أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI
SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar
tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas
masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali
diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan
syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti
paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan
pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati
mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri
berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa
rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa,
tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib
adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu
adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu
meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan
disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu
itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong
inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut
ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna
ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat
hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh
Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh
pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti
madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai
masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan
dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning
sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) .
Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan
Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya
Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali
mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa
ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan
terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia
memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran
ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling
kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah
“tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya
ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati,
juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui
segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya
mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti
Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh
Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal
sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma,
sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas.
Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup
kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan
perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah
(nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan
keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada
awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut
menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya
terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang
dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus
pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat
Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik
manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik
puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi
sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid
al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat
al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya
menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti
Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir
sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar,
dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya
diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya
adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai
dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri,
yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah
sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata
lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang
harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan
wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan
antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang
saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut
adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada
pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan
wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya
kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah
manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural.
Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia,
bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran
manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang
menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di
dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang
lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya
memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah
Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini,
memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh
mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap
suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang
tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang
manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula
menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi,
maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam
al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split
personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan,
harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia.
Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan
di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi.
Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban
atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya
sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia.
Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru”
dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada
jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag
bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun
seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan
dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan
hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin,
bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad,
yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas
saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma
dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya
Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri,
tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang
shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak
dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi
dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah
sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari
manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari
sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing
manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak
kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi
kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan
matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga
melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang
terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada
tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya
disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu
dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan.
Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini
ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia
beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia
adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya
terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu
itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh
dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah
manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam
kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian
Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala
kehidupan yang juga sempurna.
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi
kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga
menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai
pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang
muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah
berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi
Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau
“dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati
ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu
kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas,
dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia
menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah
mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian,
tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir,
ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah
dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke
tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang
menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari
lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar
darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh.
Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati
ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati,
kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan
mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan
diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang
menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang
Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang,
berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang
semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan
hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan
terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen
kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka
kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud.
Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj,
al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya –
memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi
kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi
sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru
Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar
mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh
seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil),
serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1)
Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia
[ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah
yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai
pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat
manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia
menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani
manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara
menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai
pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan
Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku
angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg
disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati,
Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal
tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar
sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana,
tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak
terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian
alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran
atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling
terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng.
Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII
yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai
dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada
halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian.
Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua
angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan
dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis
jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab
setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung
lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah
pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti
Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana
batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran
tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh
Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka
demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa
disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus
ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya
dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b.
Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k.
Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o.
Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat
(makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh
al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat,
nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung
yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah
angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang
dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang
dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma
af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah
dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan
panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling
Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai
khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia
adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat
yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud
implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah
lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme
Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil
“dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin
utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan
keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari
sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang
dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya
Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah
dalam diri pribadi masing-masing.
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:
Adapun yang menjadi maksud:
a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c. Ma’rifat, penglihatan roh.
d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e. Akal, pembicaraannya roh.
f. Niat, pakaremaning roh.
g. Shalat, menghadapnya roh.
h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti
Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam
hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin
pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid,
ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan
niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti
Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia,
sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan
seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah
makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan
ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
DUA PULUH DUA
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat
bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah.
Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan
eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka
jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya,
penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh
Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh
sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat
yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian
pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah
hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut
kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak
merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha
Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar
mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak
pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi
Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar
mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep
utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi
ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau
bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan
bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam
mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid
serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa
kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti
Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan
Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas
ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas,
ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya
hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa
ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga,
hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat
menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir
dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air
kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan
sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki
Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya
adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian
dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa
(kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak,
yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan
sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan
energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata,
bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang
diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala
Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri
manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian
hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar
bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat
tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang
teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan
kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang
bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat
Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata
penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal,
keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal
sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat
sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena
perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada
dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena
kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau
persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu
ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat
diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia
yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan
al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian
di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu
selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah
syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa
syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal
harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi
tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat.
Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika
(menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal
tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki
relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati.
Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat
biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya,
sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan
sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya
adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara
diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai
labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud
Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku,
Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah
tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan
dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan
Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang
tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan
“syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan
jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain
adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat
Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan
menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan
selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya
adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia
adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa
kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif,
dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan
sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan
itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam
pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan
kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup.
Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana
kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at
sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam
menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka
pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis
kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian
dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas
yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam
ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang
belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di
atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar
dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu
lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan
dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu
(Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian
itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati,
hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang
menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya
kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya
yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah
ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat
netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya
tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana
syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1.
Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada
pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4.
Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui
jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya
manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata,
sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan
setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan
keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap
mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya
roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat
pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang
belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan
prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi
yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang
dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang,
juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda
manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran
Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu
mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir
sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar
mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan
shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari
syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk
sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim
merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya.
Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau
pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu,
karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat
tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat,
sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin
efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan
hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan
diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut
Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari
Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit:
1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu
ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan
balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas,
sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan
pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah
jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian
seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana
terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Shalat Subuh
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah
iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti,
sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati
penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti
ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku
yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap
dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus
kali.
Kemudian berdzikir,
“Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Shalat Luhur
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran.
Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.”
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat
itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung
nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat
Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat
bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul
iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning
sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat,
roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan
Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat,
angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir,
“Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad.
Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat,
rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang
menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam
nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat,
tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip
iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat,
roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan.
Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat,
keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.
Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena
pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j.
Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena
pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak
pernah terkena mati).
k.
Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci
dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku
sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal
shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat
penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at
salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat
ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat
ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan
al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam
sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab
Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh
diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar
menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata
krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai
wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan.
Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan
kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah
salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah
sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang
tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga
sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut
pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang
dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut,
namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah
Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan
pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai
kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam
al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat
riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka
dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan
shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11
disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang
shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang
disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang
sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat
dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga
kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta
sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka
itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi;
kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi
keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat
dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal
pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan
digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan
pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan
shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal
itu adalah al-Islam, penyerahan diri <Wong Jowo ngomonge’ Pasrah
Bongkoan>. Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham
qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’
bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan
meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika
Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model
shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
Syekh Siti jenar
menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong
belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu
istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang
menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak
adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan
istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau
dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku
palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki
Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa
Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam
pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka.
Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi
mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat
tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar,
syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian
atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi
alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan
syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan
tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan
berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah
gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh
Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu.
Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat
sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang
yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia
telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada
yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula
Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu
bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini
menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari
teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar
merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan
selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas
pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad
menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat
Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan
memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah.
“Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap
dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan
hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia
dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan
dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi
manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap
Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering
membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat
ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan
Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang,
sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman
manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran
roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud
dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang
Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan
menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses
terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara
natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik
melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya
sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui
bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir
dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu
pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa
ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama
manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia
sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya
juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
Pernyataan Syekh Siti
Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan
multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut.
Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang
bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah,
yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah
satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah
sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan
ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia
tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan).
Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai
fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan
segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai
rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu
(adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang
menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti
memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang
dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
Menurut Syekh Siti
Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan
pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali.
Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat
Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu
nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di
bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang
menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi
dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha
Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab
nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon,
Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga
nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah
merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
Dari pernyataan Syekh
Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam
semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia).
Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang
sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain,
pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda
alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi
tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah
blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar,
manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam
keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain
adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al,
sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu
menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
EMPAT PULUH DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik Syekh
Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik
badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai
tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman
itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing,
dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan
ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan
pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang
diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang
berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir
mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir
kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak
menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat
dan makna historis).
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
Syekh Siti Jenar
menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup
dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi
dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman
keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal
yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat
bahwa manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru
sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati.
Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya
sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat
badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan
kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi,
pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak
dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih,
bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang
siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain.
Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk
akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan
citranya.” <Serat Syekh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh III :
Dandang Gula, 27-28; Falsafah Sitidjenar, hlm. 33>.
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia,
saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan
sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali
saja.” <Pupuh XIII Sinom, 29; Falsafah Sitidjenar, hlm. 34>.
Ini adalah pandangan
Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti
Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera,
akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak
bisa dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang
yang sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya,
konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa
baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan
ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi
apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar
menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif.
Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa
syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian
hari. Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan
dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan
asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk
diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa.
Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya.
Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar
menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang
natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka
ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah
milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak
mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia
bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan
atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus
dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh
Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta
adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam
yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab
segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama,
termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh
manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik
Nama yang sesungguhnya. <Untuk sejarah pemberian nama Tuhan, lihat
buku Karen Armstrong, The History of God: The 4.000 Quest of Judaism,
Christianity and Islam. New York: Ballatine, 1993>. Maka memang nama
itu perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk
memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari
lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak
kecuali dzat Allah yang tidak rusak. <Sang Indrajit, Wedha Mantra :
1979, Bab 203, hlm. 51>.
Kitab Ma’rifat al-Iman
adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi
salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun
halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa
wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya
(penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat
inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag
akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa)
mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah
satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar.
Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar,
antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling
berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini
berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang
diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan
sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah,
maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal
dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
Hakikat Zuhud bukanlah
meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan
tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan
itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah
berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa,
otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena
sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang
bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena
semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’
akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh
jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang
Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud
dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu
ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya.
Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata
maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat
cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau
tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang
yang terdekat denganmu.” <Suluk Syekh Siti Jenar, II, hlm.
246-248>.
Doktrin kewalian Syekh
Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada
umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau
bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali
tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia
dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang
memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar
menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya
karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat
adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah
al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah
perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah.
Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia
yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya
saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali
tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan
atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai
di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar
pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar,
yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada
Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan
pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah
yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya.
Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti
bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi
Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini.
Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih
naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan
kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh
Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan
guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan.
Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku
menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh
melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan
kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini
orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana
mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan
sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang
melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk
juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat
bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh
Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana,
maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur
seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi
kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya
membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini.
Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu,
hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya,
membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang
ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan
barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak
diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang
rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at,
jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran
yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Tiada usah merasa
enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah
hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu
tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat
Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid
ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas
kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu,
mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama
yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu
terus-teruskan, sebab itu palsu.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki
Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36>.
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang
gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu
dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain.
Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang
ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak
akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah
ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena
belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan
kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya
sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal
kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih
mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya
dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah
ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa
yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan
tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat
bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh.
Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak
akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta
dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak
kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam
tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan
bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak
atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu
makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk
semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang
tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah
ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya,
tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab
tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia
menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima,
yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu
penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu
sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang
ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif,
Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya
adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat.
Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di
dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus
dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas
yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat
yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa
ilaaha illallah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang
salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas
sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas
tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap
manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang
tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan
daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala
sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya
hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat
akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak
menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati.
Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai
Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang
berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi
orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di
dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya
di neraka agung.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII
Dandanggula, 29-31>
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku
Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia
yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila
saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang
kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya
disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang
kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri
gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan
kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama :
Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan
belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya
tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya
alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan.
Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali
kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang
baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua :
Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal
yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud
itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini
panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan
sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan
ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah
perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa
tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan,
dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali
untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi
tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang
dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan
juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang
empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang
ilmu.”
“Itu semua disebabkan
karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun
mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana.
Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan
mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang
keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab
Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin,
al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi.
Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis
dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan
asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa,
sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang
utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di
dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat
dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan
pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung,
tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara
terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan
demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan
yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa
yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara
diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib,
disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan
untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang
kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan
adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba.
Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan
menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang
tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab
menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil
dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau
kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal
bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan
mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para
wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering
ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi
samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya
keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya
bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya,
tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa
berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya
dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan,
sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”<Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45>.
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah
salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung
Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh
Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20.
Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan
merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang
membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma
(memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja.
Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela. <Ajaran Syekh
Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan manusia di dalam
menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai
alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut, hendaknya jangan
terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun hendaknya diselami dengan
segenap nalar dan rasa batin.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu
sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu
saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak
dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat
adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian
ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu
kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka
hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut
gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi
didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin
harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang,
Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita
paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu
jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini
sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan
kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai
cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong,
sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah
menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu
tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta
terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan
sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi
yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan
manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri
sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai
Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma,
karena sukmaitu adalah Allah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh
2>.
” Waktu shalat
merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang
hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu
disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan.
Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada
dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib
itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu
lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya
dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at
adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan
shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua
raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan
dan kiri.”
“Adapun waktu yang
lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh,
yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia,
berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu
ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan
kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”.
Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan
shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya
berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan
ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan,
dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi
Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno
yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat,
Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh
mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga
raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi
Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga
disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya
bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa
merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa
wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat
‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan
malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.”
<Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
“Menurut pemahaman
saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang
berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu
dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan)
kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan
apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan
Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua.
Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang
Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang
besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya
Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua
ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang
Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan
perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak
lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir
Gusti.”
“Anasir roh, ada empat
perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur
syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran
yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya.
Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau
cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti
bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala
memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah
penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia
maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api,
angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar,
angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya
bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang
anasir. <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 3>.
No comments:
Post a Comment