أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Salah
satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu diuraikan agar menjadi
pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah Asta-brata. Asta
artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Asta-brata
dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Asta-brata ini diambil dari
inti sari wasiat Cupu
Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon dengan
berpegang pada hokum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju
kesejahteraan dan kedamaian.
Kalau
setiap orang, terutama para pemimpin, berpegang pada asta-brata, maka
masyarakat yang sejahtera tidak mustahil terwujud di bumi ini. Adapun
asta-brata secara mudah dan jelas digambarkan atau diwujudkan dalam rupa :
1. Wanita:
wanita,
2. Garwa;
jodoh
3. Wisma
: rumah
4. Turangga
: kuda tunggangan
5. Curiga
: keris, atau senjata
6. Kukila :
burung berkutut
7. Waranggana
: ronggeng- penari wanita
8. Pradangga
: gamelan-bebunyian berirama
Orang
atau pemimpin yang utama harus memiliki (mengalami) delapan hal tersebut
diatas.Banyak orang yang salah paham, berusaha mempunyai delapan rupa tersebut
dalam wujud sebenarnya. Hal demikian ini takkan terwujud. Sesungguhnya delapan
hal tersebut sekadar kiasan, dan bukan berarti setiap orang harus memiliki
barangnya, tetapi memiliki atau mengalami arti dan wangsitnya.
Wanita, artinya seorang
perempuan, yang elok dan cantik, siapapun yang melihat pasti ingin memilikinya.
Maka yang dimaksud dengan wanita ini adalah suatu keindahan,
sebuah cita-cita yang tinggi. Agar cita-cita itu dapat tercapai, maka
orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar, tirakat dan sebagainnya,
sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan memiliki gadis cantik.
Garwa, artinya jodoh,
suami istri, yang sehati. Garwo sering diartikan sigaraning nyawa,
belahan jiwa, jiwa satu dibelah dua atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa
mengandung arti bahwa setiap orang harus dapat
menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan siapapun, semua orang dianggap
sebagai kawan, hidup rukun dan damai, mencintai sesama, tidak membeda-bedakan
orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman sehidup semati.
Wisma,
artinya
rumah. Rumah adalah tempat berlindung memiliki ruangan yang luas berpetak-petak
untuk menyimpan aneka macam barang. Semuannya dapat dimasukkan kedalam rumah.
Demikianlah, setiap orang hendaknya bersifat rumah, yakni
dapat menerima siapapun dan membutuhkan perlindungan, sanggup menyimpan dan
mengatur segala sesuatu, pun dapat mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana
dan teratur menurut tempat, waktu dan kedaannya.
Turangga, berarti kuda
tunggangan, yang kuat dan bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa
berlari pelan, bisa berjalan sambil menari-nari. Sebaliknya kuda tunggangan
juga bisa berlari cepat dengan arah yang tak menentu, bisa terguling kedalam
jurang, tergantung orang yang memegang tali kekang. Demikian halnya diri: badan jasmaniah, panca indra dan nafsu kita merupakan kuda
tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila jiwa dapat menguasai,
mengatur dan mengekang diri, maka pergaulan hidup kita akan teratur dengan baik.
Sebaliknya, bila jiwa tak dapat menguasai diri, maka hidup kita akan seperti
kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan akhirnya tergelincir.
Curiga, artinya keris, senjata tajam yang dipuja-puja. Maka perlulah tiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan hidup
yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lain-lain. Begitu pula
pikiran harus tajam, mampu menebak dengan dengan tepat, agar dapat bertindak
tepat pula untuk kebahagiaan masyarakat.
Kukila, artinya burung, burung berkutut yang dipelihara di Jawa, untuk
didengarkan suaranya, yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari.
Demikianlah, setiap kata yang keluar dari mulut
hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang yang mendengarkannya.
Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat memperbaiki dan membangun,
agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan mengindahkannya.
Waranggana, artinya tandak atau
ronggen, untuk pandangan waktu menari. Pada zaman dewa-dewa, ini disebut Lenggot-bawa.
Peraturannya seperti ini : seorang warangga menari di tengah kerumunan orang,
bersama seorang lelaki yang ikut menari. Diempat penjuru ada penari laki-laki
yang menari, seakan-akan ikut menggoda si waranggana agar memalingkan mukanya
dari yang lelaki yang tengah menari.
Maknah
gambaran di
No comments:
Post a Comment