Tuesday, September 11, 2012

SILSILAH Tashawuf Lombok Tengah NTB.

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Tashawuf merupakan jalan untuk mencapai “Ma’rifatullah” (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya melalui tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah. Bagi para shufi dalam mendekatkan diri kepada Allah harus selalu dilandasi semangat ibadah dengan tujuan untuk mencapai martabat dan derajat kesempurnaan atau lebih dikenal dengan istilah “Insan Kamil”.
    Pada mulanya, para shufi mengajar terbatas hanya kepada beberapa orang murid saja tentang ajaran pokok tashauf yang akhirnya lambat laun menyebar luas dan menjadi suatu ikatan kerukunan serta kekeluargaan. Mereka yang menrima ajaran dari guru shufi yang sealiran akhirnya membentuk suatu faham atau aliran tertentu sesuai dengan aliran dan corak tashawuf masing-masing. Methode dan aliran yang berbeda itulah yang akhirnya membentuk suatu kelompok yang disebut “Thoriqot”.
    Thoriqat berasal dari kata “Thoriq” yang berarti anak jalan, sedangkan jalan utama disebut dengan “Syar” yang merupakan asal kata syari’at, yang berarti bahwasanya thoriqat adalah jalan yang ditempuh para shufi yang digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para shufi, pendidikan tashawuf merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum ilahi, yaitu sebagai tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin adanya anak jalan tanpa adanya jalan utama sebagai tempat ia berpangkal, ini berarti bahwasanya pengalaman tashawuf tidak mungkin didapat bila perintah syari’at yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama. Akan tetapi thoriq atau anak jalan itu lebih sempit dan akan lebih sulit ditempuh (dijalani) serta akan membawa murid- disebut “Salik” atau pengembara untuk melalui berbagai persinggahan (maqom) yang mungkin cepat atau lambat akhirnya ia akan mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna ; atau pengakuan berdasarkan pengalaman yang nyata bahwa Tuhan adalah Satu (Esa).
    Pada dasarnya, istilah thoriqot sering digunakan untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Menurut maknanya yang asli (secara harfiah berarti “Jalan”) merupakan paduan yang khas dari doktrin, methode dan ritual. Tetapi istilah inipun sering dipakai untuk mengacu kepada pengertian sebuah organisasi (formal ataupun informal) yang menunjukkan pengikut-pengikut “Jalan” atau “aliran tertentu”. Di Timur-Tengah, istilah tho’ifah (keluarga atau persaudaraan) terkadang lebih disukai untuk merujuk kepada istilah organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Namun di Indonesia kata Thoriqot dapat menunjuk kepada keduanya. Kendati demikian, penting untuk diingat bahwa dua hal itu sebenarnya tidak sama.
    Karena para shufi mengakui bahwa dasar-dasar pemikiran dan amalan sebuah thoriqot berasal dari Nabi secara langsung, maka para pengikut sebuah thoriqot memandang penting sekali urutan nama-nama para Guru (Mursyid) yang telah mengajarkan dasar-dasar thoriqot tersebut secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasanya disebut dengan “Silsilah” Setiap guru dalam sebuah thoriqot dengan hati menjaga silsilah yang menunjukkan ke cabang mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru thoriqot yang lainnya.
    Idealnya, setiap guru yang tercantum dalam suatu silsilah harus merupakan murid langsung dari guru yang sebelumnya, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Terkadang dua orang yang berurutan dalam suatu silsilah dapat saja tidak pernah berjumpa secara langsung karena yang pertama wafat sebelum yang kedua lahir atau mereka tinggal di negeri yang berbeda dan berjauhan sekali sehingga mustahil saat itu dapat berjumpa secara langsung. Sebagian besar kaum shufi menerima hal tersebut di atas, dimana bahwasanya seorang wali menerima pelajaran dari guru yang mendahuluinya (wafat) bukan lewat komunikasi langsung, tetapi lewat komunikasi spiritual, yaitu melalui pertemuan lewat wujud ruhaninya. Dalam silsilah, hubungan yang demikian itu sering disebut dengan istilah barzakhy atau uwaisy.
    Disebut barzakhy karena pembaiatan seorang guru shufi (thoriqot) berasal dari Alam Barzakh, yaitu alam antara sebagai tempat bersemayamnya ruh (alam arwah) bagi orang yang telah meninggal sebelum datangnya hari kebangkitan. Sedangkan disebut dengan uwaisy karena berasal dari nama Uwais Bin Qorni, seorang Yaman yang sezaman dengan Nabi namun tidak pernah bertemu dengan beliau selama masih hidup. Uwais bin Qorni dipercaya telah diislamkan oleh ruh Rasullullah setelah beliau wafat. Uwais bin Qorni wafat pada tahun 39 H. setelah pulang dari pembebasan (penaklukan) kerajaan Romawi bersama tentara Islam.
    Dari sekitar empat puluh satu aliran thoriqot yang “Mu’tabaroh” (terhormat; yang diakui jumhur ulama), maka salah satu yang terbesar di dunia adalah thoriqot Al-Naqsyabandy yang namanya diambil dari sang pendiri, yaitu Syekh Baha’uddin Al-Naqsyabandy. “Al-Naqsyabandy adalah pemimpin-pemimpin kafilah yang membawa kafilahnya dari jalan-jalan tersembunyi (rahasia) menuju ketempat suci.” Demikian pedapat Jami’, seorang tokoh Al-Naqsyabandi periode kedua. Al- Naqsyabandi berbeda dalam banyak segi dari kebanyakan thoriqot shufi sealiran di negara-negara Islam bagian tengah. Telah dijelaskan bahwasanya Al-Naqsyabandy memulai perjalanan ruhani mereka justru pada saat thoriqot-thoriqot lain mengakhiri perjalanannya.” Masuknya bagian akhir ke dalam bagian awal, “ merupakan bagian penting ajaran mereka, karena pemikiran ini berasal dari masa pendidikan shufi awal.
    Adapun mengenai silsilah, maka pada thoriqot ini (Naqsyabandy) tercantum secara lengkap silsilah para guru sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Yang merupakan syarat bagi suatu thoriqot yang mu’tabaroh.
Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara ringkas masing-masing riwayat para Guru Al-Naqsyabandy dari Nabi Muhammad SAW. Sampai kepada Bapak Guru Syekh Abdusshomad Habibullah, pengemban Thoriqot “Haq Naqsyabandy”. Perlu dijelaskan bahwa penambahan kata “Haq” dimaksudkan untuk menjelaskan jati dirinya sebagai sebuah thoriqot Al-Naqsyabandy sejati yang puritan (murni), artinya selalu berpegang teguh kepada syari’at yang bersumber dari al-Qur’an dan al- Hadits. Hal ini juga tentunya untuk membedakan diri dengan banyak thoriqot yang mengaku Al-Naqsyabandy namun dalam prakteknya jauh menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam.

Dalam pembahasan sejarah ringkas para guru dalam silsilah thoriqot Haq Naqsyabandy ini, akan diuraikan secara hirarkis mulai dari urutan pertama dalam silsilah ini kemudian kepada generasi guru-guru berikutnya. Dimana hubungan yang pertama dengan yang kedua dan seterusnya adalah hubungan antara guru dan murid, baik hubungan keguruan secara langsung maupun secara tidak langsung (barzakhi)
Adapun pembahasannya akan dibatasi hanya pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan kegiatan tashawuf dan peranannya dalam pengembangan ajaran tersebut.

1. Nabi Muhammad SAW.
    Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusay bin Kilab, dan Ibunya adalah Aminah binti Wahab bin Abdil Manaf bin Zahroh bin Kilab.
Dengan demikian, maka nasab ayah dan ibunya bertemu pada kakeknya yang kelima, yaitu Kilab. Suku beliau disebut suku Qurays, yaitu suku yang paling terhormat di Makkah Al- Mukarramah. Beliau adalah Utusan Allah untuk seru sekalian alam yang datang dengan membawa agama Islam yang nasabnya bersambung sampai kepada Nabi Isma’il bin Ibrohim Kholilullah AS.
Nabi Muhammad adalah sumber mata rantai pertama dalam rangakaian rohani tashawuf dan mi’rajnya lewat brlapis-lapis langit kehadapan ilahi yang ditunjukkan oleh baris pertama surat Al-Isro’ ayat 1 yang berbunyi :

Artinya : “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Penjelasan ayat di atas merupakan sebuah prototip (contoh hakiki) kenaikan rohani para shufi kehadapan Allah SWT.

    Sedangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-A’rof ayat 157 yang berbunyi :
 Artinya : “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummy yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka,”
Dengan demikian, dari ayat di atas beliau juga digambarkan sebagai Nabi yang “Ummy” atau “Buta Huruf” merupakan suatu sifat yang sangat pokok bagi pemahaman agama Islam, artinya Allah menyatakan diri lewat Al-Qur’an dan Nabi harus menjadi wahana yang tidak dikotori oleh pengetahuan “intelektual” kata dan tulisan agar ia dapat menyebarluaskan firman-Nya dengan semurni-murninya.
    Menurut sebuah riwayat, anggota-anggota keluarga dan sahabatnya diberkati langsung pandangan keshufian atau mendapatkan latihan kehufian. Hadist-hadist yang bersumber dari beliau membantu para shufi sesudahnya dalam”mengembangkan” batasan-batasan mereka sendiri tentang berbagai tahapan (maqom) dan keadaan (hal). Sehingga setiap kecendrungan dalam Islam, dan demikian juga alam tashawuf (thoriqat) pada akhirnya harus didukung dengan hadist Nabi.
Prof. DR. Hamka dalam bukuny “Perkembangan Tashawuf dari Abad ke Abad” menyimpulkan bahwasanya tashawuf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Tumbuh dalam jiwa pembawa risalah Islam itu sendiri , yaitu Nabi Muhammad serta disauk airnya dari Islam itu sendiri.
    Kemudian pada masa berikutnya, sebagian besar hadist yang tidak terdapat dalam koleksi resmi (Kitab bukhary, Muslim dan empat kitab hadits lainnya) karena disusun pada paruh ke-2 dan abad ke-9 digunakan oleh para shufi sebagai landasan thoriqatnya. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, kepribadian Nabi Muhammad sangat penting sebagai tauladan bagi kehidupan rohani ummatnya. Beliau merupakan pemimpin idaman, dan setiap muslim berkewajiban mengikutinya. Hal ini disebabkan beliau adalah perwujudan dari manusia sempurna (Insan Kamil) atau dalam tradisi barat dikenal dengan istilah Par Exellence.
Salah satu hadist yang masyhur dikalangan para shufi adalah hadist yang berbunyi :
“Man Arafa Nafsahu, Fakat Arafa Rabbahu”
Artinya : “Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Kendatipun hadist ini hanya masyhur di kalangan para shufi saja dan oleh sebagian ahli hadist tidak diterima, namun secara ma’nawi sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim yang berbunyi :
Artinya : “Manusia yang paling luas pengetahuannya adalah orang yang telah mengenal dirinya .”
Dan juga sejalan dengan Al-Qur’an surat Al-Zariyat ayat 21 yang berbunyi :
Artinya : “Dan pada dirimu sendiri apakah kamu tidak memperhatikannya .”
    Apabila ditelusuri, maka sebagian besar hadist Nabi pada kenyataannya disampaikan dengan lapadz yang berbeda namun ma’nanya sama (secara ma’nawi)
Tashawuf adalah ilmu yang bersifat khas ( yang membutuhkan bakat dalam mempelajarinya) serta rahasia yang tidak mungkin setiap orang dapat mempeajarinya, dan Rasulullah adalah da’i terbaik di antara para da’i serta sebagai figur yang senantiasa dalam bimbingan Allah tentu telah mengetahui hal tersebut dan tidak mungkin gegabah melakukan suatu tindakan dalam mengajarinya. Hal tersebut sebagaimana beliau sabdakan :
Artinya : “Kamu berbicara kepada manusia yang belum sampai tingkat kecerdasannya; apakah kamu dalam hal ini ingin agar mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya? .”
Sahabat Ali a.s. dan Abu Hurairah r.a. juga pernah mengisyaratkan bahaya-bahaya suatu ilmu yang disampaikan Rasulullah secara khusus dan rahasia kepada masyarakat umum (awwam) dengan suatu riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhary dimana sahabat Abu Hurairah r.a. menjelaskan :
Artinya : “Aku menghafalkan dua ilmu dari Rasulullah SAW, adapun satu diantaranya kuterangkan, tetapi yang satu macam lagi kalau ku terangkan akan dipotong orang leherku.”
Sedangkan sahabat Ali a.s. menjelaskan :
Artinya : “Wahai Tuhanku, andai kata kutunjukkan permata ilmuku, dan dikatakan orang aku termasuk dari golongan orang-orang menyembah berhala. Laki-laki muslim menghalalkan darahku. Mereka menganggap apa yang aku tunjukkan adalah yang paling jelek, dan apa yang mereka perbuat itu yang paling baik.”
    Namun pada perkembangan selanjutnya tidak dapat dipungkiri bahwasanya tashawuf (thoriqat) ini banyak mengalami perubahan-perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang menyebabkan tashawuf dituduh sebagai ajaran bid’ah atau tidak lebih sebagai suatu aliran kebathinan belaka ( seperti aliran kewajen di Jawa dan lain sebagainya). Hal ini tidak lebih karena tashawuf telah tercemar (terkontaminasi) kemurniannya dengan berbagai faham, aliran, dan kepercayaan-kepercayaan tradsional masyarakat. Hingga dalam hal ini Martin Van Bruinessen seorang peneliti thoriqat terkemuka menyebut yang demikian itu sebagai thoriqat yang telah dipribumisasi yang menyebabkan tercemarnya ajaran tashawuf sebagai ajaran yang bersumber dari Rasulullah SAW.
Rasulullah wafat pada tahun 11 H. atau bertepatan dengan tahun 632 M. di kota Madinah Al-Munawwaroh.

2. Abu Bakar Al-Shiddiq R.A
    Beliau adalah Abdullah bin Abu Quhafah bin Amir. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada kakeknya yang keenam yaitu Murrah. Beliau terkenal pemurah , baik dalam bergaul, halus tutur kata dan berjiwa lemah lembut.
Beliau telah menjadi sahabat Nabi sebelum masa kenabian dan manakala Muhammad diutus untuk menjadi seorang rasul, maka beliau adalah orang yang paling awal menyatakan beriman kepada Nabi. Beliau juga berhasil mengajak sahabat-sahabatnya yang lain dari suku Qurays yang terkemuka untuk memeluk agama Islam, diantaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Tholhal bin Abdillah dan lain-lainnya.
Manakala Rasulullah berhijrah ke Madinah, beliaulah yang menemaninya dalam perjalanan dan bersembunyi di dalam Gua Tsur tatkala kaum Qurays mengejarnya untuk dibunuh, menjadi pembelanya ketika sampai di Madinah, menemaninya dalam peperangan dan menjadi pembawa panji (bendera perang) Islam dalam perang Tabuk.
    Pada saat Rasulullah wafat, Abu Bakar berada di luar kota Madinah. Dan tatkala berita kewafatan Nabi sampai kepadanya, maka beliau sangat bersedih. Pada saat yang bersamaan juga sahabat Umar Bin Khatab sedang menghunus pedangnya untuk membunuh siapa saja yang berani menyatakan kalau Rasulullah telah wafat. Demi melihat keadaan yang genting itu, beliau naik ke mimbar dan segera menyampaikan khutbahnya dengan ungkapan : “Barang siapa menyembah Muhammad , maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka ia Maha Hidup dan tidak akan mati.” Kemudian beliau membaca surat Ali Imron ayat 144 yang berbunyi :
Artinya : “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika ia wafat atau dibunuh kamu kamu akan berpaling ke belakang (murtad)?”
Setelah pemakaman Rasulullah, maka beliau ditunjuk oleh kaum Muhajirin dan Anshor untuk duduk menjadi khalifah pengganti Rasulullah dan akhirnya menjadi pemimpin yang sangat Zuhud, waro’, terkenal keadilannya, dan selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman hidupnya.
Adapun mengenai kehidupan shufi dan kelebihan beliau dalam tingkatan ruhaninya, maka Rasulullah sendiri telah mengisyaratkan hal tersebut dengan sabdanya:
Artinya : “Kelebihan Abu Bakar dari kalian bukanlah karena banyak sembahyang dan banyak puasa, tetapi kelebihan itu karena suatu rahasia yang terletak di dadanya.”
Hadist selanjutnya menegaskan :
Artinya : “Matilah kamu sebelum kamu mati, barang siapa yang ingin melihat mayit yang berjalan di atas permukaan bumi, lihatlah Abu Bakar.
Dua hadits tersebut diatas sampai saat ini telah menjadi suatu inspirasi dan pemompa semangat para shufi untuk terus berusaha menemukan “rahasia” dari hakekat hidup dan matinya manusia.
Menurut suatu riwayat, Rasulullah telah mengajarkan teknik-teknik keruhanian kepada para sahabat sesuai dengan pembawaan mereka (yang menunjukkan kepiawaan beliau sebagai seorang da’i ulung), dan hal ini dipercaya sebagai alasan utama mengapa sekarang ini terdapat perbedaan-perbedaan teknik antara para shufi.
    Satu perbedaan yang mencolok adalah antara thoriqat Qodiriyah dan Naqsyabandiyah dalam cara atau methode mengucap dzikir, pada Qodiriyah diucapkan dengan keras dan ekstatis, dan pada Naqsyabandiyah diucapkan secara sir (diam, atau lebih tepat kalau diartikan secara rahasia). Menurut beberapa riwayat yang masyhur dalam thoriqat Al-Naqsyabandy, maka hal tersebut sebabkan karena Ali. a.s adalah seorang yang periang, terbuka dan suka menantang orang-orang kafir dengan mengucap kalimat syahadat keras-keras. Sebaliknya Abu Bakar r.a. menerima pelajaran spiritualnya pada malam hijrah, ketika ia dan Rasulullah bersembunyi di dalam gua yang tidak jauh dari Mekkah. Karena disekitar tempat itu banyak musuh yang saat itu mengincar dan mengancam keselamatan, mereka berdua, mereka tidak dapat berdzikir keras-keras, dan Rasulullah mengajarkannya untuk berdzikir dalam hati sebagai penenang baginya ketika dalam keadaan sedih dan ketakutan (karena dikepung musuh yang siap membunuhnya).
    Dzikir diam inilah dan berbagai sikap dasar spiritual lainnya, dipercaya kaum Naqsyabandiyah telah diturunkan oleh Abu Bakar r.a kepada murid-muridnya dan akhirnya dijadikan sistem oleh Baha’uddin Al-Naqsyabandy sebagai ciri khas thoriqatnya. Perlu diketahui, bahwasanya para wali ini hanya mensistematisasikan ajaran-ajaran dan methode thoriqat ini, sehingga beberapa ritual dan amalan secara eksplisit dikaitkan kepada para “pendirinya”. Namun demikian, para wali tetap tidaklah dipandang sebagai pencipta thoriqat-thoriqat mereka; melainkan hanya mengelola ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui suatu garis keguruan terus sampai kepada Nabi sendiri.
Shahabat Abu Bakar r.a. wafat pada tahun 13 H. Atau bertepatan dengan tahun 634 M. Pada usia 63 tahun dan dimakamkan disamping makam Nabi di kota Madinah

3. Salman Al-Farisy R.A

    Salman Al-Farisy adalah putra seorang bangsawan dari Isfaham, Persia (Iran). Ayahnya adalah seorang Amir (gubernur) di daerahnya. Semula beliau memeluk agama Majusi (penyembah api) dan bahkan pernah sempat menempati posisi terhormat sebagai penjaga apa yang dianggap oleh mereka sebagai api suci itu. Dalam agama Majusi ia tidak memperoleh ketenangan bathin dan kemudian pindah untuk mendalami agama Nashrani (Kristen) dengan melakukan perjalanan sambil menuntut dan mempelajari agama Nashrani kepada para pendeta di daerah yang dilewatinya seperti Syiria. Mousul (Irak), Nasibin dan Amuria.
    Sesuai dengan petunjuk gurunya (seorang pendeta yang sangat alim dan jujur) di Amuria, ia diperintahkan untuk melakukan perjalanan mencari seorang Nabi akhir zaman yang akan membawa ajaran suci. Pada akhir perjalanannya, beliau bertemu dengan Rasulullah di kota Yastrib (Madinah) setelah melewati berbagai cobaan dan rintangan hingga pernah menjadi seorang budak belian yang diperjual belikan di Madinah. Setelah beliau dimerdekakan oleh seorang sahabat, maka disisi Rasulullah beliau menghirup udara segar sampai ke tulang sumsum sehingga mengerti agama Islam yang sesungguhnya (hakikat Islam).
    Kedudukan Salman di sisi Nabi telah banyak diriwayatkan para sejarawan. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab “al-Asabah fi Tanzijish Shohabah” menjelaskan bahwa Salman Al-Farisy sering juga dipanggil dengan sebutan Salman Al-Khair (yang terpuji atau baik) dan Salman Ibnu Islam (putra Islam). Dari Anas bin Malik diriwayatkan bahwa apabila ditanyakan orang siapa namanya, beliau menjawab : “Saya Salman putra Islam dari anak cucu Adam.”
    Karena tingginya kedudukan Salman disisi Nabi, maka beliau juga dipanggil dengan panggilan Salman Al-Muhammady (anggota keluarga Muhammad). Bahkan oleh Nabi sendiri diakui sebagai keluarganya (ahli baitnya), hal tersebut sebagaimana beliau sabdakan : “Salman Al-Farisy adalah keluarga kami.”
    Peran Salman dalam pengembangan Tashawuf dapat dilihat dari bagaimana beliau memberikan contoh kehidupan zuhud, waro’, qona’ah dan senantiasa tekun beribadah sehingga menjadi tauladan bagi para shufi sepeninggal beliau. Contoh kehidupan zuhud beliau adalah sebuah kisah dimana saat itu beliau menduduki jabatan Amir (Gubernur) di Negeri Madain, namun demikian gaji sedirham pun tidak pernah diterimanya, bahkan beliau sedekahkan seluruhnya bagi yang membutuhkan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, beliau bekerja sebagai penganyam tikar dan keranjang dari daun kurma, para pelayan diperlakukan dengan sopan dan diberikan keringanan kerja sehingga pernah dengan tangannya sendiri beliau mengaduk tepung untuk makanan sehari-hari.
    Shahabat Salman Al-Farisy adalah seorang tokoh shufi yang dikenal sebagai tukang cukur pribadi Nabi dan juga sebagai wali besar. Kekeramatannya telah banyak dikenal masyarakat dan diceritakan dalam berbagai riwayat para shufi, di antaranya adalah sebagaimana dijelaskan dalam kitab “ Al-Hadaiqu fi Ajlait Thoriqat al-Naqsyabandy” bahwasanya Salman Al-Farisy pernah berjalan bersama seorang tamunya di kota Madain. Tiba-tiba ia melihat seekor kijang lewat dan beberapa ekor burung terbang diudara. Shahabat Salman ingin menjamu tamunya, kemudian ia berkata : “ Hai burung dan kijang hendaknya kalian datang kepadaku karena aku ingin menjamu tamuku ini.” burung-burung dan kijang pun segera mendatangi Salman sehingga tamu itu ta’jub melihatnya seraya berkata “ Subhanallah”, Salman berkata : “Apakah kamu heran dengan kejadian ini?, pernahkah kamu melihat orang yang taat kepada Allah SWT. akan dilanggar perintahnya oleh sesuatu?”.
    Beliau wafat pada tahun 50 H. dan termasuk salah seorang dari shahabat Nabi yang sangat dimuliakan sebagaimana Nabi pernah bersabda dalam suatu hadistnya yang artinya sebagai berikut : “ Tuhanku menyuruh aku mencintai empat orang yang dicintai-Nya yaitu Ali bin Abi Tholib, Abu Dzar al-Gifary, Miqdad dan Salman.”

4. Qosim bin Muhammad R.A

    Beliau adalah al- Qosim bin Muhammad ibnu Abi Bakar al-Shiddiq r.a yang riwayat hidupnya jarang disinggung dalam sejarah Islam. Ibu beliau adalah seorang putri raja Persia (Iran) yang ditaklukkan oleh tentara Islam, dan bersamanya juga ditawan saudara perempuannya serta beberapa orang Persia lainnya. Kaum muslimin saat itu berniat untuk menjual mereka termasuk dua putri raja Persia itu, namun Ali a.s bangkit mencegahnya dan beliau berkata : “ Rasulullah melarang menjual Raja serta putra dan putrinya.” Kemudian beliau menyeuruh masing-masing dari kedua putri Kisra itu untuk memilih laki-laki dari kaum muslimin untuk menikahinya.
Salah seorang diantara mereka yaitu Syah Zanan memilih Muhammad bin Abi Bakar dan seorang lagi yaitu Syah Banu memilih Imam Husain a.s.
    Setelah melakukan akad Syari’at dengan pernikahan Islami, kedua putri itu pergi dan tinggal di rumah suami masing-masing. Dari pernikahan antara Syah Zanan dan Muhammad bin Abi Bakar lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama al-Qosim yang kelak akan menjadi salah seorang fuqaha (ahli fiqh) dan shufi terkemuka di Madinah. Beliau adalah ayah dari Ummu Farwah yang kelak akan menikah dengan Imam Muhammad al- Baqir bin Imam Ali- Zainal Abidin a.s.
Sedangkan pernikahan antara Syah Banu dan Imam al- Husain, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama Ali Zainal Abidin yang merupakan Imam Syi’ah yang keempat.
Al-Qosim menerima langsung ajaran tashawuf dari shahabat Salman al-Farisy dan menjadi salah seorang guru dalam silsilah Thoriqat al-Naqsyabandy generasi keempat dari Rasulullah SAW.

5. Imam Ja’far al- Shodiq A.S

    Imam Ja’far lahir pada tahun 83 H. Di kota Madinah dari seorang ibu yang bernama Ummu Farwah binti Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar r.a, dan ayah beliau adalah Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Tholib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.
Dengan demikian, terdapat perpaduan keturunan dari Rasulullah, Ali bin Abi Tholib dan Abu Bakar Al-Shiddiq. Karena beliau adalah keturunan Nabi, maka beliau termasuk ke dalam anggota “ahli Bait” Nabi yang merupakan warisan yang ditinggalkan selain Al-Qur’an yang harus dijaga dan dipelihara. Hal tersebut sebagaimana disabdakan oleh beliau yang artinya :
“aku tinggalkan ditengah-tengah kalian dua pusaka (perkara) yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Yang satu lebih besar dari yang lain; Kitabullah tali yang terlentang dari langit kebumi, dan keluargaku ahli baitku. Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya bertemu di telaga. Perhatikan bagaimana kalian memperlakukannya.”
    Hadist tentang ahli bait di atas diriwayatkan oleh Sunan Turmudzi 5;329, al-Dur Al-Mantsur 6:7; 306, Tafsir Ibnu Katsir 4:113, al-Mu’Jam al-Shagir dari al-Thabrany 1:135, dan berbagai kitab tafsir lainnya. Dengan redaksi yang lain diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya, kitab al-Fadhail, “Fadhail Ali bin Abi Tholib Alihis Salam 2;362.”
Khusus di Indonesia, hadist ini telah mengalami suatu perubahan , yakni bukannya “Kitabullah dan Ahlu Baitku (keluargaku)”, namun “Kitabullah dan Sunnahku.” Hadist ini adalah hadist yang mardud (ditolak), sebab selain tidak terdapat dalam kitab al-Sittah (kitab hadits yang enam) dan kitab-kitab hadist lainnya, kecuali pada kitab al-Muwattho’ (kitab fiqih) Imam Malik dan itupun tanpa sanad.
   Dengan demikian, menurut Prof. DR. Jalaludin Rahmat bahwasanya hadist ini hanya ditemukan dalam kitab-kitab tarikh (sejarah) dan khutbah-khutbah ulama di Indonesia.
Sejak masa kecil Imam Ja’far telah memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya yaitu Imam Muhammad al-Baqir yang telah membangun sebuah madrasah yang banyak melahirkan ulama-ulama besar dizamannya.
Beliau menguasai berbagai macam ilmu di antaranya ilmu tafsir, fiqh, hadist, filsafat, tashawuf dan lain-lainnya. Dan diantara ulama-ulama besar yang menjadi gurunya diantaranya Atho’, Urwah, Nafi’ al- Zuhry dan lainnya.
    Adapun kelebihan-kelebihan dari Imam Ja’far al- Shodiq antara lain :
a. Imam Ja’far banyak dikenal diberbagai kalangan, antara lain dari kalangan ulama fiqh beliau dikenal sebagai seorang mujtahid sekaligus guru bagi Imam-Imam fiqh yang menyebabkan beliau diberi gelar “Guru dari para Imam fiqh”. Adapun murid-murid utama beliau antara lain seperti Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafy, Imam Malik pendiri Mazhab Maliky, Imam Abu Laila, Imam al-Laits dan Imam-Imam lainnya termasuk Imam Syafi’I yang dipercaya paling dalam pengetahuannya tentang ilmu hakikat warisan Imam Ja’far walaupun beliau hanya belajar dari para murid Imam Ja’far. Beliau adalah pendiri Mazhab Ja’fariyah yang diakui oleh kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah wal Jama’ah.
b. Dalam kehidupan sehari-hari beliau senantiasa hidup dalam kezuhudan. Menurut beliau, zuhud adalah “Hidup merasa cukup dengan halal, bukan hidup menjauhi yang halal.”
c. Beliau adalah tokoh shufi yang mempunyai ma’rifat laduniyah yang tidak dimiliki oleh sembarang orang serta karomah yang luar biasa yang banyak diriwayatkan dalam kisah Para Waliyullah. Pandangan beliau selalu disimak di kalangan para shufi dan beliau mengacu kepada suatu struktur pengalaman mistik (tashawuf) yang terbentang dalam “dua belas” tahap (maqom) dari sumber ke sumber yang tampak seperti persiapan persinggahan-persinggahan yang harus dilewati seorang shufi yang menjalankan perbaikan sepanjang jalan.
d.Beliau banyak mewariskan ungkapan-ungkapan yang tajam dan cemerlang tentang kebenaran kerohanian yang oleh para shufi banyak dijadikan pegangan. Dalam kitab tafsirnya Imam Ja’far menjelaskan :
    Artinya: “ Kitab Allah terdiri dari empat perkara : Ibarat, Isyarat, Lathaif, dan Hakaik. Maka sesungguhnya ibarat itu untuk kalangan masyarakat awwam, isyarat untuk kalangan khawwas, lathaif untuk kalangan auliya’, dan hakikat untuk kalangan para Nabi.”
e.Imam Ja’far mempunyai karomah tersendiri yang dikaruniakan Allah SWT. Selah satunya adalah bila berdo’a selalu dikabulkan Allah. Menurut riwayat, suatu saat beliau pernah mengalami kelaparan dan kedinginan di bukit Qubais (Jabal Qubais), beliau berdo’a kepada Allah dan mohon agar diberikan kebutuhannya, dengan segera Allah mengabulkan do’anya dengan menurunkan setumpuk makanan, anggur dan selimut. Mengenai do’a tersebut beliau pernah ditanya seseorang : “Wahai putera (cucu) puteri Rasulullah, Allah telah berfirman; “Mohonlah kepadaku, aku akan mengabulkan permohonanmu.” Tetapi mengapa kami selalu berdo’a dan Allah tidak mengabulkannya? . Imam Ja’far menjawab : “Karena anda berdo’a kepada yang tidak anda kenal.”
Imam Ja’far al-Shodiq wafat pada tahun 148 H. atau bertepatan dengan tahun 765 M setelah mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT.

6. Abu Yazid Thoifur al-Busthomy
    Nama lengkapnya adalah Thoifur bin Isa bin Surusan al-Busthomy. Beliau lahir dibagian timur laut Persia (Iran) disebuah kota yang bernama Bustham dan ayahnya adalah seorang yang terkemuka didaerahnya
 Beliau suka mengembara ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu pengetahuan dan beliau mempunyai lebih dari seratus orang guru.
    Dalam pengembaraannya, beliau menuntut berbagai ilmu, seperti ilmu fiqh beliau tuntut menurut mazhab Hanafy sehingga akhirnya beliau dikenal sebagai tokoh dalam mazhab Hanafy. Kemudian pada perjalan selanjutnya beliau bertemu dengan Abu Ali-al-Sindy yang mengajarkannya ilmu Tauhid, ilmu Hakekat dan juga mengajarkannya tentang fana’. Dengan berbagai bekal ilmu tersebut akhirnya beliau memutuskan untuk menekuni ilmu tashawuf hingga dikenal sebagai tokoh (imam) shufi di zamannya.
    Sebagai seorang shufi, kehidupannya ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang, kurang lebih dalam kurun 30 tahun beliau menyusuri padang pasir.
Abu Yazid adalah seorang tokoh shufi yang mempunyai beberapa dasar-dasar pemikiran yang dikembangkan olehnya , antara lain :
a. Orang yang arif tidak akan menggantungkan cita-citanya dengan apa yang diangan-angankannya dan seorang yang zahid tidak akan menggantungkan cita-citanya kepada apa yang dimakan.
b. Orang yang bahagia adalah orang yang dapat menggabungkan cita-citanya menjadi satu yaitu semata-mata kepada Allah. Hatinya tidak terganggu dengan apa yang dilihat oleh matanya dan apa yang didengar oleh telinganya di dunia.
c. Barang siapa yang mengenal Allah, maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya.
    Selain dasar-dasar pemikiran yang disebutkan di atas, Abu Yazid juga mempunyai pandangan lain, yaitu teori yang lebih inti antara hamba dengan Tuhannya yang disebut dengan teori al-Fana’ dan al-Baqo’ atau hancurnya perasaan keinsanan yang ada dalam tubuh kasar ke dalam ketuhanan Allah. Kondisi tersebut seperti yang dijelaskan oleh al-Qusyairi: “leburnya seseorang dari dirinya dan makhluk lain yang terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dengan makhluk lain itu... sebenarnya dirinya dan makhluk lain itu tetap ada, hanya saja ia telah tidak sadar dengan diri dan mereka lagi.
    Ada suatu riwayat yang menceritakan tentang Abu Yazid ketika ditanya seseorang tentang tugas manusia sejati. Beliau ditanya: “Wahai Abu Yazid, apakah engkau bisa berjalan di atas air?, beliau menjawab: “Sebatang pohon juga bisa berjalan diatas air.” Orang itu melanjutkan pertanyaannya, “Apakah engkau bisa terbang ?, beliau menjawab: “burung pun bisa terbang.” Orang itu tidak berhenti untuk bertanya: “apakah engkau bisa berjalan ke Ka’bah dalam waktu semalam ?, beliau menjawab: “ Seorang tukang sulap pun bisa pergi dari India ke Damavand dalam waktu satu malam.” Lalu apa tugas manusia sejati ? , Abu Yazid menjawab: “Manusia sejati hanya menggantungkan dirinya kepada Allah semata, lainnya tidak.”
    Abu Yazid Thoifu al-Busthomi sebagai salah seorang dari 10 Imam besar shufi wafat pada tahun 261 H. Di kota Bistham. Beliau dimakamkan sejajar dengan al-Hujwiri, Nashir Khusro, dan Yaqut.

7. Abu Hasan al-Kharoqony
    Beliau adalah Abu Hasan Ali bin Ja’far al-Kharoqony, yang merupakan murid dari Abu Yazid al-Busthomi melalui jalan Barzakhy. Beliau berasal dari daerah yang sama dengan Abu Yazid yaitu di daerah Khuzistan, Iran Timur Laut.
Abu Hasan al-Kharoqony menganut gaya (aliran) yang sama dengan Abu Yazid, yaitu mewakili tradisi yang disebut “Malamatiya” dalam tashawuf. Orang malamatiya terkadang dengan sengaja menghindari kehidupan shaleh dalam bentuk apapun dan dengan sengaja menjauhkan diri dari prilaku yang telah ditetapkan oleh kaum ortodoks (Islam Tradisional) demi mengundang kecaman dari masyarakat karena perbuatannya yang dipandang sering nyeleneh. Hal tersebut dilakukan pada dasarnya karena semata-mata cintanya kepada Allah.
    Bila diteliti dengan seksama, baik Abu Yazid maupun Abu Hasan al-Kharoqony dalam sejarah hidupnya, keduanya adalah orang-orang yang dikenal sebagai ahli ibadah yang sangat taat kepada Allah SWT. Sehinga peristiwa malamatiya itu hanya terjadi bila dirasa dalam dirinya akan timbul rasa ujub, riya’, sum’ah dan takabbur yang terbit di dalam hati yang dapat mengganggu cita-cita yang hanya tertuju kepada Allah, dan juga untuk menghindari dari pemujaan masyarakat, karena kondisi masyarakat saat itu selalu berlebihan dalam menghormati para orang sholih.
Untuk mengambarkan tradisi malamatiya diatas agar lebih jelas, maka ada suatu cerita lokal yang menjelaskan hal tersebut agar dapat membantu menuju pemahaman yang lebih dekat. Dikisahkan seorang alim , zuhud dan waro’ yang oleh masyarakat setempat diisukan sebagai wali Allah. Isu tersebut semakin berkembang hingga menjadi suatu keyakinan masyarakat bahwa orang tersebut adalah benar-benar wali Allah sehingga sering ia menadapatkan penghormatan berlebihan yang sangat mengganggu ketentraman bathin dan ibadahnya.
    Karena hal tersebut di atas, maka untuk menghindari pujian dan penghormatan dari masyarakat yang dapat menimbulkan riya’, ujub dan takabbur, ia pun dengan sengaja memperlihatkan dirinya mencuri sandal seorang jama’ah di Masjid dengan harapan agar di tangkap dan diketahui masyarakat. Masyarakat yang melihat kejadian itu langsung menangkapnya dan menuduhnya sebagai pencuri sandal yang selama ini tidak pernah ditangkap. Ketika berkumpul mereka berkata : “ternyata orang yang kita anggap sebagai wali hanyalah seorang pencuri sandal dan kita salah menilainya.”
Setelah kejadian itu masyarakat mulai memandangnya sebagai sosok yang hina dan rendah bahkan sebagai penipu ulung. Namun lain halnya bagi orang alim tersebut, setelah kejadian itu ia merasa lebih tenang dan khusu’ beribadah kepada tanpa takut terganggu oleh hal-hal yang merusak nilai ibadahnya.
    Kisah di atas merupakan gambaran yang gamlang tentang tujuan dari tradisi malamatiya yang biasa dilakukan para waliyullah untuk menjaga hatinya agar senantiasa tertuju kepada Allah semata.
Adapun kejadian lain yang dapat menyebabkan peristiwa malamatiya menurut para ahli tashawuf adalah karena sang shufi dalam kondisi “jadzab” (majdzub), dimana seorang shufi sedang kehilangan kesadaran akan dirinya.
Menurut tokoh shufi Ibnu Atho’illah (W. 674 H./ 1309 M) yang mampu memahami kondisi psikologis spiritual yang sebenarnya terjadi pada wali majzub, menjelaskan bahwa wali majzub yang berperilaku seperti “orang gila” itu disebabkan karena kesadarannya yang hilang akan dirinya atau dalam kondisi ditarik oleh Allah. Karena dari segi bahasa majzub berarti “ditarik” dan dalam istilah Indonesia sering diartikan sebagai “wali gila”.
    Dengan demikian, beliau juga menjelaskan bahwa seluruh aktivitasnya yang tidak normal itu atau perbuatan mungkar yang pada dhohirnya melanggar syari’at itu tidak dikenakan sanksi karena disamakan hukumnya dengan perbuatan orang “Majnun” gila. Dengan demikian seluruh aktivasinya yang tidak normal itu dihitung cacat di sisi Allah SWT. Namun hal ini sering menjadi masalah tatkala ada orang yang dengan sengaja meniruunya sehingga menimbulkan keresahan dan menggangu ketertiban umum dan tentu di sisi Allah akan dinilail dosa karena melanggar Syari’at dengan sengaja dan bertujuan keduniawian semata.
Abu Hasan Ali bin Ja’far al-Kharoqoni wafat pada tahun 425 H. Atau bertepatan dengan tahun 1034 M.

8. Abu Ali al-Farmadzy

    Nama lengkap beliau adalah Abu Ali Fadl ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadzy. Adapun riwayat hidup beliau sangat jarang disinggung dalam sejarah para shufi, namun dapat diketahui bahwa beliau merupakan guru besar tashawuf pada zamannya. Hal tersebut dapat diketahui karena beliau adalah murid langsung (utama) dari Abu Hasan al-Kharoqony.
    Beliau tinggal di kota Naysafur dan hidup sezaman dengan para guru besar lainnya seperti Imam Ahmad al-Thusy, Abu Nash al-Ismaily, Yusuf al-Nasyaz dan Abu Ma’al al-Juwainy.
Dari bimbingan beliaulah lahir para tokoh shufi terkenal seperti Imam Muhammad bin Ahmad atau lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghozaly dan saudaranya (adiknya) yaitu Imam Ahmad bin Ahmad al-Ghozaly serta Abu Yusuf al-Hamadany. Dan dari sekian murid utamanya, maka hanya Abu Yusuflah yang masuk ke dalam rangkaian silsilah thoriqat al-Naqsyabandy.
Abu Ali Fadl ibnu Muhammad ibnu Ali al-Farmadzy guru dari para guru shufi dizamannya itu akhirnya wafat pada tahun 477 H. Atau bertepatan dengan tahun 1084 M.

9. Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadany
    Abu Yusuf lahir di Hamadan (Iran Barat). Pada awalnya beliau mempelajari ilmu fiqh mazhab Syafi’i di Baghdad dan beliau meninggalkan ilmu tersebut setelah dirasakan cukup memadai untuk selanjutnya mengkhidmahkan (mengabdikan) diri secara penuh kepada jalan tashawuf serta menghabiskan waktunya bersama para guru shufi di Hamadan dan Asia Tengah.
Abu Yusuf adalah seorang tokoh shufi yang sangat berpengaruh dan namanya pun tercantum dalam berbagai silsilah thoriqat lainnya.
Dua orang tokoh Shufi yang diantaranya mengakui beliau sebagai guru mereka yaitu Abdul Kholiq dan Ahmad Yasevy, yaitu pendiri thoriqat Yaseviyah dan Bektasiyah di Turki. Dari keturunan beliaulah kelak akan lahir salah seorang guru besar shufi dan sebagai Sulthon al-auliya’, yaitu Baha’uddin al-Naqsyabandy.
    Dalam suatu riwayat diceritakan bahwasanya beliaulah orang yang mula-mula memerintahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelany (lh. 470 H./1077/8 M-W. 561 H./ 1166 M.) sang pendiri Thoriqat Qodiriyah untuk menyampaikan khutbah atau pelajaran di depan masyarakat umum.
Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadany akhirnya wafat pada tahun 535 H. Atau bertepatan dengan tahun 1140 M.

10. Abdul Kholiq al-Ghujdawany

    Abdul Kholiq sering kali dianggap sebagai pendiri pertama Al-Naqsyabandy. Beliaulah yang merumuskan delapan azas latihan spiritual yang dianggap paling mendasar. Azas-azas ini berbahasa Parsi (Iran) dan itu bukan suatu kebetulan, sebab dari mana Abdul Kholiq dan seterusnya (tetapi barangkali juga sudah mulai sejak masa Abu Yazid al-Bisthomy, Thoriqot Al-Naqsyabandy berkembang dilingkungan yang berbahasa Parsi dan selama berabad-abad semua tulisan tentang Thoriqot ini masih terus ditulis dalam bahasa Parsi.
    Adapun delapan azas yang dikembangkan oleh Abdul Kholiq adalah sebagai berikut :
a. Hus Dar Dam; “Sadar waktu bernafas,” yaitu suatu latihan konsentrasi. Shufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang dekat kepada Allah. Lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh kepada Allah (Mohammad. Amin al-Kurdy).
b. Nazar Bar Qam; “Menjaga Langkah,” yaitu sewaktu berjalan seorang shufi (murid) harus menjaga langkah-langkahnya. Hal demikian itu dilakukan agar tujuan-tujuan ruhaninya tidak dikacaukan oleh segala hal disekelilingnya yang tidak relevan (tidak ada hubungannya)
c. Safar Dan Watan; “Melakukan Perjalanan di Tanah Kelahirannya,” yaitu melakukan perjalanan bathin dengan meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia, atau dengan penafsiran lain yaitu suatu perjalanan fisik melintasi sekian negeri untuk mencari seorang mursyid sejati, atau kepada siapa seorang murid sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaraannya dengan Allah (al-Gumusykhawany).
d. Khalwal Dar Anjuman; “ sepi da tengah keramaian. Beberapa pengarang memberikan berbagai penafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa ( salik / santri ), anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai menyibukan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya, bahkan suatu berada di tempat keramaian. Yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya senantiasa terpaut kepada Allah dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Al-Naqsyabandy secara aktif di dalam politik dilegitimasi (mungkin juga dirangsang ) dengan mengacu kepada asas ini.
e. Yard Kard; “ ingat, menyebut,” yaitu terus menerus mengulangi menyebut nama Allah atau dzikir tauhid ( berisi formula La Ilaha Illallah ) atau formula lainnya yang diberikan seorang guru di dalam hati maupun dengan lisan. Oleh sebab itu bagi penganut Al-Naqsyabandy dzikir itu tidak terbatas di lakukan secara berjamaah ataupun sendiri-sendiri setelah sholat, tetapi terus-merus agar di dalam hatinya bersemayam kesadaran akan Allah secara permanen.
f. Baz Gasyt; “ kembali, memperbaharui,” yaitu agar senantiasa mengembalikan hati agar tidak condong kepada sesuatu yang menyimpang atau melantur.
g. Nigah Dasyt; “ waspada.”yaitu menjaga fikiran dan perasan secara terus-menerus sewaktu melakukan dzikir untuk mencegah supaya fikiran dan perasan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Allah dan untuk memelihara fikiran, perasan dan perilaku seseorang agar sesuai dengan kalimah tersebut.Muhammad Amin al-Qurdy mengutip perkataan seorang guru; “ Kujaga hatiku selama sepuluh hari, kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
h. Yad Dasyt; “ mengingat kembali,” yaitu penglihatan yang diberkati yang langsung menangkap zat Allah yang berbeda dari sifat dan asma’-nya,mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke yang terhingga.Penglihatan ini hanya mungkin dalam keadaan “jadzab” (ditarik Allah) dan itulah derajat yang tertinggi yang dapat di capai.
Pada masa beliau inilajh disebut dengan masa “ Khawajagan” (baca ;Khojagan) atau para “Tuan Guru” sampai kepada masa-masa berikutnya.Dan pada masa ini pula Al-Naqsyabandy memperoleh bentuk yang jelas sebagai sebuah thoriqot. Proses ini dianggap selesai (sempurna) dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Baha’uddin al-Naqsyabandy.
Abdul Kholiq al-Ghujdawany wafat pada tahun 617 H.ataubeatepatan dengan 1220 M. dengan meninggalkan delapan asas spritual yang sangat pokok hingga saat ini bagi thoriqot al- Naqsyabandy.

11. Arif al-Riwgory
    Arif al-Riwgory adalah tokoh shufi dari rantai silsilah Al-Naqsyabandy yang berguru langsung kepada Abdul Kholiq al-Ghujdawany (guru Al-Naqsyabandy generasi kesepuluh).
Dalam literatur (sumber-sumber informasi) tashawuf, nama beliau sangat jarang disebut. Namun secara lengkap mungkin dapat diperoleh dari beberapa literatur biografi para guru (syekh) terkemuka thoriqat Al-Naqsyabandi yang walaupun sangat jarang beredar di Indonesia seperti” Rasyahat Ain al-Hayat “oleh Fakhruddin Ali Shafy dan dalam kitab “ Silsilama-i Khwajagan-i Naqsyaband “ oleh Muhammad ibnu Husain Qozwini dan beberapa biograqfi terpisah tentang Baha’uddin,Ubaidillah Ahror,Ahmad Sirhindi dan lain-lainnya.
Arif al-Riwgory guru Shufi generasi kelima ini wafat pada tahun 657 H. Atau bertepatan dengan tahun 1259 M.

12. Mahmud Anjir al-Faghnawy
    Sebagaimana guru beliau Syekh Arif al-Riwgory, maka riwayat hidup Mahmud Anjir al-Faghnawy juga sangat jarang diceritakan. Namunyang jelas beliau merupakan murid langsung dari Arif al-Riwgory guru Al-Naqsyabandy genersi kesebelas.
Mahmud Anjir al-Faghnawy wafat pada tahun 643 H.atau bertepatan dengan tahun 1245 M.Tetapi ada pendapat lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 670 H. Atau bertepatan dengan tahun 1272 M.13. Azizan Ali Ramithon     Demikian juga dengan Azizan Ali al-Ramithony, maka riwayat hidup beliau juga sangat jarang disinggung dalam sejarah tashawuf pada umumnya atau pada thoriqat al-Naqsyabandy pada khususnya, kecuali dalam kitab-kitab biografi para guru al-Nqasyabandi seperti yang telah disebutkan pada pembahasan terdahulu.
Azizan Ali al-Ramithony wafat pada tahun 705 H.atau bertepatan dengan tahun 1306 M. Tetapi ada pendapat lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 721 H.atau bertepatan dengan tahun 1321 M.

14. Muhammad Baba al-Sammasy

    Muhammad Baba al-Sammasy adalah guru dari Amir Sayyid al-Kulaly Al- Bukhaty Muhammad dan juga Baha’uddin al-Naqsyabandy,walaupun pada akhirnya Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy berguru (menjadi murid) secara penuh dari khalifah (pemggati) Beliau yaitu Amir al-Kulaly al-Bukhary setelah beliau wafat.
Muhammad Baba al-Sammasy wafat pada 740 H. Atau bertapatan dengan tahun 1340 M. Tetapi ada pendapat lain yang menerangkan bahwa beliau wafat pada tahun 755 H. Atau bertepatan dengan tahun 1354 M.

15.Amir Sayyid al-Kulaly al-Bukhary.
    Beliau adalah guru dari Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy setelah wafatnya Muhammad Baba al-Sammasy yang juga merupakan guru dari Baha’uddin al-Nqasyabandy sebelumnya.
Dalam sejarah thoriqat al-Naqsyabandy, beliaulah yang mula-mula kembali melakukan dzikir keras disamping dzikir sir (diam) yang sejak masa Abdul Kholiq norma dzikir al-Nqasyabandi hanyalah dzikir sir (diam). Namun sebelum masa Abdul Kholiq, yaitu pada masa Abu Yusuf al-Hamadany (guru Al-Naqsyabandy generasi kesembilan) pernah melakukan penggabungan dua methode tersebut. Adapun dzikir sir (diam) tersebut tetap menjadi norma yang baku (norma utama) dan ciri khusus dari thoriqat ini yaitu pada masa Baha’uddin al-Naqsyabandy setelah menerima pembaitan secara barzakhy dari Abdul Kholiq al-Ghujdawany.
Amir Sayyid al-Khulaly al-Bukhary wafat pada tahun 772 H. Atau bertapatan pada tahun 1371 M.

16.Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy
    Nama beliau adalah Muhammad Baha’uddin al-Bukhary al-Naqsyabandy.
Beliau dilahirkan pada tahun 717 H. Di daerah Hinduan di kawasan Bukharo dan beliau adalah keturunan dari Abu Yusuf al-Hamadany. Diberikan gelar al-Naqsyabandy karena mampu (piawai) menempa dan mengukir berbagai sifat keutamaan dan kebaikan dalam hati setiap orang.Dan kepada gelar beliau tersebut thoriqat ini dinisbahkan namanya yaitu “thoriqat al-Nqasyabandy.”
    Baha’uddin telah memperoleh dasar-dasar ilmu keislaman di daerah kelahirannya yaitu Bukharo.Meskipun sudah diasa cukup, namun beliau terus memperdalam ilmu keislamnya kepada guru-guru lain yang terkemuka.
Adapun ulama-ulama yang telah beliau timba ilmunya yang paling utama adalah Muhammad Baba al-Sammasy dan khalifahnya Amir Sayyid al-Kulaly serta seorang ulama terkenal lainnya yaitu Arif al-Dikarany.
Beliau melanjutkan perjalanannya ke kota Damaskus dan bekerja di istana Sulthon Kholil sebagai penasehat dalam bidang keagamaan setelah menyelesaikan pendidikannya di lembaga milik Syekh Arif al-Dikarany.
Beliau memulai kehidupannya sebagai seorang shufi setelah beliau bekerja di istana selama dua belas tahun dan kemudian meneruskan perjalanannya ke Zawatun. Di Zawatun inilah beliau mempelajari ajaran tashawuf dengan hidup secara zuhud (sederhana), beliau mendekatkan diri kepada Allah dan senantiasa membina kehidupan yang baik dengan sesama manusia dengan ara mengamalkan ilmunya,yaitu memberikan penyuluhan,serta mengajarkan ilmu agama yang telah dimilikinya kepada masyarakat.
    Sebagai seorang tokoh shufi ternama, maka beliau telah mengembangkan beberapa dasar pemikiran di antaranya, yaitu:
a. Beliau mengajarkan thoriqotnya atas dasar enam prinsip dasar tashawuf :
1. Al-Ilm (Pengrtahuan)
2. Al-Shobr (Kesabaran)
3. Al-Him (kepatuhan, penurut)
4. Al-Ridho (Kerelaan)
5. Al-Ikhlas (Ihklas)
6. Al-Akhlaq Al-Karima (Perilaku Terpuji)
b. Karena beliau adalah murid Abdul Kholiq secara barzakhy, maka beliau menambahkan tiga asas dari delapan asas yang telah dirumuskan oleh Abdul Kholiq,yaitu :

1. Wukuf-i al-Zamany; “ memeriksa penggunaan waktu seseorang,” yaitu mengamati secara teratur sebagaimana seseorang menghabiskan waktunya.Muhammad Amin al-Kurdy (pengarang kitab Tanwirul Qulub) mensyaratkan agar hal ini dilakukan selama dua atau tiga jam perhari. Sebab jika seseorang terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir dan melakukan perbuatan terpuji, maka hendaklah bersyukur kepada Allah. Dan jika seseorang tidak ada perhatian atau melakukan perbuatan dosa, maka hendaklah ia mohon ampun kepada Allah.

2. Wukuf-i A’dadi,” memeriksa hitungan dzikir,” yaitu dengan berhati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir tanpa fikiran mengambang kemana-mana.
3. Wukuf-i Qolbi;”menjaga hati agar tetap kontrol,”menjaga hati agar tidak sadar kepada yang lain selain Allah.
c. Mengharuskan setiap murid melalui pembinaan,yaitu:
1. “Shubhat al-Syejh”, yaitu usaha terus-menerus dalam bentuk pengabdian dengan ihklas dan tanpa pamri kepada syekh (guru).
2. “Al-Ribath,” yaitu uasaha untuk meningkatkan keterkaitan dengan syekh kamil,bukan saja jasmani tapi juga ruhani.

3. “Al-Iltizam,” yaitu usaha tetapnya seorang salik dalam bimbingan syekh kamil secara terus-menerus dan berkesinimbungan.

4. “Al-Dzikir,” seorang salik harus melakukan dzikir secara terus-menerus (dzikir dain).
d. Menekan arti penting dari “Ruh”,sebab ruh adalah jisim yang halus, yamg tidak berkurang dalam jasad kasar (bercampur) dan tidak pula terlepas ke luar.Oleh karena pentingnya ruh agar tidak melupakan Allah, maka seseorang harus berdzikir terus-menerus.
    Adapuntentang dzikir, maka pada masa inilah ditetapkan dzikir sir (rahasia) sebagai norma baku (tetap) dalam tradisi al-Naqsyabandy. Dan sebagaimana juga telah diketahui bahwa Baha uddin telah belajar kepada Baba al-Sammasy dan juga khalifahnya Amir Sayyid al-Kulaly yang menyebabkan beliau telah memiliki mandat yang kuat sebagai pewaris tradisi “para khawajagan” atau “ para tuan guru.”
    Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandy wafat pada tahun 791 H. Atau bertepatan pada tahun 1389 M. Di daerah Hinduan (tanah kelahirannya) saat beliau berusia 74 tahun dengan meninggalkan pelajaran thoriqot yang terkenal sangat puritan (anti bid’ah dalam syara’) dan terkenal sangat sungguh-sungguh menghindari pertunjukan musik dan sama’ dengan senantiasa agar hukum Allah harus dapat diterapkan dalam aspek kehidupan.

17. Muhammad Ali Batu.
    Beliau adalah Muhammad Ali Batu Bangke Ilang Sabil yang oleh para sejarawan lokal maupun Belanda dianggap sebagai tokoh paling kharismatik sepanjang sejarah perjuangan rakyat Lombok, pemersatu masyarakat khususnya umat islam baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat jelata dari perpecahan dan juga sebagai pejuang dalam perang melawan kekuasaan penjajahan Hindu-Bali di Lombok.
    Dengan kharisma beliau yang luar biasa saat itu telah menjadi modal utama dalam mempersatukan semua kalangan yang ada di Lombok yang terkenal sangat sulit untuk diwujudkan dan kemudian membawa mereka kepada satu tujuan yaitu perjuang suci. Keretakaan-keretakan hubungan masyarakat Lombok yang ada tersebut tidak lepas dari keterbelakangan dan adanya perasaan yang selalu ingin menang sendiri di antara mereka. Tengtang keadaan ini dapat diketahui dari Babad Lombok, Babad Selaparang, Babad Sakre-Karang Asem dan beberapa laporan dari pemerintah Belanda,antara lain:
a. Tentang kharisma beliau yang luar biasa itu dapat diketahui dari sebuah laporan pemerintah Belanda yang menjelaskan sebagai berikut:
“Di tanah ini (Lombok), Haji Muhammad Ali menebarkan benih thoriqotnya.......(yang menurut catatan Belanda disebut dengan “ Sekte Nakasabandrija”).
Orang-orang berdatangan kepada Mohammad Ali di Sakre minta dibiat masuk thoriqotnya, kaum bangsawan dan juga rakyat jelata menganggap suatu keberuntungan apabila diperboleh bergabung dalam barisan para murid yang melakukan ziarah ke tempat kediaman sang guru suci......(Laporang Belanda,Minggu 28-10 s/d 4-11-1897(KV 28-11-1896,V19, hal 26-28).
b. Tentang ketolol-tololan dan keterbelakangan pemikiran yang membut orang Sasak saat itu selalu terpecah-belah pada khususnya dapat di ketahui dari Babad Selaparang babd sakre-Karng Asem.
“Terkisahkan sekarang di Bali, sudah siap lengkap perbekalan dan senjata ,para Gusti di perintahkan untuk mencari kapal layar tempat bekal mesin dan peluru. Ada bantuan dari Tabanan, Buleleng, dan Mangwi juga ikut membantu.Begitulah ceritnya (persiapan itu) sangat baik, kata musyawarah itu, “Raja Sasak itu semuanya tolol.”(Babad Selaparang Bait; 451)
“ Mule meno kelampan Sasak, ndarak pade mele ngasorin, mele amesak-mesak, kewastuan pade cerengeh,marak beberas pesiaq tetolang, ndarak pade likat mudi.....”(Babad Sakre-Karang Asem)
c. Tentang kepahlawanan beliau dan cita-cita perjuangannya yang suci dapat disimak dalam laporan Van Der Krann (1980) yang mengutip pokok-pokok pembahasan Neeb & Asbeck Brusse pada tahun 1897 dan dalam Babad Lombok II.
“Pada tahun 1891 orang Muslim dari suku Sasak di Lombok melakukan pemberontakan terhadap pemerintah raja Bali (Anak Agung Ngurah Karang Asem). Ini bukanlah pemberontakan yang pertama, tetapi memeang yang paling dahsyat. Berbeda dengan sebelumnya, maka pemberontakan kali ini tidak dapat di padamkan. Pemberontakan ini telah menyababkan berakhirnya setengah Abad kekuasaan Bali di Lombok dan mengundang campur tangan Belanda.”(Van Der Krann)
Sedangkan dalam Babad Lombok II dilukiskan tentang tujuan perjuangan suci itu sebagai berikut :
“ Mun kesukaq Allah luih,
Te beriuk ngiring Tuan Guru,
Turut perang sabil andang Bat,
..................................................
Mun te pade menang lemaq,
Ite pade,ndek te buring te pegisiq,
Rakse,dese,dasan te iriq,
......................................................
Petin kebon bangket te kawih ndidik anak jari,
Gen payas gumi Selaprang seseniq.
Secara terperinci tentang sejarah kepahlawanan beliau ini dapat di baca dalam Babad Sakre-Karng Asem.Babad ini belum lama berselang diterbitkan oleh Yayasan Kerta Raharja di Sakra,berupa stensilan dengan catatan-catatan singkat oleh L. Djelenge.

