Friday, July 27, 2012

Jihad Melawan Hawa Nafsu atau Jihad Karena Hawa Nafsu?

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Sesungguhnya jihad adalah salah satu dari pintu-pintu surga yang mana Allah telah membukakannya secara khusus kepada para kekasih-Nya (awliya’ihi), dan dia itulah yang disebut sebagai libasut taqwa (pakaian takwa), dan baju besi Allah yang kokoh, dan perisai-Nya yang kuat” (Imam Ali as, Nahjul Balaghah)

Al-Raghib al-Isfahani pertama-tama menjelaskan arti jihad dari akar katanya jahd yang berarti bekerja keras atau melakukan upaya sepenuh tenaga dan kata juhud yang berarti kesanggupan maximal seseorang (lihat QS 9 : 79).Kemudian ia melanjutkan penjelasannya tentang jihad wa al-mujahidah yang berarti menghabiskan seluruh tenaga dan upaya semaximal kemampuannya di dalam mempertahankan dirinya dari serangan musuh.

Al-Raghib membagi jihad di dalam tiga kategori : (1) untuk berjuang melawan musuh yaitu mereka yang tak beriman; 2) melawan terhadap setan dan 3) melawan diri sendiri yaitu: ketamakan dan egoisme. 171]

Banyak orang Islam menyangka bahwa Jihad bukan merupakan ibadah. Bahkan lebih jauh lagi menyangka bahwa jihad bukan bagian dari ajaran Islam. Tentu saja pemikiran seperti ini jauh dari kebenaran.

Banyak sekali konsep-konsep Islam yang telah didistorsi para orientalis Barat dan Islamolog yang memang bermaksud menyimpangkan konsep-konsep Islam dari jalan yang sebenarnya.

Sayangnya lagi, sebagian kecil orang Islam, yang terdiri dari  kaum muda memahami beberapa konsep Islam secara keliru dan menyebarkannnya pada banyak orang yang masih awam.

Di Barat, kata jihad umumnya diterjemahkan dengan “Perang Suci” (holy war), dan kata inilah yang lebih populer digunakan oleh media-media Barat. Padahal kata jihad berasal dari bahasa Arab, dan jika kita kembalikan kata “Perang Suci” ke dalam bahasa Arab maka semestinya menjadi “al-harbu al-muqaddasah”, bukan jihad. Walau pun begitu, kata perang atau qital juga dapat kita temukan di dalam banyak ayat Qur’an.

Makna jihad yang secara harfiah adalah upaya keras, dan perang membela diri melawan kaum ingkar, tidak hanya tentang darah dan kematian fisik. Ia adalah kesiapan untuk mempertahankan kehidupan tanpa kenal takut dalam kehidupan rohani.

Nabi saww tidak menginginkan perang dan kematian atas orang lain yang diakibatkannya. Beliau berusaha menggunakan nalar untuk menghindarinya, namun jika keadaan memaksa (jahada), ia tak gentar untuk mengangkat senjata demi menjaga kehormatan agama dan melindungi kepentingan umat.

Imam Hasan ibn Ali as menggunakan nalarnya ketika ia melepaskan khilafah. Imam Hasan memiliki ribuan prajurit tapi ia tahu bahwa mereka tak mungkin mampu bertahan dan gigih. Oleh karena itu ia beranggapan tidaklah bijaksana menggiring mereka ke dalam peperangan sementara mereka tidak akan mampu bertahan, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang dalam.

Jihad di dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang mulia dan salah satu pilar dari delapan pilar agama Islam. Jihad sering diproyeksikan seolah-olah hanya merupakan bagian integral Islam untuk berjuang melawan orang-orang non muslim dan seolah-olah merupakan kewajiban atas umat Islam untuk berjuang melawan orang-orang yang tidak setia terhadap pemerintahan Islam.

Sebenarnya, Jihad memiliki makna yang berlapis-lapis (multi layered), yang sayangnya oleh sebagian orang Islam hanya diproyeksikan dalam satu dimensi pemaknaan, yaitu perjuangan melawan orang-orang yang tidak setia kepada Islam.

Kedangkalan pemahaman akan filsafat sejarah awal perkembangan Islam berakibat munculnya banyak kekeliruan didalam penafsirannya sehingga banyak konsep-konsep Islam yang diletakkan tidak pada tempatnya. Hal ini juga menimpa konsep Jihad.

Yang paling utama adalah bagaimana pemahaman yang pas atas konsep jihad dalam  situasi historisnya. Dan yang  terpenting, diharapkan dari kita tidak selalu meletakkan Jihad sebagaimana sejarah memposisikannya, karena banyak konsep-konsep Islam tidak hanya terkait pada pemahaman atas sejarah, tetapi tidak boleh diabaikan juga tinjauan hukum atau fiqih Islam yang mesti menjadi bagian penting untuk memahami dan menerapkannya. Pemahaman Islam yang hanya ditinjau dari satu sisi atau beberapa sisi saja hanya mengakibatkan munculnya pemahaman yang tidak integral dan tumpul.

Seluruh konsep-konsep Islam tidak bisa tidak mesti dipahami secara integral dan komprehensif, sehingga ia menjadi suatu sistem yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan lainnya.

Begitu pun ketika kita mencoba memahami ayat-ayat Qur’an yang berlapis dan multi dimensi, beberapa adalah historis, beberapa sosial, beberapa etis dan hukum dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar kita tidak sampai berlaku tidak adil terhadap al-Qur’an dan tidak menyalah gunakan (melaksanakan) Jihad hanya untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsu.

Suatu studi yang hati-hati terhadap al-Qur’an dan hadits membuat pemahaman terhadap Jihad menjadi lebih jernih dan jauh dari semata-mata kekerasan dan peperangan. Sayangnya, beberapa peperangan yang dilakukan khalifah Islam setelah wafatnya Rasul saww telah banyak disimpangkan dari tujuan yang sebenarnya.

Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, terjadi beberapa peristiwa penyalahgunaan jihad seperti pada peristiwa Fuja’ah, juga peristiwa pembakaran Bani Salim yang dilakukan oleh Khalid bin Walid.

Pada masa itu alasan murtad dijadikan alasan untuk bisa melaksanakan jihad. Akan tetapi benarkah orang-orang itu murtad? Dan bolehkah kaum muslimin melakukan pembakaran hidup-hidup sebagai sanksi atas sesuatu yang dianggap melanggar hukum?

Padahal Rasulullah saww pernah bersabda, “Jangan menyiksa dengan api kecuali Pemiliknya (Allah)!” (Shahih Bukhari 4 : 325, Kitab Jihad : ‘Jangan menyiksa dengan siksa yang hanya Allah saja yang boleh melakukannya’).

Bahkan setelah pemerintahan Abu Bakar, penyalahgunaan Jihad semakin banyak dilakukan, terutama pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas. Penyimpangan makna dan penerapan Jihad di kemudian hari tampaknya telah diketahui oleh Rasulullah saww, sehingga karenanya beliau bersabda ketika beliau melihat pasukan yang kembali dari suatu peperangan, “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tertinggal jihad akbar”. Ketika orang-orang bertanya makna jihad akbar, Rasul saww menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu atau diri sendiri (jihad al-nafs)” 172]

Hal ini dimaksudkan agar jihad ashghar (jihad kecil) tidak dilakukan kecuali atas dasar pertimbangan religius. Jika jihad kecil (perang) dilakukan tanpa kebersihan jiwa, tanpa niat yang murni semata-mata untuk mendapatkan ridha dan cinta-Nya, maka tentulah itu bukan jihad yang dimaksud oleh Islam.

Mungkin salah satu sebab munculnya Sufisme adalah karena kaum sufi menjaga dan menjauhkan diri dari  perjuangan demi kekuasaan dan  usaha para penguasa muslim saat itu pada perluasan wilayah.

Mereka, kaum sufi menyadari bahaya menyalahgunakan konsep jihad dan pentingnya penekanan aspek sosial dan moral dari jihad. Jihad Akbar bertujuan untuk mengendalikan sifat-sifat tercela, yang salah satunya adalah sifat tamak, haus kekuasaan dan zalim.

Adanya Jihad Akbar semata-mata untuk menjadi poros untuk tindakan Jihad Ashghar, sehingga jika jihad kecil dilakukan maka tidak boleh keluar dari asasnya yaitu Jihad Akbar.

Penekanan ini sangat diperlukan ketika konsep jihad dengan pedang telah disalahgunakan untuk pertimbangan yang egois. Ajaran Moral dan batasan etis yang dikenakan al-Qur’an secara total telah diabaikan oleh para penguasa Islam dan sepasukan tentara mereka untuk memenuhi ketamakan mereka untuk perluasan wilayah. Untuk alasan inilah kaum sufi turut campur pada langkah ini dan mencoba untuk menerbitkan moral dan dimensi yang etis atas konsep Jihad yang kaya.

Di dalam Shahih al-Bukhari, bisa kita temukan hadits tentang Miqdad ibn Amr al-Kindi. Ia bertanya kepada Nabi yang suci saww,”Sekiranya saya berjumpa dengan salah seorang kafir harb dan kami berperang, lantas ia memukul dan melukai salah satu dari tangan saya, bahkan memotongnya dengan pedangnya, kemudian ia berlari dan berlindung di balik pohon sambil berkata,”Aku menyerah kepada Allah!”, apakah boleh saya membunuhnya, setelah ia telah berkata ini, wahai Rasulullah?”

Rasulullah bersabda,”Semestinya kamu tidak membunuhnya” Al-Miqdad berkata,“Wahai Rasulullah, bukankah ia telah memotong tanganku, dan bukankah kata-kata itu hanya untuk melindungi dirinya dari pembalasan saya?” Rasul saww menjawab, “Kamu tidak boleh membunuhnya, karena jika kamu membunuhnya ketika ia berada dalam posisi seperti itu, maka kamu tidak berbeda dengan orang-orang yang kamu perangi” 173]

Dalam riwayat lainnya, peristiwa seperti ini berkenaan dengan Khalid bin Walid yang membunuh musuh yang telah menyerah dan mengucapkan syahadat Islam. Khalid berdalih,”Itu hanya tipu muslihat musuh saja agar ia selamat dari pedangku!” Nabi saww sangat marah dan mengatakan kepada Khalid, “Mengapa tidak kamu bongkar saja dadanya dan kamu korek hatinya? Apakah kamu benar-benar mengetahui isi hatinya?!”

Riwayat-riwayat seperti ini mengajarkan kepada kita bahwa hatta dalam peperangan pun, Islam mengajarkan moral yang tinggi, yaitu agar memaafkan musuh dan tidak membenarkan pembalasan dendam.

Jihad merupakan salah satu dari ibadah politik Islam. Islam sebagai agama yang komprehensif, menjadikan politik sebagai salah satu bagian penting dari ajarannya. Pemisahan politik dari agama merupakan ancaman terbesar, dan inilah salah satu yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam.

Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki kebaikan bagi Islam berupaya agar agama dan politik tetap menyatu. Hubungan antara keduanya ini adalah seperti hubungan roh dan tubuh. Tubuh dan roh serta kulit dan isi harus selalu menjadi satu.

Kulit dibutuhkan untuk melindungi isi agar kuat. Islam memandang penting politik, pemerintah, undang-undang politik dan jihad, hanya dengan tujuan melindungi dan menjaga warisan spiritualnya, yaitu tauhid, supremasi nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan hak dan perhatian terhadap sentimen manusia. Jika kulit dipisahkan dari isinya, maka isi akan rusak, dan kulit jadi tak ada gunanya.

Penggunaan kekuatan terkadang juga bisa bermoral. ltulah sebabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan tirani itu sebagai kewajiban suci, dan memandang Jihad dan perlawanan bersenjata, dalam keadaan tertentu, sebagai kewajiban. Allah SwT berfirman, ‘Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa,”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!” (QS an-Nisâ’: 75)

Ayat ini menekankan kepada kaum muslimin agar berjihad, dengan dua nilai spiritual (1) Gerakan mereka adalah demi atau karena Allah, (2) Orang-orang tak berdaya tengah ditindas oleh tiran, dan kaum muslimin wajib menolong mereka.

Dalam ayat lainnya Al-Qur’an yang suci mengatakan, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, melainkan hanya karena mereka berkata,”Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirubuhkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha-kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]: 39-41)

Di dalam ayat ini kita lihat bahwa seraya memberikan izin berjihad, disebutkan hak-hak kaum Muslim yang hilang dan pada saat yang sama, juga disebut-sebut sebuah nilai yang lebih tinggi daripada hak-hak yang hilang, dan merupakan filosofi pembelaan diri.

Al-Qur’an mengatakan bahwa jika kaum muslimin tidak melakukan jihad, atau tidak berbuat apa-apa, maka keselamatan masjid dan rumah ibadah lainnya, yang menjadi jantung kehidupan spiritual masyarakat, terancam bahaya dan tidak lagi akan berfungsi.

Al-Qur’an juga mengatakan, “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. an-Nisâ’: 148) Jelaslah ini merupakan dorongan kepada kaum tertindas untuk melakukan perlawanan.

Rasulullah saww bersabda, “…maka barangsiapa yang meninggalkan jihad, niscaya Allah pakaikan (pakaian) kehinaan atas dirinya, kefakiran dalam penghidupannya, dan Allah matikan agamanya. Sesungguhnya Allah Tabaraka Ta’ala akan melemahkan umatku karena mereka meninggalkan kuda-kuda mereka dan pos-pos pertahanan mereka” 174]

Sebagian mufassir Al-Qur’an menggambarkan golongan kanan (ashhâb al-yamin) sebagai ashhâb al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang terus-menerus berjuang dan bersabar dalam menanggung penderitaan mereka.

Akan ada kedamaian bagi mereka, meskipun mereka berada dalam cobaan dan kegelisahan. Kehidupan ini adalah gudang cobaan dan penderitaan. Akan tetapi, jika cobaan itu dijalani di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saww, maka ia akan terasa ringan dan bisa ditanggung.

Bila tidak demikian, seorang yang waras hanya bisa melompat dari jendela dan terang-terangan menyatakan bahwa eksistensi dirinya sama sekali tidak bisa dipahami. Kehidupan ini adalah tempat cobaan dan kesulitan di mana pembangkangan atas rahmat Allah dihapuskan. Manusia tidak punya pilihan kecuali harus berjihad. 175]

Rasulullah saww bersabda, “Barangsiapa yang menjumpai Allah tanpa ada bekas jihad maka Allah akan menjumpainya dalam keadaan sumbing” 176]

Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan dari semua yang tertera dalam tulisan ini adalah bahwa jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam hukum-hukum fiqih. Salah satunya adalah sebagaimana yang dikatakan Imam al-Shadiq as, “Jihad hanya wajib dilaksanakan bersama pemimpin yang adil” 177]

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Catatan Kaki

171] Ashghar Ali Engineer, Real Meaning of Jihad.

172] Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits, hal. 1.

173] Ashghar Ali Engineer, Real Meaning of Jihad.

174] Bihar al-Anwar 100 : 9

175] Syekh Fadlullah Haeri, Tafsir Surah al-Waqi’ah ayat 91

176] Kanz al-‘Ummal hadits no. 10495

177] Al-Wasail 11 : 35

No comments: