أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Kelezatan Ma’rifat Wajah Allah Swt.
Sungguhpun rasa ma’rifat ini sangat lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti di akhirat. Hal itu tidak akan terbayangkan di dunia, karena suatu rahasia yang tidak mungkin tersingkap saat sekarang.
Tidak seyogyanya kata “memandang” di sini Anda pahami seperti orang awam dan para teolog (mutakallimun) memahaminya, yang butuh arah pasti untuk menentukan tolok ukur dan batasannya. Tentunya ini dari sudut pandang orang yang menekuni alam nyata, yang tidak melampaui benda-benda yang dapat diindera, yang merupakan sasaran indera kebinatangan.
Anda harus memahami, bahwa hadirat ketuhanan (al-hadharat arrububiyah), bentuk dan susunannya yang ajaib — berupa keindahan, keelokan, kebesaran, kemuliaan, keagungan dan keluhuran, yang merindu dalam kalbu seorang ahli ma’rifat, sebagaimana watak bentuk rupa alam inderawi, dalam indera Anda; walaupun Anda menutup mata, tapi Anda seakan-akan melihatnya. Jika membuka mata, Anda mendapatkan bentuk sesuatu yang diindera sama seperti bentuk rupa yang difantasikan sebelum dibukanya mata, tidak berbeda sama sekali. Hanya saja — dibandingkan dalam bentuk fantasi — bentuk rupa itu diindera dalam wujud yang sangat jelas.
Demikian pula seharusnya Anda tahu, bahwa mengindera sesuatu yang tidak masuk atau bukan obyek fantasi dan indera, ada dalam dua tingkatan kejelasan yang berbeda. Perumpamaan pertama dengan yang kedua identik dengan perumpamaan penglihatan pada fantasi. Yang kedua merupakan puncak tersingkapnya tirai (kasyf) , yang disebut penyaksian langsung (musyahadah) dan penglihatan langsung (ru’yah). Hanya saja ru‘yah itu tidak disebut ru‘yah karena ada pada mata, sebab bila diciptakan di atas dahi baru disebut ru’yah, akan tetapi itu merupakan puncak kasyf Sebagaimana terpejamnya pelupuk mata merupakan tirai bagi penglihatan mata. Maka kekeruhan nafsu merupakan tirai bagi puncak musyahadah. Karena itulah, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (Q.s. Al-A’raaf: 143).
Dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.” (Q.s. Al-An’am: 103).
Jika tirai (hijab) ini telah tersingkap nanti setelah mati, maka ma’rifat itu pasti berbalik menjadi musyahadah dengan sendirinya. Kadar musyahadah masing-masing orang bergantung pada kadar ma’rifatnya; karenanya, rasa lezat yang dialami para wali Allah Swt. itu lebih dibandingkan rasa lezat yang dirasakan atau dialami oleh yang lain. Allah Swt. tajalli dan tampak bagi Abu Bakar r.a. secara khusus dan tampak secara umum bagi manusia.
Demikian pula, yang melihat-Nya hanyalah orang-orang arif, sebab ma’rifat merupakan awal dari penglihatan, bahkan ma’rifat itulah yang dapat berubah menjadi musyahadah, seperti berubahnya fantasi menjadi penglihatan mata. Karena itu, Dia tidak butuh lawan banding. Rahasia tentang hal ini sangat panjang, silakan Anda merujuk dan membacanya pada Bab “Al-Mahabbah” dalam kitab Al-Ihya’.
Tentu saja jika penglihatan mata Anda kepada yang Anda senangi, dan bila Anda memandangnya dari sebuah tirai tipis pada saat awan kemerah-merahan, dan pada saat kalajengking dan lalat besar
menyibukkan dan menyengat dari balik pakaian Anda, maka penglihatan Anda jadi lemah.
Apabila secara tiba-tiba matahari terbit sekaligus, sehingga tirai tipis itu sirna, kemudian lalat dan kalajengking itu menyingkir, lalu bara cinta yang amat sangat itu menghunjam Anda, tentu rasa lezat yang amat sangat yang telah digapai saat ini tidak bisa dibandingkan dengan yang sebelumnya. Demikianlah, tidak ada yang bisa menyamai kelezatan pandangan mata, kecuali kelezatan ma’rifat, bahkan ma’rifat itu jauh lebih lezat dan pandangan mata. Tirai tipis itu adalah hati luar Anda, sedangkan kalajengking itu adalah kesibukan, kesedihan dan kecenderungan pada kehidupan dunia. Bara cinta yang amat sangat itu adalah rasa yang disebabkan oleh sirnanya kendala dan hal-hal yang menghambat dan menyulitkan. Pancaran matahari adalah kesiapan mata kalbu untuk menerima beban tajalli, yakni ketampakan yang sempurna. Dalam hidup ini, tidak mungkin mata kelelawar dapat menahan sinar matahari.
Bahwa kesenangan ma’rifatullah itu menjadi lemah karena berdesak-desakannya ragam keinginan. Sebenarnya ma’rifatullah itu tersembunyi, semata karena kilauan penampakan ma’rifat.
Suatu contoh adalah demikian, Anda tahu bahwa sesuatu yang paling jelas adalah benda-benda yang dapat diindera, diantaranya adalah yang dapat dilihat dengan penglihatan mata, juga cahaya yang menjadikan sesuatu jelas atau terang kepada Anda. Selanjutnya, jika matahari itu terbit terus-menerus tanpa terbenam dan tidak memiliki bayang-bayang, niscaya Anda tidak akan tahu wujud cahaya. Anda melihat warna-warna, maka yang Anda lihat hanyalah warna merah, hitam dan putih.
Jadi, cahaya dapat diketahui — dapat ditangkap oleh mata — bila matahari itu terbenam, atau terdapat tirai yang menghalanginya, sehingga tampaklah ada bayang-bayang, dan Anda akan tahu — dengan beraneka ragam situasinya karena gelap dan terang — bahwa cahaya itu suatu hal yang bila ditampakkan pada aneka warna, ia menjadi terlihat.
Apabila Allah itu diproyeksikan secara gaib, atau terbayang, cahaya-cahaya kekuasaan-Nya itu, ada tirai yang menghalangi segala sesuatu, tentu saja Anda mengetahui adanya kesenjangan yang mendesak pada ma’rifat. Namun seluruh yang ada, ketika sama-sama menyatakan penyaksian kemahatunggalan Sang Maha Pencipta tanpa beda, maka persoalannya menjadi tersembunyi, dikarenakan pancaran sinarnya yang sangat terang-benderang itu.
Andaikata tergambar lenyapnya cahaya-cahaya kekuasaan-Nya dan langit dan bumi, tentu semua itu (langit dan bumi) akan musnah. Pada saat itulah diketahui adanya kesenjangan yang menuntut terwujudnya ma’rifat terhadap kekuasaan dan Yang Kuasa.
Berikut ini adalah contoh lain, di balik contoh mi terdapat rahasia-rahasia, di dalamnya ada kekeliruan. Silakan Anda mencermatinya dengan sungguh-sungguh, barangkali mampu memahami rahasia-rahasianya. Anda jangan merasa kacau dan bingung pada posisi yang keliru, pada kekeliruan yang Anda dapatkan. Diantaranya adalah kekeliruan orang yang berkata, “Dia ada di setiap tempat. Namun setiap orang yang mencari-Nya ke suatu tempat atau ke sebuah arah, justru akan tersesat dan hina.” Puncak penglihatannya kembali pada tindakan-tindakan binatang yang dapat diindera, hanya saja tidak dapat melanipaui kondisi tubuh dan hal-hal yang terkait dengannya.
Derajat iman pertama adalah, kemampuan untuk melampauinya, di Situ manusia menjadi manusia, terlebih lagi apabila menjadi manusia Mukmin.
Cinta itu memiliki banyak indikasi, cukup panjang untuk mengalkulasikannya. Diantaranya adalah, mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu, terwujudnya sikap takwa dengan wara’, menjaga aturan-aturan syariat.
Indikasi-indikasi lainnya adalah, rasa rindu untuk bertemu Allah, lepas dari rasa takut mati, kecuali dari segi memperlihatkan rasa rindu pada bertambahnya ma’rifat. Sebab, lezatnya rasa musyahadah bergantung pada kadar kesempurnaan ma’rifat, dimana ma’rifat merupakan permulaan atau awal dan musyahadah. Jadi, kadar musyahadah itu berbeda-beda bagi masing-masing orang sesuai dengan perbedaan kadar ma’rifatnya.
Indikasi lainnya adalah, ridha terhadap ketetapan Allah, dengan posisi yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Agar tidak terpedaya oleh bisikan yang mengganggu yang terlintas dalam dirinya, hingga ia mengira bahwa kesibukan itu merupakan esensi cinta kepada Allah Swt. Makna ridha merupakan makna yang sangat mulia.
