أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan menarik dicermati karena beberapa hal. Buku setebal 353 halaman yang dilengkapi dengan salinan teks asli dan terjemahan bahasa Indonesia ini ditulis oleh Abdul Munir Mulkan, yang dikenal sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga yang bukan hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menggeluti ilmu-ilmu sosial. Karena itu, dalam karyanya ini, Munir Mulkan mendekati karya sastra Jawa dari sudut ilmu sosial-politik. Atas dasar alur cerita dalam karya sastra itu, Munir Mulkan dapat menyingkap adanya oposisi dari kelompok Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya terhadap penguasa kerajaan dan Kesultanan Demak yang didukung oleh Wali Sanga.
Dalam buku ini, Syekh Siti Jenar didudukkan sebagai pengikut Kerajaan Majapahit yang mbalela. Dari alur cerita, Munir Mulkan dapat membuka satu aspek karya-karya satra. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra bukan ilmu sejarah. Karena itu, perlu dicermati pula aspek-aspek lain yang cukup kompleks dalam kritik sastra, misalnya aspek kebahasaan.
Pada garis besarnya, bahasa Jawa berkembang dari bahasa Jawa kuna, dan bahasa itu kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman perkembangan Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, pada abad ke-16, bahasa Jawa kuna kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman Mataram, bahasa itu kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa baru, yang amat halus dan bersifat feodal dengan stratifikasi bahasa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bahasa Jawa menjadi semakin feodal terutama sesudah kekuasaan sosial-politik kesultanan-kesultanan Mataram dirampas penjajah Belanda.
Sebagai kompensasinya, para priayi Jawa hanya bisa menekuni untuk mengembangkan bahasa dan sastra budaya Jawa baru, yang makin diperhalus dan dicanggihkan dengan menyadap dan menjawakan unsur-unsur agama Islam, terutama filsafat moral dan kebatinan dari ajaran sufismenya. Sastra budaya Jawa baru demikian berkembangnya dan mencapai puncak kehalusan dan kecanggihannya pada zaman Surakarta. Ini merupakan awal krida sastrawan-sastrawan dan pujangga-pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta. Pencapaian sastra budaya Jawa untuk mencapai puncak kehalusan ini kemudian diikuti oleh zaman pengaruh budaya Barat, suatu budaya rasional ilmiah yang berwatak dinamis, dan bukan lagi budaya mistik dan mitologi. Makin membanjirnya pengaruh Barat terutama ditandai sesudah peristiwa politik etis. Inilah saat penjajah Belanda mulai membuka sekolah model Barat, yang terkenal sebagai sekolah umum, yakni yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan bukan sekolah agama. Perkembangan seterusnya adalah sesudah peristiwa Sumpah Pemuda, yang mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menyebabkan perkembangan sastra budaya Jawa mengalami kiamat dan kemunduran yang tragis.
Ditinjau dari segi bahasa, cerita tentang Siti Jenar dan dongeng-dongeng tentang Wali Sanga atau wali tanah Jawa bisa dikategorikan sebagai cerita berbahasa Jawa baru yang halus. Para peninjau sastra Jawa umumnya berkesimpulan, munculnya cerita tentang Wali Sanga dalam serat-serat babad, seperti halnya Babad Demak dan Babad Tanah Jawa, diperkirakan pada abad ke-17 Masehi, yakni zaman Mataram. Karena itu, para sastrawannya tidak mengalami dan tidak menyaksikan proses peralihan dari zaman Majapahit ke zaman Demak. Sayangnya, masyarakat Jawa pada umumnya dan para santri khususnya belum bisa membedakan antara sejarah dan serat babad, yang berupa cerita rekaan para sastrawan Jawa seperti halnya cerita dalam serat-serat babad dan dalam serat suluk Jawa. Mereka masih saja percaya bahwa pengislaman di Jawa ini bisa disulap atas jasa sembilan orang wali. Anehnya, serat-serat babad seperti Babad Demak menceritakan bahwa wali-wali dari pesantren, misalnya Sunan Bonang, Sunan Drajat, diimani oleh wali kejawen, yaitu Sunan Kalijaga. Mengapa demikian? Sebab, dalam Serat Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa sesudah Masjid Demak dibangun, adalah Sunan Kalijaga yang mendapat anugerah baju Ontrokusumo dari langit, yaitu wahyu untuk menjadi imam para wali tanah Jawa.
Para sastrawan Jawa menyebut peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, yakni dari zaman “Kabudan” ke zaman Islam. Pada zaman Kabudan, seorang satria yang bertapa lazimnya mendapat petunjuk atau wahyu dari Batara Nerada, sementara pada zaman Islam, adalah Sunan Kalijaga yang menjadi pemberi wahyu para satria yang bertapa.
Jadi, Sunan Kalijaga difungsikan sebagai pimpinan para wali tanah Jawa. Itulah strategi kebudayaan yang dicanangkan oleh para pujangga ilmu kejawen dalam upaya menjalin keserasian hubungan antara lingkungan budaya Istana Mataram, yang ditegakkan atas fondasi sastra budaya warisan kejawen, dan lingkungan sastra budaya pesantren. Itu pula kelihaian para cendekiawan Istana Mataram dalam mengotak-atik strategi sastra budaya untuk membangun jembatan budaya guna menutup jurang perbedaan, agar perbedaan antara lingkungan budaya kejawen lama dan lingkungan budaya pesantren tidak menajam.
Maklum, pada zaman Kesultanan Mataram masa itu hingga zaman penjajahan Belanda, para cendekiawan pengolah sastra budaya adalah para priayi Jawa di lingkungan istana. Para kiai pesantren, sebagai guru-guru tarekat (sufi), tidak memikirkan atau tidak mampu mengotak-atik pembinaan strategi kebudayaan dan tidak butuh memikirkan masalah-masalah sosial-politik.
Hal ini wajar lantaran para priayi Jawa-lah yang masa itu berkepentingan untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen, demi stabilitas kekuasaan kerajaan dan kesatuan dan perdamaian antara masyarakat pesantren dan kejawen. Maka, untuk menunjukkan keunggulan dan kecanggihan warisan sastra budaya kejawen yang halus inilah diciptakan cerita-cerita tentang Wali Sanga seperti Syekh Siti Jenar, Serat Gatholoco, Serat Darmogandhul, Suluk Lebe Lonthang, Serat Wedhatama, Centhini, dan lain-lain. Dongeng Syekh Siti Jenar berkisah dengan gamblang tentang kelebihan dan kehalusan tasawuf kejawen, yang menganut paham manunggaling kawula-Gusti seperti halnya al-Hallaj, dibandingkan dengan tasawuf pesantren yang dianut kedelapan wali lainnya, yang masih terikat lekat pada syariat.
Dalam cerita Siti Jenar ini ditunjukkan, ilmu dan tingkatan makrifat Syekh Siti Jenar lebih sempurna dan benar karena sewaktu leher Siti Jenar dipenggal, keluar darah yang putih. Tampaknya ini kemudian diartikan bahwa Siti Jenar putih hatinya dan benar. Pada zaman Mataram hingga zaman penjajahan, paham tasawuf Siti Jenar menjadi pegangan keislaman para priayi dan raja-raja Jawa. Dalam masa penjajahan, tidak ada raja Jawa dari Mataram yang berani berhaji atau menjadi muslim yang taat. Sebab, masa itu, Islam jadi lambang antipenjajahan dan pendukung setiap pemberontakan. Hal itu wajar karena para kiai pesantren didukung para santri yang taat, sehingga para priayi yang sakit hati dan memberontak melawan Belanda menggunakan atribut Islam, seperti Pangeran Diponegoro dengan sorbannya.
Cerita Syekh Siti Jenar ternyata mengilhami para sastrawan lain untuk menyusun cerita yang mirip penghukuman mati Siti Jenar ini. Hal ini bisa dibaca dalam disertasi S. Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek. Inilah petikan serat Cabolek karya pujangga Yasadipura:
Paman payo ucapena / kojah ereh tanah jawi /apa ana kuna-kuna / panjenenganing nrepati /Demak Pajang Mantawis / nglahirken ngelmu Kak kukum /Mas Ketib Anom turnya / Pamirseng kawula ngalit /inggih angger wonten sami anyapisan //Kang kukum ing Giripura / Seh Siti Jenar ing nguni /kukum inggih saking pedhang / Alam Pademak ing nguni / kukumipun binasmi / pan inggih Pangeran Panggung / Dene duk alam Pajang / Ki Bebeluk dipun-warih /sami denten traping api lawan toya //
Dene karaton Mantaram / Panembahan senapati /lan Panembahan Karapyak / dereng wonten kang marengi /Nunten kang wayah wayah gusti /anjenengan Sultan Agung /wonten kukum satunggal / angrusak sarak anenggih /mila duka Sultan Mukhamad Mantaram //Linabuh wonten Tunjungbang / wong saking mancanegari /pandhusunan Wirasaba / dhukuh ing Wanamarteki /mantunipun Kiyahi / Bayipanurta pukulun /Lakine Tambang Raras / gustine nyai Centhini /abubuka warana Seh Among Raga //
Ketib Anom aturira / Sunan kang sumare Tegil /Mangkurat Paku Buwana / dereng wonten kang nglampahi /mung Kaji Mutamakin / inggih ajeng sisinahu /Gumer ingkang miyarsa / sadaya sami ningali /Ki Cabolek kang pinandeng ing ngakathah //
Ringkasan kisah serat itu adalah: Haji Mutamakin dari Desa Cabolek, Karesidenan Pati, dihadapkan dalam sidang para ulama. Ia dituduh karena mengaku sama dengan Tuhan sesudah mendalami Serat Dewaruci. Sidang ini dipimpin oleh Damang Urawan dan Ketib Anom dan diselenggarakan di Pagelaran Istana Kartasura. Dalam sidang ini, Demang Urawan bertanya kepada Ketib Anom, apakah pada masa lalu para sultan di Jawa juga menghadapi masalah adanya orang yang dihukum karena dipersalahkan mengaku sama dengan Tuhan dan meninggalkan syariat. Ketib Anom menjawab, kerajaan-kerajaan Jawa zaman Islam selalu menghadapi masalah ini satu kali setiap periode. Ketib Anom menjelaskan, pada zaman kasunanan di Giripura, adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum pancung dengan pedang lantaran dipersalahkan mengaku sama (manunggal) dengan Tuhan. Pada masa Kesultanan Demak, adalah Sunan (Pangeran) Panggung yang dihukum bakar (dibakar hidup-hidup) lantaran mengaku sama dengan Tuhan, sedangkan dalam Kesultanan Pajang, Ki Bebeluk dihukum mati dengan jalan ditenggelamkan di dalam air.
Syahdan, pada zaman Mataram, pada masa pemerintahan Sultan Agung, tersebutlah Amongraga, yang mengaku sama dengan Tuhan. Maka, Sultan Agung sangat marah dan Amongraga ditenggelamkan di laut Tunjungbang. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Mangkurat di Kartasura, Haji Mutamakin ingin mencoba menyiarkan ajaran seperti Syekh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat sehingga dibebaskan dari hukuman.
Dalam menghadapi dan menganalisis kandungan sastra Islam kejawen seperti halnya Serat Syekh Siti Jenar, Serat Cabolek, Centhini, dan serat-serat suluk Jawa pada umumnya, kita bersikap cermat dan hati-hati. Mengapa? Sebab, para “dhalang” (sastrawan) penulis cerita Siti Jenar, cerita Haji Mutamakin dalam Serat Cabolek ataupun Centhini, cerita Amir Hamzah dalam serat-serat Menak Jayeng Rana umumnya adalah para pujangga atau sastrawan Jawa di lingkungan Istana Mataram. Disertasi S. Soebardi menjelaskan bahwa Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I, seorang pujangga Istana Mataram, yang semula beribu kota di Kartasura dan kemudian berpindah ke Surakarta (Solo). Kelemahan analisis Abdul Munir Mulkan dalam Bab I Pasal 2 dan 3 adalah karena dia hanya mencantumkan alur cerita dalam teks yang tersurat. Sementara itu, dalam kritik sastra, kita masih perlu menyingkap siapa “dhalang” penulis cerita itu, dan kapan kira-kira Serat Syekh Siti Jenar ditulis, dan lingkup suasana bagaimana yang ditulisnya. Jadi, masih banyak misteri yang harus dikuaknya. Ditinjau dari segi kehalusan sastra bahasanya, Serat Siti Jenar termasuk dalam lingkungan bahasa Jawa baru, yang berkembang pada zaman Mataram. Atau, bahkan para penulisnya jelas orang Solo dan Yogyakarta. Apalagi, tembang Macapat yang dipakai memang berkembang pada zaman Mataram hingga masa pembaruan dan pengislaman sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru. Inilah masa yang oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Jawa disebut zaman Surakarta awal. Jadi, kalau dilacak dari kehalusan bahasanya, Serat Syekh Siti Jenar ditulis pada zaman Mataram.
Karena itu pula, bisa diperkirakan, penulis yang mengotak-atik munculnya cerita Siti Jenar tentu tidak menghayati zaman peralihan dari Majapahit ke Demak. Hal ini berarti Serat Siti Jenar, seperti halnya cerita-cerita Wali Sanga dalam serat-serat babad, adalah cerita rekaan para sastrawan Jawa, bukan karya para kiai di pesantren.
Jadi, cerita para wali, termasuk di dalamnya Siti Jenar, tak bisa dianggap sebagai buku sejarah. Para pujangga Jawa hingga zaman Ranggawarsita, yang dijuluki sebagai pujangga penutup, belum punya rasa kesejahteraan dan belum menguasai ilmu sejarah. Masa itu, mistik dan mitologi masih dominan sehingga jika pembaca menganalisis, alur cerita yang hidup adalah sebuah kisah yang beroposisi terhadap Kerajaan Demak. Sedangkan jika pembaca mampu membaca yang tersirat, cerita itu lebih menyiratkan keunggulan paham manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar, Syekh Amongraga, Syekh Bebeluk, dan Pangeran Panggung, yang dianut lingkungan budaya Islam-kejawen di Mataram, daripada tasawuf pesantren yang ketat terikat pada syariat.
Walaupun alur cerita yang tersurat dalam Siti Jenar dan cerita Wali Sanga pada umumnya menggambarkan pergulatan dalam peralihan dari kerajaan Hindu-kejawen Majapahit ke Kesultanan Demak, bila dicermati, sindiran yang tersirat menggambarkan pergulatan antara paham tasawuf pesantren dan kejawen pada zaman Mataram hingga masa penjajahan Belanda. Paham tasawuf manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar menggambarkan paham yang diunggulkan oleh para priayi kejawen, dan berpusat di lingkungan Istana Mataram, sedangkan tasawuf para wali delapan atau wali sembilan dalam buku Abdul Munir Mulkan mewakili tasawuf pesantren.
Pihak kejawen memandang paham Siti Jenar, walaupun dipersalahkan dan dihukum mati, sebagai ajaran tasawuf yang lebih sempurna dan lebih unggul. Hal itu tampak jelas disiratkan dalam dialog antara Sunan Kudus, sebagai utusan pihak wali pesantren, dan Ki Ageng Pengging, sebagai murid setia Syekh Siti Jenar. Paham keislaman para priayi Jawa pada zaman penjajahan Belanda tergambar jelas dalam Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV.
Sikap keagamaan dalam Wedhatama menggambarkan sikap para raja dan priayi Jawa semenjak zaman Hindu kejawen hingga zaman Islam sebelum masa kemerdekaan. Bagi para priayi Jawa, yang nomor satu adalah nilai kekuasaan (kedudukan). Adapun agama adalah nomor dua dan dijadikan pendukung kekuasaan politik.
Hal ini tampak dalam sejarah semenjak Raja Erlangga hingga Kerajaan Majapahit, ketika demi stabilitas negara, mereka menyatakan menganut agama rangkap, yakni Siwa-Buddha. Dua agama yang di negeri asalnya bermusuhan itu di Jawa bisa disinkretisasi. Maka, dalam menghadapi ajaran mistik Hindu-Buddha dan mistik Islam, para priayi Jawa memilih paham seperti Syekh Siti Jenar, yakni paham yang cenderung ke arah panteisme atau manunggaling kawula-Gusti. Mengapa? Sebab, paham manunggaling kawula-Gusti ini mempunyai beberapa ciri istimewa, di antaranya pemahaman paham panteisme yang bisa disebarkan konsep God king, yakni menyembah raja berarti menyembah Tuhan juga. Jadi, paham Syekh Siti Jenar bisa dijadikan dukungan bagi kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Maka, wajar bahwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa semenjak zaman pengaruh Hindu-Buddha hingga zaman kejawen, paham mistik yang panteistis atau paham Siti Jenarlah yang dikembangkan para raja-raja Jawa. Hal ini bisa dipahami dari disertasi Zoetmulder tentang satra suluk Jawa yang diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Manunggaling Kawula-Gusti. Dan dari kenyataan ini, orang yang mau menjelajahi sastra Jawa zaman Islam akan mudah mengerti mengapa dalam hal ajaran ketuhanan, para pujangga Jawa lebih memilih menyadap dan mengembangkan paham wujudiyah atau martabat tujuh dari sastra sufi Melayu Aceh, sementara dalam hal filsafat kejiwaan dan ajaran moral, mereka menyadap ajaran tasawuf al-Ghazali dari pesantren Jawa.
Membahas buku Syekh Siti Jenar karya Munir Mulkan ini memang sangat mengasyikkan karena buku ini mewakili keunikan sikap para satrawan Jawa dalam mempertahankan warisan tradisi budaya lama dalam perumahan baru, yaitu perumahan Islam. Ternyata, untuk sementara waktu, mereka berhasil menyusun bentuk kompromi yang cukup unik yang melahirkan bentuk keislaman baru yang dinamai Islam-kejawen. Dalam buku Syekh Siti Jenar ini, Islam-kejawen dihadapkan dengan bentuk Islam sufi, yang berkembang dalam masyarakat pesantren. Keunikan Islam sufi adalah ajaran mistik yang dikembangkan dalam perumahan Islam. Maka, lahirlah bentuk baru yang unik pula, yaitu Islam-sufi. Di samping itu, pada abad ke-20, sebuah bentuk Islam baru di Jawa telah lahir, yakni Islam reformasi, yang diwakili oleh golongan Muhammadiyah. Islam reformasi ialah gerakan Islam yang ingin mengembalikan ke Islam sunni yang asli, atas dasar pedoman Alquran dan Sunah. Dalam Islam suni, Islam dipandang sebagai way of life yang khusus sehingga tidak bisa dikompromikan dengan tradisi kejawen dan ajaran mistik yang bertentangan dengan way of life Islam. Maka, pergulatan tiga bentuk keislaman ini menjadi bahan penelitian yang sangat penting.
Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan menarik dicermati karena beberapa hal. Buku setebal 353 halaman yang dilengkapi dengan salinan teks asli dan terjemahan bahasa Indonesia ini ditulis oleh Abdul Munir Mulkan, yang dikenal sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga yang bukan hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menggeluti ilmu-ilmu sosial. Karena itu, dalam karyanya ini, Munir Mulkan mendekati karya sastra Jawa dari sudut ilmu sosial-politik. Atas dasar alur cerita dalam karya sastra itu, Munir Mulkan dapat menyingkap adanya oposisi dari kelompok Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya terhadap penguasa kerajaan dan Kesultanan Demak yang didukung oleh Wali Sanga.
Dalam buku ini, Syekh Siti Jenar didudukkan sebagai pengikut Kerajaan Majapahit yang mbalela. Dari alur cerita, Munir Mulkan dapat membuka satu aspek karya-karya satra. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra bukan ilmu sejarah. Karena itu, perlu dicermati pula aspek-aspek lain yang cukup kompleks dalam kritik sastra, misalnya aspek kebahasaan.
Pada garis besarnya, bahasa Jawa berkembang dari bahasa Jawa kuna, dan bahasa itu kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman perkembangan Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, pada abad ke-16, bahasa Jawa kuna kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman Mataram, bahasa itu kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa baru, yang amat halus dan bersifat feodal dengan stratifikasi bahasa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bahasa Jawa menjadi semakin feodal terutama sesudah kekuasaan sosial-politik kesultanan-kesultanan Mataram dirampas penjajah Belanda.
Sebagai kompensasinya, para priayi Jawa hanya bisa menekuni untuk mengembangkan bahasa dan sastra budaya Jawa baru, yang makin diperhalus dan dicanggihkan dengan menyadap dan menjawakan unsur-unsur agama Islam, terutama filsafat moral dan kebatinan dari ajaran sufismenya. Sastra budaya Jawa baru demikian berkembangnya dan mencapai puncak kehalusan dan kecanggihannya pada zaman Surakarta. Ini merupakan awal krida sastrawan-sastrawan dan pujangga-pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta. Pencapaian sastra budaya Jawa untuk mencapai puncak kehalusan ini kemudian diikuti oleh zaman pengaruh budaya Barat, suatu budaya rasional ilmiah yang berwatak dinamis, dan bukan lagi budaya mistik dan mitologi. Makin membanjirnya pengaruh Barat terutama ditandai sesudah peristiwa politik etis. Inilah saat penjajah Belanda mulai membuka sekolah model Barat, yang terkenal sebagai sekolah umum, yakni yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan bukan sekolah agama. Perkembangan seterusnya adalah sesudah peristiwa Sumpah Pemuda, yang mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menyebabkan perkembangan sastra budaya Jawa mengalami kiamat dan kemunduran yang tragis.
Ditinjau dari segi bahasa, cerita tentang Siti Jenar dan dongeng-dongeng tentang Wali Sanga atau wali tanah Jawa bisa dikategorikan sebagai cerita berbahasa Jawa baru yang halus. Para peninjau sastra Jawa umumnya berkesimpulan, munculnya cerita tentang Wali Sanga dalam serat-serat babad, seperti halnya Babad Demak dan Babad Tanah Jawa, diperkirakan pada abad ke-17 Masehi, yakni zaman Mataram. Karena itu, para sastrawannya tidak mengalami dan tidak menyaksikan proses peralihan dari zaman Majapahit ke zaman Demak. Sayangnya, masyarakat Jawa pada umumnya dan para santri khususnya belum bisa membedakan antara sejarah dan serat babad, yang berupa cerita rekaan para sastrawan Jawa seperti halnya cerita dalam serat-serat babad dan dalam serat suluk Jawa. Mereka masih saja percaya bahwa pengislaman di Jawa ini bisa disulap atas jasa sembilan orang wali. Anehnya, serat-serat babad seperti Babad Demak menceritakan bahwa wali-wali dari pesantren, misalnya Sunan Bonang, Sunan Drajat, diimani oleh wali kejawen, yaitu Sunan Kalijaga. Mengapa demikian? Sebab, dalam Serat Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa sesudah Masjid Demak dibangun, adalah Sunan Kalijaga yang mendapat anugerah baju Ontrokusumo dari langit, yaitu wahyu untuk menjadi imam para wali tanah Jawa.
Para sastrawan Jawa menyebut peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, yakni dari zaman “Kabudan” ke zaman Islam. Pada zaman Kabudan, seorang satria yang bertapa lazimnya mendapat petunjuk atau wahyu dari Batara Nerada, sementara pada zaman Islam, adalah Sunan Kalijaga yang menjadi pemberi wahyu para satria yang bertapa.
Jadi, Sunan Kalijaga difungsikan sebagai pimpinan para wali tanah Jawa. Itulah strategi kebudayaan yang dicanangkan oleh para pujangga ilmu kejawen dalam upaya menjalin keserasian hubungan antara lingkungan budaya Istana Mataram, yang ditegakkan atas fondasi sastra budaya warisan kejawen, dan lingkungan sastra budaya pesantren. Itu pula kelihaian para cendekiawan Istana Mataram dalam mengotak-atik strategi sastra budaya untuk membangun jembatan budaya guna menutup jurang perbedaan, agar perbedaan antara lingkungan budaya kejawen lama dan lingkungan budaya pesantren tidak menajam.
Maklum, pada zaman Kesultanan Mataram masa itu hingga zaman penjajahan Belanda, para cendekiawan pengolah sastra budaya adalah para priayi Jawa di lingkungan istana. Para kiai pesantren, sebagai guru-guru tarekat (sufi), tidak memikirkan atau tidak mampu mengotak-atik pembinaan strategi kebudayaan dan tidak butuh memikirkan masalah-masalah sosial-politik.
Hal ini wajar lantaran para priayi Jawa-lah yang masa itu berkepentingan untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen, demi stabilitas kekuasaan kerajaan dan kesatuan dan perdamaian antara masyarakat pesantren dan kejawen. Maka, untuk menunjukkan keunggulan dan kecanggihan warisan sastra budaya kejawen yang halus inilah diciptakan cerita-cerita tentang Wali Sanga seperti Syekh Siti Jenar, Serat Gatholoco, Serat Darmogandhul, Suluk Lebe Lonthang, Serat Wedhatama, Centhini, dan lain-lain. Dongeng Syekh Siti Jenar berkisah dengan gamblang tentang kelebihan dan kehalusan tasawuf kejawen, yang menganut paham manunggaling kawula-Gusti seperti halnya al-Hallaj, dibandingkan dengan tasawuf pesantren yang dianut kedelapan wali lainnya, yang masih terikat lekat pada syariat.
Dalam cerita Siti Jenar ini ditunjukkan, ilmu dan tingkatan makrifat Syekh Siti Jenar lebih sempurna dan benar karena sewaktu leher Siti Jenar dipenggal, keluar darah yang putih. Tampaknya ini kemudian diartikan bahwa Siti Jenar putih hatinya dan benar. Pada zaman Mataram hingga zaman penjajahan, paham tasawuf Siti Jenar menjadi pegangan keislaman para priayi dan raja-raja Jawa. Dalam masa penjajahan, tidak ada raja Jawa dari Mataram yang berani berhaji atau menjadi muslim yang taat. Sebab, masa itu, Islam jadi lambang antipenjajahan dan pendukung setiap pemberontakan. Hal itu wajar karena para kiai pesantren didukung para santri yang taat, sehingga para priayi yang sakit hati dan memberontak melawan Belanda menggunakan atribut Islam, seperti Pangeran Diponegoro dengan sorbannya.
Cerita Syekh Siti Jenar ternyata mengilhami para sastrawan lain untuk menyusun cerita yang mirip penghukuman mati Siti Jenar ini. Hal ini bisa dibaca dalam disertasi S. Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek. Inilah petikan serat Cabolek karya pujangga Yasadipura:
Paman payo ucapena / kojah ereh tanah jawi /apa ana kuna-kuna / panjenenganing nrepati /Demak Pajang Mantawis / nglahirken ngelmu Kak kukum /Mas Ketib Anom turnya / Pamirseng kawula ngalit /inggih angger wonten sami anyapisan //Kang kukum ing Giripura / Seh Siti Jenar ing nguni /kukum inggih saking pedhang / Alam Pademak ing nguni / kukumipun binasmi / pan inggih Pangeran Panggung / Dene duk alam Pajang / Ki Bebeluk dipun-warih /sami denten traping api lawan toya //
Dene karaton Mantaram / Panembahan senapati /lan Panembahan Karapyak / dereng wonten kang marengi /Nunten kang wayah wayah gusti /anjenengan Sultan Agung /wonten kukum satunggal / angrusak sarak anenggih /mila duka Sultan Mukhamad Mantaram //Linabuh wonten Tunjungbang / wong saking mancanegari /pandhusunan Wirasaba / dhukuh ing Wanamarteki /mantunipun Kiyahi / Bayipanurta pukulun /Lakine Tambang Raras / gustine nyai Centhini /abubuka warana Seh Among Raga //
Ketib Anom aturira / Sunan kang sumare Tegil /Mangkurat Paku Buwana / dereng wonten kang nglampahi /mung Kaji Mutamakin / inggih ajeng sisinahu /Gumer ingkang miyarsa / sadaya sami ningali /Ki Cabolek kang pinandeng ing ngakathah //
Ringkasan kisah serat itu adalah: Haji Mutamakin dari Desa Cabolek, Karesidenan Pati, dihadapkan dalam sidang para ulama. Ia dituduh karena mengaku sama dengan Tuhan sesudah mendalami Serat Dewaruci. Sidang ini dipimpin oleh Damang Urawan dan Ketib Anom dan diselenggarakan di Pagelaran Istana Kartasura. Dalam sidang ini, Demang Urawan bertanya kepada Ketib Anom, apakah pada masa lalu para sultan di Jawa juga menghadapi masalah adanya orang yang dihukum karena dipersalahkan mengaku sama dengan Tuhan dan meninggalkan syariat. Ketib Anom menjawab, kerajaan-kerajaan Jawa zaman Islam selalu menghadapi masalah ini satu kali setiap periode. Ketib Anom menjelaskan, pada zaman kasunanan di Giripura, adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum pancung dengan pedang lantaran dipersalahkan mengaku sama (manunggal) dengan Tuhan. Pada masa Kesultanan Demak, adalah Sunan (Pangeran) Panggung yang dihukum bakar (dibakar hidup-hidup) lantaran mengaku sama dengan Tuhan, sedangkan dalam Kesultanan Pajang, Ki Bebeluk dihukum mati dengan jalan ditenggelamkan di dalam air.
Syahdan, pada zaman Mataram, pada masa pemerintahan Sultan Agung, tersebutlah Amongraga, yang mengaku sama dengan Tuhan. Maka, Sultan Agung sangat marah dan Amongraga ditenggelamkan di laut Tunjungbang. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Mangkurat di Kartasura, Haji Mutamakin ingin mencoba menyiarkan ajaran seperti Syekh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat sehingga dibebaskan dari hukuman.
Dalam menghadapi dan menganalisis kandungan sastra Islam kejawen seperti halnya Serat Syekh Siti Jenar, Serat Cabolek, Centhini, dan serat-serat suluk Jawa pada umumnya, kita bersikap cermat dan hati-hati. Mengapa? Sebab, para “dhalang” (sastrawan) penulis cerita Siti Jenar, cerita Haji Mutamakin dalam Serat Cabolek ataupun Centhini, cerita Amir Hamzah dalam serat-serat Menak Jayeng Rana umumnya adalah para pujangga atau sastrawan Jawa di lingkungan Istana Mataram. Disertasi S. Soebardi menjelaskan bahwa Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I, seorang pujangga Istana Mataram, yang semula beribu kota di Kartasura dan kemudian berpindah ke Surakarta (Solo). Kelemahan analisis Abdul Munir Mulkan dalam Bab I Pasal 2 dan 3 adalah karena dia hanya mencantumkan alur cerita dalam teks yang tersurat. Sementara itu, dalam kritik sastra, kita masih perlu menyingkap siapa “dhalang” penulis cerita itu, dan kapan kira-kira Serat Syekh Siti Jenar ditulis, dan lingkup suasana bagaimana yang ditulisnya. Jadi, masih banyak misteri yang harus dikuaknya. Ditinjau dari segi kehalusan sastra bahasanya, Serat Siti Jenar termasuk dalam lingkungan bahasa Jawa baru, yang berkembang pada zaman Mataram. Atau, bahkan para penulisnya jelas orang Solo dan Yogyakarta. Apalagi, tembang Macapat yang dipakai memang berkembang pada zaman Mataram hingga masa pembaruan dan pengislaman sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru. Inilah masa yang oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Jawa disebut zaman Surakarta awal. Jadi, kalau dilacak dari kehalusan bahasanya, Serat Syekh Siti Jenar ditulis pada zaman Mataram.
Karena itu pula, bisa diperkirakan, penulis yang mengotak-atik munculnya cerita Siti Jenar tentu tidak menghayati zaman peralihan dari Majapahit ke Demak. Hal ini berarti Serat Siti Jenar, seperti halnya cerita-cerita Wali Sanga dalam serat-serat babad, adalah cerita rekaan para sastrawan Jawa, bukan karya para kiai di pesantren.
Jadi, cerita para wali, termasuk di dalamnya Siti Jenar, tak bisa dianggap sebagai buku sejarah. Para pujangga Jawa hingga zaman Ranggawarsita, yang dijuluki sebagai pujangga penutup, belum punya rasa kesejahteraan dan belum menguasai ilmu sejarah. Masa itu, mistik dan mitologi masih dominan sehingga jika pembaca menganalisis, alur cerita yang hidup adalah sebuah kisah yang beroposisi terhadap Kerajaan Demak. Sedangkan jika pembaca mampu membaca yang tersirat, cerita itu lebih menyiratkan keunggulan paham manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar, Syekh Amongraga, Syekh Bebeluk, dan Pangeran Panggung, yang dianut lingkungan budaya Islam-kejawen di Mataram, daripada tasawuf pesantren yang ketat terikat pada syariat.
Walaupun alur cerita yang tersurat dalam Siti Jenar dan cerita Wali Sanga pada umumnya menggambarkan pergulatan dalam peralihan dari kerajaan Hindu-kejawen Majapahit ke Kesultanan Demak, bila dicermati, sindiran yang tersirat menggambarkan pergulatan antara paham tasawuf pesantren dan kejawen pada zaman Mataram hingga masa penjajahan Belanda. Paham tasawuf manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar menggambarkan paham yang diunggulkan oleh para priayi kejawen, dan berpusat di lingkungan Istana Mataram, sedangkan tasawuf para wali delapan atau wali sembilan dalam buku Abdul Munir Mulkan mewakili tasawuf pesantren.
Pihak kejawen memandang paham Siti Jenar, walaupun dipersalahkan dan dihukum mati, sebagai ajaran tasawuf yang lebih sempurna dan lebih unggul. Hal itu tampak jelas disiratkan dalam dialog antara Sunan Kudus, sebagai utusan pihak wali pesantren, dan Ki Ageng Pengging, sebagai murid setia Syekh Siti Jenar. Paham keislaman para priayi Jawa pada zaman penjajahan Belanda tergambar jelas dalam Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV.
Sikap keagamaan dalam Wedhatama menggambarkan sikap para raja dan priayi Jawa semenjak zaman Hindu kejawen hingga zaman Islam sebelum masa kemerdekaan. Bagi para priayi Jawa, yang nomor satu adalah nilai kekuasaan (kedudukan). Adapun agama adalah nomor dua dan dijadikan pendukung kekuasaan politik.
Hal ini tampak dalam sejarah semenjak Raja Erlangga hingga Kerajaan Majapahit, ketika demi stabilitas negara, mereka menyatakan menganut agama rangkap, yakni Siwa-Buddha. Dua agama yang di negeri asalnya bermusuhan itu di Jawa bisa disinkretisasi. Maka, dalam menghadapi ajaran mistik Hindu-Buddha dan mistik Islam, para priayi Jawa memilih paham seperti Syekh Siti Jenar, yakni paham yang cenderung ke arah panteisme atau manunggaling kawula-Gusti. Mengapa? Sebab, paham manunggaling kawula-Gusti ini mempunyai beberapa ciri istimewa, di antaranya pemahaman paham panteisme yang bisa disebarkan konsep God king, yakni menyembah raja berarti menyembah Tuhan juga. Jadi, paham Syekh Siti Jenar bisa dijadikan dukungan bagi kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Maka, wajar bahwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa semenjak zaman pengaruh Hindu-Buddha hingga zaman kejawen, paham mistik yang panteistis atau paham Siti Jenarlah yang dikembangkan para raja-raja Jawa. Hal ini bisa dipahami dari disertasi Zoetmulder tentang satra suluk Jawa yang diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Manunggaling Kawula-Gusti. Dan dari kenyataan ini, orang yang mau menjelajahi sastra Jawa zaman Islam akan mudah mengerti mengapa dalam hal ajaran ketuhanan, para pujangga Jawa lebih memilih menyadap dan mengembangkan paham wujudiyah atau martabat tujuh dari sastra sufi Melayu Aceh, sementara dalam hal filsafat kejiwaan dan ajaran moral, mereka menyadap ajaran tasawuf al-Ghazali dari pesantren Jawa.
Membahas buku Syekh Siti Jenar karya Munir Mulkan ini memang sangat mengasyikkan karena buku ini mewakili keunikan sikap para satrawan Jawa dalam mempertahankan warisan tradisi budaya lama dalam perumahan baru, yaitu perumahan Islam. Ternyata, untuk sementara waktu, mereka berhasil menyusun bentuk kompromi yang cukup unik yang melahirkan bentuk keislaman baru yang dinamai Islam-kejawen. Dalam buku Syekh Siti Jenar ini, Islam-kejawen dihadapkan dengan bentuk Islam sufi, yang berkembang dalam masyarakat pesantren. Keunikan Islam sufi adalah ajaran mistik yang dikembangkan dalam perumahan Islam. Maka, lahirlah bentuk baru yang unik pula, yaitu Islam-sufi. Di samping itu, pada abad ke-20, sebuah bentuk Islam baru di Jawa telah lahir, yakni Islam reformasi, yang diwakili oleh golongan Muhammadiyah. Islam reformasi ialah gerakan Islam yang ingin mengembalikan ke Islam sunni yang asli, atas dasar pedoman Alquran dan Sunah. Dalam Islam suni, Islam dipandang sebagai way of life yang khusus sehingga tidak bisa dikompromikan dengan tradisi kejawen dan ajaran mistik yang bertentangan dengan way of life Islam. Maka, pergulatan tiga bentuk keislaman ini menjadi bahan penelitian yang sangat penting.
No comments:
Post a Comment