Friday, August 10, 2012

Membongkar Ajaran Tasawuf : Ciri Ibadah & Agamanya

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Membongkar Ajaran Tasawuf : Ciri Ibadah & Agamanya

 Penulis: Syaikh Shalih Fauzan al Fauzan
.: :.
Sikap Kalangan Tasawuf Dalam Ibadah Dan Agama

Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :
1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.
Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.

Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

إِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.

Al Allamah Ibnu Qoyyim berkata :
وَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ
مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ
وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ
مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ
Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya
Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub
Dan di atas keduanya rotasi ibadah berputar.
Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.

Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq [9], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah [10] dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [11], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”

Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.
Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [12]
Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ [آل عمرن: 31]

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)
Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.

Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.

Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.

2. Kalangan sufi pada umumnya tidak menem-puh cara keberagamaan yang benar, yaitu beribadah dengan tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka justru merujuk kepada selera mereka atau apa yang diajarkan guru-guru mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah. Kadang-kadang mereka berdalil dengan kisah-kisah, mimpi-mimpi atau hadits-hadits maudhu’ [13] untuk mendukung pendapat mereka ketimbang berdalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun di atasnya “agama” sufi.

Sebagaimana diketahui bahwa sebuah ibadah tidak dikatakan ibadah yang shahih (benar) kecuali jika dia dibangun di atas landasan Al Quran dan As Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Mereka –orang-orang Sufi- berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada rabb mereka seba-gaimana berpegang teguhnya orang-orang nashara terhadap ucapan-ucapan mutasyabih (samar) atau hikayat-hikayat yang tidak diketahui sejauh mana kebenaran yang menceritakannya, seandainyapun benar dia bukanlah orang yang ma’shum. Maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka……”
Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah dengan tidak kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah Ta’ala :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
[الأنعام: 153]
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya…”. (Al An’am 153)

Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan menceraiberaikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus (sirathal mustaqim). Masalah ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah (kelompok) memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqoh yang lain. Setiap firqah memiliki Syaikh (guru) yang mereka namakan syek tariqah (guru tarekat) yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan menjauh dari siratalmustaqim (jalan yang lurus). Dan Syaikh ini yang mereka sebut Syaikh tariqah memiliki wewenang mutlak untuk menentukan sedang mereka (murid-muridnya) hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantahnya sama sekali . Bahkan hingga mereka berkata:
الْمُرِيْدُ مَعَ شَيْخِهِ يَكُوْنُ كَالْمَيِّتِ مَعَ غَاسِلِهِ
“Al-Murid [14] dihadapan Syaikhnya bagaikan mayat di-hadapan orang yang memandikannya”.

Kadang-kadang sebagian Syaikh tersebut mengaku bahwa apa yang diperintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah.

3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada zikir-zikir atau wirid-wirid yang telah ditetapkan guru-guru mereka.
Mereka menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Quran. Mereka menamakannya sebagai zikrul khashshah (zikir untuk orang-orang khusus). Sedangkan zikir yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan zikirulammah (zikir untuk orang awam). Ucapan لا إله إلا الله bagi mereka adalah zikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz: الله, dan zikir khassatul khashshah (yang lebih khusus lagi) adalah :هو (Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapan:
لا إله إلا الله sebagai zikirulammah dan zikirulkhassah-nya adalah kata tunggal (الله), dan zikir yang lebih khususnya lagi (هو) yaitu isim dhomir (kata ganti) maka dia sesat dan menyesatkan. Jika mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ[
الأنعام : 91]
“Katakan: “Allah” (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya” (Al An’am: 91)
Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya. Karena kata (الله) disebut dalam ayat tersebut sebagai perintah atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala :

مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوْسَى نُوْراً وَهُدىً لِّلنَّاسِ
[الأنعام: 91]
“Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”
hingga firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ
“Katakanlah: Allah”
maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Quran yang dibawa Musa alaihissalam.
Kata Allah merupakan mubtada’ (yang diterangkan) dan khobar-nya (yang menerangkan) adalah kalimat pertanyaan tersebut. Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya: Siapa tetanggamu ?, maka dia menjawab: Zaid. Sedangkan kata tunggal baik tampak ataupun kata gantinya tidaklah dikatakan kalimat sempurna, bukan juga susunan yang dipahami (jumlah mufidah), tidak juga berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama pendahulu yang me-nyebutkannya, tidak juga diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga memberikan ma’rifah (pemahaman) yang bermanfaat dalam hati atau keadaan. Dan ketika diberikan gambaran secara mutlak, maka dia tidak mengandung hukum nafy (peniadaan) dan itsbat (penetapan) [15] hingga sebagian mereka yang mengamalkan dengan kontinyu zikir dengan kata tunggal (الله) atau dengan: (هو) terjerumus dalam sebagian pemahamam atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) atau semacam kepercayaan manunggaling (kepercayaan bersatunya Allah dengan makhluknya). Sedangkan apa yang disinyalir bahwa sebagian Syaikh berkata :
“Saya takut mati dalam keadaan antara nafy (meniadakan tuhan) dan itsbat (menetapkan Allah)”.
Sesungguhnya kondisi seperti itu tidak akan ditemui oleh yang mengucapkannya. Tidak diragukan bahwa dugaan tersebut terdapat kekeliruan, karena jika seseorang mati dalam kondisi tersebut (antara meniadakan Tuhan dan menetapkan Tuhan) maka dia mati dalam keadaan apa yang dia niatkan atau yang dia maksud, karena amal itu tergantung niatnya. Apalagi ada riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentalqinkan orang yang sedang sekarat dengan ucapan : لا إله إلا الله, seraya bersabda :
» مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ «
“Siapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, dia masuk syurga”
Seandainya apa yang dia sebutkan terlarang, niscaya orang yang sedang sekarat tidak di-talqinkan dengan kalimat yang dikhawatirkan dia meninggal dalam keadaan tidak terpuji. Karena itu zikir dengan kata tunggal (الله) atau kata ganti (هو) merupakan sesuatu yang jauh meninggalkan sunnah dan termasuk kepada bid’ah serta lebih dekat kepada penyesatan setan. Karena siapa yang mengatakan :
يَا هُوَ يَا هُوَ atau هُوَ هُوَ
atau yang semacamnya, maka tempat kembali dari kata ganti tesebut tidak lain kecuali apa yang digambarkan hatinya, sedangkan hati bisa jadi mendapat petunjuk atau sesat. Pengarang kitab “Al-Fushush” telah menyusun suatu kitab yang diberi nama : “الهُو” (Sang Dia).
Sebagian mereka menyangka bahwa maksud firman Allah Ta’ala :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ
[آل عمران : 7]
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. (Ali Imran: 7)
adalah: tidak ada yang mengetahui tafsir dari nama ini yang ternyata dia selain Dia.
Kaum muslimin bahkan para pemikir sepakat bahwa hal tersebut merupakan kebatilan yang nyata. Bisa jadi ada sebagian yang memiliki pemahaman yang sama. Saya katakan kepada sebagian yang mengatakan hal seperti itu bahwa seandainya itu yang anda katakan maka niscaya ayatnya berbunyi: وما يعلم تأويل هو dengan terpisah [16], maksudnya kata (هو) ditulis terpisah dari kata (تأويل) ..
4. Sikap berlebih-lebihan kalangan tasawuf terhadap -siapa yang mereka katakan- para wali dan Syaikh yang bertentangan dengan aqidah Ahlus-sunnah waljamaah.
Aqidah Ahlussunnah Waljamaah adalah aqidah yang membela wali-wali Allah dan memerangi musuh-musuhnya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلَـوةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـوةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
[المائدة : 55]
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.(Al Ma’idah: 55)
يَـأَيـُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَـاءَ
[الممتحنة : 1]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (Al Mutahanah: 1)
Wali-wali Allah adalah orang-orang beriman yang bertaqwa, yaitu mereka yang menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka tunduk kepada-Nya. Kita wajib mencintai mereka, mengikuti jejak langkah mereka dan menghormati mereka. Kewalian bukan merupakan jatah bagi orang-orang tertentu, setiap mu’min yang bertaqwa adalah wali Allah Ta’ala, tetapi dia bukan orang yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Inilah makna kewalian dan kewajiban mereka menurut pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sedangkan kalangan tasawuf memiliki pengertian dan ciri-ciri sendiri mengenai wali, mereka menentu-kan status kewalian kepada orang-orang tertentu tanpa landasan syari’at atas kewalian mereka, bahkan bisa jadi mereka memberikan status wali kepada orang yang tidak diketahui keimanannya dan ketaqwaannya, atau justru dia dikenal sebagai wali dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai kewalian yang dimaksud dalam ajaran Islam, seperti sihir, tipu muslihat dan menghalalkan yang haram. Bahkan mereka kalangan tasauf lebih mengutamakan untuk memohon kepada para wali tersebut daripada kepada para nabi sebagaimana ucapan salah seorang diantara mereka:
مَقَامُ النُّبُوَّةِ فِي بَرْزَخٍ فُوَيْقَ الرَّسُوْلِ وَدُوْنَ الْوَلِيِّ
“Kedudukan kenabian dalam barzakh sedikit lebih tinggi dari kedudukan rasul dan lebih rendah dari wali“

Mereka juga berkata:
“Sesungguhnya para wali mengambil dari tempat malaikat mengambil sesuatu dari sumber itu yang kemudian dia wahyukan kepada para rasul”.
Mereka (kalangan sufi) juga mengaku bahwa para wali tersebut ma’shum.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Banyak manusia yang keliru dalam masalah ini sehingga dia mengira bahwa seseorang adalah wali Allah, dia juga mengira bahwa wali Allah adalah setiap orang yang perkataannya dan perbuatannya diterima dan dipegang meskipun bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, lalu mereka setuju dengan orang tersebut dan menentang apa yang Allah ajarkan lewat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah Allah wajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk membenarkan apa yang diberitakan dan mentaati apa yang diperintahkan. mereka (kalangan tasauf) menyerupai orang-orang Nashrani yang Allah katakan tentang mereka :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَـهاً وَاحِداً، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ [التوبة : 31]
“Mereka menjadikan ulama, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka memper-tuhankan) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
(At Taubah: 31)
Di dalam Al-Musnad dan dishahihkan oleh Turmuzi dari ‘Adi bin Hatim tentang tafsir ayat di atas ketika Nabi menyatakan hal itu (orang-orang Kristen yang menyembah pendeta-pendeta mereka), maka dia (‘Adi bin Hatim) berkata: Sungguh mereka tidak menyembah pendeta-pendetanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukankah mereka (pendeta-pendeta itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan serta mengharamkan untuk mereka apa yang dihalalkan kemudian mereka menta’atinya?, itulah bentuk ibadah mereka kepada pendeta-pendetanya”.
Sikap orang-orang Nashrani ini banyak anda dapatkan pada kebanyakan dari mereka (orang-orang tasawuf): Misalnya adanya keyakinan bahwa seseorang yang menjadi wali Allah, dia dapat mengetahui berbagai perkara atau kejadian yang terjadi diluar adat kebiasaan, misalnya dengan menunjuk kepada seseorang, maka dia langsung mati, atau terbang di udara ke Mekkah, atau berjalan di atas air, atau memenuhi ketel dari udara, atau ada sebagian orang yang meminta pertolongan dengannya saat dia tidak ada atau setelah kematiannya kemudian disaksikan-nya bahwa orang itu mendatanginya dan memenuhi permintaannya, atau memberitahu manusia tentang barang yang kecurian, barang yang hilang, penyakit atau yang semacamnya. Semua hal tersebut bukan menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah.
Bahkan para ulama sepakat bahwa seseorang yang mampu terbang di udara atau jalan di atas air maka hendaklah kita tidak cepat terpesona sebelum melihat bagaimana dia mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap apa yang diperintahkan dan yang dilarang.
Karomah para wali Allah lebih agung dari semua perkara-perkara aneh tersebut. Kejadian-kejadian yang terjadi di luar adat kebiasaan manusia, pelakunya bisa jadi wali Allah dan bisa jadi musuh Allah, karena hal tersebut banyak terjadi pada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, ahli kitab dan orang-orang munafik, dapat juga terjadi pada ahli bid’ah atau mungkin bersumber dari syetan. Karena itu seseorang tidak boleh menyangka bahwa siapa yang memiliki perkara aneh luar biasa maka dia adalah wali Allah. Akan tetapi wali Allah dapat dinilai dengan sifat-sifat, amal perbuatan dan tingkah laku mereka yang ditunjukkan oleh Al-Quran As-Sunnah. Mereka dapat juga diketahui berdasarkan cahaya Al Quran, hakekat keimanan yang tersembunyi dan syari’at Islam yang tampak.
Semua kejadian di atas (kejadian di luar adat kebiasaan manusia) dan yang semacamnya bisa saja terjadi pada seseorang yang tidak pernah berwudhu, tidak shalat fardhu, berkubang dengan najis dan bergaul dengan anjing, yang bersemedi di wc-wc, tempat-tempat kotor, kuburan dan tempat-tempat sampah. Baunya busuk, tidak bersuci dengan cara yang syar’i serta tidak bersih-bersih.
Jika seseorang dikenal berkubang dengan najis dan hal yang menjijikkan yang disukai setan, atau dia bertapa di kamar mandi dan tempat-tempat kotor yang didiami setan, atau dia memakan ular dan kala-jengking, kumbang, serta kuping anjing yang merupa-kan binatang-binatang yang menjijikkan atau minum air kencing, najis dan semacamnya yang disukai setan, atau dia berdoa kepada selain Allah, meminta tolong kepada makhluk, memohon kepadanya dan sujud di depan Syaikhnya serta tidak memurnikan agama untuk Tuhan semesta alam, atau bergaul dengan anjing atau api atau bertapa di kuburan apalagi ternyata kuburannya adalah kuburan orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani serta orang-orang musyrik, atau benci untuk mendengarkan Al Quran atau menghindar darinya, bahkan dia lebih mengutamakan untuk mendengar nyanyian-nyanyian atau sya’ir-sya’ir atau mendengarkan seruling-seruling setan daripada mendengarkan kalamullah. Maka semua itu merupakan tanda-tanda dari wali-wali setan. [17]
Kalangan tasawuf tidak hanya sampai sebatas itu yaitu dengan memberi gelar kewalian kepada orang semacam mereka, bahkan berlebih-lebihan terhadap mereka dengan memberikan beberapa sifat-sifat ketuhanan kepada mereka, yaitu dengan mengatakan bahwa mereka berperan atas apa yang terjadi di alam raya ini, mengetahui yang ghaib, dapat memenuhi setiap permohonan yang tidak mampu merealisasi-kannya kecuali Allah, nama-nama mereka disebut-sebut saat ada bencana padahal mereka telah mati atau tidak ada ditempat tersebut, mereka diminta untuk memenuhi kebutuhan dan menolak kesulitan, memberikan gelar kesucian dalam kehidupan mereka, kemudian menyembahnya setelah mereka wafat, membangun di atas kuburnya bangunan-bangunan dan mengambil barokah dengan tanah mereka dan thawaf di atas kubur mereka, dan bertaqarrub kepada mereka dengan berbagai macam nazar, menyebut-nyebut nama mereka dalam memohon kebutuhan-kebutuhan mereka. Inilah semua manhaj orang-orang tasawuf dalam masalah perwalian ataupun para wali.