    Adapun khusus tentang sejarah perjalanan keguruan beliau dalam tashawuf(thoriqot), maka dapat disimak dari kiah yang dituturkan oleh Bapak.Guru.Syekh Abdusshomad Habibullah sebagai berikut:
Sejarah keguruan Muhammad Ali berawal dari mimpi, dimana beliau dalam mimpi itu bertemu dengan Baha’uddin al-Naqsyabandy atau dalam dialek(penyebutan) masyarakat Sasak dikenal dengan nama Syekh Ba’idin yang memerintahkannya untuk melakukan suatu pelayaran ke Mekkah dengan membawa perbekalan berupa 160 biji paku,sebuah palu dan sebuah sabuk Saje sepanjang 40 Depa.
    Sampai pada mimpi yang ketiga beliau belum juga melaksanakan perintah mimpi itu hingga akhirnya pada mimpi yang keempat beliau baru berlayar dengan ditemani oleh seorang sahabatnya yaitu Guru Adam dari desa Aik Mual Praya.
Dalam perjalanannya, beliau menghadapi berbagai rintangan yang menyebabkan perahunya pecah. GuruAdam dengan susah payah menyelamatkan diri dan akhirnya terdampar di desa Pengantap Sekotong, sedangkan beliau juga berhasil menyelamatkan diri karena menemukan pohon Paok Jenggik ( Paok ; Mangga ) yang tumbuh di tengah lautan.Kemudian teringat dengan bekal yang ada, beliau pun mulai memanjat dengan menggunakan paku yang dibawanya hingga menghabiskan 100 biji paku.
    Setelah sampai di atas pohon itu, beliau melihat buahnya yang hanya berjumlah satu biji. Namun mendadak seketika itu seekor burung Garuda datang dengan cepat dan memakan buah mangga itu hingga setengahnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan,beliau segera bersembunyi dan sangat hati-hati beliau mengeluarkan sbuk saje kemudian mengikat dirinya di kaki burung itu.Karena burung itu hanya memakan setengahnya saja,beliau berfikir.”Di sini tidak ada yang bisa saya makan kecuali buah ini.”Buah itu pun di makannya hingga dirasa cukup sekedar untuk mengganjal perut.
Setelah burung itu terbang jauh hingga sampai ke tengah hutan yang dalam dialek Sasak disebut dengan hutan Serandik yang ada di negeri Mesir.Beliau melepaskankan ikatan sabuknya untuk segera turun sebelum burung itu sadar dan melihatnya.Malang baginya, di tengah hutan itu beliau di kepung sekawanan binatang buas (srigala) yang menyebabkan harus segera menyelamatkan diri dengan memanjat sebatang pohon dengan menggunakan sisa 60 biji paku yang dibawanya.Setelah beberapa saat,seekor srigala yang merupakan raja sekawanan srigala itu segera memanggil srigala-srigala lainnya dan kemudian beramai-ramai mengencingi batang pohon itu sehingga membuat batangnya menjadi goyang.Melihat kondisi tersebut dengan cepat beliau mengikat kerisnya pada ujung sabuk saje dan menjatuhkannya ke mulut srigala hingga akhirnya binatang itu mati.
Melihat rajanya mati,serta merta yang lainnya ketakutan dan segera melarikan diri. Dengan perasaan lega dan penuh rasa syukur yang mendalam beliau segera turun untuk menguliti binatang itu hingga kulitnya dapat dijadikan sebagai pakaian penghangat.
    Diperjalanan selanjutnya beliau melewati sungai Nil, terdpat tempat di sungai itu yang airnya dapat dapat mengubah segala benda yang jatuh didalam membatu(keras bagaikan batu).Hal terbusebut beliau menjadi takut dan ragu untuk menyebrang. Beliau tudak berputus asa, segera di ambilnya debu untuk bertayamum dan kemudian melaksanakan sholat sunat.Usai sholat beliau berdo’a mohon kepada Allah SWT.agar segera di pertolongan dari kesulitan yang dihadapinya.
Allah SWT.mengabulkan do’anya dengan menurunkan hujan badai dahsyat yang menyebabkan sebatang pohon besar tumbang dengan posisi melintang seperti sebuah titian di atas sungai itu.Dengan hati-hati beliau berjalan di atas pohon yang tumbang itu dan berhasil melewati sungai terebut. Namun karena rasa penasaran dengan apa yang di lihatnya, beliau mencoba untuk membuktikan dengan mencelupkan jari telunjuknya kedalam sungai.Dengan kekuasaan Allah SWT. Jari beliau segera berubah membatu (menjadi keras bagaikan batu) dan oleh karena jari yang telah membatu inilah akhirnya gelar Muhammad Ali “ Batu “ dinisbahkan kepadanya.
    Singkat cerita sampailah beliau di sebuah desa di negeri Mesir dan mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya. Oleh masyarakat setempat beliau kemudian diarak ke istana Raja (Sulthon). Karena Sulthon tertarik dengan kulit binatang yang dibawanya, maka dibelinya kulit binatang itu seharga dengan empat kantung uang dengan maksud untuk dijadikan jimat.
    Di desa itu beliau menginap di rumah seorang penghulu agama yang menceritakan kepadanya bahwa Syekh yang selama ini bekiau cari itu pada tiap tiga tahun sekali datang berkunjung ke desa tersebut dengan rupa yang berbeda-beda dan itulah sebabnya mengapa ketika beliau datang ke desa itu di sambut dan diarak ke istana raja.Hal itu tidak lain karena beliau dianggap sang Syekh.Penghulu itu juga menambahkan bahwasanya Syekh tersebut kini sedang melakukan suluk di Jabalil Asir (gunung Asir) yang terletak di negeri Yaman.
Setelah mendengar cerita itu, Muhammad Ali mohon agar diantarkan ke tempat tersebut. Penghulu itu menjawab bahwa ia tidak berani pergi ke tempat dimana Syekh berkhalwat. Kemudian Muhammad Ali berkata:”Bila anda tidak berani (sanggup) ke tempat itu,maka cukuplah anda tunjukan dimana arah menuju tempat itu.”Oleh penghulu itu permintaan beliau dikabulkan.
    Kemudian meraka pun melakukan perjalanan ke tempat tujuan.Ketika mereka telah dekat,penghulu itu kemudian menunjukan tempat yang oloeh Muhammad Ali merupakan tempat yang tidak asing lagi baginya disebabkan beliau beberapakali melihatnya di dalam mimpi.Dan sebagai tanda terima kasihnya atas pertolongan penghulu yang telah menunjukan tempat itu,beliau menghadiahkan kepadanya seluruh uang (yang empat kantung) tanpa tersisa sedikitpun. Ini merupakan I’tibar (contoh) bahwa ilmu hakikat adalah ilmu yang tidak ternilai dan juga tidak bisa ditukar atau dibandingkan dengan harta berapapun banyaknya walau hanya sekedar ditunjuki tempat menututnya saja, apa lagi sampai dapat menerimanya. I’brah ini hendak menjadi renungan bagi setiap jama’ah untuk terus bersyukur kepada Allah SWT.karena tidak semua orang mampu berfikir akan tingginya ilmu ini dan juga tidak semua orang sanggup menghargainya sebagaimana Muhammad Ali telah menghargainya.
&nbs ;   Setelah itu beliau pun bertemu dengan Syekh Ba’idin dan langs ng mengucapkan salam kepadanya.Namun beliau sangat terkejut,sesampai di hadapan Syekh Ba’idin beliau bukannya mendapat sambutan sebagaimana yang diharapkan,malah ebaliknya dapat makian.Syekh Ba’idin bertanya:”siapa yang menyuruhmu kesini menemui saya ? “Muhammad Ali menjawab : “Anda wahai Syekh.”
    Kemudian setelah itu oleh Syekh Ba’idin beliau dipersilahkan untuk segera memasuki ruang Suluk (tempat khalwat / pertapaan).Ketika berada dalam pertapaan itulah ubun-ubun beliau di usap oleh Syekh Ba’idin hingga menyebabkan beliau berteriak-teriak dan merasa ketakutan yang luar biasa karena perlihatkan kepadanya keadaan siksa neraka yang konon saat itu sesaat terasa seperti 70 tahun lamanya.
Kejadian saat itu telah meninggal bekas yang sangat mendalam hingga menyababkan beliau menyerah an hidup dan matinya kepada Syekh Ba’idin untuk mendapatkan bimbingan.Oleh Syekh Ba’idin beliau kemudian di perintahkan untuk masuk kembali ketempat khalwatnya yang kemudain ditutup dengan batu dan di tempat itulah beliau tinggal selama tiga tahun.
    Sementara beliau berada di tempat khalwatnya tersebut,di Lombok sahabat beliau Guru Adam kembali melakukan pencarian dengan tujuan agar dapat memukan beliau hidup atau mati.Namun usaha pencarian itu hasilnya tetap nihil.
Untuk kesekian kalinya allah SWT.menunjukan kebesaran-nya, setelah berada selama tiga tahun di dalam batu tersebut,tiba-tiba saja tatkala bangun beliau telah mendapatkan dirinya berada di rumahnya di desa sakra.Keadaan ini bukan hanya mengejutkan dirinya namun juga bagi keluarga dan seluruh masyarakat desa saat itu yang secara spontan membunyikan kentongan tanda bahaya karena mendengar istri Muhammad Ali berteriak-teriak terkejut bahkan ketakutan tatkala tiba-tiba melihat seorang lelaki tidur di dalam rumahnya.Hal tersebut dapat di pahami, sebab sebelumnya beliau dianggap sudah meninggal ketika terdengar kabar perahu yang di tumpanginya pecah, dan terlebih lagi usaha pencarian yang dilakukan oleh Guru Adam tidak menghasilkan apa-apa.Keadaanpun kembali tenang setelah beliau menjelaskan kepada masyarakat semua peristiwa yang di alaminya hingga akhirnya kembali ke desa Sakra.
Selang beberapa waktu di Sakra,tiba-tiba beliau mendapatkan sepucuk surat dari Ba’idin memerihtahkannya agar kembali berlayar ke negeri Mekkah dengan pesan apabilah telah mendekati pelabuhan Jeddah nanti pada hari jum’at tengah hari(sekarang kira-kira pukul 12:00 siang) untuk segera masuk ke sebuah masjid masjid yang terletak di tengah lautan untuk melaksanakan sholat jum’at.
    Kemudian beliau berangkat dan sampai di tempat itu pada waktu yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam surat.Ketika beliau memasuki masjid,nampak suasana sepi tanpa seorang pun berada didalam.Namun keadaan tiba-tiba berubah,dalam waktu sekejap entah darimana asalnya jama’ah yang terdiri dari para waliyullah telqah memenuhi ruang masjid.Kemudian setelah khutbah jum’at Syekh Ba’idin datang untuk mengimami sholat jum’at dam Muhammad Ali berdiri tepat di belakangnya.
    Usai sholat,para waliyullah secara perlahan kembali menghilang dan keadaan pun kembali menghilang dan keadaan pun kembali kecuali beliau dan Syekh Ba’idin.karena khawatir Syekh Ba’idin juga akan meninggalkan tempat itu,segera beliau ikatkan jarinya ke surban Syekh Ba’idin hinggaketika sang Syekhhendak meninggalkan tempat itubeliau merasa dad yang menarik surbannya.Syekh Ba’idin pun tau kalau Muhammad Ali ada berada di belakangnya dan dengan segera kemudian beliau memanggil kembalijama’ah sholat jum’at (para waliyullah) untuk berkumpul serta mengumumkan bahwa Muhammad Ali adalah tempat menutup segala pangajian.dan di masjid inilah Muhammad Ali untuk pertama kalinya menerima tawajjuh sekligus mandat dari Syekh Ba’idin sebagai Guru ilmu hakikat.
    Singkat cerita,setelah itu beliau berhaji dan kemudian beliau kembali ke Lombok,untuk memberi pengajian kepada masyarakatdi pulau Lombok,menegakkan kebenaran memimpin mereka untuk mencapai kemerdekaan dari tangan penjajahan Hindu-Bali sebagaimana telah dikisahkan.
    Dengan damikan,maka hubungan antara Muhammad Ali Batu dengan Baha’uddin Naqsyabandy bukanlah hubungana keguruan yang bersifat Barzakhi atau Uwaisy karena pertemuan tersebut bukan dalam wujud ruhani (dalam ruhani ataupun dalam mimipi),namun pertemuan langsung secara dhohir(nyata) walaupun sebagaimana telah dikisahkan bahwa jarak kehidupan di antara keduanya adalah sekitar 500 tahun (Baha’uddin wafat pada tahun 1389 M. Dan Muahammad Ali pada tahun 1892 M.) dan jalur keguruan seperti ini sangat terjadi dalam sejarah pada shufi.
Adapun jalur seperti di atas dalam sejarah keguruan para shufi pernah terjadi pada Syekh Abdul Karim al-Jilli dengan Nabi Muhammad SAW.sebagaimana beliau kisahkan dalam kisahnya al-Insan al-Kamil fii Ma’rifati Awaakhiri wal Awaalihi menjelaskan :
“ Suatu ketika saya pernah bertemu dengan dia dalam bentuk persis seperti Syekh saya Syarafuddin Isma’il al-Jabarty,tetapi saya tidak mengetahui bahwa dia (Syekh) itu sebenarnya adalah Nabi Muhammad, karena setehu saya bahwa dia (Nabi) itu adalah Syekh.Ini adalah suatu penglihatan yang saya dapati di Zabit Yaman pada tahun 796 H (1393 M.).Maka hakikatnya yang ada dalam peristiwa itu adalah bhwa Nabi Muhammad mempunyai kekuatan unmenampilkan diri dalam setiap bentuk.”
Haji Muhammad Ali Batu sang Guru suci,pemersatu umat danpahlawan pada perang Lombok itu wafat pada tanggal 15 Maulid 1310 H. Atau bertepatan tanggal 7 Oktober 1892 dalam suatu pertempuran yang menyebabkan beliau mendapatkan gelar Muhammad Ali Batu “ Ilang Sabil “yang artinya “ Mati syahid “dan dimakamkan di desa Sakra Lombok Timur.

18. Abdusshomad AL-Haqqy Habibullah.
    Beliau adalah Shomad bin Nursiah bin kiyah bin Raden Kerta Bayan,Beliau lahir di desa Taman Daya Puyung Lombok Tengah.Datuk beliau yaitu Raden KertaBayan seorang bangsawan Bayan yang Masyur di Bayan Beleq yang makamnya terletak persis di sebelah kiri Masjid Kuno. Makam tersebut oleh sebagian masyarakat sasak disebut degnan Makam Read (Beleq atau Datuk) sedangkan olehsebagian lainnya di sebut sebagai makam Syekh Gaust Abdul Rozaq salah seorang Wali besar yang terkenal di pulau Lombok.
    Beliau menamatkan sekolahnya pada tahun 1937 di kota Praya yang saat itu sekolahnya hanya sampai di kelas lima dan jika hendak melanjutkan ke yang lebih tinggi maka harus ke kota Mataram pada sekolah khusus Belanda.pada saat itu pula(setelah tamat) beliau langsung menerima tawaran untuk menjadi Jaksa di kota Praya,namun beliau menolaknya.
Sebagai seorang pengamal ilmu Hakikat yang kuat,maka dari pribadi beliau terpancar pula pengaruh ilmu tersebut. Beliau terkeal jujur dalam menyampaikan suatu amanat, lemah lembut dan ramah dalam bergaul dengan setiap orang terutama para jama’ahnya (tidak suka menonjolkan perbedaan dan mengutamakan kesamaan derajat), sabar dalam menerima berbagai cobaan berat,tegas dalam berbicara (tidak suka plin-plan) ,berani dalam membela apa yang diyakininya benar bila hal itu sesuai dengan Al-Quran dan al-Hadist.
    Pada usia yang relatif masih muda yaitu pada usia 15 tahun, beliau telah menunjukkan bakat dan ketertarikan yang mendalam untuk menuntut ilmu thoriqot dan hakikat. Hal tersebut dapat diketahui dari banyaknya para guru yang beliau pernah timba ilmunya, di antaranya :
a. TGH. Abdul Mu’in di desa Pagutan
b. Guru.Rukiq di desa Selagalas
c. Guru Udin di desa Aik Mual Praya
d. Guru Tasiah di desa Montong Sapah
e. TGH.Arif di desa Sesanggok Gerung.
f. TGH. Ma’mum di Praya.
Dari sekian guru yang pernah beliau timba ilmunya tersebut, maka yang di sebut terakhir itu TGH.Ma’mum adalah satu-satunya tempat beliau menerima Bai’at.
    Ada suatu riwayat yang langsung diceritakan oleh beliau tentang asal-muasal ketertarikannya dalam menuntut ilmi Hakikat ini. Menurut beliau,ketertarikan ini tidak lepasdari sebuah petunjuk mimpi yang benar (Ru’yah al-Shodiqoh) dari Allah SWT. Pada suatu malam dalam tidurnya beliau bermimpi menaiki (memanjat) sebatang pohon Asem (Bageq; Sasak) sambil menggendong Matahari. Dari tafsir mimpi tersebut mengisyaratkan bahwa suatu hari nanti beliau akan memperoleh kedudukan yang tinggi yang bersifat keduniaan seperti jabatan maupun bersifat ukhrawi (akhirat) seperti ketinggian martabat rohani yang sangat tinggi yang pengaruhnya (sinarnya) tak tertandingi dan tersebar ke setiap penjuru. Namun hal tersebut tentu dengan syarat beliau menghendakinya.
    Di antara dua pilhan tersebut, maka dengan Hidayah dan Inayah Allah SWT.beliau memilih kedudukan ukhrawy yang berupa ketinggian martabat rohani dan hal ini di buktikan dengan penolakan beliau terhadap jabatan Jaksa di Praya serta kedudukan beliau sekarang sebagai Mursyd Thoriqot Haq Naqsyabandy.
Selama sekian puluh tahun beliau menuntut ilmu thoriqot dan Hakikat pada sekian banyak guru tersebut belum mampu memberikan jawaban yang menyakinkan serta fikiran beliau masih diliput oleh kebingungan dengan apa yang di perolehnya.kemudian pada tahun 1950-an, beliau baru memperoleh ilmu yang sejati tentang kebenaran setelah bertemu dengan guru beliau Syekh Ahmad Dahlan al-Subaikah yang menetap di Gawah (hutan) Semotoh Mantng Lombok Tengah. Oleh gurunya pada tahun 1958 beliau diizinkan untuk memberikan pelajaran (membuka sebuah perguruan) di desa Puyung. Namun sampai akhir tahun 1950-an, beliau belum membuka perguruannya secara resmi sampai datangnya sebuah petunjuk yang jelas tentang kewajiban beliau untuk menyebarkannya.
    Pada sekitar tahun 60-an, beliau menerima pembai’atan Thoriqot Haq Naqsyabandysecara berzakhi dari Syekh Muhammad Ali Batu Bangke sehingga karena hubungan keguruan itulah beliau jga bergalar Syekh Abdussomad Habibullah Ibnu Akhiroty Min Syekh Muhammad Ali Batu Bangke atau kedudukan sebagai putra Syekh Muhammad Ali pada martabat ruhaninya.Pada saat itu juga beberapa jama’ah yang terbuka hijabnya seperti Mamiq Sunan dan Amaq Kholnah dari Persil menjelaskan dari terbukanya itu bahwa hubungan keguruan beliau langsung ka Syekh Muhammad Ali Batu kemudian ke Syekh Baha’uddin al-Naqsyabandy dan terakhir langsung kepada Nabi Muhammad.
Silsilah pendek (ringkas) inilah yang sering dibacakan kepada para jama’ah disetiap perayaan ulang tahun perguruan hingga suatu saat pernah menimbulkan permasalahan, yaitu sillsilah di anggap mengada-ada atau meragukan (karena terlalu ringkas dan anggap sebagai suatu silsilah yang tidak lazim).
Oleh KH.Ahmad Usman yang hadir ketika itu diberikan jawaban sebagai berikut : “ hendaknyalah kalian tidak mempersalahkan (mempertanyakan) dari mana asal-usul suatu peguruan, karena kalian tidak pernah tahu bagaimana ilmu suatu perguruan itu diperoleh. Namun yang hendaknya kalian pertannyakan adalah apakah ilmu perguruan itu telah sesuai dengan tuntutan dari Al-Quran dan al-Hadist, sebab percuma saja bila suatu perguruan apabila mengaku-ngaku mempunyai dasar silsilah yang jelas namun isi (ilmunya) yang terkandung dalam ajaran perguruan itu menyesatkan (tidak sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits).”
Dan khusus tentang catatan lengkap hasil terbukanya jama’ah ini telah di kumpulkan oleh putra beliau H. Muhammad Ali Bagi Harta.
    Adapun gelar” Habibullah,” maka hal itu merupakan gelar yang langsung di anugrahkan baginda Nabi Muhammad kepada beliau. Sedangkan dari salah seorang yang berasal dari Pontianak yaitu Zuhdi dari hasil terbukanya menjelaskan bahwa beliau telah mendapatkan gelar baru yaitu “ al-Haqqy.”Sehingga lengkapnya menjadi Syekh Abdussomad Al-Haqqy Habibullah.
    Pada awal pembukaannya,yaitu pada hari senin 1 April 1960 / 5 zulqoidah 1380 H. jama’ah baru berjumlah 10 orang yang berasal dari desa di sekitar desa Puyung dan saat itu tempat pengajian dilaksanakn di sebuah rumah sedrhana yang beratap alang-alang dan bar di antara tahun 1960-1963 dapat dirikan sebuah santren darurat sebagai tempat mengaji para jama’ah.Baru kemudian pada tahun 1967 di antara jama’ah mulai ada yang terbuka hijab.
Sebagai sebuah perguruan baru saja berdiri tentu tidak lepas dari berbagai rintangan dan tantangan terlebih lagi bila ajaran dalam perguruan itu oleh sebagian besar masyarakat di anggap sesuatu yang asing ditambah dengan berbagai statement (pernyatan) dari beberapa Tuan Guru yang tak pernah bersimpati bahkan ada yang mengharamkannya.
Pada tahun 1967-1968 merupakan masa yang paling sulit bagi beliau, karena lebih dari sepuluh kali beliau mendapatkan panggilan polisi dan di hadapkan ke pengadilan untuk menjelaskan berbagai tuduhan (fitnah) yang dilontarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang sangat membenci ajaran ini serta beberapa ujian fisik seperti pelemparan Batu dan sebagainya ke tempat beliau mengajar.Namun hal tersebut tidak membuat beliau getar, bahkan sebaiknya di anggap merupakan sebuah tantangan yang membutuhkan jawaban untuk di selesaikan.
Sebagaimana telah disebutkan dalam sebuah pepatah orang-orang bijak :
Berakit-Rakit Ke Hulu,
Berenang-Renang Ke Tepian.
Bersakit-Sakit Dahulu,
Bersenang-Senang Kemudian.
    Hal tersebut nampaknya terjadi pada perjalanan perjuangan beliau sebagai buah dari kesabaran akan segala cobaan yang menimpa beliau selama ini. Tepatnya pada tahun 1976,perguruan ini di sahkan oleh Kakanwil Depag NTB bapak HL.Nuruddin, SH yang di saksikan oleh K.H. Ahmad Usman (Mantan ketua MUI NTB) yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Penerangan TK. I NTB dan bapak L. Once Kakandepag Praya. Dealam kesempatan inilah bapak L. Once menyata kesiapannya untuk membela ajaran yang benar ini deng berkata : “ajaran ini ajaran benar,siapapun yang akan menyalahi perguruan ini,maka sayalah yang akan menjadi musuhnya,”
    Adapun jumlah jama’ah thoriqot ini beberapa tahun kemudian menunjukkan perkembangan yang sang signifikan, tepatnya mulai tahun 1980-an jama’ah yang berasal dari luar desa Puyung di seluruh Lombok mulai berdatangan. Kemudian pada tahun 1990-an merupan masa-masa perkembangan yang paling mengembiraka karena para jama’ah tidak hanya berdatangan dari daerah Lombok,namun juga dari beberapa daerah di luar pulau Lombok seperti Jawa,Madura,Bali,Sumbawa,Bima,Dompu Sulawesi,dan Kalimantan.
    Sesuai dengan sebuah petunjuk hasil terbuka seorang jama’ah yang di terima dari Datok Sakre (Syekh H. Muhammad Ali Batu),menjelaskan bahwa mulai pada tahun 2000 jama’ah akan datang dari berbagai penjuru negeri. Hal itu kemudian terbukti dengan datangnya beberapa jama’ah dari berbagai negeri seperti Belanda,Tunisia,dan dari negeri Jiran Malaysia.Sehingga jumlah jama’ah secara keseluruhan menurut data yang ada mulai tahun 1960-2003 ini di perkirakan berjumlah 5000-6000 0rang jama’ah.
    Dengan demikian,perkembangan Thoriqot Hqa Naqsyabandi ini sekali lagi tidak lepas dari kegigihan Bapak Guru Syekh Abdussomad al-Haqqy Habibullah yang senantiasa bercita-cita agar ajaran yang bersumber langsung dari Rasulullah yang diterima di Gua Hiro ini dapat tersebar luas dan tidak punah (hilang).
Khusus tentang kata “ Haq “ pada nama Thoriqot ini menurut perjelasan langsung beliau merupakan penegasan jati diri sebagai suatu ajaran yang benar-benar sejati yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadist. Sebab banyak thoriqot yang mengaku Naq-syabandy namun sebenarnya Nuq-syabandy.Naqsyabandy berarti lukisan yang berada pada badan “ruh” (badan halus). Sedangkan Nuqsyabandy yang kata Nuq berasal dari kata “Nuqus” berarti lukisan yang berada di badan dhohir (badan kasar).
    Sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam bidang keagamaan tentu regenerasi merupakan suatu keniscayaan (keharusan), karena hal itu sangat berhubungan erat dengan masa depan (kelanjutan) dari suatu gerakan keagamaan.Pada tanggal 10 Juni 1966 sesuai dengan petunjuk Datuk Sakre (Syekh Muhammad Ali Batu) dan Datuk Mambalan (atau oleh masyarakat Mambalan disebut sebagai L.Gede Batu Riti)telah menunjuk putra beliau (yang saat itu belum lahir) yaitu Muhammad Ali Bagi Harta sebagai pengganti Bapak Guru dan nama Muhammad Ali Bagi Harta juga merupakan nama yang di berikan langsung oleh mereka . Kendati demikian,pengesahan secara resmi baru dapat di laksanakan pada tahun 1990-an pada saat Ulang Tahun Perguruan yang saksikan oleh Ketua MUI Bapak KH. Ahmad Usman dan seluruh jama’ah thoriqot Haq Nqasyabandy.

No comments: