أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
'Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butir-butir renungan ini yang kini dianggap sebagai prinsip Thariqat Naqshbandi Sufi:
'Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butir-butir renungan ini yang kini dianggap sebagai prinsip Thariqat Naqshbandi Sufi:
1.
Bernapas Secara Sadar ("Hosh dar dam")
Hosh
berarti "pikir". Dar berarti "dalam". Dam
berarti "napas". Artinya, menurut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q),
bahwa :
"pencari/pejalan/murid
yang bijak harus melindungi napasnya terhadap kealpaan/kesembronoan, menarik dan
menghembuskan, dengan itu selalu menjaga kalbunya berada dalam Hadhirat Allah;
dan dia harus menghidup kan napasnya dengan pengabdian dan penghambaan dan
mempersembahkan pengabdian itu kepada Tuhannya penuh dengan kehidupan /
kegairahan, karena setiap tarikan dan hembusan napas dengan demikian (Hadhirat)
itu adalah hidup dan menyambung dengan Hadhirat Ilahi. Setiap tarikan dan
hembusan napas dengan kealpaan/kecerobohan adalah mati, terputus hubungan dengan
Hadhirat Ilahi."
Ubaidullah
al-Ahrar (q) mengatakan, "Missi paling penting dalam Thariqat ini adalah
untuk melindungi napasnya, dan dia yang tak dapat menjaga napasnya, baginya akan
dikatakan, ‘dia telah kehilangan dirinya.'"
Shah
Naqshband (q) mengatakan, "Thariqat ini dibangun atas dasar napas. Sehingga
adalah suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga napasnya pada waktu menarik
dan menghem buskan dan selanjutnya, untuk menjaga napasnya dalam interval antara
menarik dan menghembuskan napas."
Shaikh
Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal,
"Dhikr mengalir dalam diri setiap makhluq hidup dengan keharusan napasnya
– meskipun tanpa niat – sebagi suatu tanpa ketundukan, yang adalah bagian
dari penciptaannya. Melalui napasnya, bunyi huruf "Ha" dari asmaul
husna Allah dibuat dalam setiap penghembusan dan penarikan dan itu adalah
tanda dari Essensi Tak-Nampak sedang mengungkapkan penekanan Ke-Unik-an Allah.
Jadi sangatlah penting untuk selalu “hadir” dengan napas itu, agar supaya
menyadari (merasakan) Essensi dari Al Khaliqu."
Nama
'Allah' yang melingkupi sembilanpuluh sembilan asma ul-husna terdiri dari
empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Pengikut Sufi mengatakan bahwa
Dzat Allah Azza Wa Jalla yang gaib sempurna dinyatakan dengan huruf terakhir,
"Ha" itu. Huruf ini mewakili Dia Yang Maha gaib Sempurna (Ghayb al-Huwiyya
al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (tacrif)
dan Lam kedua adalah untuk penekanan (mubalagha).
Memelihara
napasmu dari ketidak-pedulian akan menuntunmu kepada Hadhirat Nya secara utuh,
dan Hadhirat Utuh akan menuntun engkau kepada Pandangan (Vision) utuh,
dan Pandangan (Vision) utuh akan menuntun engkau kepada Manifestasi Utuh
sembilanpuluh sembilan asma ul husna Allah. Allah akan menuntun engkau
kepada Manifestasi sembilanpuluh sembilan Asma Nya dan keseluruhan Asma Nya yang
lain, karena dikatakan bahwa, "Asma Allah adalah sebanyak napas umat
manusia."
Hendaknya
diketahui oleh semua bahwa menyelamatkan napas dari ketak-pedulian adalah suatu
proses yang sukar bagi seorang pencari.. Sehingga mereka harus melakukan hal itu
dengan mencari ampunan (istighfar) karena mencari ampunan akan
membersihkan dan mensucikan diri kita dan mempersiapkan si pencari untuk
Manifestasi Sesungguhnya Allah yang memang berada dimana-mana.
2.
Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar qadam")
Itu
artinya bahwa sang pencari sewaktu berjalan hendaknya pandangan matanya hanya
tertuju kepada kakinya saja. Kemanapun kakinya hendak dia tempatkan, pandangan
matanya hendaknya berada disitu pula. Dia tidak diperkenankan melemparkan
pandangannya kesana kemari, untuk melihat kekiri atau kekanan atau kedepannya,
karena pemandangan yang tak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan tabir pada
kalbu diciptakan oleh gambar(an) yang ditransmisikan dari mata kepada pikiran
selama menjalani kehidupan sehari-hari. Hal-hal ini mungkin (boleh jadi)
mengganggu (menggoncangkan) kalbumu dengan turbulensi (gambaran dari gerak air
sewaktu ombak mendampar karang), karena berbagai macam keinginan yang (telah)
dicetak di dalam pikiran kita (oleh berbagai gambar(an) itu). Bayangan-bayangan
tersebut adalah seperti tabir yang menutupi kalbu. Mereka menghadang Cahaya
Hadhirat Ilahiah. Itulah sebabnya para wali Sufi tidak membolehkan para
pengikutnya, yang telah membersihkan kalbu mereka melalui Dhikr berkesinambungan,
untuk melihat selain kepada kaki mereka. Kalbu mereka sudah seperti kaca cermin,
memantulkan dan menyerap gambar (image) secara mudah. Gambar ini akan
menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kekotoran (ketak-murnian) kedalam
kalbu mereka. Maka para pencari diperintahkan untuk merendahkan pandangannya
agar supaya tidak diserbu oleh anak panah syaithan.
Merendahkan
pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati; orang yang bangga dan sombong
tidak pernah melihat kaki mereka. Itu juga suatu indikasi bahwa seseorang sedang
mengikuti jejak (yang dicontohkan) Nabi (s.a.w.),
yang jika berjalan tidak pernah melihat ke kiri atau ke kanan, tetapi
selalu melihat ke kakinya, bergerak dengan tegas dan mantap menuju arah
tujuannya. Itu juga sebuah tanda dari
sebuah ketinggian maqam bila seorang pencari tidak melihat kemana-mana kecuali
hanya kepada Tuhannya. Seperti seorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan
cepat, demikian juga seorang pencari Hadhirat Allah bergerak dengan cepat, tidak
melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi
hanya melihat kepada Hadhirat Ilahiah.
Imam
ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) mengatakan dalam suratnya ke 295 dari Maktubat
nya:
"Pandangan
mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Perjalanan mendaki (mi’raj)
ke maqam yang lebih tinggi mula-mula dengan Pandangan, diikuti Langkah. Apabila
Langkah mencapai level Ketinggian dari Pandangan, maka Pandangan akan naik lagi
ke tingkat berikutnya, atas itu Langkah juga mengikuti secara bergilir. Maka
Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan
mengikutinya secara bergilir. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai
tingkat Kesempurnaan ke arah itulah Langkah akan ditarik (oleh Pandangan). Kita
katakan, 'Bila Langkah mengikuti Pandangan, sang murid telah mencapai tingkat
Kesiapan dalam mendekati Langkah Nabi (s.a.w.). Maka Langkah Nabi (s.a.w.) itu
disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah lainnya.'"
Shah
Naqshband (q) mengatakan, "Jika kita (hanya) melihat kesalahan shahabat
kita, kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tak seorangpun sempurna."
3.
Perjalanan Pulang ("safar dar watan")
Itu
artinya perjalanan menuju kampung halaman. Itu artinya sang pencari berjalan
dari dunia ciptaan menuju kepada dunia Sang Pencipta. Diceritakan bahwa Nabi (s.a.w.)
mengatakan, "Saya akan mengunjungi Tuhan ku dari satu maqam ke maqam yang
lebih baik dan dari satu stasiun ke stasiun yang lebih tinggi." Dikatakan
bahwa sang pencari harus berjalan dari Kenginan untuk hal terlarang kepada
Keinginan untuk Hadhirat Ilahi.
Thariqat
Naqshbandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori. Pertama adalah
perjalanan eksternal dan kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan eksternal
adalah berjalan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang
sempurna untuk membawa dan mengarahkan engkau ke sasaran yang engkau tuju. Ini
akan memungkinkan engkau untuk menapak ke kategori kedua, perjalanan internal.
Para pencari, sekali mendapatkan pembimbing sempurna (mursid), dilarang untuk
melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal terdapat
banyak kesukaran yang tak akan sanggup ditanggung oleh pemula tanpa jatuh kepada
tindakan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori
kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan internal memerlukan para pencari
meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi,
mencampakkan semua keinginan dunia dari kalbunya. Dia akan diangkat dari keadaan
tidak bersih ke keadaan bersih atau murni. Pada saat itu dia tidak lagi
memerlukan perjalanan internal lainnya. Dia telah mensucikan kalbunya,
membuatnya jernih seperti air, transparan seperti kristal, mengkilap seperti
cermin, memperlihatkan kebenaran dari semua hal yang esensi dari kehidupannya
sehari-hari, tanpa memerlukan gerakan eksternal dari sisinya. Dalam kalbunya
akan muncul semua hal yang diperlukan untuk kehidupannya dan untuk kehidupan
mereka yang berada di sekelilingnya.
4.
Kesendirian dalam Keramaian ("khalwat dar anjuman")
"Khalwat"
berarti menyendiri. Itu artinya secara tampak luar bersama dengan manusia di
sekelilingnya sementara secara batin selalu bersama Allah. Terdapat juga dua
kategori “khalwat”. Pertama adalah penyendirian eksternal dan kedua
adalah penyendirian internal.
Penyendirian
eksternal memerlukan para pencari unutk menyendiri dalam suatu tempat yang tiada
orang lainnya. Tinggal disitu sendirian, dia konsentrasi dan meditasi pada
Dhikrullah, mengingat Allah, agar supaya mencapai keadaan dimana Teritori
Kebenaran Allah menjadi nyata (menjelma). Apabila engkau merantai indera
eksternal, indera internal mu akan bebas untuk mencapai Teritori Kebenaran
Langit (Surgawi). Ini akan membawamu ke kategori kedua : kesendirian internal.
Kesendirin
internal berarti menyendiri diantara keramaian orang. Disitu kalbu pencari
hendaknya hadir dengan Tuhannya dan absen dari
dunia ciptaan sambil secara fisik berada di antara mereka. Dikatakan,
"Sang pencari akan begitu terkait mendalam dengan Dhikr sunyi (sir) dalam
kalbunya, meskipun dia masuk ke kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara
mereka. Keadaan Dhikr nya telah menguasainya. Kenyataan (manifestasi) dari
Hadhirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak sadar kepada semuanya kecuali
kepada Tuhannya. Ini adalah posisi tertinggi suatu khalwat, dan
dianggap khalwat yang benar, sebagaimana disebut dalam al Qur'an: "Orang-orang
yang tak dapat dialihkan perhatiannya dari mengingat Allah oleh bisnis maupun
keuntungan " [24:37]. Inilah cara Tharekat Naqshbandi.
Khalwat
utama seorang shaykh
Tharekat Naqshbandi adalah kesendirian internal. Mereka bersama Allah dan
sekaligus bersama umatnya. Sebagaimana dikatakan Nabi (s.a.w.), "Saya
memiliki dua sisi : satu muka menghadap Al Khaliq muka lainnya menghadap ciptaan
(makhluq)." Shah Naqshband menekankan kebaikan berjamaah, bermajelis (berkumpul)
ketika dia mengatakan: Tariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jamciyyat
("Tharekat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan Kebaikan berada
dalam Kebersamaan ").
Dikatakan
bahwa seorang beriman yang bergaul dengan orang dan mengangkat (memikul)
kesukaran mereka lebih baik dari seorang beriman yang menyendiri dari orang.
Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani mengatakan,
"Hendaknya
diketahui bahwa sang pencari pada awalnya mungkin menggunakan khalwat external
untuk mengisolasi dirinya dari orang, beribadah dan konsentrasi kepada Allah,
Azza wa Jalla, sampai dia mencapai tahap yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia
akan dianjurkan oleh shaikh-nya, dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz, Kesempurnaan
bukan pada peragaan kekuatan karomah, tetapi kesempurnaan adalah duduk bersama
orang (banyak), menjual dan membeli, menikah dan mempunyai anak; namun tak
pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan sekejabpun.'"
5.
Dhikr Utama (Essensi) ("yad kard")
Arti
'Yad' adalah Dhikr. Arti 'kard' adalah essensi Dhikr. Sang pencari
hendaknya melakukan Dhikr dengan penolakan (negasi) dan penerimaan (affirmasi)
pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan meditasi (kontemplasi) kalbu (muraqaba).
Keadaan itu akan dicapai dengan setiap hari menyebut penolakan (negasi) : LA
ILAHA dan penerimaan (affirmasi) ILLALLAH pada lidah, antara 5,000 dan 10,000
kali, membuang dari kalbunya segala elemen yang akan mengotori dan membuatnya
berkarat. Dhikr ini mempoles kalbu dan membawa sang pencari ke dalam keadaan
Kenyataan (Manifestasi). Dia harus melakukan dhikr harian itu, baik dengan kalbu
atau dengan lidah, mengulang ALLAH, yang mewakili (meliputi) semua asma dan
sifat Nya, atau dengan negasi dan affirmasi melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Dhikr
harian ini akan membawa sang pencari kedalam kehadiran sempurna dari Huwa Allahu
Ahad.
Dhikr
dengan negasi dan affirmasi, dalam tatacara Shaykh Naqshbandi, menghendaki bahwa
sang pencari menutup matanya, menutup mulutnya, menggigit giginya, melekatkan
lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napasnya. Dia harus membaca
dhikr itu melalui kalbu, dengan negasi dan affirmasi, memulai dengan kata LA
("Tidak"). Dia mengangkat "Tidak" ini dari bawah pusarnya
naik ke otaknya. Sampai di otak kata "Tidak" mengeluarkan kata ILAHA
("Tuhan"), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbu (jantung)nya
dengan ILLALLAH ("kecuali Allah "). Apabila kata itu menabrak kalbu,
energi dan panasnya memancar keseluruh bagian tubuh. Sang pencari yang telah
menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, dan menyatakan
menerima kalimat ILLALLAH, artinya berada dalam keadaan bahwa semua yang exist (ada)
hilang lenyap dalam Hadhirat Allah.
Sang
pencari mengulang ini dengan setiap napas, menghirup dan meniup, selalu
membuatnya mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang di-instruksikan oleh
shaikh-nya. Sang pencari secar berangsur akan mencapai keadaan dimana dalam satu
napas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH duapuluh tiga kali. Seorang shaikh
mursid dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH tak terhitung banyaknya dalam setiap
kali napas. Arti dari praktek ini adalah bahwa sasaran satu-satunya hanya ALLAH
dan tidak ada sasaran lain lagi bagi kita. Dengan melihat Hadhirat Allah sebagai
satu-satunya Kenyataan (Existensi), akan memasukkan kedalam kalbu murid itu
cinta Nabi (s.a.w.) dan pada saat itu dia mengatakan, MUHAMMADUN RASULULLAH yang
adalah jantung dari Hadhirat Allah.
6.
Kembali ("baz gasht")
Ini
adalah keadaan dimana sang pencari, yang melakukan Dhikr dengan negasi dan
affirmasi, sampai kepada pengertian ungkapan Nabi (s.a.w.), ilahi anta
maqsudi wa ridaka matlubi ("Ya Allah, Engkaulah yang kami Maksud dan
Ridha Mu adalah dambaanku.") Pembacaan ungkapan ini akan menambah kesadaran
sang pencari tentang Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai keadaan di mana
keberadaan semua ciptaan (makhluq) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang
dilihatnya, kemanapun dia memandang, adalah Allahu Shamadu. Murid Naqshbandi
membaca dhikr macam ini agar supaya menyuling dari kalbunya rahasia Al Ahad, dan
untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadhirat Allahu Shamadu. Para pemula
tidak berwenang meninggalkan dhikr
ini bila dia tidak mendapatkan kekuatan itu muncul dalam kalbunya. Dia harus
tetap membaca dhikr ini mengikuti (meniru) Shaykh-nya, karena Nabi (s.a.w.)
telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan orang akan menjadi
bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya akan suatu hari
mendapatkan rahasia itu terbuka untuk kalbunya.
Arti
dari "baz gasht" adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla
dengan menunjukkan kepasrahan diri sempurna dan tunduk kepada Kemauan Nya, dan
kerendahan diri sempurna dengan menyampaikan semua pepujian kepada Nya. Itulah
alasan Nabi (s.a.w.) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka aqqa
dzikrika ya Madzkar ("Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana
seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah"). Sang pencari tidak dapat datang
kepada hadhirat Allah dalam dzikrnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan
Sifat Allah dalam dzikrnya, bila dia tidak melaksanakan dzikrnya itu dengan
Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana dikatakan Bayazid:
"Ketika aku mencapai Dia aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku)
mendahului ingatan saya kepada Nya." Sang pencari tidak dapat melakukan
dzikr oleh sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa Allah adalah justru yang
sedang melakukan Dzikr melalui diri hamba Nya itu.
7.
Perhatian ("nigah dasht")
"Nigah"
berarti pandangan (visi). Itu artinya sang pencari hendaknya mengendalikan
qalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk.
Kecenderungan buruk akan menghalangi qalbu dari penyatuan diri dengan Hadhirat
Allah. Diakui dalam Naqshbandiyya bahwa bagi seorang pencari dapat melindungi
qalbunya dari kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah sebuah hasil
yang besar. Untuk ini saja dia sudah akan diakui sebagai seorang sufi sejati.
Sufisme adalah sebuah kekuatan untuk melindungi qalbu dari pemikiran buruk dan
menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan dua sasaran
ini akan mengerti qalbunya, dan barang siapa mengerti qalbunya akan mengenali
Tuhannya. Nabi s.a.w. mengatakan, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri,
mengenal Tuhannya."
Seorang
shaikh Sufi mengatakan, "Karena saya melindungi qalbu ku untuk sepuluh
malam, qalbuku melindungiku untuk duapuluh tahun."
Abu
Bakr al-Qattani mengatakan, "Aku adalah penjaga pintu qalbuku selama 40
tahun, dan aku tak pernah membukanya untuk siapapun kecuali Allah, Azza wa Jalla,
sampai qalbuku tidak lagi mengenali siapapun kecuali Allah Azza wa Jalla."
Abul
Hassan al-Kharqani mengatakan, "Telah 40 tahun Allah melihat ke dalam qalbu
saya dan mendapati bahwa tak seorangpun berada disana kecuali Diri Nya Sendiri.
Dan memang tidak ada ruang dalam qalbu saya untuk selain Allah."
8.
Memori ("yada dasht")
Artinya
pembaca Dzikr melindungi qalbunya dengan negasi dan affirmasi dalam setiap
hembusan napas tanpa meninggalkan Hadhirat Allah Azza wa Jalla. Hendaknya sang
pencari agar mempertahankan qalbunya supaya selalu berada dalam Hadhirat Allah.
Ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Esensi dari Allah (anwar
adh-dhat al-Ahadiyya). Dia kemudian membuang tiga dari empat bentuk pikiran
: pikiran egoistik, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, sambil mempertahankan
dan membenarkan hanya bentuk pikiran ke-empat, yaitu : pikiran kebenaran atau haqqani.
Hal ini akan membimbing sang pencari menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan
dengan membuang semua khayalannya dan hanya merengkuh Kebenaran yang adalah
Ke-Esa-an Allah, 'Azza wa Jalla.
'Abdul
Khaliq al-Ghujdawani mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Shaikh
Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya ("Terbesar
diantara Wali "), Shaikh Arif Awliya al-Kabir (q). Berasal dari Bukhara,
dia adalah ulama terkemuka dalam Ilmu external dan internal. Khalifah yang
ketiga adalah Shaikh Sulaiman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah cArif
ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempat inilah Abdul Khaliq (q) mewariskan
Rahasia Mata Rantai Emas (Naqshbandi) sebelum dia meninggal pada 12
Rabi'ul-Awwal 575 H.
No comments:
Post a Comment