Thursday, August 23, 2012

Sari Pati Ajaran Syekh Siti Jenar

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan:
“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”

Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. Wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:

  1. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
  2. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
  3. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
  4. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
  5. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
  6. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
  7. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keagungan Allah.
  8. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
  9. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
  10. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
  11. Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
  12. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
  13. Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
  14. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
  15. Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil “dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah dalam diri pribadi masing-masing.
Adapun yang menjadi maksud:
1. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
2. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
3. Ma’rifat, penglihatan roh.
4. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
5. Akal, pembicaraannya roh.
6. Niat, pakaremaning roh.
7. Shalat, menghadapnya roh.
8. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia. “Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai.

Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu; jatuhnya rasa, ilaha; kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”

Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.”
Syahadat Sunan Bonang, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.”
Dan syahadat Sunan Kalijaga, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatuhnya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat.
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat (menjelang dan proses datangnya pintu kematian), sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci.
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).

Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).

“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan “syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).

(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetp tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara:
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).

Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.

No comments: