أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan:
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” (Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292).
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” (Suluk Syekh Siti Jenar, II, hlm. 246-248).
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan:
- Yang dari Muhammad: (1) roh, (2) napas.
- Yang dari Malaikat : (3) budi, (4) iman.
- Yang dari Tuhan: (5) pendengaran, (6) penciuman, (7) pengucapan, (8) penglihatan.
- Yang dari Ibu : (9) kulit, (10) daging, (11) darah, (12) bulu.
- Yang dari Bapak : (13) tulang, (14) sungsum, (15) otot, (16) otak.
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” (Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292).
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.” (Suluk Syekh Siti Jenar, II, hlm. 246-248).
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar.
No comments:
Post a Comment