أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Kitab
Ad Da’wah As Sirriyyah susunan lajnah syar’iyyah jama’ah jihad telah
saya baca, dan tidak ada apa yang dimaksud oleh orang sesat itu. Tapi
tidak aneh bila dia mendapatkannya, karena orang yang sudah punya
pemahaman sesat bila menginginkan legalitas maka apapun bisa
dikorek-korek, yang samar-samar diambil sedangkan yang muhkam lagi
sharih ditinggalkan. Sebagaimana orang Jaringan Islam Liberal dan PKS
selalu mendapatkan dalih dari Al Qur’an.
BANTAHAN KEPADA PENGHANCUR TAUHID
بسم الله الرحمن الرحيم
Dari Abu Sulaiman kepada semua Muwahhidin dimana saja …
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin yang telah menjelaskan
tauhid dengan terang benderang yang tidak tersamar kecuali terhadap
orang yang buta bashirah …
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Imamul Muwahhidin,
keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang meniti jalannya
dengan baik sampai hari kiamat … wa ba’du:
Sungguh telah sampai berita kepada saya kabar bahwa sebagian orang
membolehkan penampakan kekafiran dengan alasan takut seraya berdalih
dengan surat Ali Imran ayat 28 perihal taqiyyah yang diplintir
maknanya, dan berpaham bahwa makna ‘menyembunyikan keimanan’ itu adalah
menampakkan kekafiran … Sungguh andai dia komitmen dengan ucapannya
itu tentu dia zindiq yang hukumannya dibunuh tanpa istitabah dalam
hukum Islam.
Ketahuilah … sesungguhnya di dalam banyak nash Al Qur’an yang sharih
Allah ta’ala telah memvonis orang-orang yang melakukan kekafiran dengan
vonis kafir padahal alasannya ‘takut’. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ فَعَسَى اللّهُ أَن يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِ فَيُصْبِحُواْ عَلَى مَا أَسَرُّواْ فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُواْ أَهَؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُواْ خَاسِرِينَ
“Wahai
orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan orang-orang yahudi
dan nasrani sebagai pelindung (pemimpin), karena sebagian mereka adalah
pelindung bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa orang diantara
kalian tawalli kepada mereka, maka sesungguhnya dia itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang-orang yang dzalim. Maka engkau melihat orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit bergegas dalam (loyalitas) kepada mereka seraya
mengatakan: “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.” Maka semoga
Allah mendatangkan kemenangan atau suatu urusan dari sisi-Nya sehingga
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan di dalam
diri mereka. Dan orang-orang yang beriman berkata: Apakah mereka itu
orang-orang yang telah bersumpah dengan (Nama) Allah dengan kesungguhan
sumpah mereka “bahwa sesungguhnya mereka itu bersama kalian”. Telah
terhapus amalan mereka, sehingga merekapun menjadi orang-orang yang
rugi.” [Al Maidah: 51-53]
Perhatikan
disini Allah ta’ala memvonis kafir lagi terhapus seluruh amalannya
bagi orang yang melakukan kekafiran yaitu tawalli kepada orang-orang
kafir, padahal alasan dan udzurnya adalah takut (khawatir) yaitu di dalam ucapannya “Kami khawatir (takut) tertimpa suatu bencana.”
Dan firman-Nya:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan
mereka senantiasa memerangi kalian sampai mereka mengembalikan kalian
dari dien kalian bila mereka mampu. Dan barangsiapa diantara kalian
murtad dari diennya terus dia mati dalam keadaan kafir, maka mereka itu
telah terhapus amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu
penghuni neraka seraya mereka kekal di dalamnya.” [Al Baqarah: 217]
Di
sini Allah memvonis kafir murtad orang yang menampakkan kekafiran
karena takut diperangi orang-orang kafir padahal mereka terus
memeranginya, tapi Allah ta’ala tidak menjadikan rasa takut itu sebagai
udzur..
Dan firman-Nya:
فَلاَ تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Maka janganlah takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu bila kalian memang orang-orang yang beriman.” [Ali Imran: 175]
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَوْهُ إِن كُنتُم مُّؤُمِنِينَ
“Apa kalian takut kepada mereka padahal Allah itu lebih berhak untuk kalian takuti bila kalian memang orang-orang beriman.” [At-Taubah: 13]
Di
dalam kitab Ad Dalail karya Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu
Muhammad ibnu Abdil Wahhab yang saya terjemahkan dengan judul “Hukum
loyalitas kepada kaum musyrikin” beliau menuturkan 20 dalil dari Al
Qur’an yang diantaranya Ali Imran 28 dan satu hadits Nabawi perihal
kemurtaddan orang yang menampakkan kekafiran dengan alasan takut dan
yang lainnya .. [silahkan baca dan cari bukunya!]
Dan
hal serupa diutarakan oleh Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq di dalam Kitab
Sabilun Najah Wal Fikak beliau menjelaskan bahwa orang yang menampakkan
kekafiran “baik karena ingin kedudukan atau harta atau karena berat
dengan tanah air atau keluarga atau karena takut dari apa yang bisa terjadi kelak, maka dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia itu menjadi murtad dan tidak manfaat baginya kebenciannya terhadap mereka di dalam bathin.” [lihat Aunul Hakim: 255]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata tentang surat An Nahl: 106:
“Allah
ta’ala tidak mengudzur dari orang-orang (yang melakukan kekafiran) itu
kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tentram dengan keimanan.
Dan adapun selain (orang) ini maka dia telah kafir setelah beriman, baik dia melakukannya karena takut
atau dalam rangka mencari hati atau karena berat dengan tanah air atau
keluarga atau karib kerabat atau hartanya, atau dia melakukannya dalam
rangka bercanda atau tujuan-tujuan selain itu, kecuali orang yang
dipaksa.” [Kasyfusysyubuhat, lihat Aunul Hakim: 256]
Berkata juga tentang ayat An Nahl: 106-107: “Bila
ulama telah menuturkan: bahwa ayat itu turun perihal para sahabat
tatkala mereka ditindas oleh penduduk Mekkah, dan (ulama) menuturkan
bahwa seorang sahabat bila mengucapkan ucapan kemusyrikan dengan
lisannya padahal ia membenci hal itu dan memusuhi para pelakunya, tapi
(dia mengucapkannya) karena takut dari mereka maka dia itu kafir
setelah dia beriman, maka bagaimana gerangan dengan muwahhid di zaman
kita di kota Bashrah atau Ahsa atau Mekkah atau tempat lainnya bila
mengucapkannya karena takut dari mereka tapi sebelum dipaksa.” [Ad Durar 8/10, Aunul Hakim: 256]
Dan
pernyataan dan tafsir ulama yang sangat banyak yang tidak cukup untuk
diutarakan disini yang semuanya menyatakan dari ayat-ayat yang qath’iy
lagi muhkam bahwa rasa takut itu bukan udzur dalam penampakan
kekafiran, tapi justru rasa takutlah yang banyak menjerumuskan ke dalam
kemurtaddan tanpa Allah ta’ala udzur.
Adapun perihal Ali Imran 28:
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
“Janganlah
orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya
(pemimpin/pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Dan
barangsiapa melakukan hal itu, maka ia tidak ada dari jaminan Allah
sedikitpun, kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari
mereka…”
Tafsir ulama salaf dan mufassirin tentang ayat ini tidak keluar dari dua makna penafsiran:
Tafsir Pertama
: Allah melarang kaum mu’minin dari tawalli (menampakkan kekafiran)
kepada orang-orang kafir, dan barangsiapa melakukannya maka dia telah
kafir kecuali orang yang dipaksa terus dia bertaqiyyah di hadapan mereka
dengan menampakkan kekafiran itu sedang batinnya tetap teguh dengan
iman, seperti kisah ‘Ammar Ibnu Yasir. Dan para mufassirin menuturkan
kisah ‘Ammar dalam ayat ini. Dan ungkapan sebagian mufassirin dengan
kata “takut” dalam kaitan ini adalah takut yang berkaitan dengan ikrah
(paksaan) karena memang setiap ikrah itu pasti ada unsur takut tapi
tidak setiap takut itu muncul dari ikrah. Al Qurtubi berkata: “Dan
dikatakan: Sesungguhnya orang mu’min bila berada di tengah orang-orang
kafir, maka dia boleh bermudarah kepada mereka dengan lisan bila dia
mengkhawatirkan jiwanya sedangkan hatinya tenteram dengan iman, dan
sedangkan taqiyyah ini tidak halal kecuali bersama kekhawatiran dibunuh
atau dipotong-potong atau penyiksaan yang dasyat. Dan barangsiapa
dipaksa terhadap kekafiran maka pendapat yang benar adalah bahwa dia itu
boleh menolak dan tidak memenuhi paksaan pengucapan ungkapan kekafiran
itu, namun boleh saja hal itu bagi dia.” [Tafsir Al Qurthubiy 4/62 dari Ad Da'wah Assiriyyah]
Perhatikan ucapan “khawatir/takut” di atas, itu tentang ikrah berdasarkan konteksnya.
Lihat juga ucapan ini:
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata perihal hukum menyetujui orang-orang musyrik dan menampakkan ketaatan kepada mereka {“keadaan
yang ketiga: menyetujui mereka secara dhahir disertai penyelisihan
terhadap mereka di dalam bathin, dan ia ini ada dua bentuk:
Pertama:
Dia melakukan hal itu karena ia berada dalam genggaman mereka seraya
mereka memukulinya dan mengikatnya dan mengancamnya untuk dibunuh,
mengatakan kepadanya: “Pilih kamu mau menyetujui kami dan menampakkan
ketundukkan kepada kami atau bila tidak mau maka kami membunuhmu”, maka
dalam keadaan seperti ini sesungguhnya dia boleh menyetujui mereka
secara dhahir dengan hatinya tetap tenteram dengan keimanan,
sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammar saat Allah ta’ala menurunkan, “kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tenteram dengan keimanan.” [An Nahl: 106] dan sebagaimana firman Allah ta’ala: “Kecuali kalian melakukan siasat melindungi diri dari mereka.” [Ali Imran: 28].
Dua ayat ini menunjukkan terhadap hukum (tadi) sebagaimana yang
diingatkan Ibnu Katsir tentang hal itu dalam tafsir ayat Ali Imran”}
Terus
beliau menuturkan bentuk kedua yaitu kekafiran orang yang menampakkan
kekafiran tanpa ikrah walaupun hatinya tetap menyelisihi karena alasan
takut dan yang lainnya …
Perhatikan
tafsir di atas dimana Taqiyyah di Ali Imran 28 itu ditafsirkan dengan
kisah ‘Ammar yang merupakan sebab Nuzul An Nahl: 106 tentang ikrah!
Tafsir kedua :
Sebagaimana dalam tafsir salaf juga, diantaranya yang dijelaskan oleh
Ibnul Qayyim dalam Badaiul Fawaid yang dinukil Syaikh Ishaq Ibnu
Abdirrahman di dalam Risalah Makna Idhharuddien dan sebagiannya telah
saya tuangkan dalam risalah “Ayah Ibu Bergabunglah Dengan Kami”. Ibnul
Qayyim menjelaskan bahwa tatkala Allah melarang orang-orang mu’min dari
loyalitas kepada orang-orang kafir maka ini menuntut orang-orang mu’min
untuk menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, akan tetapi bila kaum mu’minin berada di tengah mereka maka penampakan permusuhan itu bisa membahayakan kaum mu’minin, oleh sebab itu dalam keadaan seperti itu dirukhshahkan untuk tidak menampakkan
permusuhan itu, dan boleh menampakkan sikap ramah dan berseri-seri di
depan mereka dengan tidak menampakkan loyalitas karena taqiyyah itu
bukan muwalah (loyalitas).
Camkan oleh pembaca bahwa ada tauhid (iman) dan ada penampakan tauhid (iman).
- Meyakini kebatilan syirik, meninggalkannya, membencinya dan meyakini kekafiran pelakunya serta memusuhinya adalah tauhid yang bila ditinggalkan maka pelakunya dikafirkan kecuali bila dipaksa dengan syarat hati teguh dengan keimanan.
- Sedangkan menampakkan atau menjaharkan atau menyuarakan hal itu di hadapan orang-orang kafir adalah tergolong penampakkan tauhid (iman) yang merupakan kewajiban yang bila ditinggalkan tanpa alasan takut atau kebutuhan yang lebih besar maka pelakunya muslim yang berdosa. Dan lawannya disebut menyembunyikan keimanan.
Contoh:
Orang
berlepas diri dari segala ucapan, keyakinan dan perbuatan kufur tapi
tidak menyuarakan prinsipnya ini di depan khalayak kafir maka disebut
mu’min yang menyembunyikan imannya, sedangkan masalah dosa dan tidak
maka tergantung alasannya, bila tanpa alasan syar’iy diatas maka dosa,
tapi bila karena takut karena berada di tengah kafirin maka tidak dosa,
dan bila untuk mashlahat yang lebih besar seperti untuk ‘amal jihadi
maka itu dianjurkan.
Kalau
muwahhid menampakkan prinsipnya di hadapan kafirin, maka ini adalah
yang paling utama yang mengamalkan millah Ibrahim [Al Mumtahanah: 4]
Tapi
bila yang mengaku muslim menampakkan kekafiran karena takut tanpa
ikrah maka ini orang murtad dan yang membolehkan sikap ini adalah lebih
murtad.
Bila
anda paham ini maka paham makna tafsir yang kedua ini bahwa yang
dirukhshahkan saat takut adalah penyembunyian keimanan (tidak
menampakkan permusuhan) dengan bersikap ramah kepada mereka, bukan
penampakan kekafiran karena ini hanya boleh saat ikrah saja sesuai
tafsir pertama.
Dan
penyembunyian iman dengan bersikap ramah kepada mereka saat takut
inilah yang ditunjukkan oleh atsar-atsar salaf diantaranya apa yang
diriwayatkan Al Bukhari secara ta’liq dari Abu Ad Darda:
إنا لنكشر في وجوه أقوام وقلوبنا تلعنهم
“Sesungguhnya kami tersenyum di hadapan orang-orang sedangkan hati kami melaknat mereka.”
Jadi jelaslah makna taqiyyah dengan kedua maknanya itu …
Tadi
sudah dijelaskan bahwa penyembunyian keimanan adalah komitmen dengan
inti tauhid tapi tidak menjaharkannya di tengah orang-orang kafir
karena kondisi tertentu, baik karena takut atau alasan mashlahat dakwah
di saat masih sedikit pengikutnya ataupun dalam amaliyyat jihadiyyah,
dan bukan penampakan kekafiran.
Penyembunyian iman ini banyak contohnya di dalam Al Qur’an, As Sunnah maupun atsar dan sirah …
Seperti orang mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan imannya di tengah orang-orang kafir .. lihat surat Ghafir: 28
Kisah
pemuda Ashhabul Kahfi saat mereka terbangun dan menyuruh salah
seorangnya untuk membeli makanan dengan tanpa mengusik kecurigaan
manusia, lihat Al Kahfi: 19.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga di awal dakwah sembunyi-sembunyi.
Dalam shahih Muslim perihal keislaman ‘Amr Ibnu ‘Abasah As Sulamiy
radliyallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di awal bitsah saat beliau di Mekkah, sedang beliau
saat itu sembunyi-sembunyi, maka saya berkata: Apa engkau ini? Beliau
menjawab: Saya Nabi …..”
Dalam
shahih al Bukhari dalam keislaman Abu Dzarr radliyallahu ‘anhu, dimana
setelah masuk Islam, Rasulullah berkata kepada Abu Dzarr:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“Wahai Abu Dzarr sembunyikan hal ini ..!”
Dalam shahih Al Bukhari secara ta’liq Rasulullah berkata kepada Al Miqdad radliyallahu ‘anhu: “….Maka begitu juga kamu dulu menyembunyikan imanmu di Mekkah sebelum ini.”
Dan
sungguh sesat sekali orang yang mengartikan penyembunyian iman itu
dengan penampakan kekafiran, karena ini berarti menuduh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan kekafiran karena di
awal dakwah beliau sembunyi-sembunyi, juga menuduh beliau telah
menyuruh atau menyarankan Abu dzar untuk menampakkan kekafiran karena
beliau mengatakan kepadanya “sembunyikan hal ini”, juga menuduh beliau
merestui Al Miqdad saat menampakkan kekafiran karena beliau merestui
perbuatan Al Miqdad di Mekkah dulu saat menyembunyikan keimanan. Maka
barangsiapa mengatakan pernyataan ini atau salah satunya, maka dia
kafir zindiq yang hukumnya vonis bunuh tanpa istitabah, karena
menisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suatu yang tidak
layak, sedangkan itu adalah bentuk hujatan atau pencelaan terhadapnya.
Sedangkan bentuk hujatan dan pencelaan macam apa yang lebih dasyat dari
tuduhan bahwa beliau menampakkan kekafiran saat takut atau
menganjurkannya atau merestuinya? Dan itu adalah tuduhan yang sangat
menyakiti beliau. Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
(Ucapan yang menyakiti para Nabi maka orangnya menjadi kafir dengannya
sehingga ia menjadi kafir harbi bila asalnya kafir yang memiliki
jaminan, dan murtad atau munafiq bila tergolong yang menampakkan
keislaman). [Asha Sharimul Maslul, lihat Aunul Hakim: 161]
Saya
tidak ingin panjang lebar, tapi itu cukup bagi orang yang masih punya
hati yang bisa berpikir dan takut adzab Allah. Hendaklah orang yang
menyebarkan atau memiliki paham kufur itu segera taubat dan memperbaiki
apa yang dirusaknya berupa orang-orang yang telah dijerumuskan ke
dalam kesesatan dan kemurtaddan. Bila tetap bersikukuh maka hendaklah
ikhwan tauhid menghajrnya dan menjauhkannya, isteri yang sayang
terhadap dien dan kehormatannya hendaklah meninggalkan orang yang sudah
bukan suaminya lagi, karena dia kafir zindiq penghujat Nabi yang
mulia.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan
para sahabat. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘Alamin ….
Markaz Asy Syurthah li Jakarta Al Gharbiyyah
Kamis, 28 Rajab 1432H
Tambahan:
Di tengah kesibukan para duat tauhid yang dipenjara dalam menghadapi
fitnah para thaghut di media massa dan kesibukan para duat itu dalam
membongkar kekafiran para thaghut, tiba-tiba datang PR (pekerjaan
rumah-red) baru yang muncul dari sebagian orang yang datang dengan
tafsir syaithaniy inhizhamiy yang muncul dari kefuturan jiwa di tengah
derasnya arus kekafiran dan dominasi penganutnya. Tafsir yang tanpa
disadari penganutnya sebagai penggugur naash-nash muhkamat, penambahan
makna yang sama sekali tidak dikandung ayat dan tuduhan kepada
Rasulullah bahwa beliau menampakkan kekafiran di saat takut atau
menganjurkan atau merestuinya, serta tuduhan bahwa orang yang disebut
oleh Allah ta’ala sebagai orang mu’min dari keluarga fir’aun itu
menampakkan kekafiran di saat takut tanpa ikrah (paksaan)…
Subhanallah…
Orang sesat itu mengatakan tentang firman Allah ta’ala:
وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَه
“Dan berkata laki-laki mu’min dari keluarga fir’aun yang menyembunyikan keimanannya…” [Ghafir: 28]
Bahwa
orang itu menampakkan kekafiran karena takut tanpa ikrah, karena
keberadaan dia di tengah keluarga fir’aun yang kafir itu memastikan dia
meridlai kekafiran mereka atau ikut serta di dalam kekafiran mereka.”
Sungguh ini tafsir syathaniy dan pemahaman bisikan iblis… dimana
memasukkan ke dalam ayat suatu yang sama sekali tidak dikandungnya baik
dari dekat ataupun dari jauh. Dimana terdapat istanbath syaithaniy
kamu ini dari ayat itu? Dari manthiq? Dari mafhum? Dari nash? Dari
dhahir? Dari dilalah isyarah? Tidak ada… Yang ada hanya pikiran iblis
kamu… bagaimana bisa ada sedangkan ayat itu dari Allah ta’ala dan
sedangkan di dalam puluhan ayat Al Qur’an justru Allah ta’ala telah
memvonis kafir orang yang melakukan atau menampakkan kekafiran karena
takut atau istidl’af (ketertindasan) kecuali yang dipaksa yang
dijelaskan An Nahl: 106 dan Ali Imran: 28 dengan salah satu tafsirnya
juga kisah ‘Ammar. Sedangkan Allah ta’ala mengatakan:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Dan seandainya Al Qur’an itu berasal dari selain Allah, tentu mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya.” [An-Nisa: 82]
Dan
pemahaman syaithaniy ini memestikan (mengharuskan-red) kamu untuk
mengatakan bahwa rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menampakkan
kekafiran karena takut atau menyuruh Abu Dzar untuk melakukan atau
merestui Al Miqdad atas hal itu. <Lihat uraian yang lalu>.
Sungguh ini adalah pelecehan, penghinaan dan penghujatan kepada
Rasulullah, dan ini adalah kezindiqan dan riddah mughalladhah, karena
menisbatkan suatu yang tidak layak. Dan kalau kamu tidak mengatakan hal
ini terhadap Rasulullah, maka kenapa mengatakan “penampakan kekafiran”
dalam kisah orang mu’min dari keluarga fir’aun? Kenapa membedakan
makna “penyembunyian iman” yang ada di sana dengan yang di sini?
Bukankah sama-sama penyembunyian iman di saat takut dan istidl’af bukan
ikrah? Apa qarinah yang membedakan keduanya? Dan andai kamu berhasil
membedakan (dan mana mungkin bisa!!!) tapi kamu tetap tidak bisa keluar
dari menganggap ayat-ayat itu bertentangan padahal semuanya dari
Allah, dan kamu tetap tidak bisa keluar dari menggugurkan puluhan ayat
muhkamat perihal vonis kafir dari Allah bagi orang-orang yang
menampakkan kekafiran karena takut atau istidl’af tanpa ikrah.
Bukankah
seharusnya kamu membawa semua rukhshah penyembunyian iman di dalam
semua nash itu kepada orang yang bertauhid yang meninggalkan segala
kekafiran baik keyakinan, ucapan maupun perbuatan (dimana dia tidak
ikut hadir di acara-acara kekafiran) namun karena dia takut atau
istidl’af atau mashlahat yang lebih besar dia tidak mengumumkan atau
menjaharkannya dengan lisan di tengah orang-orang kafir. Karena
penjaharan atau penampakan iman itu adalah kadar lebih dari inti iman
(tauhid). Dimana inti iman (tauhid) itu menjadi lenyap dengan
penampakan kekafiran tanpa ikrah yaitu karena takut atau cinta dunia
atau hal lainnya. Sedangkan meninggalkan penampakan iman (dugaan tidak
menjaharkannya) adalah hanya dosa yang tidak melenyapkan iman, kecuali
kalau ada udzur takut, istidl’af atau mashlahat yang lebih besar.
Kamu paham atau ada tirai syaithani di hatimu yang menghalangi untuk paham, yaitu syubhat dan syahwat?
Kalau
belum mengerti juga, maka saya tambahkan contoh dalam kisah keislaman
Abu Dzarr, Rasulullah mengatakan kepada Abu Dzarr di majlis sebelum
keluar menuju ka’bah:
يا أبا ذر اكتم هذالأمر
“wahai Abu Dzarr sembunyikan urusan (keislamanmu) ini.”
Tapi
Abu Dzarr karena yakin merasa akan kuat maka beliau menjaharkannya di
depan Ka’bah di hadapan kafirin sampai dipukuli. Antara tenggang beliau
di majlis Rasulullah sampai perjalanan masuk Masjidil haram beliau
masih disebut menyembunyikan iman dan belum menjaharkan dan baru di
halaman Ka’bah beliau menjaharkan. Nah, apakah di tenggang waktu tadi
beliau menampakkan kekafiran karena masih menyembunyikan iman sehingga
kesimpulan kamu ini benar bahwa kitmanul iman itu artinya menampakkan
kekafiran? Jawab wahai mufassir syaithaniy!
Di
dalam shahih Al Bukhari ketika Ibrahim ‘alaihissalam dan istrinya
Sarah di bawa ke hadapan raja kafir, di sana beliau menyembunyikan iman
dan tidak menjaharkannya, apakah beliau menampakkan kekafiran juga
wahai ahli fiqh iblis?
Di
saat Ibrahim ‘alaihissalam di awal-awal dakwahnya belum bisa
menjaharkan dan masih menyembunyikan karena istidl’af, apakah saat
diajak menyembah berhala oleh kaumnya, apakah beliau mengiyakan ajakan
itu sebagaimana fiqh iblis kamu atau beliau menghindar dengan
mengutarakan alasan lain (dengan berbohong) dan bukan alasan keyakinan?
Dimana beliau mengatakan:
إِنِّي سَقِيمٌ
“Sesungguhnya saya sedang sakit.” [Ash Shaffat: 89]
Ini namanya kitmanul iman, bukan mengiyakan atau menampakkan kekafiran.
Dan
penyembunyian iman atau tidak menampakkan permusuhan dengan makna yang
benar yang saya uraikan tadi itulah yang dimaksud dengan makna kedua
dari taqiyyah yang diutarakan ulama dalam tafsir Ali Imran: 28. Dan
dengan makna itu maka semua dalil menjadi sejalan dan semua perjalanan
sirah selaras. Tapi bila mufassir iblis itu siapapun dia masih ngotot
dan mencari-cari dalih untuk pembenaran fiqh syaithaniynya, maka ia
lebih butuh kepada pedang Umar daripada hujjah yang panjang. Dan laknat
Allah bagi orang yang memberikan kemudahan kepadanya sebagaimana di
dalam hadits Nabawi…
Ingatlah bahwa penampakan kekafiran karena takut adalah kekafiran berdasarkan ayat-ayat yang lalu di antaranya.
Penampakan kekafiran dalam rangka bercanda dan senda gurau adalah kekafiran berdasarkan At Taubah: 65-66
Penampakan kekafiran dalam rangka berbohong adalah kekafiran berdasarkan Al Hasyr: 11
Duduk di majlis kekafiran dalam rangka basa-basi (mudahanah) adalah kekafiran berdasarkan An Nisa: 140
Menampakkan kekafiran karena ikrah (paksaan) maka bukan kekafiran
dengan syarat hati tetap teguh dengan iman berdasarkan An Nahl: 106 dan
Ali Imran: 28 dalam salah satu makna tafsirannya serta kisah ‘Ammar
ibnu Yasir.
Penyembunyian iman adalah sikap tidak menjaharkan iman di hadapan
orang-orang kafir dengan tetap komitmen dengan tauhid tanpa menampakkan
suatupun kekafiran atau menyetujuinya, dan sikap ini adalah rukhshash
sesuai makna kedua dari taqiyyah dalam ali Imran: 28 di saat takut dan
istidl’af dan bisa dianjurkan pada moment tertentu yang menuntut itu.
Orang
yang membolehkan penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah maka
dia adalah orang murtad yang mendustakan puluhan nash muhkam dan
menggugurkannya walaupun dia sendiri tidak melakukan kekafiran itu.
Orang yang mengartikan kitmanul iman di saat takut dengan makna
penampakan kekafiran, maka dia zindiq atau murtad dengan riddah
mughalladhah karena dia menuduh Ibrahim ‘alaihissalam telah menampakkan
kekafiran di hadapan raja kafir, menuduh rasulullah telah menampakkan
kekafiran atau menganjurkannya atau merestuinya di saat istidl’af,
barangsiapa menyandarkan kepada Nabi suatu yang tidak layak maka dia
zindiq atau murtad dengan riddah mughalladhah.
Maka hendaklah orang tidak berbicara tanpa dasar ilmu dan hendaklah
orang yang berpaham sesat itu takut akan dirinya dan pengikutnya di
hadapan Allah.
Janganlah di saat ketertekanan dengan kondisi dan keterasingan di
tengah manusia mendorong untuk mencari legalitas untuk membenarkan
kesesatannya, karena kesesatan itu akan melahirkan kesesatan yang lain
sebagaimana maksiat akan selalu melahirkan maksiat baru…
Jangan kamu mengira kesalahan kamu ini sekedar kekeliruan atau paham
bid’ah, tapi kekafiran yang nyata yang dengannya bangunan tauhid roboh
dan pilar dakwahnya hancur. Makanya saya memakai uslub yang keras
dengan harapan kamu jera, bila hatimu masih hidup. Muwahhid mana yang
tidak gemetar hatinya mendapat kabar bahwa ada orang yang membolehkan
penampakan kekafiran karena takut bukan ikrah, bahkan berdalih dengan
dalih yang lebih mengundang kemarahan jiwa muwahhid yang memuliakan
Nabinya yaitu dalih bahwa kitmanul iman saat takut bukan ikrah itu
adalah penampakan kekafiran, yang mana ini adalah penghujatan kepada
Nabi yang pernah melakukannya atau menganjurkannya atau merestuinya.
Syaikh Abdul Qadir di dalam Al Jami menggolongkan orang yang berdalih
dengan jabatan Yusuf ‘alaihissalam sebagai menteri pada raja kafir
untuk memolehkan masuk parlemen demokrasi, beliau menggolongkannya
sebagai orang zindiq yang dihukum bunuh tanpa istitabah, karena sama
dengan menuduh Yusuf ‘alaihissalam melakukan kekafiran…
Maka begitu juga kamu wahai siapa saja orangnya yang menuduh
Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam dengan hal tadi…
Allahumma… Ya Allah hamba telah menyampaikan…
Ya Allah tentramkanlah kaum muwahhidin dari kesesatan semacam itu dan dari para penganutnya…
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Jum’at, 29 Rajab 1432 H
- Catatan:
No comments:
Post a Comment