أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :
1. ‘Ilmul Yaqin
2. ‘Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
1. ‘Ilmul Yaqin
Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori belaka.
Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya sendiri.
Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain? Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.
Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku bom bunuh diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang dikerjakan masih sulit untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia dari berbuat keji dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut (29) : 45)
Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S Al Maa’un (107) : 4-5)
Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.
2. ‘Ainul Yaqin
Tahapan ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.
Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang sedang “mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku, bertanya kepada orang-orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari berbuat keji dan mungkar.
Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas dulu. Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar haqqul yaqin.
Mereka yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat rugi perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S Al Kahfi (18) : 103-104)
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti (isbat).
Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat berarti ia mengenal Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) : 282)
Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho… bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan, jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau
ulama sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya “SD” tapi cari juga ulama yang levelnya “SMP” , “SMA”, “S1” dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau
kita hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.
Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi petunjuk Tuhan –tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (Q.S Al An’aam (6) : 117)
Untuk Isra Mikraj akan dilanjutkan pada postingan yang akan datang.
Semoga Bermanfaat.
Seberapa yakinkah kita dengan agama yang kita anut. Apakah kita beragama cuma ikutan/taklid saja kepada keluarga atau ulama? Dan ibadah yang selama ini kita kerjakan apakah itu sekedar memenuhi kewajiban (gugur kewajiban) ataukah dilandasi ketulusan dan kecintaan kepada Allah? Nah, pada umumnya seseorang yang beragama didasarkan atas salah satu dari 3 keyakinan berikut ini :
1. ‘Ilmul Yaqin
2. ‘Ainul Yaqin
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
1. ‘Ilmul Yaqin
Ini adalah tingkatan terendah dari suatu keyakinan beragama. Misal seseorang mendapat pengetahuan dari si A yang mengatakan bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa, padahal si A tidak pernah ke negeri Cina. Jadi pengetahuan yang didapat dari si A hanyalah pada tataran teori belaka.
Seseorang yang beragama pada tingkat ini hanyalah yakin karena “kata orang”. Maka ia pun akhirnya menerima saja apa yang dikatakan oleh orang orang tanpa melakukan penyelidikan atau mendalami secara sungguh-sungguh agamanya sendiri.
Jika agamanya sendiri tidak pernah dikaji lalu bagaimana mau mempelajari agama orang lain? Yang terjadi kemudian adalah sikap memusuhi agama diluar dirinya. Merasa diri paling benar sehingga mengkafirkan yang lain.
Menyalah-nyalahkan ajaran agama orang lain seakan-akan dirinya adalah orang yang paling benar.
Orang pada tataran ilmu yaqin ini biasanya mudah diprovokasi dan dihasut contohnya ya teroris seperti Noordin M Top, Dr.Azhari dan para pelaku bom bunuh diri yang membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Teroris seperti mereka selalu memahami jihad dengan berperang. Kalo tidak berperang serasa kurang afdhol. Lebih suka mati medan berperang ketimbang mati di meja belajar. Padahal ketika meledakkan diri, mereka tidak sedang diserang malah justru menyerang orang yang tidak bersalah. Orang yang seperti inilah yang menghancurkan nama baik Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Mereka jelas bukan orang Islam melainkan orang kafir karena melakukan kerusakan di muka bumi.
Nah, bagi mereka yang masih pada tahap ilmul yaqin, sholat lima waktu yang dikerjakan masih sulit untuk khusyu’ karena hanya gerak fisik belaka (sholat raga). Ibarat orang yang sedang menghormat dan berbicara kepada raja tapi rajanya tidak ada di depannya. Ini yang disebut menyembah adam sarpin (kekosongan). Ibarat menyumpit burung tapi burungnya tidak ada, yang disumpit adalah kekosongan. Sholat seperti ini sia-sia karena tidak mampu menghadirkan zikir didalamnya. Padahal sholat itu haruslah dapat menghadirkan zikir sebagaimana yang diperintahkan Allah :
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk berzikir kepadaKu. (Q.S Thaahaa (20) : 14)
Mengapa sholatnya seseorang harus mampu menghadirkan zikir? Sebab dengan zikir akan hadir ketenangan, kedamaian dalam batin dan pikiran kita. Kalau batin dan pikiran sudah tenang maka hawa nafsu bisa dikendalikan. Dirinya akan mampu melihat mana perbuatan yang baik dan mana yang buruk. Sholat yang mampu menghadirikan zikir inilah yang akan mampu mencegah manusia dari berbuat keji dan mungkar :
Dan sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. (Q.S Al Ankabuut (29) : 45)
Bagi mereka yang tidak mampu menghadirkan zikir ketika sholatnya maka sholatnya tidak akan mampu mencegah diri mereka dari berbuat keji dan mungkar. Sholatnya tidak salah! Tapi orang yang mengerjakannya yang lalai.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Q.S Al Maa’un (107) : 4-5)
Tidaklah heran jika kita sering melihat orang rajin sholat, punya pengetahuan agama yang luas tapi malah jadi tersangka kasus korupsi. Kerjanya sih di Departemen Agama tapi malah tempat kerjanya dijadikan lahan korupsi. Inilah tandanya orang yang melalaikan sholat. Rajin ibadah ritual tapi masih suka KKN, dengki, suka bergunjing, memfitnah, dan melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Inilah ibadah yang sia-sia karena cuma berolahraga saja dan tidak menghujam ke dalam batin.
2. ‘Ainul Yaqin
Tahapan ini lebih tinggi dari yang ‘ainul yaqin. Misal seseorang diberitahu oleh si A bahwa di negeri Cina terdapat tembok raksasa. Dan ternyata si A pernah ke Cina melihat tembok raksasa. Jadi pada tahapan ini seseorang mendapat pengajaran dari si A yang pernah mengalami atau praktek. Si A bukan hanya tahu secara teori tapi ia telah membuktikannya dengan pergi ke negeri Cina.
Dalam kaitannya dengan agama, orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang sedang “mencari Tuhan”. Pencariannya meliputi penelitian melalui buku-buku, bertanya kepada orang-orang mengenai masalah Ketuhanan/spiritual dan orang yang ditanya pun tidak hanya pandai berteori namun sudah mempraktekannya juga.
Sholatnya orang yang telah mencapai tahap ini tentu akan lebih baik lagi karena akan mampu menghadirkan zikir dalam sholatnya sehingga dapat mencegahnya dari berbuat keji dan mungkar.
Namun demikian bagi kita yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin jangan puas dulu. Perjalanan belum selesai bung! kita harus terus meningkatkan keyakinan kita sampai kita tahapan yang nyata dan terbukti. Kita harus pergi ke negeri Cina untuk menyaksikan tembok raksasa tersebut agar haqqul yaqin.
Mereka yang telah mencapai tahap ‘ainul yaqin seringkali terjebak berpuas diri dengan keyakinan atau pengetahuan yang dimilikinya. Mereka merasa cukup puas mengerjakan rukun iman dan rukun Islam tanpa berusaha mencapai makrifat kepada Allah. Sebagian dari mereka sering berceramah tentang keutamaan mendapat lailatul qadr tapi mereka sendiri tidak pernah mendapat atau mengalami pengalaman lailatul qadr. Sering juga berceramah Isra Mikraj tapi tidak pernah mengalami Isra Mikraj. Kita ternyata cuma bisa kebanyakan berceramah (teori) tanpa bisa membuktikan ceramahnya. Padahal di Al Quran kita telah di ingatkan agar jangan cepat berpuas diri :
Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang amat rugi perbuatannya?” Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya ketika hidup di dunia sedang mereka mengira bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik (Q.S Al Kahfi (18) : 103-104)
3. Haqqul Yaqin (Isbatul Yaqin)
Inilah tahapan keyakinan yang tertinggi. Dalam hal ini kita bukan hanya mendengar cerita saja bahwa di negeri Cina ada tembok raksasa, namun kita mengalaminya sendiri dengan pergi ke negeri Cina. Kalau sudah ke negeri Cina dan melihat sendiri tembok tersebut tentu keyakinannya sangat kuat sekali. Inilah kebenaran yang haq (nyata) dan terbukti (isbat).
Dalam kaitannya dengan keyakinan beragama, orang yang telah mendapat haqqul yaqin adalah orang yang telah mencapai makrifat kepada Allah. Orang yang telah bermakrifat berarti ia mengenal Af’al-Nya, Asma-Nya, Sifat-Nya dan Dzat-Nya. Ia akan mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya (ladunni).
Perihal ilmu laduni ini telah disampaikan juga melalui Al Quran :
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Q.S Al Kahfi (18) : 65)
Dan bertakwalah kepada Allah niscaya Dia akan mengajarimu. (Q.S Al Baqarah (2) : 282)
Manusia yang telah mendapat ilmu laduni berarti telah mendapatkan kebenaran yang Haq. Tidak ada keraguan sama sekali. Mereka pun telah mencapai Mikraj, bertemu dengan Allah. Bagi mereka, Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual yang langsung dialaminya sendiri bukan teori belaka.
Lho… bukankah Isra Mikraj itu hanya untuk Nabi Muhammad saja? Nah doktrin seperti inilah yang telah banyak memasung pemikiran umat Islam. Pendapat ulama dijadikan taklid, harga mati yang tidak bisa dirubah. Padahal pendapat ulama itu hanya untuk dijadikan referensi saja. Ibarat makanan, jangan ditelan mentah-mentah. Kunyahlah dulu. Untuk itu, carilah guru atau
ulama sebanyak-banyaknya. Jangan hanya cari ulama yang levelnya “SD” tapi cari juga ulama yang levelnya “SMP” , “SMA”, “S1” dan seterusnya. Jangan hanya belajar dari ulama yang sering muncul di televisi saja tapi belajarlah juga ulama lain yang lebih tinggi ilmunya. Ulama ini tidak muncul kepermukaan karena tidak mau menjadi selebritis. Mereka harus dicari!. Kalau
kita hanya belajar dari ulama level SD ya pengetahuan kita tidak akan pernah berkembang. Bagai katak dalam tempurung. Merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki dan yang ditingkatkan pun hanya ibadah ritual saja. Padahal ilmu Allah itu teramat sangat luas dan ini justru menjadi tantangan umat Islam abad modern untuk terus mengkaji Al Quran sesuai perkembangan jaman.
Kalau kita taklid kepada pendapat seorang ulama, memangnya ketika kita mati, ulama tersebut mau bertanggung jawab kepada kita? Nah karena tiap manusia itu sendirian ketika meninggal maka manusia itu sendiri yang harus menentukan jalan hidupnya. Segala pendapat atau tafsiran hendaknya hanya dijadikan referensi saja. Termasuk postingan yang anda baca inipun hanya bersifat referensi untuk mendekati kebenaran.
Kitalah nantinya yang akan menemukan kebenaran itu sendiri setelah diberi petunjuk Tuhan –tentu kita juga harus meminta petunjuk-Nya terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan pendapat saya di postingan ini adalah yang paling benar. Sekali lagi tidak! Karena kebenaran hanyalah milik Allah semata. Dan saya tidak mau ikut-ikutan sebagian orang Islam yang mengatasnamakan kebenaran dari Tuhan lalu dengan seenaknya mengatakan orang lain sesat, kafir bahkan melakukan tindak kekerasaan kepada orang lain yang tidak sependapat/sealiran dengan mereka. Sesat adalah menyimpang dari kebenaran dan yang empunya kebenaran adalah Allah. Jadi Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menentukan sesat atau tidaknya seseorang. Simak ayat berikut ini :
Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (Q.S An Najm (53) : 32)
Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (Q.S Al An’aam (6) : 117)
Untuk Isra Mikraj akan dilanjutkan pada postingan yang akan datang.
Semoga Bermanfaat.
No comments:
Post a Comment