5. Termasuk bagian dari ‘agama tasawuf yang bathil adalah taqarrub-nya mereka kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, memukul rebana dan bertepuk tangan. Mereka katakan bahwa semua itu adalah ibadah kepada Allah.
Dr. Sobir Tu’aimah berkata dalam kitabnya: As-Sufiah Mu’taqadan wa Maslakan (Tasawuf, keyakinan dan jalan hidupnya): “Tarian sufi telah menjadi ciri khas pada sebagian besar tarekat-tarekat tasawuf dalam berbagai kesempatan peringatan kelahiran tokoh-tokoh mereka, yaitu dengan berkumpulnya para pengikut tarekat tersebut untuk mendengarkan alunan suara musik yang keluar dari sekitar dua ratus orang pemusik, baik laki maupun wanita, sementara para pembesar duduk-duduk sambil menghisap berbagai macam rokok dan para pemimpin mereka serta para pengikutnya melakukan bacaan atas sebagian khurofat yang berkaitan orang-orang mati dikalangan mereka. Setelah berbagai penelitian, kami sampai pada kesimpulan bahwa penggunaan musik di kalangan tarekat tasawuf masa kini merujuk kepada apa yang disebut sebagai “Nyanyian kristiani hari Minggu“”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan tentang awal mula timbulnya tasawuf serta sikap para ulama tentang hal tersebut dan apa saja yang mereka perbuat.
“Ketahuilah bahwa hal tersebut bukan muncul pada kurun tiga abad pertama yang terkenal utama, tidak di Hijaz [18] tidak juga di Syam [19], tidak di Yaman tidak juga di Mesir, tidak di Maroko tidak juga di Irak, tidak juga di Khurasan. Di negri-negri tersebut tidak ada –pada waktu itu- orang alim, shaleh, zuhud dan ahli ibadah yang berkumpul untuk mendengarkan tepuk tangan dan suara bersiul, dengan rebana atau dengan telapak tangan, tidak juga dengan potongan kayu. Akan tetapi semua itu terjadi di akhir abad ke tiga. Dan ketika para imam melihatnya, merekapun mengingkarinya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Ketika saya meninggalkan Baghdad ada sesuatu yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq yang mereka namakan Taghbir (nyanyian sufi) yang menghalangi orang dari Al Quran”. Yazid bin Harun berkata : “Tidak ada yang melakukan nyanyian sufi kecuali orang yang fasiq, entah kapan hal itu berawal ?”.
Imam Ahmad ditanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab: Saya tidak menyukainya, itu adalah perkara yang diada-adakan. Ada yang berkata: Apakah kita boleh duduk bersama mereka, beliau menjawab: Jangan. Begitu juga semua imam agama membencinya, para pembesar masyaikh tidak menghadirinya, Ibrahim bin Adham tidak menghadirinya tidak juga Fudhail bin Iyadh, tidak juga Ma’ruf Al Karkhi, tidak Abu Sulaiman Ad-Daariny, tidak juga Ahmad bin Abilhawary, Sirry Saqty dan yang semacam mereka.
Sedangkan sejumlah ulama terhormat yang sempat menghadiri acara-acara mereka, pada akhirnya meninggalkannya, tokoh-tokoh ulama mencela pelaku-pelakunya sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Qadir dan Syaikh Abul Bayan dan lain-lainnya. Sedangkan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa hal tersebut bersumber dari orang-orang zindiq, beliau adalah seorang imam dan ahli dalam Ushululislam (kaidah dasar-dasar Islam). Disamping karena hal tersebut tidak didengar kecuali oleh mereka yang dituduh zindiq seperti Ibnu Ruwandi, Al-Farabi dan Ibnu Sina serta yang semacam mereka. Sedangkan orang-orang yang hanif pengikut Ibrahim –alaihis-salam- yang Allah jadikan dia sebagai imam dan penganut agama Islam yang tidak menerima dari seorangpun agama selainnya dan mengikuti syariat Rasul terakhir Nabi Muhammad saw, maka tidak ada pada mereka orang yang menyukainya dan menye-rukan kepada perbuatan semacam itu. Mereka (yang dimaksud orang Islam) adalah pengikut Al Quran, keimanan dan petunjuk dan kebahagiaan, cahaya dan kemenangan, ahli ma’rifah, ilmu dan keyakinan serta keikhlasan kepada Allah, mencintai-Nya, tawakkal kepada-Nya, takut dan kembali kepada-Nya.

Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hakekat agama ini, keadaan hati, ma’rifahnya, seleranya serta perasaannya segera mengetahui bahwa mendengarkan orang yang bersiul dan bertepuk tangan tidaklah mendatangkan manfaat bagi hati dan kemaslahatan, tetapi justru mengandung kemudha-ratan dan bahaya yang lebih parah, hal tersebut bagi ruh seperti khamar bagi jasad, karena mengakibatkan pelakunya mabuk melebihi mabuknya seseorang dari khamar sehingga mereka merasakan kelezaran tanpa dapat membedakan, sebagaiman yang dirasakan orang yang mabuk karena minum khamar, bahkan dapat terjadi lebih banyak dan lebih besar dari peminum khamar, mencegah mereka dari zikir kepada Allah dan dari shalat melebihi apa yang dapat mencegah mereka karena minum khamar. Mendatangkan kepada mereka pertikaian dan permusuhan lebih besar dari apa yang didapatkan dari khamar”.
Dia juga berkata: “Adapun tarian, tidak diperintahkan oleh Allah, begitu juga Rasul-Nya, tidak juga salah seorang imam, akan tetapi Allah berfirman dalam kitab-Nya:
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ [لقمان: 19]
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu”.(Luqman: 19)

وَعِبَادُ الرَّحْمَـنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْناً [الفرقان: 63]
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati”. (Al-Furqan: 63)
maksudnya dengan tenang dan penuh wibawa, sedangkan ibadahnya orang beriman adalah ruku’ dan sujud”.
Bahkan rebana dan tarian tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, tidak pula oleh seseorang dari kalangan salaf umat ini. Adapun perkataan orang-orang bahwa hal tersebut adalah jaring yang digunakan untuk “menjaring” orang-orang awam adalah benar adanya, karena kebanyakan mereka menjadikan jaring tersebut untuk mendapatkan makanan atau roti di atas makanan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيْراً مِنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ النَّاسِ باِلْبَاطِلِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ [التوبة: 34]
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya seba-gian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah”. (At-Taubah: 34)
Yang melakukan hal tersebut adalah tokoh-tokoh kesesatan yang dikatakan kepada pemimpin-pemimpin mereka:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّوْنَا السَّبِيْلاَ ● رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْناً كَبِيْراً [الأحزاب : 67-6]
“Dan mereka berkata: “ Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta’ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (Al Ahzab 67-68)
Sedangkan jala yang dimaksud untuk menjaring massa, sesungguhnya adalah jala yang robek dimana buruannya keluar lagi jika telah masuk ke dalamnya, karena yang masuk untuk mendengar suara-suara bid’ah dalam tarekat sedang dia tidak memiliki landasan syari’at Allah dan Rasul-Nya, akan terwarisi dalam dirinya kondisi yang parah…. [20].
Kalangan tasawuf yang mendekatkan diri kepada Allah dengan nyanyian dan tarian, tepat bagi mereka firman Allah Ta’ala :
الَّذِيْنَ اتَّخَذُوا دِيْنَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً [الأعراف: 51]
“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau” (Al-A’raf: 51)

6. Termasuk dari kebathilan ajaran tasawuf adalah apa yang mereka katakan bahwa ada derajat dimana orang yang memilikinya dapat keluar dari beban syariat seiring meningkatnya derajat tasawuf orang tersebut.
Mulanya tasawuf bermakna -sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi: Olah jiwa-: “membentuk watak dengan mengusir prilaku buruk dan mengarahkannya kepada akhlak mulia, berupa zuhud, santun, sabar, ikhlas dan jujur”.
Inilah yang dipahami oleh generasi pertama dari kalangan tasawuf, kemudian Iblis mengecoh mereka dalam beberapa hal, kemudian menyesatkan orang-orang sesudah mereka dan pengikut mereka. Maka setelah berlalu satu abad, keinginan Iblis untuk menyesatkan semakin menjadi-jadi hingga berhasil menyesatkan generasi belakangan. Prinsip dari penyesatan Iblis adalah mencegah mereka dari ilmu dan menggiring mereka kepada pemahaman bahwa yang paling penting adalah amal [21], maka ketika pelita ilmu padam dari mereka, mereka berjalan terhuyung-huyung dalam kegelapan, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah meninggalkan dunia secara keseluruhan, mereka menolak merawat tubuh mereka dan menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka lupa bahwa harta diciptakan untuk maslahat, mereka berlebih-lebihan membebani jiwa hingga ada diantara mereka yang hampir-hampir tidak pernah berbaring. Mereka sebenarnya punya tujuan yang baik, akan tetapi cara mereka tidak tepat. Diantara mereka yang karena sedikit ilmunya beramal berdasarkan hadits-hadits palsu (maudhu) sedang dirinya tidak mengetahuinya, kemudian datang setelah itu orang-orang berbicara kepada mereka tentang lapar, kefakiran, was-was (keraguan) dan lintasan-lintasan pemikiran lalu mereka mengarang buku tentang hal tersebut; seperti Harits Al-Muhasibi, kemudian datang yang lain lagi lalu menyusun mazhab sufi dan memberinya kekhu-susan dengan sifat-sifat tertentu; penampilan lusuh, nyanyian sentimentil, tarian dan tepuk tangan. Kemudian perkaranya terus berkembang, para guru tarekat tersebut meletakkan beberapa perkara dan berbicara tentang kondisi-kondisi mereka, dan mereka jauh dari ulama, mereka melihat bahwa pada guru mereka terdapat kelebihan sehingga mereka menyebutnya dengan ilmu batin sementara ilmu syariat mereka anggap sebagai ilmu zahir. Diantara mereka ada yang karena rasa lapar melahirkan khayalan-khayalan yang rusak sehingga mereka mengaku tengah bermesraan dengan Al-Haq dan terbuai dengan-Nya. Seakan-akan mereka sedang menghayal seorang yang dengan paras menawan yang membuat mereka jatuh hati.

Mereka berada dalam kekufuran dan bid’ah, kemudian dari berbagai kaum yang ada mereka terpecah-pecah dalam berbagai macam tarekat, maka rusaklah aqidah mereka. Diantara mereka ada yang menyatakan ajaran Al-Hulul (peleburan antara dirinya dengan tuhan), ada juga yang mengatakan Al-Ittihad (Tuhan berada dalam dirinya), dan Iblis terus menjerumuskan mereka dengan berbagai macam bid’ah hingga mereka menjadikan untuk diri mereka ajaran-ajaran tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang kaum yang terus menerus melakukan olah jiwa kemudian mereka menyatakan bahwa diri mereka telah sampai pada tingkatan hakekat. Lalu mereka berkata: “kami sekarang tidak peduli lagi dengan apa yang kami ketahui, sesungguhnya perintah dan larangan adalah aturan untuk orang awam, seandainya mereka telah sampai pada hakekat maka gugurlah segala kewajiban pada mereka, dan kandungan kenabian itu adalah untuk mendatangkan hikmah dan maslahat, tujuan-nya adalah untuk mengikat orang orang awam, dan kami bukan lagi termasuk orang awam, kami telah masuk pada wilayah disingkirkannya setiap beban, karena kami telah sampai pada hakekat dan telah mengetahui hikmah”.
Maka Syaikhul Islam menjawab: “Tidak diragukan bagi kalangan berilmu dan beriman bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan yang sangat sarata dengan kekufuran, dia lebih buruk dari ucapan orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang Yahudi dan orang Nashrani mengimani sebagian isi Al Kitab dan ingkar kepada sebagian lainnya. Mereka (Yahudi dan Nash-rani) memang benar-benar orang kafir, tapi mereka tetap mengakui bahwa Allah memiliki perintah dan larangan, janji dan ancaman dan semua itu mengenai diri mereka juga hingga mati, hal ini jika mereka tetap berpegang teguh terhadap Agama Yahudi dan Nashrani yang sudah diubah dan dihapus, adapun orang-orang munafik di kalangan mereka sebagaimana pada umumnya, terjadi pada filosuf mereka, mereka lebih buruk dari kalangan munafik umat ini (umat Islam), karena mereka menampakkan kekufuran dan menyembunyikan kemunafikan, maka mereka lebih buruk dari yang orang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kemunafikan”.
Maksudnya adalah bahwa orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan sejumlah keyakinan yang telah dihapus dan kandungannya telah mengalami perubahan itu lebih baik dari mereka yang mengaku telah gugurnya perintah dan larangan dalam diri mereka secara keseluruhan, karena dengan demikian mereka keluar dari semua kitab-kitab suci, syariat-syariat dan ajaran-ajaran dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Allah baik perintah maupun larangan. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih memegang teguh dengan sisa-sisa ajaran Nabi Ibrahim alaihissalam, karena pada diri mereka ada sedikit kebenaran yang mereka pegang teguh, meskipun dengan demikian mereka tetap orang-orang musyrik. Sedang mereka, orang-orang yang mengaku tersebut tidak ada keterikatan sama sekali dari kebenaran karena mereka mengaku bahwa semua itu sia-sia, tidak ada lagi perintah dan larangan buat mereka. Diantara mereka ada yang berhujjah dengan firman Allah Ta’ala :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ [الحجر: 99 ]
“Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99)
Mereka mengatakan bahwa artinya adalah : “Sem-bahlah Tuhanmu hingga kamu meraih ilmu dan ma’rifah, jika kamu mendapatkan hal tersebut maka gugurlah kewajiban ibadah darimu”. Sebagian lain mungkin ada yang berkata: “Beramallah hingga engkau mencapai derajat tertentu, jika telah sampai derajat tasawuf, maka gugurlah ibadah darimu”. Dan mereka adalah orang-orang yang apabila telah tercapai maksudnya berupa ma’rifah dan kondisi tertentu, maka baginya diperbolehkan untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melaksanakan yang diharamkan. Ini adalah kekufuran sebagaimana yang telah lalu. Dalil mereka atas firman Allah Ta’ala :
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ
[الحجر : 99 ]
“Dan sembahlah tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal))”. (Al-Hijr: 99)
sebenarnya itu adalah dalil yang memberatkan mereka bukan yang membela mereka. Hasan Basri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak membatasi kapan seseorang boleh meninggalkan amal shaleh kecuali setelah datang kematiannya”, kemudian beliau membaca ayat : واعبد ربك حتى يأتيك اليقين, karena yang dimaksud اليقين dalam ayat tersebut adalah kematian dan sesudahnya berdasarkan kesepakatan ulama. Hal tersebut seperti firman Allah Ta’ala:

وَمَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ  قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ  وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَ  وَكُنَّا نَخُوْضُ مَعَ الْخَائِضِيْنَ  وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّيْنِ  حَتَّى أَتَانَا الْيَقِيْنَ[المدثر: 42-47]
“Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar (neraka) ?”. Mereka menjawab: “ Kami dahulu termasuk orang-orang yang tidak mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan. Hingga datang kepada kami kematian”. (Al-Mudatsir: 42-47)

Hal ini mereka katakan saat mereka berada dalam neraka jahannam, mereka katakan bahwa dosa yang mereka perbuat adalah meninggalkan shalat dan zakat serta mendustakan hari kiamat, membicarakan yang bathil kepada orang-orang yang bathil, hingga datang kepada mereka kematian (اليقين). Sebagaiman diketahui bahwa saat mereka berkata demikian, mereka bukanlah orang-orang beriman dengan semua itu di dunia ini dan bukan pula orang-orang yang Allah katakan tentang mereka:
وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ [البقرة: 4]
“Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat“
(Al-Baqarah: 4)
Jadi yang dimaksud dengan ayat: Hattaa ya’tiyakal yakin, adalah hingga datang kepada mereka apa yang dijanjikan, yaitu Al-yaqin (kematian).

Ayat tersebut menunjukkan atas wajibnya ibadah bagi seorang hamba sejak dia menginjak usia baligh dan berakal hingga kematiannya. Dan tidak ada kondisi sebelum kematian dimana beban kewajiban menjadi gugur sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang tasawuf.

Penutup
Itulah “agama” tasawuf yang dulu maupun sekarang, dan itulah sikap mereka dalam ibadah, kami berbicara tentang mereka semata-mata bersumber dari buku-buku mereka kecuali sedikit saja (yang berasal dari buku diluar mereka) serta buku-buku yang mengkritik mereka dan apa yang menunjukkan aktivitas-aktivitas mereka pada masa kini. Itupun yang saya bahas dari satu sisi saja dari sekian banyak pembahasan pada mereka, yaitu dari sisi ibadah dan sikap mereka tentang hal tersebut. Dan masih banyak sisi-sisi lain yang butuh pembahasan-pembahasan, seperti sikap mereka tentang tauhid, kerasulan, tentang syariat, taqdir dan yang lainnya.

Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar memperlihatkan kepada kita bahwa yang haq itu adalah haq dan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita bahwa yang bathil itu adalah bathil dan memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhinya dan agar Dia tidak menggoyahkan hati-hati kita setelah kita diberi petunjuk oleh-Nya.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Footnote :
9. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah).
10. Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali
11. Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul.
12. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’
13. Hadits yang dibuat-buat (hadits palsu)
14. Orang yang mengikuti salah satu syekh dalam sebuah tarekat sufi.
15. Kalimat tauhid jika diucapkan secara lengkap (لا إله إلا الله) mengandung arti yang sangat penting; yaitu adanya nafy (meniadakan segala bentuk ketuhanan selain Allah/لا إله) dan Itsbat (hanya mengakui Allah sebagai tuhan/إلا الله). Sedangkan jika diucapakan secara mutlak begitu saja dengan lafaz الله maka arti yang sangat penting tersebut akan hilang.
16. Risalah Al-Ubudiyah, hal 117-118, cet. Al-Ifta’
17. Majmu’ Fatawa, 11/210-216
18. Mekkah dan sekitarnya.
19. Sekarang ini menjadi negara Palestina, Yordania, Lebanon dan Syiria.
20. Majmu’ Fatawa (11/569-574)
21. Walau tanpa dilandasi pemahaman yang benar tentang amal tersebut berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah

(Dikutip dari tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan, judul asli حقيقة التصوف وموقف الصوفية
من أصول العبادة والدين, Edisi bahasa Indonesia Hakikat Sufi dan Sikap Kaum Sufi terhadap prinsip Ibadah dan Agama. Diterbitkan oleh Depag Saudi Arabia)

DIarsipkan di bawah: AGAMA, Firqoh, Sufi, Thoriqot & Tasawuf

No comments: