Monday, July 23, 2012

MENGGUGAT “ORTODOKSI” ISLAM TERHADAP DISKURSUS WAHYU DAN AKAL, IMAN DAN KUFUR

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
 ( Telaah Kritis  Untuk Reaktualisasi Tauhid Dalam Persfektif Pemikiran Keislaman)

Pengantar
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama  adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan-persoalan teologi.[i] Persoalan ”yang beriman” dan ”yang kafir” pasca Arbitrase antara Ali dan Muawiyah dalam lingkup pelaku dosa besar segera merubah wajah Islam kedalam pergulatan teologi yang tidak pernah berhenti.  Kesimpulannya, munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam Islam seperti pelaku dosa besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan ”rebutan kursi” , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi  bermacam-macam diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga sekarang.
Namun, di Indonesia, teologi Islam yang sebenarnya begitu majemuk, luas dan mendalam – seperti dikatakan Harun Nasution -, pada umumnya di ajarkan dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid yang diajarkan di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid menurut aliran Asy’ariah, sehingga timbullah kesan dikalangan umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.[ii] Pemahaamn ini dipeluk dan dianut oleh otoritas (mayoritas) umat Islam melalui lembaga-lembaga formal keagamaan yang dengan otoritas itu segera menjadikannya sebagai doktrin yang melembaga dan meluas sehingga menjadi pegangan aqidah satu-satunya yang benar,  tak boleh ditawar-tawar lagi, tidak boleh diinterpretasikan lagi, inilah yang disebut dengan ortodoksi agama.[iii]
Demikian juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam. Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul dalam menyikapi ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab rasional (ra’yu) yang diwakili oleh mu’tazilah dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah (Sunni/Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler dalam kegemilangan peradaban Islam  di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini pula telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat  kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta. 

Permasalahan ?
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah yang utama. Dalam pandangan Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah.[iv]
Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada golongan Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap ingkar Allah dan  ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya.
Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : ” inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat, tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jama’ah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi direlatifkan.
Persoalan selanjutnya, Dalam konteks kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam persoalan iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar ilmu tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal, apakah benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal harus tunduk kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman tauhid seperti diatas (teologi asy’ary) berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini yang mundur, terbelakang, bergulat dengan kemiskinan.
Apakah benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan apakah perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai dengan konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ?

Pendekatan Kekinian
Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan dengan model dunia dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin maju, modern dan canggih saja. Artinya, keadaan yang semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola pemikiran sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena tidak bisa mengejar, menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es , apa yang akan terjadi ?.
Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti apa definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran mereka. Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan seperti disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan keselamatan, wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam lain pada umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat yang eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan kerusakan dan tindakan bar-bar.
Fenomena diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif kontekstual. Artinya tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam yang di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam Syari’at yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya telah membawa Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan.   
Tauhid teks – wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan diluar komunitas sendiri – dalam perfektif Syari’at melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam berfikir, dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks peradaban – akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif – akan menghasilkan umat yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual dan tauhid kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti itu, dan masing-masing berdiri sendiri.  tanpa bisa didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal, iman dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak bisa jika persfektif yang digunakan adalah persfektif Islam paripurna (Islam Syari’at) dan bisa jika perfektif yang digunakan adalah persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita sebut dengan persfektif pemikiran ke Islaman.
Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang mengharamkan kebebasan berfikir,  dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur,  untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan jawaban, bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan akal dan apakah tauhid itu aqidah ataukah hanya sebuah pemikiran.  Mari kita dialogkan ini secara kritis.
Dalam sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan teologi, filsafat, tasawuf, politik dalam Islam, ushul fiqh termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari persfektif pemkiran  ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir, semuanya relatif, tanpa ada vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu aspek (Syari’at), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya merupakan nyawa atas keberlangsungan sebuah agama.
Menurut Lutfi Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam al-Quran. Kalaupun tidak ada disana, mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan.[v]  
Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan.  Dalam Islam, pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil, hal ini dikarenakan tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam relatif  ”sejalan” dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa sains dalam Islam berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan – pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya adalah kecurigaan di gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam.               
Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran.
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.
Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain.
Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu- turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Mu’awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Qur’an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.
Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al-’aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum. [vi]
Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya’kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam al-Qur’an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma’ruf) serta menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya.
Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai “guru pertama” (al-mu’allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim. Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani) setelah Aristoteles.
Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.
Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama.
Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya.
Bagi banyak orang di negara maju, abad ke – 20 (dan juga ke-21) adalah era pemikiran (bukan pengkafiran), karena akselerasi kemajuan umat manusia terjadi begitu luar biasa pada masa ini. Boleh dibilang, seluruh pencapaian penting yang kita nikmati sekarang, adalah produk abad ke 20. abad ke 20 adalah abad pemikiran, karena semua pencapaian teknologi yang dihasilkan pada masa ini merupakan produk zaman ini. Abad ke -20 (dan juga abad ke -21) adalah era kemenangan rasionalitas dan pmikiran. Diduni abarat, pengkafiran boleh dibilang sudah selesai. Kalalupun ada, itu adalah kasus khusus dan tak pernah lagi menjadi isu central.
Di negara-negara Muslim, pengkafiran tak pernah berakhir, bahkan kini ada kecendrungan semakin menguat. Sejak Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk Salman Rushdie pada awal tahun 1980-an, kebebasan berfikir menjadi sesuatu yang menakutkan di dunia Islam.
Sementar itu, bagi filsuf dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga,lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan (fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika, wa idza mukhalifan thuliba ta’wiluhu).

Reaktualisasi Tauhid : Keimanan Yang Membangkitkan Pemikiran
Tauhid, nama ini mengisyaratkan akidah yang pertama dan paling popular, yaitu akidah tauhid. Namun muncul pertanyaan, apakah tauhid itu bersifat teoritis atau praktis? Apakah tauhid itu berhubungan dengan bilangan Tuhan, dan ternyata bilangannya satu, atau tauhid itu sebenarnya merealisasikan gambaran kemahaesaan tuhan  di dunia ini? Pada hakikatnya Tauhid itu terkadang bersifat ilmiah, dan terkadang pula bersifat praksis. Ilmu tauhid merupakan landasan teoritis bagi aktivitas praksis. Sedangkan mekanisme kerja tauhid itu adalah mengesakan sikap, kemudian mengesakan masyarakat, dan mengesakan dunia dalam satu sistem, yaitu sistem wahyu. Dunia memiliki sistem dunia, sedangkan tauhid itu satu aktivitas diantara sekian aktivitas yang bersifat emosional, yaitu meletakkan esensi tauhid pada perasaan terdalam seorang yang mengesakan gambaran kesatuan dunia.
Dengan demikian, tauhid bukanlah akidah dalam pengertian gambaran teoritis semata-mata, melainkan sebuah”mekanisme kerja mengesakan”. Perkataan tawhid itu sendiri secara bahasa merupakan “ kata benda aktif ”, bukan ”kata benda pasif”, yang menunjukkan kepada suatu proses, tidak menunjukkan substansi seperti halnya pada perkataan wahid yang mengacu kepada pola kata fa’il. Tauhid itu merupakan kerja emosional yang didalamnya seseorang menyatukan segala kekuatan dan kemampuannya menuju hakikat yang satu dan mutlak, serta menyeluruh dan bersifat umum, yang hanya dapat ditangkap oleh pemikiran, murni dan suci. Pada umumnya gerakan pembaruan kontemporer lebih memberikan nilai-nilai ketuhanan pada tauhid praktis daripada tauhid teoritis, dan mengubah tauhid menjadi kekuatan yang aktif di dalam menyatukan emosi masing-masing individu dan menyatupadukan keterpecahan Amat.
Terkadang tauhid disandingkan dengan sifat, maka keduanya menjadi nama sebuah disiplin ilmu, yaitu”ilmu tauhid dan sifat”. Tema ini merupakan tema-tema ilmu yang termulia, dan “sifat” merupakan esensi akidah tauhid. Pada hakikatnya persoalan “zat” dan “sifat” menurut orang-orang terdahulu merupakan inti tauhid. Namun, kekeliruan mereka terletak pada usaha mereka dalam mempersonalisasikan, membakukan, menghalangi, memedamkan, membekukannya seperti patung “zat” dan “sifat” tersebut. Sedangkan “zat” tersebut sebenarnya dapat membangkitkan kesadaran yang tulus, sebagaimana “sifat” memberikan gambaran keteladanan yang tinggi yang mendorong manusia untuk merealisasikan sifat-sifat Tuhan tersebut di dalam kehidupan praksis.
Oleh sebab itu, “zat” dan “sifat” mengisyaratkan kerangka dasar teoritis bagi statu perbuatan. Atau merupakan ideologi yang dibawa oleh wahyu untuk diterapkan dalam kehidupan praksis, yang oleh seorang intelektual dapat ditangkap sebagai sebuah sistem ideal yang sejalan dengan pemikiran rasional dan hukum alam.
Implikasi dari sikap orang-orang terdahulu dalam mempersonalisasikan “zat” dan “sifat” dan penghindarannya dari kesadaran yang tulus dan dari nilai-nilai prilaku telah memunculkan pertentangan yang jelas antara tauhid teoritis dengan prilaku praktis. umat, baik secara perorangan yang mengakibatkan berpisahnya pemikiran dari perasaan, dan ucapan dari perbuatan. Maka, meluaslah kemunafikan dan manusia-manusia pengecut, sehingga masing-masing individu umat  memiliki kepribadian yang pecah. Fenomena kepribadian yang pecah ini tampak pula dalam kehidupan kebudayaan kita, yaitu antara kebudayaan yang bernafaskan agama dan kebudayaan yang bersemangat sekuler, dan antara tradisionalisme dan modernisme. Dalam politik antara timur dan barat, dalam kehidupan sosial antara konservatisme dan progresivisme. Dan dalam ekonomi antara kapitalisme dan sosialisme.
Intinya, tauhid dalam maknanya sebagai keimanan dan perpaduan antara wahyu dan akal  untuk reaktualisasinya dalam konteks kekinian harus diarahkan  kepada keimanan yang membangkitkan pemikiran,[vii] bukan keimanan yang memenjarakan pemikiran. Tauhid yang harus di kedepankan adalah tauhid praksis, yang bersendikan kepada kekuatan akal pikiran yang senantiasa selalu bisa di arahkan sesuai dengan konteks zaman, bukannya mengutamakan tauhid teoritis yang kaku, yang tidak bisa dirubah-rubah lagi karena kekuatan akal harus tunduk di bawah wahyu, tanpa bisa di dialogkan.
Tantangan kebebasan berfikir (pemikiran) di dunia Islam memang sangat berat, karena harus melawan tembok-tembok besar dan berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah negara-negara Islam yang secara umum adalah dunia yang tidak ramah terhadap kebebasan. Lapis kedua, kebebasan berfikir terancam oleh masyarakat Islam sendiri, sebagai masyarakat yang tidak toleran dan paling cepat bereaksi menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat (pemikiran). Pembunuhan dan penganiayaan intelektual terbesar terjadi di dunia Islam. Lapis terakhir adalah para ulama dan tokoh agama, yang telah membantu penyebarluasan sikap intoleran dan kebencian terhadap apa saja yang tidak mereka restui.


[i] . Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution, UI-Press, Jakarta 1986, 1

[ii]. Lihat, Harun Nasution, Pendahuluan dalam Teologi Islam, ix

[iii] Lihat misalnya, Luthfi Assyaukanie, Pengkafiran di era pemikiran : matinya kebebasan dan akal pikiran, disampaikan pada ”Nurcholis Madjid Memorial Lecture”, diselenggarakan oleh Pusat Studi islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta, 20 Juli 2006, 1

[iv] .Ibrahim Madkhour, Aliran dan teori filsafat Islam, terj. Bumi Aksara Jakarta, 2004, 67

[v] Dalam makalah Pengkafiran di Era pemikiran : Matinya Kebebasan dan Akal pikiran , disampaikan pada  ”Nurcholish Madjid Memorial Lectures” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK), universitas Paramadina Jakarta, 20 Juli 2006, hal. 6

[vi] Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Bandung, 2002, 92.

[vii] Hassan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Paramadina Jakarta 2003,  31

No comments: