أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warna (dan jenisnya). Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba–Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (Fathir: 27-28)
Ayat di Atas berbunyi:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ. وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Pentingnya Ilmu Pengetahuan (tsaqafah)
Ayat di atas menggambarkan pentingnya ilmu pengetahuan (baca: tsaqafah) dalam Islam. Perhatikan Allah mendefinisikan pribadi seorang ulama (baca: mutsaqqaf) sebagai pribadi yang menyadari keagungan-Nya dengan memahami hakikat ciptaan-Nya. Kata Alam tara (Tidakkah kamu melihat) merupakan ajakan untuk membaca lembaran-lembaran alam, yang menunjukkan bukti-bukti mengagumkan, akan keagungan Allah, di mana tidak seorang manusia pun yang mampu melakukannya sekalipun didukung dengan segala fasilitas yang dimiliki, bahkan dengan kecanggihan teknologi yang telah mereka capai. Allah mengajak agar manusia segera melakukan iqra’ terhadap hakikat tersebut, iqra’ terhadap air hujan yang diturunkan dari langit, darinya pohon-pohon menjadi tumbuh, iqra’ terhadap aneka warna buah-buahan, garis-garis gunung yang beragam warnanya, tak terkecuali manusia yang beraneka suku, warna dan kebangsaannya. Iqra’ di sini bukan untuk semata pengetahuan melainkan lebih dari itu untuk membangun kesadaran kehambaan kepada-Nya. Dari sini setidaknya ada beberapa pesan:
Pertama: Bahwa Islam tidak ingin umatnya menjadi sekadar kelompok manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Islam berupaya untuk mengangkat umatnya menjadi manusia-manusia mutsaqqaf, yaitu manusia yang menyadari hakikat dirinya dan tugas-tugas yang harus dicapai untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Pribadi mutsaqqaf dalam Islam adalah pribadi yang berwawasan luas, mengerti akan tugas yang harus dijalankan, bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan setiap apa yang ia lakukan mempunyai dasar yang kuat. Kemampuannya dalam menangkap pesan syariat senantiasa membuatnya serius dalam mengoptimalkan semua potensinya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pribadi mutsaqqaf tidak pernah main-main dalam hidupnya, karena ia tahu bahwa tugas dan kewajibannya lebih banyak dari jatah waktu yang dimiliki. Pribadi mutsaqqaf senantiasa mengerjakan tugas dan kewajibannya bukan atas dasar kepentingan sesaat, melainkan atas dasar ketakwaan kepada Allah. Sebab ia tahu bahwa sekecil apapun yang ia lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang Maha Mengetahui.
Kedua: Bahwa hakikat Islam adalah ajaran yang berdasarkan ilmu, bukan sekadar karangan akal manusia (baca: khurafat) yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Sumbernya langsung wahyu yang mengandung kebenaran mutlak. Diharuskan setiap umatnya menggunakan kecerdasan akalnya, agar bisa memahami pesan-pesan wahyu. Bagi yang tidak berakal dibebaskan dari beban (taklif). Di dalamnya ada perintah dan larangan (halal-haram), tuntunan moral dan lain sebagainya, di mana menuntut setiap individu pemeluknya untuk mempelajari secara seksama. Semakin dalam ilmu pengetahuan seorang muslim semakin kuat cahaya keimanannya dan semakin istiqamah jalan hidupnya. Karenanya dalam banyak kesempatan Rasulullah saw. senantiasa menekankan pentingnya ilmu: Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah bersabda, “…orang yang menempuh jalan mencari ilmu, ia akan dipermudah jalan menuju surga..” (HR. Muslim, no.38). Abu Hurairah juga meriwayatkan hadits lain, Rasulullah bersabda, “Bila seorang meninggal dunia semua perbuatannya telah putus kecuali tiga: sadaqah jariah (pahalanya mengalir), ilmunya yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim, no.14). Imam Bukhari menulis bab khusus dalam buku haditsnya “aljami al Sahih”: Bab al ilmi qabl al qauli wal amal (bab ilmu sebelum berbicara dan berbuat). Semua ini menunjukkan bahwa masalah ilmu dalam Islam bukan sekadar sampingan, melainkan kebutuhan dasar yang harus diprioritaskan.
Ketiga: Banyak ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan pentingnya posisi keilmuan dengan gaya ungkap yang berbeda, di antaranya ayat fa’lam annahuu lalilaha illallah (QS. 47:19), suatu indikasi bahwa ilmu merupakan fondasi aqidah. Kata fa’lam adalah perintah untuk meraih ilmu sebelum meraih lailaaha illallah (baca: akidah). Akidah tanpa ilmu akan menjadi hampa. Ia akan menjadi semata tonggak yang mati tidak menggerakkan penganutnya. Dalam ayat lain Allah menegaskan, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:11). Lebih dari itu ayat yang pertama kali Allah turunkan adalah perintah iqra’, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam” (QS.96:1-4). Ini menunjukkan bahwa posisi iqra’ adalah titik permulaan segala sesuatu. Sebuah rumah tidak akan kokoh dan tidak akan memberikan rasa aman tanpa fondasi, demikian juga ber-Islam tanpa iqra’, tidak akan kokoh dan tidak akan memberikan ketenangan. Perhatikan bagaimana Allah sangat meninggikan posisi ilmu, sedemikian rupa sehingga derajat orang-orang yang berilmu dan berwawasan luas (mutsaqqaf ) mendapat posisi sejajar dengan-Nya, dan para malaikat dalam memberikan persaksian atas hakikat tauhid dan kemahaadilan-Nya, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan, (begitu juga) Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (menyatakan) Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18)
Keempat: Ajakan untuk menyaksikan bukti-bukti keagungan Allah di alam semesta seringkali diulang-ulang dalam Al-Qur’an. Di antaranya –selain ayat di atas- Allah berfirman, “Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 17-20) Dalam Surat An Naba’ Allah menyebutkan bukti-bukti lain mencakup apa yang di langit dan di bumi, bahkan termasuk bukti-bukti yang terdekat dengan manusia dan yang sering mereka rasakan (lihat An-Naba’: 6-16). Diulangi lagi pembuktian ini dalam surat An-Nazi’at dengan gaya ungkap yang lain lagi (lihat QS. 79:27-33). Ini semua menunjukkan bahwa Islam sejak dini secara tidak langsung telah memerangi kebodohan, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak berilmu, lalu kelak di hari kiamat berkata : kami tidak beriman karena kami tidak mempunyai ilmu. Perhatikan bagaimana Allah menggambarkan orang-orang kafir, dengan sebutan bahwa mereka seperti binatang, perasaan mereka mati, mata mereka buta dan telinga mereka tuli, mengapa? Itu bukan karena mereka tidak berilmu, segala bukti-bukti telah mereka dapatkan tetapi mereka tidak mau menerimanya, Allah berfirman, “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” (Al-Baqarah: 171). Dalam ayat yang lain Allah berfirman menggambarkan ungkapan penyesalan penghuni neraka, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)
Semua Ilmu dari Allah
Merenungi rangkaian ayat di atas, timbul sebuah pertanyaan: mengapa kok sebutan seorang ulama justru digabung dengan ajakan untuk mempelajari ciptaan Allah yang terdapat di alam semesta? Lebih detil lagi untuk mempelajari secara mendalam keanekaragaman warna yang tak terhingga. Warna-warna buah-buahan yang berbeda-beda sekalipun satu jenis. Warna garis-garis pegunungan yang bervariasi: putih merah dan hitam pekat. Warna manusia dan binatang-binatang di mana masing-masing mempunyai ciri dan tabiatnya sendiri?
Di sini nampak bahwa ilmu yang dimaksud tidak terbatas pada ilmu tentang ibadah saja. Islam tidak mengenal pembatasan antara ilmu akhirat dan ilmu dunia, karena semua ilmu dari Allah Taala. Seorang muslim tidak boleh memilah antara ilmu yang satu dengan lainnya. Allah Taala tidak membekali Rasulullah saw hanya dengan ilmu mengenai shalat, puasa zakat haji, melainkan juga ilmu mengenai bagaimana berperang, mengurus masyarakat dan bahkan Negara. Di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits tidak ada pengotakan antara disiplin ilmu. Semua ilmu bermanfaat, dan bisa mengantarkan manusia pada kemajuan.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ustadz Sayed Quthub mengatakan: bahwa seorang ulama bila benar-benar mempelajari semua hal tersebut ia akan sampai pada derajat di mana ia benar-benar merasa takut kepada Allah (lihat, Fi dzilalil Qur’an, vol. 5, h.2943). Benar, seorang ulama tidak boleh membatasi dirinya pada ilmu mengenai ibadah saja, lalu menolak ilmu yang lain. Semua ilmu yang meluaskan cara berpikir, membuka wawasan, menerangkan hati agar lebih tenang, mengantarkan pada kehidupan yang lebih bersih dan maju, dengan segala dimensinya, ia juga harus dipelajari.
Dengan demikian segala upaya untuk mengotakkan disiplin ilmu adalah tidak benar. Mengapa, sebab masalah kemanusiaan sangat kompleks mencakup: sisi sosial, ekonomi, politik, kedokteran astronomi dan lain sebagainya. Semua disiplin ilmu tersebut saling berkait dan saling mendukung. Maka tidak bisa diterima adanya pembatasan yang ketat antara berbagai disiplin ilmu sampai ke tingkat pemisahan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial. Sebagai ilustrasi bahaya terlalu ketatnya spesialisasi ini nampak ketika sering diucapkan misalnya oleh seorang mahasiswa jurusan bisnis kepada kawannya dari jurusan agama, “Lho jangan ikut-ikutan membicarakan halal haram di sini, tugas gue bukan itu, melainkan hanya bagaimana mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, halal maupun haram”. Spesialisasi besar-besaran memang di satu sisi telah melahirkan kemajuan pesat dalam berbagai bidang keilmuan dan teknologi, tetapi di sisi lain ia telah melahirkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Perhatikan bagaimana pembuatan senjata pemusnah massal terus berlangsung, padahal kelak yang akan menjadi korban adalah manusia, jika ditegur ia segera menjawab, “Bila ternyata manusia harus menjadi korban itu bukan urusan gue, urusanku yang paling penting adalah bagaimana memproduksi senjata sebanyak-banyaknya”.
Dari sisi ini nampak semakin kuat rahasia mengapa ayat di atas menggabung antara pembahasan mengenai hakikat penciptaan dengan pembahasan mengenai pribadi seorang ulama. Artinya ini suatu indikasi bahwa seorang muslim tidak-bisa tidak harus mempunyai wawasan keilmuan yang luas. Karena ternyata penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern mengenai hakikat alam semesta itu tidak kalah pentingnya dengan ilmu tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang dari penemuan-penemuan tersebut, bisa membuat seseorang beriman kepada Allah, dan bagi yang telah beriman bisa membangun keyakinannya semakin kokoh. Dari sini kemudian banyak ulama melihat pentingnya pembahasan mengenai I’jazul ilmi, sebab ternyata memang banyak hal dalam Al-Qur’an yang harus diuraikan berdasarkan penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan.
Apa yang ingin ditegaskan dari uraian di atas adalah bahwa semua ilmu pengetahuan pada hakikatnya sejajar dengan ilmu agama dalam membangun peradaban manusia. Keduanya harus berjalan secara seimbang. Tidak boleh saling menuding dan saling melecehkan. Pada dataran ini kita tidak bisa mengatakan bahwa ilmu fiqih lebih penting dari pada ilmu kedokteran, atau ilmu Tafsir lebih penting dari pada ilmu manajemen dan seterusnya. Tidak, semuanya sama-sama sangat penting. Ahli fiqih jika suatu saat sakit ia akan lari kepada seorang dokter, sebagaimana seorang dokter dalam hal-hal tertentu bila berbenturan dengan masalah fiqih ia juga harus lari kepada ahlinya. Karenanya rangkaian ayat di atas telah menunjukkan pesannya yang sangat kuat bahwa adalah suatu keniscayaan bagi seorang muslim untuk menjadi pribadi mutsaqqaf, dan bahwa Al-Qur’an tidak mengenal pengotakan ilmu pengetahuan.
Ulama Yang Memiliki Khasyyah
Allah mengakhiri ayat di atas dengan berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba–Nya, hanyalah ulama”. Penyataan ini bisa diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kata innama berfungsi untuk makna pengkhususan dan pembatasan. Artinya: hanya ulama yang mempunyai rasa takut kepada Allah, selainnya tidak. Dengan melihat konteks ayat sebelumnya, nampak dengan jelas: (a) bahwa ulama di maksud adalah yang benar-benar mengerti, memahami dan merenungkan hakikat keagungan Allah dari ciptaan-Nya yang sangat sempurna dan tidak main-main. (b) bahwa khasyah saja tidak cukup melainkan harus ditopang dengan ilmu. Banyak sekali fenomena penyimpangan dalam ritual keagamaan (baca: khurafat) akibat semangat khasyyah yang menggebu tanpa didukung dengan ilmu yang benar. Islam adalah agama ilmu, bukan agama khurafat. Tanpa ilmu Islam tidak akan bisa tegak dengan sempurna. Sudah barang tentu bahwa seorang muslim untuk menjadi pribadi muslim sejati, harus berilmu dan takut kepada Allah. Takut dalam arti senantiasa mengagungkan-Nya. Mengapa? Sebab seperti yang ditegaskan dalam penutup ayat di atas, “Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.
Kedua, kata khasyyah yang disebutkan sebagai ciri utama pribadi seorang alim telah menunjukkan makna yang sangat dalam. Imam Az Zamakhsyari menyebutkan bahwa khasyyah merupakan kunci segala kebaikan ( lihat: Az Zamakhsyarai, al Kasysyaf, vol. 4, h.695). Tidak mungkin seorang melakukan kemaksiatan bila rasa takut menguasai dirinya. Terjadinya perbuatan maksiat adalah karena khasyyah kepada Allah tidak ada. Seorang boleh jadi mempunyai ilmu, tetapi khasyyah tidak ada, ia akan menjadikan ilmunya sebagai perangkat kejahatan dan pengrusakan di bumi. Sudah banyak bukti-bukti di mana kerusakan terjadi justru di saat pelakunya dianggap orang pintar, tetapi tidak mempunyai rasa takut. Orang yang mempunyai rasa takut tidak akan pernah melanggar hukum Allah. Karenanya ketika Allah menerangkan jalan ke surga ditegaskan dua hal: takut kepada Allah dan menahan hawa nafsu “waama man khaafa maqaama rabbihi wanahan nafsa anil hawa fainnal jannata hiyal ma’wa” (An-Nazi’at: 40). Perhatikan hubungan khauf dengan menahan nafsu, keduanya harus saling mendukung. Nafsu tidak akan mampu menguasai diri seseorang yang mempunyai khauf. Dengan kata lain Nafsu akan tunduk tanpa daya di depan seorang yang khasyyahnya tinggi kepada Allah.
Ketiga, inti utama dari ilmu pengetahuan sebenarnya adalah yang membangun khasyaah (rasa takut) kepada Allah. Seorang yang mempunyai ilmu, tetapi malah semakin durhaka kepada Allah ia bukan ulama. Ia seperti komputer yang diisi dengan data-data ilmu pengetahuan namun ia tidak mengerti apa maksud dari ilmu tersebut. Al-Qur’an mengumpamakan: kamatsalil himaari yahmilu asfaraa (seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal) (Al-Jumu’ah: 5). Semua ilmu sebenarnya bukan semata untuk ilmu, tetapi untuk keperluan manusia supaya semakin dekat kepada Allah. Ilmu kedokteran misalnya, bagi seorang dokter seharusnya tidak semata melihat keilmuannya sebagai keahlian saja, melainkan ia hendaknya memperkuat keimanannya melalui proses ketika menyaksikan bukti-bukti keagungan-Nya dalam menyembuhkan berbagai penyakit, atau ketika melihat kerapian system dalam tubuh manusia yang di luar kemampuannya. Demikian juga ilmu astronomi dan lain sebagainya. Dari sini nampak bahwa dunia spesialisasi tidak mesti dengan cara memisahkan keilmuan dari inti utamanya, dengan menjadikan ilmu semata bahan kajian dan penelitian yang kering jauh dari makna keimanan.
Keempat, ilmu yang melahirkan khasyyah adalah yang diperoleh melalui tafakkur tentang ciptaan Allah bukan dzat-Nya. Dzat Allah tidak bisa dijangkau oleh akal. Maka berdebat mengenai Dzat Allah tidak akan mengantarkan pada titik khasyyah, melainkan malah akan membuat rohani semakin kering dan gersang. Dalam dunia ilmu kalam perdebatan tentang Dzat Allah telah melahirkan ketegangan intelektual tanpa ujung akhir. Banyak para ulama yang menjadi korban karenanya. Dari sini nampak rahasia mengapa ayat di atas mengaitkan kata khasyyah dengan ajakan mempelajari hakikat ciptaan Allah. Satu hal, bahwa jalan untuk membangun keimanan secara kokoh adalah dengan merenungkan ciptaan-Nya, bukan dengan merenungi dzat-Nya.
Kelima, seorang yang berilmu belum tentu seorang ulama. Banyak orang yang berilmu, tetapi perilakunya semakin durhaka kepada Allah. Dari sini nampak bahwa keilmuan yang luas tidak akan berfungsi secara maksimal, dan bahkan boleh jadi akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan, bila yang mengendalikannya adalah orang-orang yang tidak takut sama sekali kepada Allah. Apapun keilmuan seseorang bila tidak melahirkan khasyyah itu tidak akan pernah mengantarkannya pada derajat ulama. Karena ciri utama ulama adalah takut kepada Allah Taala.
Wallahu a’lam bish shawab
Bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warna (dan jenisnya). Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba–Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (Fathir: 27-28)
Ayat di Atas berbunyi:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ. وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Pentingnya Ilmu Pengetahuan (tsaqafah)
Ayat di atas menggambarkan pentingnya ilmu pengetahuan (baca: tsaqafah) dalam Islam. Perhatikan Allah mendefinisikan pribadi seorang ulama (baca: mutsaqqaf) sebagai pribadi yang menyadari keagungan-Nya dengan memahami hakikat ciptaan-Nya. Kata Alam tara (Tidakkah kamu melihat) merupakan ajakan untuk membaca lembaran-lembaran alam, yang menunjukkan bukti-bukti mengagumkan, akan keagungan Allah, di mana tidak seorang manusia pun yang mampu melakukannya sekalipun didukung dengan segala fasilitas yang dimiliki, bahkan dengan kecanggihan teknologi yang telah mereka capai. Allah mengajak agar manusia segera melakukan iqra’ terhadap hakikat tersebut, iqra’ terhadap air hujan yang diturunkan dari langit, darinya pohon-pohon menjadi tumbuh, iqra’ terhadap aneka warna buah-buahan, garis-garis gunung yang beragam warnanya, tak terkecuali manusia yang beraneka suku, warna dan kebangsaannya. Iqra’ di sini bukan untuk semata pengetahuan melainkan lebih dari itu untuk membangun kesadaran kehambaan kepada-Nya. Dari sini setidaknya ada beberapa pesan:
Pertama: Bahwa Islam tidak ingin umatnya menjadi sekadar kelompok manusia yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Islam berupaya untuk mengangkat umatnya menjadi manusia-manusia mutsaqqaf, yaitu manusia yang menyadari hakikat dirinya dan tugas-tugas yang harus dicapai untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Pribadi mutsaqqaf dalam Islam adalah pribadi yang berwawasan luas, mengerti akan tugas yang harus dijalankan, bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan setiap apa yang ia lakukan mempunyai dasar yang kuat. Kemampuannya dalam menangkap pesan syariat senantiasa membuatnya serius dalam mengoptimalkan semua potensinya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pribadi mutsaqqaf tidak pernah main-main dalam hidupnya, karena ia tahu bahwa tugas dan kewajibannya lebih banyak dari jatah waktu yang dimiliki. Pribadi mutsaqqaf senantiasa mengerjakan tugas dan kewajibannya bukan atas dasar kepentingan sesaat, melainkan atas dasar ketakwaan kepada Allah. Sebab ia tahu bahwa sekecil apapun yang ia lakukan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah yang Maha Mengetahui.
Kedua: Bahwa hakikat Islam adalah ajaran yang berdasarkan ilmu, bukan sekadar karangan akal manusia (baca: khurafat) yang tidak mempunyai kebenaran absolut. Sumbernya langsung wahyu yang mengandung kebenaran mutlak. Diharuskan setiap umatnya menggunakan kecerdasan akalnya, agar bisa memahami pesan-pesan wahyu. Bagi yang tidak berakal dibebaskan dari beban (taklif). Di dalamnya ada perintah dan larangan (halal-haram), tuntunan moral dan lain sebagainya, di mana menuntut setiap individu pemeluknya untuk mempelajari secara seksama. Semakin dalam ilmu pengetahuan seorang muslim semakin kuat cahaya keimanannya dan semakin istiqamah jalan hidupnya. Karenanya dalam banyak kesempatan Rasulullah saw. senantiasa menekankan pentingnya ilmu: Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah bersabda, “…orang yang menempuh jalan mencari ilmu, ia akan dipermudah jalan menuju surga..” (HR. Muslim, no.38). Abu Hurairah juga meriwayatkan hadits lain, Rasulullah bersabda, “Bila seorang meninggal dunia semua perbuatannya telah putus kecuali tiga: sadaqah jariah (pahalanya mengalir), ilmunya yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim, no.14). Imam Bukhari menulis bab khusus dalam buku haditsnya “aljami al Sahih”: Bab al ilmi qabl al qauli wal amal (bab ilmu sebelum berbicara dan berbuat). Semua ini menunjukkan bahwa masalah ilmu dalam Islam bukan sekadar sampingan, melainkan kebutuhan dasar yang harus diprioritaskan.
Ketiga: Banyak ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan pentingnya posisi keilmuan dengan gaya ungkap yang berbeda, di antaranya ayat fa’lam annahuu lalilaha illallah (QS. 47:19), suatu indikasi bahwa ilmu merupakan fondasi aqidah. Kata fa’lam adalah perintah untuk meraih ilmu sebelum meraih lailaaha illallah (baca: akidah). Akidah tanpa ilmu akan menjadi hampa. Ia akan menjadi semata tonggak yang mati tidak menggerakkan penganutnya. Dalam ayat lain Allah menegaskan, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:11). Lebih dari itu ayat yang pertama kali Allah turunkan adalah perintah iqra’, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam” (QS.96:1-4). Ini menunjukkan bahwa posisi iqra’ adalah titik permulaan segala sesuatu. Sebuah rumah tidak akan kokoh dan tidak akan memberikan rasa aman tanpa fondasi, demikian juga ber-Islam tanpa iqra’, tidak akan kokoh dan tidak akan memberikan ketenangan. Perhatikan bagaimana Allah sangat meninggikan posisi ilmu, sedemikian rupa sehingga derajat orang-orang yang berilmu dan berwawasan luas (mutsaqqaf ) mendapat posisi sejajar dengan-Nya, dan para malaikat dalam memberikan persaksian atas hakikat tauhid dan kemahaadilan-Nya, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan, (begitu juga) Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (menyatakan) Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali Imran: 18)
Keempat: Ajakan untuk menyaksikan bukti-bukti keagungan Allah di alam semesta seringkali diulang-ulang dalam Al-Qur’an. Di antaranya –selain ayat di atas- Allah berfirman, “Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghasyiyah: 17-20) Dalam Surat An Naba’ Allah menyebutkan bukti-bukti lain mencakup apa yang di langit dan di bumi, bahkan termasuk bukti-bukti yang terdekat dengan manusia dan yang sering mereka rasakan (lihat An-Naba’: 6-16). Diulangi lagi pembuktian ini dalam surat An-Nazi’at dengan gaya ungkap yang lain lagi (lihat QS. 79:27-33). Ini semua menunjukkan bahwa Islam sejak dini secara tidak langsung telah memerangi kebodohan, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak berilmu, lalu kelak di hari kiamat berkata : kami tidak beriman karena kami tidak mempunyai ilmu. Perhatikan bagaimana Allah menggambarkan orang-orang kafir, dengan sebutan bahwa mereka seperti binatang, perasaan mereka mati, mata mereka buta dan telinga mereka tuli, mengapa? Itu bukan karena mereka tidak berilmu, segala bukti-bukti telah mereka dapatkan tetapi mereka tidak mau menerimanya, Allah berfirman, “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” (Al-Baqarah: 171). Dalam ayat yang lain Allah berfirman menggambarkan ungkapan penyesalan penghuni neraka, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)
Semua Ilmu dari Allah
Merenungi rangkaian ayat di atas, timbul sebuah pertanyaan: mengapa kok sebutan seorang ulama justru digabung dengan ajakan untuk mempelajari ciptaan Allah yang terdapat di alam semesta? Lebih detil lagi untuk mempelajari secara mendalam keanekaragaman warna yang tak terhingga. Warna-warna buah-buahan yang berbeda-beda sekalipun satu jenis. Warna garis-garis pegunungan yang bervariasi: putih merah dan hitam pekat. Warna manusia dan binatang-binatang di mana masing-masing mempunyai ciri dan tabiatnya sendiri?
Di sini nampak bahwa ilmu yang dimaksud tidak terbatas pada ilmu tentang ibadah saja. Islam tidak mengenal pembatasan antara ilmu akhirat dan ilmu dunia, karena semua ilmu dari Allah Taala. Seorang muslim tidak boleh memilah antara ilmu yang satu dengan lainnya. Allah Taala tidak membekali Rasulullah saw hanya dengan ilmu mengenai shalat, puasa zakat haji, melainkan juga ilmu mengenai bagaimana berperang, mengurus masyarakat dan bahkan Negara. Di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits tidak ada pengotakan antara disiplin ilmu. Semua ilmu bermanfaat, dan bisa mengantarkan manusia pada kemajuan.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ustadz Sayed Quthub mengatakan: bahwa seorang ulama bila benar-benar mempelajari semua hal tersebut ia akan sampai pada derajat di mana ia benar-benar merasa takut kepada Allah (lihat, Fi dzilalil Qur’an, vol. 5, h.2943). Benar, seorang ulama tidak boleh membatasi dirinya pada ilmu mengenai ibadah saja, lalu menolak ilmu yang lain. Semua ilmu yang meluaskan cara berpikir, membuka wawasan, menerangkan hati agar lebih tenang, mengantarkan pada kehidupan yang lebih bersih dan maju, dengan segala dimensinya, ia juga harus dipelajari.
Dengan demikian segala upaya untuk mengotakkan disiplin ilmu adalah tidak benar. Mengapa, sebab masalah kemanusiaan sangat kompleks mencakup: sisi sosial, ekonomi, politik, kedokteran astronomi dan lain sebagainya. Semua disiplin ilmu tersebut saling berkait dan saling mendukung. Maka tidak bisa diterima adanya pembatasan yang ketat antara berbagai disiplin ilmu sampai ke tingkat pemisahan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial. Sebagai ilustrasi bahaya terlalu ketatnya spesialisasi ini nampak ketika sering diucapkan misalnya oleh seorang mahasiswa jurusan bisnis kepada kawannya dari jurusan agama, “Lho jangan ikut-ikutan membicarakan halal haram di sini, tugas gue bukan itu, melainkan hanya bagaimana mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, halal maupun haram”. Spesialisasi besar-besaran memang di satu sisi telah melahirkan kemajuan pesat dalam berbagai bidang keilmuan dan teknologi, tetapi di sisi lain ia telah melahirkan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Perhatikan bagaimana pembuatan senjata pemusnah massal terus berlangsung, padahal kelak yang akan menjadi korban adalah manusia, jika ditegur ia segera menjawab, “Bila ternyata manusia harus menjadi korban itu bukan urusan gue, urusanku yang paling penting adalah bagaimana memproduksi senjata sebanyak-banyaknya”.
Dari sisi ini nampak semakin kuat rahasia mengapa ayat di atas menggabung antara pembahasan mengenai hakikat penciptaan dengan pembahasan mengenai pribadi seorang ulama. Artinya ini suatu indikasi bahwa seorang muslim tidak-bisa tidak harus mempunyai wawasan keilmuan yang luas. Karena ternyata penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern mengenai hakikat alam semesta itu tidak kalah pentingnya dengan ilmu tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang dari penemuan-penemuan tersebut, bisa membuat seseorang beriman kepada Allah, dan bagi yang telah beriman bisa membangun keyakinannya semakin kokoh. Dari sini kemudian banyak ulama melihat pentingnya pembahasan mengenai I’jazul ilmi, sebab ternyata memang banyak hal dalam Al-Qur’an yang harus diuraikan berdasarkan penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan.
Apa yang ingin ditegaskan dari uraian di atas adalah bahwa semua ilmu pengetahuan pada hakikatnya sejajar dengan ilmu agama dalam membangun peradaban manusia. Keduanya harus berjalan secara seimbang. Tidak boleh saling menuding dan saling melecehkan. Pada dataran ini kita tidak bisa mengatakan bahwa ilmu fiqih lebih penting dari pada ilmu kedokteran, atau ilmu Tafsir lebih penting dari pada ilmu manajemen dan seterusnya. Tidak, semuanya sama-sama sangat penting. Ahli fiqih jika suatu saat sakit ia akan lari kepada seorang dokter, sebagaimana seorang dokter dalam hal-hal tertentu bila berbenturan dengan masalah fiqih ia juga harus lari kepada ahlinya. Karenanya rangkaian ayat di atas telah menunjukkan pesannya yang sangat kuat bahwa adalah suatu keniscayaan bagi seorang muslim untuk menjadi pribadi mutsaqqaf, dan bahwa Al-Qur’an tidak mengenal pengotakan ilmu pengetahuan.
Ulama Yang Memiliki Khasyyah
Allah mengakhiri ayat di atas dengan berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba–Nya, hanyalah ulama”. Penyataan ini bisa diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kata innama berfungsi untuk makna pengkhususan dan pembatasan. Artinya: hanya ulama yang mempunyai rasa takut kepada Allah, selainnya tidak. Dengan melihat konteks ayat sebelumnya, nampak dengan jelas: (a) bahwa ulama di maksud adalah yang benar-benar mengerti, memahami dan merenungkan hakikat keagungan Allah dari ciptaan-Nya yang sangat sempurna dan tidak main-main. (b) bahwa khasyah saja tidak cukup melainkan harus ditopang dengan ilmu. Banyak sekali fenomena penyimpangan dalam ritual keagamaan (baca: khurafat) akibat semangat khasyyah yang menggebu tanpa didukung dengan ilmu yang benar. Islam adalah agama ilmu, bukan agama khurafat. Tanpa ilmu Islam tidak akan bisa tegak dengan sempurna. Sudah barang tentu bahwa seorang muslim untuk menjadi pribadi muslim sejati, harus berilmu dan takut kepada Allah. Takut dalam arti senantiasa mengagungkan-Nya. Mengapa? Sebab seperti yang ditegaskan dalam penutup ayat di atas, “Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun”.
