أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
BAB I
PENDAHULUAAN
Hidup di jaman yang serba Modern ini, telah mendorong kita pada sikap atau perilaku hidup yang materialistik dan Hedonis. Segala sesuatunya ditentukan dengan uang, sehingga ada ungkapan ada uang ada jalan, tak ada uang tak jalan. Segala usahanya dan kerjanya dihabiskan hanya untuk memperoleh kebutuhan hidup yang bersifat materi demi kepusan hawa nafsunya. Bahkan sampai rela mengorbankan segalanya, menghallkan segala cara demi sampainya pada tujuan yang dinginkan.
Fenomena diatas dapat kita saksikan secra nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuktikan begitu rendahnya tujuan hidupnya yang hanya sebatas pemenuhan kebutuhan lahir saja tampa memikirkan hal atau sesuatu yang lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan jasmani yaitu kebutuhan bathiniyah. Dalam hal ini bukan berarti menafikan pentingnya kebutuhan jasamani atau lahiriah tapi sebatas penyeimbangan antara keduanya.
Pemenuhan kepentingan lahiriah atau jasmani yang melebihi kebutuhan yang seharusnya melahirkan apa yang disebut Hubbudunya yaitu cinta dunia yang berlebih-lebihan yang dampaknya sangat menghawatirkan seperti yang penulis sebutkan diatas. Hal nilah yng kirnya mendorong penulis untuk menysun suatu tulisan yang berisi membangun kembali fitrah manusi sebagi mahluk ciptaan Allah yang berkewajiban beribadah kepadanya. Firman Allah :
“Tidakalah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada kami”
(al Ankabut : 56)
Sebagi mahluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya mengembalikan hubungan dengan Allah pada jalus semestinya. Jalan yang dimana kita konsisten paa arah jalur ini akan tercipta kebahafian dunai dan akhirat. Dalam suatu keterngan disebutkan
“ Man ‘arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu”.
Konsep inilah yang mengisyaratkan pentingnya kita sebagi mahluk mengenal diri kita, bagai, aman kedudukan kita di dunia mau dibawa kemana arah tujuan kita dan akhirnya sampailah kita pada kesdaran diri ingin mengenal pencipta diri kita. Lewat tulisan makalah yang penyusun beri judul menuju jalan ma’rifatullah diharapkan dapat akan timbulnya kesadarn kita terhadap eksistensi yang hakiki hidup di dunia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MA’RIFAT DALAM TASAWUF
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah, artinya adalah pengetahuan, pengalaman, atau pengetahuan Ilahi. Ma’rifat secara etimologis berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya.
Pengetahuan dalam pengertian yang umum, khususnya pada penggunaan bahasa Arab zaman modern, namun dalam litetarur keagamaan ia secara khusus berarti gnosis, yakni pengetahuan esoteris atau pengetahuan mistis dari dan terhadap Tuhan. Ia sebanding dengan istilah jinana dalam bahasa sansakerta.
Menurut sufisme, ma’rifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta). Ketiganya merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual (thariqat).
Ma’rifat dalam pengertian tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Menurut Abu Zakaria al-Anshari bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang sampai ke tingkat keyakinan yang mutlak.
Secara terminologis, ma’rifat adalah ilmu yang didahului ketidaktahuan. Didalam istilah sufi, ma’rifat berarti ilmu yang tidak menerima keraguan apabila objeknya adalah zat dan sifat-sifat Allah SWT.
Dalam istilah sufi juga dikatakakan bahwa ma’rifat dapat diartikan cahaya yang disorot pada hati siapa saja yang dikehendakinya. Inilah pengetahuan hakiki yang datang melalui kasyf (penyingkapan), musyahadah (penyaksian), dan dzauq (cita rasa). Pengetahuan ini berasal dari Allah, akan tetapi pengetahuan ini bukanlah Allah sendiri karena dia tidak bisa diketahui dalam esensinya.
Dalam tasawuf, istilah ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan yang yang tidak mengenal keragu-raguan, sebab obyeknya adalah Tuhan dan sifat-sifatnya atau ma’rifat berarti juga pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas dan pastinya pengetahuan itu, menyebabkan seseorang merasa tahu dengan yang diketahuinya itu.
Selanjutnya menurut Harun Nasution ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Menurut sebagian ulama, ma’rifat adalah sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarqnnya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendak dan dosa-dosa, kemudian berdiri mengetuk pintu Allah. Dengan hati yang konsisten dan istiqomah, dia beri’tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah, Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora napsu dari dirinya dan hatinya dan tidak pernah terdorong lagi untuk melakukan selain ini.
Ia menjadi orang asing ditengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia, terus menrus bermujat dihadapan Allah dengan cara sirri (rahasia dan tersembunyi). Semua ucapannya adalah benar, dia berkata engan bimbingan Allah. Diberitahukan kepadanya rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaannya yang berlaku. Itulah yang disebut arif dan keadaannya ddisebut ma’rifat. Pendek kata dengan keasingan dirinya itu, ma’rifatnya akan mendapatkan Tuhannya Yang Maha Agung dan Maha Mulia.
B. TINGKATAN MA’RIFAT
Sehubungan denganadanya perbedaan tingkat ma’rifat dalm Aiqazhul Himam dijelaskan, bahwa tingkatan Ma’rifat kepada Allah ada tiga tingkat :
1. Ma’rifat dengan Allah
2. Marifat dengan dalil
3. Ma’rifat Ikut-ikutan (taklid)
Tingkat yang tertinggi dari ketiga tingkatan atu adalah ma’rifat kepada Allah. Untuk mereka yang mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah terdapat perbedaan-perbedaaan menurut ukuran apa ynag telah terbuka buat mereka. Golongan inilah yang mencapai tingkat Waliyullah (Auliya).
Bermacam-macam karomah yang mereka dapatkan sesuai dengan tingkatan mereka disisi Allah. Yang mengetahii benar derajat kewalian itu hanyalah Allah sendiri atau orag yang mendapat pemberitahuan Allah tentang kewaliaan seseorang.
Seseorang yang hanya sampai pada tingkat dua belum tentu dapat mengerti tentang kewaliaan seseorang yang brada tingakt kewalian yang pertam, kecuali ia mendapatkan ilham dari Allah. Adapun orang awam bisa mengerti kedudukan seseorang pada tingkat pertama itu karena adanya pemberitahuan dari tingkat yang lebih tinggi darinya.
C. PROSES ATAU JALAN MENUJU MA’RIFAT
Menurut al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah dan Reynold Alleyne Nicholson, ahli Mistisisme dalam Islam, dalam The Mystics of Islam ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalbu(the heart) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh (ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan, dan sirr (inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan. Dari ketiga alat tersebut, sirr merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi dari qalbu. Sir merupakan alat yang digunakan sufi untuk memperoleh ma’rifat.
Oleh karena sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalbu, maka sirr timbul serta dapat menerima iluminasi dari Allah SWT di kala ruh dan qalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi menangkap cahaya Tuhan yang diturunkan-Nya. Qalbu tak ubahnya seperti kaca, jika senatiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sirr yang benar untuk untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. apabila cahaya cemerlang itu diperoleh maka dikala itulah sufi bertemu dengan Zat Yang Maha Tinggi. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak kebahagian. Demikianlah cara seorang sufi mencapai tingkat ma’rifat.
Memperoleh ma’rifat merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifat, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Walaupun tersingkapnya tabir Tuhan memperlihatkan rahasia-Nya kepada seorang sufi, namun ma’rifat yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin dapat dicapai oleh manuisa lantaran keterbatasan manusia, disamping kemutlakan Tuhan. dalam kaitan ini al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, menyatakan: “cangkir the tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memperoleh ma’rifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.
D. PENGALAMAN RUHANI PARA SUFI DALAM MERETAS JALAN MA’RIFAT
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat sesuai dengan pengalamannya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqaq berkata: “Salah satu tanda ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah SWT. Barang siapa bertambah ma’rifatnya bertambah pula haibahnya.” Saya mendengar beliau juga menyatakan , “Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa kedamaian. Jadi, orang yang bertambah ma’rifatnya maka bertambah pula ketentramannya.
Abu Hafs berkata: “Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku.” Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam pandangan sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri, karena dia dilimpahi oleh zikir kepada-Nya. Dengan demikian, tidak melihat apapun selain Allah SWT. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dana refleksi pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang dihadapinya. Bagi sang arif, semata kembali pada Tuhannya. Jika seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati? Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Hasan bin Yazdaniar ditanya, kapankah seorang arif menyaksikan Allah SWT? Dia menjawab,” ketika penyaksi tampak.maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan melebur.
Al-Halaj berkata,” Apabila si hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah SWT. Membisikkan melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan yang tidak haq, selanjutnya dia menambahkan bahwa tanda seorang arif adalah bahwa ia kosong dari dunia dan akhirat.
Selanjutnya Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata,” Allah SWT menyingkapkan kepada sang arif di tempat tidurnya, yang tidak dia ungkapkan kepada orang lain, padahal orang lain itu sedang shalat.”
Suatu saat al-Busthami ditanya tentang sang Arif. Dia mengatakan, “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah SWT. Dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah SWT. Disaat bangunnya, dia tidak sesuai dengan selain Allah SWT, dan dia tidak memandang selain kepada Allah SWT.
Dengan ma’rifat seorang sufi lewat hati sanubarinya dapat melihat Tuhan oleh karena itu, para sufi mengatakan,”kalau mata hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang dilihat hanya Allah SWT.
Yang dilihat orang arif sewaktu tidur muapun bangun hanya Allah SWT”. Ungkapan para sufi tersebut selain menggambarkan dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, juga menjelaskan bahwa pengetahuan dalam bentuk ma’rifat merupakan pengetahuaan langsung ada pada Allah yang di anugrahkan-Nya kepada mereka yang diberi kemampuaan menerimanya. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut orang-orang sufi seperti yang dikemukakan Abu Bakar al-Kalabazi, seorang sufi, Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya melalui diri-Nya.
Ma’rifat kadang-kadang dipandang sebagai makam dan terkadang sebagai hal. Dalam buku-buku tasawuf urutan ma’rifat berlainan dengan mahabbah. Al-Gazhali dalam Ihya` Ulum ad-Din memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah, sedang al-Kalabazi dalam at-Ta’aruf (saling mengenal), menyebut ma’rifat sesudah mahabbah. Disamping itu, ma’rifat dan mahabbah dianggap kembar yang selalu disebut bersama. Keduanya merupakan dua hal yang sama dalam perbedaan. Sama dalam hal menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Berbeda karena mahabbah mengganbarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedang ma’rifat menggambarkan hubungan dalam bentuk gnosis (pengetahuaan dengan hati sanubari).
FASE KEGAMANGAN DAN PROSES PERJALANAN RUHANI AL-GAZALI
Ketika itu, kehidupannya sedang mengalami kegoncangan karena keraguan yang meliputi dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?” perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-Munqiz ad-dalal menjelaskan temtang keadaan ini.
Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenarannya yang sebenarnya. Al-Ghazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui pancaindera sebab pancaindera sering kali salah satu berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat Al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar.
Dalam mempelajari filsafat, al-Ghazali menemukan argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul logica et philosophia al-gazelis Arabis (logika menurut Filsuf Arab al-Gazali; 1145). Lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah.dalam buku itu al-Gazali mengkritik 10 pendapat filsuf yang mengatakan bahwa:
1. Tuhan tidak mempunyai sifat
2. Ruhan mempunyai substansi sederhana (basit) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah)
3. Ruhan tidak mengetahui perincian (juziyah)
4. Tuhan tidk dapat diberi sifat jenis {al-jins/genus) dan al-fasl (spesies)
5. Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua juziyah
7. Hukum alam tidak berubah
8. Membangkitan jasmani tidak ada
9. Alam ini tidak bermula, dan
10. Alam ini kekal.
Bahkan al-Gazali berpendapat bahwa tiga diantara 10 pendapat filsuf diatas, yaitu alam kekal(tidak bermula), Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian, dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kekupuran.
Isi pokok mengenai kecaman al-Gazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tentang qadimnya alam, filsuf beranggapan bahwa alam ini qadim. Menurut Al - Gazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Allah. Paham bahwa ada yang qadim selain Allah adalah syirik. Menurutnya yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak zaman azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Allah sebagai pencipta, dan ini sama dengan kufur.
Kedua, tentang pendapat bahwa Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut al-Gazali pendapat ini akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Allah. Allah Maha kuasa dan Maha Tahu. Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian sekecil-kecilnya, tak satupun luput dari pengetahuan-Nya. Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendpat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangktan jasmani. Ayat-ayat Al- Qur’an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya penmbangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya.
Ketiga pendapat diatas menurut al- Gazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya dan bertentangan dengan dalil- dalil Al-Qur’an, dan ia mencap para filsuf itu kafir.
Pendapat dan kritikan al-Gazali terhadap tiga persolan falsafi yang dikemukakan oleh para filsuf diatas dikecam keras dan dikritik lagi oleh Ibnu Rusyd (1126 - 1198) dalam bukunya Tahafut at Tahafut (kekacauan dari kekacauan). Buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsuf dan filsafat.
Pada tahun 1095 al-Gazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam mesjid Damascus. Disinilah ia menulis kitabnya Ihya U’lum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan taswuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih tersa kuat sampai sekarang.
Pada tahun 1105, al-Gazali kembali kepada rugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi tugas mengajar ini tidak lam dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Disana ia mendirikan sebuah halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat (1111).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan Keridoannya.
Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan musia ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya.
Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c. Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d. Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.
BAB I
PENDAHULUAAN
Hidup di jaman yang serba Modern ini, telah mendorong kita pada sikap atau perilaku hidup yang materialistik dan Hedonis. Segala sesuatunya ditentukan dengan uang, sehingga ada ungkapan ada uang ada jalan, tak ada uang tak jalan. Segala usahanya dan kerjanya dihabiskan hanya untuk memperoleh kebutuhan hidup yang bersifat materi demi kepusan hawa nafsunya. Bahkan sampai rela mengorbankan segalanya, menghallkan segala cara demi sampainya pada tujuan yang dinginkan.
Fenomena diatas dapat kita saksikan secra nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuktikan begitu rendahnya tujuan hidupnya yang hanya sebatas pemenuhan kebutuhan lahir saja tampa memikirkan hal atau sesuatu yang lebih penting dari sekedar pemenuhan kebutuhan jasmani yaitu kebutuhan bathiniyah. Dalam hal ini bukan berarti menafikan pentingnya kebutuhan jasamani atau lahiriah tapi sebatas penyeimbangan antara keduanya.
Pemenuhan kepentingan lahiriah atau jasmani yang melebihi kebutuhan yang seharusnya melahirkan apa yang disebut Hubbudunya yaitu cinta dunia yang berlebih-lebihan yang dampaknya sangat menghawatirkan seperti yang penulis sebutkan diatas. Hal nilah yng kirnya mendorong penulis untuk menysun suatu tulisan yang berisi membangun kembali fitrah manusi sebagi mahluk ciptaan Allah yang berkewajiban beribadah kepadanya. Firman Allah :
“Tidakalah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada kami”
(al Ankabut : 56)
Sebagi mahluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya mengembalikan hubungan dengan Allah pada jalus semestinya. Jalan yang dimana kita konsisten paa arah jalur ini akan tercipta kebahafian dunai dan akhirat. Dalam suatu keterngan disebutkan
“ Man ‘arofa nafsahu faqad ‘arofa robbahu”.
Konsep inilah yang mengisyaratkan pentingnya kita sebagi mahluk mengenal diri kita, bagai, aman kedudukan kita di dunia mau dibawa kemana arah tujuan kita dan akhirnya sampailah kita pada kesdaran diri ingin mengenal pencipta diri kita. Lewat tulisan makalah yang penyusun beri judul menuju jalan ma’rifatullah diharapkan dapat akan timbulnya kesadarn kita terhadap eksistensi yang hakiki hidup di dunia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MA’RIFAT DALAM TASAWUF
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah, artinya adalah pengetahuan, pengalaman, atau pengetahuan Ilahi. Ma’rifat secara etimologis berarti ilmu yang tidak menerima keraguan. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya.
Pengetahuan dalam pengertian yang umum, khususnya pada penggunaan bahasa Arab zaman modern, namun dalam litetarur keagamaan ia secara khusus berarti gnosis, yakni pengetahuan esoteris atau pengetahuan mistis dari dan terhadap Tuhan. Ia sebanding dengan istilah jinana dalam bahasa sansakerta.
Menurut sufisme, ma’rifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah (cemas terhadap Tuhan) dan mahabbah (cinta). Ketiganya merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual (thariqat).
Ma’rifat dalam pengertian tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Menurut Abu Zakaria al-Anshari bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan yang sampai ke tingkat keyakinan yang mutlak.
Secara terminologis, ma’rifat adalah ilmu yang didahului ketidaktahuan. Didalam istilah sufi, ma’rifat berarti ilmu yang tidak menerima keraguan apabila objeknya adalah zat dan sifat-sifat Allah SWT.
Dalam istilah sufi juga dikatakakan bahwa ma’rifat dapat diartikan cahaya yang disorot pada hati siapa saja yang dikehendakinya. Inilah pengetahuan hakiki yang datang melalui kasyf (penyingkapan), musyahadah (penyaksian), dan dzauq (cita rasa). Pengetahuan ini berasal dari Allah, akan tetapi pengetahuan ini bukanlah Allah sendiri karena dia tidak bisa diketahui dalam esensinya.
Dalam tasawuf, istilah ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan yang yang tidak mengenal keragu-raguan, sebab obyeknya adalah Tuhan dan sifat-sifatnya atau ma’rifat berarti juga pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas dan pastinya pengetahuan itu, menyebabkan seseorang merasa tahu dengan yang diketahuinya itu.
Selanjutnya menurut Harun Nasution ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Menurut sebagian ulama, ma’rifat adalah sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian ia membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarqnnya dalam segala perbuatan. Ia membersihkan dirinya dari akhlak yang rendak dan dosa-dosa, kemudian berdiri mengetuk pintu Allah. Dengan hati yang konsisten dan istiqomah, dia beri’tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga ia memperoleh sambutan Allah yang indah, Allah membimbing dalam semua keadaannya, maka terputuslah gelora napsu dari dirinya dan hatinya dan tidak pernah terdorong lagi untuk melakukan selain ini.
Ia menjadi orang asing ditengah manusia, bebas dari dosa-dosa, bersih dari urusan dunia, terus menrus bermujat dihadapan Allah dengan cara sirri (rahasia dan tersembunyi). Semua ucapannya adalah benar, dia berkata engan bimbingan Allah. Diberitahukan kepadanya rahasia-rahasia Allah tentang kekuasaannya yang berlaku. Itulah yang disebut arif dan keadaannya ddisebut ma’rifat. Pendek kata dengan keasingan dirinya itu, ma’rifatnya akan mendapatkan Tuhannya Yang Maha Agung dan Maha Mulia.
B. TINGKATAN MA’RIFAT
Sehubungan denganadanya perbedaan tingkat ma’rifat dalm Aiqazhul Himam dijelaskan, bahwa tingkatan Ma’rifat kepada Allah ada tiga tingkat :
1. Ma’rifat dengan Allah
2. Marifat dengan dalil
3. Ma’rifat Ikut-ikutan (taklid)
Tingkat yang tertinggi dari ketiga tingkatan atu adalah ma’rifat kepada Allah. Untuk mereka yang mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah terdapat perbedaan-perbedaaan menurut ukuran apa ynag telah terbuka buat mereka. Golongan inilah yang mencapai tingkat Waliyullah (Auliya).
Bermacam-macam karomah yang mereka dapatkan sesuai dengan tingkatan mereka disisi Allah. Yang mengetahii benar derajat kewalian itu hanyalah Allah sendiri atau orag yang mendapat pemberitahuan Allah tentang kewaliaan seseorang.
Seseorang yang hanya sampai pada tingkat dua belum tentu dapat mengerti tentang kewaliaan seseorang yang brada tingakt kewalian yang pertam, kecuali ia mendapatkan ilham dari Allah. Adapun orang awam bisa mengerti kedudukan seseorang pada tingkat pertama itu karena adanya pemberitahuan dari tingkat yang lebih tinggi darinya.
C. PROSES ATAU JALAN MENUJU MA’RIFAT
Menurut al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah dan Reynold Alleyne Nicholson, ahli Mistisisme dalam Islam, dalam The Mystics of Islam ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalbu(the heart) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh (ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan, dan sirr (inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan. Dari ketiga alat tersebut, sirr merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi dari qalbu. Sir merupakan alat yang digunakan sufi untuk memperoleh ma’rifat.
Oleh karena sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalbu, maka sirr timbul serta dapat menerima iluminasi dari Allah SWT di kala ruh dan qalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya. Tibalah saatnya bagi sufi menangkap cahaya Tuhan yang diturunkan-Nya. Qalbu tak ubahnya seperti kaca, jika senatiasa bersih akan mempunyai daya tangkap sirr yang benar untuk untuk memperoleh cahaya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. apabila cahaya cemerlang itu diperoleh maka dikala itulah sufi bertemu dengan Zat Yang Maha Tinggi. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak kebahagian. Demikianlah cara seorang sufi mencapai tingkat ma’rifat.
Memperoleh ma’rifat merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifat, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Walaupun tersingkapnya tabir Tuhan memperlihatkan rahasia-Nya kepada seorang sufi, namun ma’rifat yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin dapat dicapai oleh manuisa lantaran keterbatasan manusia, disamping kemutlakan Tuhan. dalam kaitan ini al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, menyatakan: “cangkir the tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memperoleh ma’rifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.
D. PENGALAMAN RUHANI PARA SUFI DALAM MERETAS JALAN MA’RIFAT
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat sesuai dengan pengalamannya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqaq berkata: “Salah satu tanda ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah SWT. Barang siapa bertambah ma’rifatnya bertambah pula haibahnya.” Saya mendengar beliau juga menyatakan , “Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa kedamaian. Jadi, orang yang bertambah ma’rifatnya maka bertambah pula ketentramannya.
Abu Hafs berkata: “Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku.” Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam pandangan sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri, karena dia dilimpahi oleh zikir kepada-Nya. Dengan demikian, tidak melihat apapun selain Allah SWT. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dana refleksi pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang dihadapinya. Bagi sang arif, semata kembali pada Tuhannya. Jika seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati? Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Hasan bin Yazdaniar ditanya, kapankah seorang arif menyaksikan Allah SWT? Dia menjawab,” ketika penyaksi tampak.maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan melebur.
Al-Halaj berkata,” Apabila si hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah SWT. Membisikkan melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan yang tidak haq, selanjutnya dia menambahkan bahwa tanda seorang arif adalah bahwa ia kosong dari dunia dan akhirat.
Selanjutnya Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata,” Allah SWT menyingkapkan kepada sang arif di tempat tidurnya, yang tidak dia ungkapkan kepada orang lain, padahal orang lain itu sedang shalat.”
Suatu saat al-Busthami ditanya tentang sang Arif. Dia mengatakan, “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah SWT. Dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah SWT. Disaat bangunnya, dia tidak sesuai dengan selain Allah SWT, dan dia tidak memandang selain kepada Allah SWT.
Dengan ma’rifat seorang sufi lewat hati sanubarinya dapat melihat Tuhan oleh karena itu, para sufi mengatakan,”kalau mata hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. Ma’rifat merupakan cermin, jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang dilihat hanya Allah SWT.
Yang dilihat orang arif sewaktu tidur muapun bangun hanya Allah SWT”. Ungkapan para sufi tersebut selain menggambarkan dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, juga menjelaskan bahwa pengetahuan dalam bentuk ma’rifat merupakan pengetahuaan langsung ada pada Allah yang di anugrahkan-Nya kepada mereka yang diberi kemampuaan menerimanya. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai daya yang ada dalam manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Menurut orang-orang sufi seperti yang dikemukakan Abu Bakar al-Kalabazi, seorang sufi, Allah SWT lah yang membuat manusia mengenal diri-Nya melalui diri-Nya.
Ma’rifat kadang-kadang dipandang sebagai makam dan terkadang sebagai hal. Dalam buku-buku tasawuf urutan ma’rifat berlainan dengan mahabbah. Al-Gazhali dalam Ihya` Ulum ad-Din memandang ma’rifat datang sebelum mahabbah, sedang al-Kalabazi dalam at-Ta’aruf (saling mengenal), menyebut ma’rifat sesudah mahabbah. Disamping itu, ma’rifat dan mahabbah dianggap kembar yang selalu disebut bersama. Keduanya merupakan dua hal yang sama dalam perbedaan. Sama dalam hal menggambarkan keadaan dekatnya seorang sufi dengan Tuhan. Berbeda karena mahabbah mengganbarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedang ma’rifat menggambarkan hubungan dalam bentuk gnosis (pengetahuaan dengan hati sanubari).
FASE KEGAMANGAN DAN PROSES PERJALANAN RUHANI AL-GAZALI
Ketika itu, kehidupannya sedang mengalami kegoncangan karena keraguan yang meliputi dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau tidak?” perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ghazali ragu, mana diantara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Bukunya yang berjudul al-Munqiz ad-dalal menjelaskan temtang keadaan ini.
Dalam bukunya itu tergambar keinginannya untuk mencari kebenarannya yang sebenarnya. Al-Ghazali mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui pancaindera sebab pancaindera sering kali salah satu berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata juga tidak memuaskan. Tasawuflah yang kemudian menghilangkan rasa syak dalam dirinya. Pengetahuan tasawuf yang diperolehnya melalui kalbu membuat Al-Gazali merasa yakin mendapatkan pengetahuan yang benar.
Dalam mempelajari filsafat, al-Ghazali menemukan argumen-argumen filosofis yang dipandangnya menyalahi ajaran Islam. Karena itu, ia menyerang kaum filsuf yang diungkapkannya dalam bukunya Maqasid al-Falasifah. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Dominicus Gundissalimus dengan judul logica et philosophia al-gazelis Arabis (logika menurut Filsuf Arab al-Gazali; 1145). Lalu untuk memperjelas kritiknya terhadap filsuf itu, ia menulis buku Tahafut al-Falasifah.dalam buku itu al-Gazali mengkritik 10 pendapat filsuf yang mengatakan bahwa:
1. Tuhan tidak mempunyai sifat
2. Ruhan mempunyai substansi sederhana (basit) dan tidak mempunyai hakikat (mahiyah)
3. Ruhan tidak mengetahui perincian (juziyah)
4. Tuhan tidk dapat diberi sifat jenis {al-jins/genus) dan al-fasl (spesies)
5. Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua juziyah
7. Hukum alam tidak berubah
8. Membangkitan jasmani tidak ada
9. Alam ini tidak bermula, dan
10. Alam ini kekal.
Bahkan al-Gazali berpendapat bahwa tiga diantara 10 pendapat filsuf diatas, yaitu alam kekal(tidak bermula), Tuhan tidak mengetahui rincian-rincian, dan pembangkitan jasmani tidak ada, dapat membawa kekupuran.
Isi pokok mengenai kecaman al-Gazali terhadap tiga persoalan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tentang qadimnya alam, filsuf beranggapan bahwa alam ini qadim. Menurut Al - Gazali, pendapat ini membawa kepada keyakinan akan adanya yang qadim selain Tuhan atau berarti banyak yang qadim, sedang dalam keyakinan Islam yang qadim itu hanya satu, yaitu Allah. Paham bahwa ada yang qadim selain Allah adalah syirik. Menurutnya yang qadim itu adalah sesuatu yang sudah ada sejak zaman azali, yang berwujud tanpa sebab. Mengakui alam ini qadim berarti mengingkari Allah sebagai pencipta, dan ini sama dengan kufur.
Kedua, tentang pendapat bahwa Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurut al-Gazali pendapat ini akan menyesatkan umat Islam karena paham ini membawa kepada pengingkaran sifat kemahatahuan Allah. Allah Maha kuasa dan Maha Tahu. Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam sampai kepada perincian sekecil-kecilnya, tak satupun luput dari pengetahuan-Nya. Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Para filsuf berpendpat bahwa yang abadi hanya roh (jiwa), sedangkan jasmani akan hancur tidak kekal. Karena itu, pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhrawi menuntut pembangktan jasmani. Ayat-ayat Al- Qur’an banyak menyebut soal pembangkitan jasmani dengan gambaran yang bersifat materil, sehingga meyakini tidak adanya penmbangkitan jasmani berarti menolak ayat-ayat yang menyatakan adanya.
Ketiga pendapat diatas menurut al- Gazali menyimpang dari ajaran yang dianut umat Islam pada umumnya dan bertentangan dengan dalil- dalil Al-Qur’an, dan ia mencap para filsuf itu kafir.
Pendapat dan kritikan al-Gazali terhadap tiga persolan falsafi yang dikemukakan oleh para filsuf diatas dikecam keras dan dikritik lagi oleh Ibnu Rusyd (1126 - 1198) dalam bukunya Tahafut at Tahafut (kekacauan dari kekacauan). Buku itu pada intinya berisi pembelaannya terhadap filsuf dan filsafat.
Pada tahun 1095 al-Gazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi. Banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri dalam mesjid Damascus. Disinilah ia menulis kitabnya Ihya U’lum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fikih dan taswuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih tersa kuat sampai sekarang.
Pada tahun 1105, al-Gazali kembali kepada rugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi tugas mengajar ini tidak lam dijalankannya. Ia kembali ke Tus, kota kelahirannya. Disana ia mendirikan sebuah halaqah (sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya sampai ia wafat (1111).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kita yang telah mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan Keridoannya.
Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan musia ia terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya.
Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a. Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b. Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rasulullah SAW.
c. Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan hawa nafsu.
d. Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepadanya.
No comments:
Post a Comment