أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
HIKMAH IBNU ATHO’ILLAH
تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"
Uraian
Manusia
memiliki kondisi (keadaan) yang berbeda-beda. Keadaan seorang manusia
belum tentu sama dengan keadaan manusia yang lain. Secara spesifik,
keadaan tersebut terbagi menjadi dua macam. Pertama; keadaan hati (al-Ahwal an-Nafsiyyah), kedua : keadaan sosial ( al-Ahwal al-Ijtima'iyyah).
a. Ahwal Nafsiyyah
Yang
dimaksud dengan keadaan hati di sini adalah suatu ibarat dari perasaan
yang masuk (lewat) dalam diri manusia dan tidak menetap. Perasaan
tersebut datang dari hasil berfikir dan berangan-angan terhadap sifat
dan nama-nama Allah yang baik (Al-Asma' Al-Husna). Sifat-sifat itulah
yang mempengaruhi dan mendorong untuk melakukan amal-amal yang sesuai
dengan dirinya. Perasaan tersebut juga bisa ditimbulkan oleh keadaan
masa lalu seseorang yang gelap dan bergelimang dalam maksiat. Perasaan
salah ini akan menambah rasa takut manusia akan siksa Allah dan rasa
sakit ketika ingat masa lalunya di sisi Allah SWT.
Sebagian
orang shalih misalnya, ada yang selalu bersikap ramah, dermawan,
berbuat baik, dan selalu memaafkan. Semua sikap tersebut bersumber dari
selalu mengingat sifat-sifat jamal (keindahan) dari Al-Asma'
Al-Husna. Oleh karena itu, dia selalu melakukan amal shalih yang
berlandaskan atas prasangka baik terhadap Allah (husnudzan billah).
Sehingga ketika dia mengingatkan manusia kepada Allah SWT mereka selalu
mengingatkan akan besarnya anugerah, pemberian nikmat dan ampunan-Nya.
Sebagian mereka juga ada yang selalu dihinggapi perasaan takut karena yang selalu dia pikir adalah sifat-sifat jalalullah (keagungan Allah) seperti al-Qahhar, al-Muntaqim. Maka mereka akan beramal menurut perasaan takut ini, khususnya bagi mereka yang mempunyai masa lalu kelam.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dimaksud dengan kondisi manusia (ahwal). Kondisi tersebut datang kepada manusia, kemudian menetap (bisa lama dan bisa sebentar).
Di
sini perlu kita jelaskan perbedaan para auliyaillah yang menunjukkan
bahwa mereka berbeda-beda dalam amalnya karena keadaan hati mereka yang
berbeda-beda. Di antara mereka misalnya :
a. Fudlail Ibnu Iyadh
Diceritakan
bahwa suatu ketika dia wukuf di Arafah bersama orang-orang yang haji.
Namun dia tidak berdo'a dan berdzikir sebagai-mana yang dilakukan jamaah
haji lain. Dia hanya ingat terhadap masa lalunya yang gelap, sehingga
lupa untuk berdo'a dan berdzikir. Dia tak pernah terdengar berdo'a. Imam
Fudlail hanya menaruh tangan kanannya, ditempelkan ke pipinya dan
menundukkan kepala seraya menangis. Hal ini yang dilakukan-nya sepanjang
hari Arafah, dan ketika sudah sore (sudah waktunya berangkat) dia
berdoa serasa me-ngangkat tangan "Oh..alangkah jeleknya diriku walaupun
Tuan telah mengampuniku."
b. Ma'ruf Al-Khurkhi
Suatu
ketika Imam Ma'ruf Al-Kharkhi berpuasa, lalu dia mendengar orang yang
memberi sadaqah minuman berkata : "Semoga Allah memberi rahmat orang
yang mau minum dariku". Kemudian dia mendatangi orang tersebut dan minum
darinya. Ketika ditanya "Bukankah engkau berpuasa?", dia menjawab :
"Ya, tetapi saya mengharap do'a orang tersebut".
Apa yang dilakukan dua wali tersebut bisa jadi mendapat kritik dari orang yang tidak paham nasehat Ibnu Atha'illah di atas.
Memang
amal yang sesuai dengan keadaan Fudlai Ibnu Iyadh ketika wukuf di
Arafah adalah menundukkan kepala dan merasa malu kepada Allah SWT,
karena dia teringat kedaan masa lalunya yang selalu jauh dari Allah SWT.
Jadi tidak perlu dipungkiri lagi bahwa pahala Imam Fudlail sama dengan
pahala orang yang berdo'a dan dzikirnya wukuf di Arafah.
Imam
Ma'ruf Al-Kurkhi juga demikian. Ketika dia mendengar orang yang memberi
minum berkata: "Semoga Allah memberi rahmat orang orang yang mau minum
dariku". Lalu dia minum air darinya dan membatalkan puasanya. Hal
tersebut tidak lain karena Al-Kurkhi berharap semoga Allah memasukkannya
termasuk orang yang mendapat rahmat-Nya. Jadi tidak boleh dikatakan
bahwa yang dilakukan Imam Ma'ruf itu tidak sesuai dengan pendapat
sebagian ulama' fiqih, bahwa amal sunnah itu jika sudah dikerjakan, maka
wajib untuk diteruskan dan tidak boleh dipotong. Karena konteks di sini
adalah masalah hukum ijtihadi. Sebagaimana ulama' fiqih boleh
berijtihad maka begitu juga Imam Ma'ruf berhak untuk berpendapat bahwa
yang baik baginya adalah membatalkan puasa.
Jika
kita telah mengetahui apa yang dimaksud hikmah Ibnu 'Atha'illah dengan
berbagai contoh di atas, maka kita pasti tidak akan berani untuk
menyalahkan dan menghina para Auliya’, Ulama’ dan As-Shalihin.
Terkadang kita melihat apa yang dikerjakan mereka dari segi dhahirnya
itu menyalahi syari'at, namun dari segi batinnya apa yang mereka
kerjakan adalah benar karena memang itu yang cocok dengan keadaan
perasaan hati mereka dan jika diteliti sebenarnya tidak bertentangan
dengan syariat, hanya saja cara memahami dan metodologinya yang berbeda.
b. Ahwal Ijtima'iyyah
Di
sini kami kemukakan beberapa contoh yang memudahkan kita untuk memahami
perbedaan amal karena beda-bedanya keadaan status sosial masyarakat.
1. Orang
yang belum menikah tidak memiliki tanggung jawab kecuali pada dirinya
sendiri. Oleh karena itu amal yang sesuai dengan dirinya adalah
amal-amal yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Setelah
mengerjakan amal wajib, maka yang perlu dilakukan adalah mengosong-kan
waktu untuk menambah ibadah-ibadahnya.
2. Orang
yang telah menikah, maka dia memiliki tanggung jawab yang lebih, yaitu
pada dirinya sendiri dan keluarganya. Dia harus bisa adil dan seimbang
antara mengurusi keluarga dan beribadah kepada Allah. Dia harus
mengetahui bahwa usahanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga merupakan
amal ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, termasuk di
antaranya adalah duduk dan berkumpul bersama keluarga, supaya tercipta
suasana kasih sayang dan harmonis. Selain bertanggung jawab kepada
keluarga, dia juga tidak boleh melupakan kewajibannya sendiri, yaitu
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dia
kerjakan sebelum menikah. Hal ini bukan berarti ‘menduakan’ Allah,
karena pada dasarnya bertanggung jawab kepada keluarga juga perintah
Allah swt.
3. Seseorang
yang bekerja di suatu pabrik atau kantor, amal yang bisa mendekatkan
dirinya kepada Allah (setelah amal wajib) adalah tekun bekerja
sebagaimana yang telah ditugaskan dan diamanatkan dari perusahaan dan
atasannya. Artinya seluruh jam kerja yang telah ditetapkan harus
digunakan untuk bekerja, kecuali hanya beberapa menit untuk melaksanakan
shalat fardlu. Oleh karena itu, dia tidak boleh menggunakan waktu satu
menit pun untuk melaksanakan amal sunnah seperti membaca Al-Qur'an dan
mempelajari ilmu syari'at yang bukan kewajibannya. Sekarang ini ada
sebagian pekerja yang sengaja mengulur-ulur waktu dengan memperlama
wudlu dan shalatnya. Mereka berasumsi bahwa pekerjaan tersebut bisa
lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh sangat keliru alasan
tersebut, karena mereka telah menggunakan waktu yang bukan miliknya.
Waktu yang dia gunakan adalah milik pabrik. Dia harus mengetahui bahwa
pahala yang disiapkan Allah sebagai imbalannya dalam menjalankan tugas
tersebut tidak akan kurang dari pahala ibadah dan amal yang dilakukan
orang-orang yang berdzikir dan membaca Al-Qur'an.
4. Orang
yang memiliki kekua-saan, maka yang harus dia kerjakan adalah melayani
masyarakat, menjaga hak-hak dan menjaga keamanan rakyatnya. Kita tidak
boleh beranggapan bahwa apa yang menjadi tugasnya itu bukan amal ibadah.
Apa yang dikerjakan tersebut dapat menjadi amal ibadah jika memang
didasari ridla kepada Allah dan yang perlu diperhatikan, pejabat
tersebut juga tidak boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban serta
rukun-rukun Islam.
Kesimpulan
Allah
telah memberikan kekuatan yang berbeda-beda untuk melaksanakan ibadah
dan amal yang juga berbeda-beda. Konsekuensinya, setiap individu harus
melakukan amal yang sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.
Kadang
ada orang yang tidak memiliki kemampuan sedikitpun, namun dia sangat
giat dan senang untuk menolong masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka,
maka pekerjaanya itu adalah amal ibadah yang menjadi kewajibannya dan
telah dibebankan oleh Allah kepadanya.
Dengan
demikian maka amal setiap manusia tidak harus melakukan amal yang sama
dengan manusia yang lain. Allah telah menentukan amal apa yang sesuai
dengan masing-masing individu, sehingga jelaslah apa yang dimaksud
dengan hikmah Ibnu 'Atha'illah di atas. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment