-Kahfi: 46):
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
(yang
artinya) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, akan
tetapi amalan-amalan shalih yang kekal, adalah lebih baik ganjarannya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Maka
‘Utsman bin ‘Affan menjawab: “Dia (al-Baqiyaatus Shoolihat yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat); Laa ilaaha illallaah wa
subhaanallaahi walhamdulillaahi wallaahuakbaru laa haula walaa quwwata
illaa billaahi.” [al-Musnad: 1/71, dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal
Adzkaar: 1/276]
Dalam riwayat yang dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi”
merupakan harta karun yang terletak di bawah ‘Arsy. Dalam riwayat yang
lain (al-Musnad: 5/418, Shahih Ibn Hibban no. 821) disebutkan bahwa
kalimat tersebut merupakan tanaman-tanaman di surga. [dinukil dari
Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar: 1/278]
Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah r memerintahkan untuk memperbanyak ucapan “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi”
(Silsilah ash-Shahihah: 2528], dan ini menunjukkan betapa agungnya
kedudukan kalimat tersebut. Sehingga wajib bagi kita untuk mempelajari
kandungan maknanya sekaligus mengamalkannya dengan benar.
Syaikh
Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin al-Badr hafizhahullaah
mengatakan: “Merupakan kelaziman bagi setiap muslim (dalam berdzikir
kepada Allah) untuk memahami maksud dan makna kalimat ini, agar
dzikirnya kepada Allah berdiri di atas dasar ilmu dan pemahaman tentang
maksud kalimat dzikir yang diucapkannya. Adapun jika seorang muslim
sekedar mengulang-ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau
lafaz yang tidak diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di
hati dan faidah yang diperoleh pun lemah.
Oleh
karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna) kalimat ini (demikian
juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya), karena dengan itu,
dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya akan terwujud, yang berdzikir
pun akan meraih faidahnya.” [Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280]
HAKIKAT MAKNA AL-HAWQOLAH
Kalimat
al-Hawqolah, sebagaimana dikatakan oleh para ulama, mengandung
konsekuensi makna; “isti’aanah (memohon pertolongan) hanya kepada
Allah.” Karena kalimat ini berisi ikrar hamba, bahwasanya ia sedikitpun
tidak memiliki daya dan kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan dan
menghindar dari apa yang dibencinya, kecuali dengan daya dan kekuatan
(pertolongan) dari al-Maula, yaitu Allah semata.
Sungguh para Salaf begitu mendalam pemahamannya tentang rahasia makna kalimat ini. Renungkanlah bagaimana Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla walaa quwwata illaa billaah) dengan ucapannya:
لاَ حَوْلَ بِنَا عَلَى الْعَمَلِ بِالطَّـاعَةِ إلاَّ بِاللهِ، وَلاَ قُوَّةَ لَنَا عَلَى تَرْكِ الْمَعْصِيَةِ إلاَّ بِاللهِ
“Tidak
ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan ketaatan kecuali dengan
pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan bagi kami untuk meninggalkan
maksiat kecuali dengan pertolongan dari Allah (pula).”
Demikian pula Zuhair bin Muhammad pernah ditanya tentang makna “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”, lalu beliau menjawab:
لاَ تَأْخُذُ مَا تُحِبُّ إِلاِّ بِاللهِ، وَلاَ تَمْتَنِعُ مِمَّا تَكْرَهُ إِلاَّ بِعَوْنِ اللهِ
“Engkau
tidak akan mampu meraih apa-apa yang engkau sukai kecuali dengan
pertolongan Allah, dan engkau tidak akan mampu menghindar dari apa-apa
yang engkau benci kecuali dengan pertolongan Allah pula.”
Kedua
tafsiran tersebut diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsuur:
5/393-394 [dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/282]
Oleh
sebab itu, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullaah mengatakan dalam
kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/78): “Tidak diragukan lagi bahwasanya
do’a yang paling bermanfaat dan paling utama bagi hamba adalah do’a agar
ia mendapatkan pertolongan dari Allah demi meraih keridhaan-Nya dan
taufik dalam mentaati-Nya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Mu’adz bin Jabal karena kecintaannya kepada Mu’adz:
يَا
مُعَاذُ، وَاللهِ إِنِي لأُحِبُّكَ، فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُـوْلَ دُبُرَ
كُلِّ صَـلاَةٍ: اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ
“Wahai
Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu, maka dari itu jangan engkau lupa
untuk membaca dipenghujung sholat (setelah tahiyyat, sebelum salam -red)
do’a (yang artinya): ‘Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir
kepada-Mu, dalam mensyukuri-Mu, dan dalam memperbaiki ibadahku
kepada-Mu.” [Hadits Shahih, lihat pula Shahiih Targhiib wat Tarhiib no.
1596, asy-Syaamilah -red]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “AL-FATIHAH”
Para
ulama mengatakan: Sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallaah”
tidak akan ada faidahnya kecuali dengan mengikhlaskan segenap ibadah
hanya bagi Allah semata, maka demikian pula kalimat al-Hawqolah “Laa
hawla walaa quwwata illaa billaah” tidak akan berarti apa-apa kecuali
dengan mengikhlaskan isti’anah (permohonan pertolongan) hanya kepada
Allah semata. Sungguh Allah telah menghimpun “rahasia” kedua makna
tersebut pada satu ayat dalam Surat al-Qur-aan yang paling agung,
al-Fatihah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
Kalimat pertama (إيَّاكَ نَعْبُدُ) menyiratkan ikrar perlepasan diri hamba dari kesyirikan, dan kalimat kedua (وإياك نستعين)
mengandung ikrar ketidakmampuan dan ketidakberdayaan hamba dalam
mewujudkan segala hal yang diinginkannya kecuali dengan pertolongan
Allah semata.
Tidak heran jika Ibnul Qayyim
menukil ucapan gurunya (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah): “Aku meneliti dan
merenungkan (kandungan) do’a yang paling bermanfaat (bagi hamba), maka
aku menemukannya pada do’a yang mengandung permintaan tolong hamba
kepada Allah untuk meraih keridhaan-Nya, dan aku melihat (kandungan do’a
tersebut) ada di al-Fatihah (إياك نعبد وإياك نستعين)...” [Madaarijus Saalikiin: 1/78, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/284]
ANTARA “AL-HAWQOLAH” DAN “TAWAKKAL”
Kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi”
juga mengandung konsekuensi tawakkal hanya kepada Allah. Yang demikian
ini, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
dikarenakan segala perkara bergantung pada masyii-atillaah (kehendak
Allah) dan kekuasaan-Nya. Betapapun seorang hamba berjuang dalam
ikhtiarnya meraih hasrat dan impian, keputusan akhir tetap ada di tangan
Allah, karena hanya Dia yang memiliki kemampuan dan kekuatan. Seorang
hamba hanya wajib ber-ikhtiar, sedang kepastian setiap perkara ada dalam
genggaman-Nya, maka harapan hanya pantas ditujukan kepada Allah saja,
dan itu mutlak membutuhkan tawakkal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil sebuah atsar yang indah dan sarat makna, ketika menjelaskan hakikat ini:
مَنْ
سَرَّهُ أنْ يَكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ،
وَمَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ
اللهِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِهِ
“Barangsiapa
senang menjadi manusia yang paling kuat, maka hendaklah ia bertawakkal
kepada Allah. Dan barangsiapa yang senang menjadi manusia yang paling
kaya, maka hendaklah apa-apa yang ada di tangan Allah lebih pasti
baginya dibandingkan dengan apa-apa yang telah ada dalam genggaman
tangannya (sekalipun).” [Majmu’ Fatawa: 13/321-322, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/283]
Demikianlah
rahasia di balik keagungan al-Hawqolah. Tentunya setelah memahami makna
kalimat ini, kita bisa mengamalkannya dalam do’a dengan hati yang lebih
khusyu’, penuh harapan dan rasa ketundukan pada Allah ‘azza wa jalla,
terutama pada 2 kondisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah:
Petama; saat memohon pertolongan Allah. dan kedua; ketika bertawakkal, menanti keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar.
***
Disusun oleh Redaksi al-Hujjah (semoga Allah mengampuni dan meninggikan derajatnya)
Muroja’ah oleh: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
Sumber Bacaan Utama:
Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar (1/275-284)
No comments:
Post a Comment