Kedua, kata khasyyah yang disebutkan sebagai ciri utama pribadi seorang alim telah menunjukkan makna yang sangat dalam. Imam Az Zamakhsyari menyebutkan bahwa khasyyah merupakan kunci segala kebaikan ( lihat: Az Zamakhsyarai, al Kasysyaf, vol. 4, h.695). Tidak mungkin seorang melakukan kemaksiatan bila rasa takut menguasai dirinya. Terjadinya perbuatan maksiat adalah karena khasyyah kepada Allah tidak ada. Seorang boleh jadi mempunyai ilmu, tetapi khasyyah tidak ada, ia akan menjadikan ilmunya sebagai perangkat kejahatan dan pengrusakan di bumi. Sudah banyak bukti-bukti di mana kerusakan terjadi justru di saat pelakunya dianggap orang pintar, tetapi tidak mempunyai rasa takut. Orang yang mempunyai rasa takut tidak akan pernah melanggar hukum Allah. Karenanya ketika Allah menerangkan jalan ke surga ditegaskan dua hal: takut kepada Allah dan menahan hawa nafsu “waama man khaafa maqaama rabbihi wanahan nafsa anil hawa fainnal jannata hiyal ma’wa” (An-Nazi’at: 40). Perhatikan hubungan khauf dengan menahan nafsu, keduanya harus saling mendukung. Nafsu tidak akan mampu menguasai diri seseorang yang mempunyai khauf. Dengan kata lain Nafsu akan tunduk tanpa daya di depan seorang yang khasyyahnya tinggi kepada Allah.
Ketiga, inti utama dari ilmu pengetahuan sebenarnya adalah yang membangun khasyaah (rasa takut) kepada Allah. Seorang yang mempunyai ilmu, tetapi malah semakin durhaka kepada Allah ia bukan ulama. Ia seperti komputer yang diisi dengan data-data ilmu pengetahuan namun ia tidak mengerti apa maksud dari ilmu tersebut. Al-Qur’an mengumpamakan: kamatsalil himaari yahmilu asfaraa (seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal) (Al-Jumu’ah: 5). Semua ilmu sebenarnya bukan semata untuk ilmu, tetapi untuk keperluan manusia supaya semakin dekat kepada Allah. Ilmu kedokteran misalnya, bagi seorang dokter seharusnya tidak semata melihat keilmuannya sebagai keahlian saja, melainkan ia hendaknya memperkuat keimanannya melalui proses ketika menyaksikan bukti-bukti keagungan-Nya dalam menyembuhkan berbagai penyakit, atau ketika melihat kerapian system dalam tubuh manusia yang di luar kemampuannya. Demikian juga ilmu astronomi dan lain sebagainya. Dari sini nampak bahwa dunia spesialisasi tidak mesti dengan cara memisahkan keilmuan dari inti utamanya, dengan menjadikan ilmu semata bahan kajian dan penelitian yang kering jauh dari makna keimanan.
Keempat, ilmu yang melahirkan khasyyah adalah yang diperoleh melalui tafakkur tentang ciptaan Allah bukan dzat-Nya. Dzat Allah tidak bisa dijangkau oleh akal. Maka berdebat mengenai Dzat Allah tidak akan mengantarkan pada titik khasyyah, melainkan malah akan membuat rohani semakin kering dan gersang. Dalam dunia ilmu kalam perdebatan tentang Dzat Allah telah melahirkan ketegangan intelektual tanpa ujung akhir. Banyak para ulama yang menjadi korban karenanya. Dari sini nampak rahasia mengapa ayat di atas mengaitkan kata khasyyah dengan ajakan mempelajari hakikat ciptaan Allah. Satu hal, bahwa jalan untuk membangun keimanan secara kokoh adalah dengan merenungkan ciptaan-Nya, bukan dengan merenungi dzat-Nya.
Kelima, seorang yang berilmu belum tentu seorang ulama. Banyak orang yang berilmu, tetapi perilakunya semakin durhaka kepada Allah. Dari sini nampak bahwa keilmuan yang luas tidak akan berfungsi secara maksimal, dan bahkan boleh jadi akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan, bila yang mengendalikannya adalah orang-orang yang tidak takut sama sekali kepada Allah. Apapun keilmuan seseorang bila tidak melahirkan khasyyah itu tidak akan pernah mengantarkannya pada derajat ulama. Karena ciri utama ulama adalah takut kepada Allah Taala.
Wallahu a’lam bish shawab
No comments:
Post a Comment