Kelezatan Ma’rifat Wajah Allah Swt.
Sungguhpun rasa ma’rifat ini sangat lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti di akhirat. Hal itu tidak akan terbayangkan di dunia, karena suatu rahasia yang tidak mungkin tersingkap saat sekarang.
Tidak seyogyanya kata “memandang” di sini Anda pahami seperti orang awam dan para teolog (mutakallimun) memahaminya, yang butuh arah pasti untuk menentukan tolok ukur dan batasannya. Tentunya ini dari sudut pandang orang yang menekuni alam nyata, yang tidak melampaui benda-benda yang dapat diindera, yang merupakan sasaran indera kebinatangan.
Anda harus memahami, bahwa hadirat ketuhanan (al-hadharat arrububiyah), bentuk dan susunannya yang ajaib — berupa keindahan, keelokan, kebesaran, kemuliaan, keagungan dan keluhuran, yang merindu dalam kalbu seorang ahli ma’rifat, sebagaimana watak bentuk rupa alam inderawi, dalam indera Anda; walaupun Anda menutup mata, tapi Anda seakan-akan melihatnya. Jika membuka mata, Anda mendapatkan bentuk sesuatu yang diindera sama seperti bentuk rupa yang difantasikan sebelum dibukanya mata, tidak berbeda sama sekali. Hanya saja — dibandingkan dalam bentuk fantasi — bentuk rupa itu diindera dalam wujud yang sangat jelas.
Demikian pula seharusnya Anda tahu, bahwa mengindera sesuatu yang tidak masuk atau bukan obyek fantasi dan indera, ada dalam dua tingkatan kejelasan yang berbeda. Perumpamaan pertama dengan yang kedua identik dengan perumpamaan penglihatan pada fantasi. Yang kedua merupakan puncak tersingkapnya tirai (kasyf) , yang disebut penyaksian langsung (musyahadah) dan penglihatan langsung (ru’yah). Hanya saja ru‘yah itu tidak disebut ru‘yah karena ada pada mata, sebab bila diciptakan di atas dahi baru disebut ru’yah, akan tetapi itu merupakan puncak kasyf Sebagaimana terpejamnya pelupuk mata merupakan tirai bagi penglihatan mata. Maka kekeruhan nafsu merupakan tirai bagi puncak musyahadah. Karena itulah, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (Q.s. Al-A’raaf: 143).
Dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.” (Q.s. Al-An’am: 103).
Jika tirai (hijab) ini telah tersingkap nanti setelah mati, maka ma’rifat itu pasti berbalik menjadi musyahadah dengan sendirinya. Kadar musyahadah masing-masing orang bergantung pada kadar ma’rifatnya; karenanya, rasa lezat yang dialami para wali Allah Swt. itu lebih dibandingkan rasa lezat yang dirasakan atau dialami oleh yang lain. Allah Swt. tajalli dan tampak bagi Abu Bakar r.a. secara khusus dan tampak secara umum bagi manusia.
Demikian pula, yang melihat-Nya hanyalah orang-orang arif, sebab ma’rifat merupakan awal dari penglihatan, bahkan ma’rifat itulah yang dapat berubah menjadi musyahadah, seperti berubahnya fantasi menjadi penglihatan mata. Karena itu, Dia tidak butuh lawan banding. Rahasia tentang hal ini sangat panjang, silakan Anda merujuk dan membacanya pada Bab “Al-Mahabbah” dalam kitab Al-Ihya’.
Tentu saja jika penglihatan mata Anda kepada yang Anda senangi, dan bila Anda memandangnya dari sebuah tirai tipis pada saat awan kemerah-merahan, dan pada saat kalajengking dan lalat besar
menyibukkan dan menyengat dari balik pakaian Anda, maka penglihatan Anda jadi lemah.
Apabila secara tiba-tiba matahari terbit sekaligus, sehingga tirai tipis itu sirna, kemudian lalat dan kalajengking itu menyingkir, lalu bara cinta yang amat sangat itu menghunjam Anda, tentu rasa lezat yang amat sangat yang telah digapai saat ini tidak bisa dibandingkan dengan yang sebelumnya. Demikianlah, tidak ada yang bisa menyamai kelezatan pandangan mata, kecuali kelezatan ma’rifat, bahkan ma’rifat itu jauh lebih lezat dan pandangan mata. Tirai tipis itu adalah hati luar Anda, sedangkan kalajengking itu adalah kesibukan, kesedihan dan kecenderungan pada kehidupan dunia. Bara cinta yang amat sangat itu adalah rasa yang disebabkan oleh sirnanya kendala dan hal-hal yang menghambat dan menyulitkan. Pancaran matahari adalah kesiapan mata kalbu untuk menerima beban tajalli, yakni ketampakan yang sempurna. Dalam hidup ini, tidak mungkin mata kelelawar dapat menahan sinar matahari.
Bahwa kesenangan ma’rifatullah itu menjadi lemah karena berdesak-desakannya ragam keinginan. Sebenarnya ma’rifatullah itu tersembunyi, semata karena kilauan penampakan ma’rifat.
Suatu contoh adalah demikian, Anda tahu bahwa sesuatu yang paling jelas adalah benda-benda yang dapat diindera, diantaranya adalah yang dapat dilihat dengan penglihatan mata, juga cahaya yang menjadikan sesuatu jelas atau terang kepada Anda. Selanjutnya, jika matahari itu terbit terus-menerus tanpa terbenam dan tidak memiliki bayang-bayang, niscaya Anda tidak akan tahu wujud cahaya. Anda melihat warna-warna, maka yang Anda lihat hanyalah warna merah, hitam dan putih.
Jadi, cahaya dapat diketahui — dapat ditangkap oleh mata — bila matahari itu terbenam, atau terdapat tirai yang menghalanginya, sehingga tampaklah ada bayang-bayang, dan Anda akan tahu — dengan beraneka ragam situasinya karena gelap dan terang — bahwa cahaya itu suatu hal yang bila ditampakkan pada aneka warna, ia menjadi terlihat.
Apabila Allah itu diproyeksikan secara gaib, atau terbayang, cahaya-cahaya kekuasaan-Nya itu, ada tirai yang menghalangi segala sesuatu, tentu saja Anda mengetahui adanya kesenjangan yang mendesak pada ma’rifat. Namun seluruh yang ada, ketika sama-sama menyatakan penyaksian kemahatunggalan Sang Maha Pencipta tanpa beda, maka persoalannya menjadi tersembunyi, dikarenakan pancaran sinarnya yang sangat terang-benderang itu.
Andaikata tergambar lenyapnya cahaya-cahaya kekuasaan-Nya dan langit dan bumi, tentu semua itu (langit dan bumi) akan musnah. Pada saat itulah diketahui adanya kesenjangan yang menuntut terwujudnya ma’rifat terhadap kekuasaan dan Yang Kuasa.
Berikut ini adalah contoh lain, di balik contoh mi terdapat rahasia-rahasia, di dalamnya ada kekeliruan. Silakan Anda mencermatinya dengan sungguh-sungguh, barangkali mampu memahami rahasia-rahasianya. Anda jangan merasa kacau dan bingung pada posisi yang keliru, pada kekeliruan yang Anda dapatkan. Diantaranya adalah kekeliruan orang yang berkata, “Dia ada di setiap tempat. Namun setiap orang yang mencari-Nya ke suatu tempat atau ke sebuah arah, justru akan tersesat dan hina.” Puncak penglihatannya kembali pada tindakan-tindakan binatang yang dapat diindera, hanya saja tidak dapat melanipaui kondisi tubuh dan hal-hal yang terkait dengannya.
Derajat iman pertama adalah, kemampuan untuk melampauinya, di Situ manusia menjadi manusia, terlebih lagi apabila menjadi manusia Mukmin.
Cinta itu memiliki banyak indikasi, cukup panjang untuk mengalkulasikannya. Diantaranya adalah, mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu, terwujudnya sikap takwa dengan wara’, menjaga aturan-aturan syariat.
Indikasi-indikasi lainnya adalah, rasa rindu untuk bertemu Allah, lepas dari rasa takut mati, kecuali dari segi memperlihatkan rasa rindu pada bertambahnya ma’rifat. Sebab, lezatnya rasa musyahadah bergantung pada kadar kesempurnaan ma’rifat, dimana ma’rifat merupakan permulaan atau awal dan musyahadah. Jadi, kadar musyahadah itu berbeda-beda bagi masing-masing orang sesuai dengan perbedaan kadar ma’rifatnya.
Indikasi lainnya adalah, ridha terhadap ketetapan Allah, dengan posisi yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Agar tidak terpedaya oleh bisikan yang mengganggu yang terlintas dalam dirinya, hingga ia mengira bahwa kesibukan itu merupakan esensi cinta kepada Allah Swt. Makna ridha merupakan makna yang sangat mulia.
No comments:
Post a Comment