أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
( Telaah Kritis Untuk Reaktualisasi Tauhid Dalam Persfektif Pemikiran Keislaman)
( Telaah Kritis Untuk Reaktualisasi Tauhid Dalam Persfektif Pemikiran Keislaman)
Pengantar
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama adalah bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan-persoalan teologi.[i]
Persoalan ”yang beriman” dan ”yang kafir” pasca Arbitrase antara Ali
dan Muawiyah dalam lingkup pelaku dosa besar segera merubah wajah Islam
kedalam pergulatan teologi yang tidak pernah berhenti. Kesimpulannya,
munculnya persoalan-persoalan aqidah dalam Islam seperti pelaku dosa
besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan ”rebutan kursi” ,
jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan
teologi berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar,
menjadi bermacam-macam diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga sekarang.
Namun,
di Indonesia, teologi Islam yang sebenarnya begitu majemuk, luas dan
mendalam – seperti dikatakan Harun Nasution -, pada umumnya di ajarkan
dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam
pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya ilmu tauhid
biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan
paham dari aliran lain yang ada dalam teologi Islam. Ilmu tauhid yang
diajarkan di Indonesia pada umumnya ialah ilmu tauhid menurut aliran
Asy’ariah, sehingga timbullah kesan dikalangan umat Islam Indonesia,
bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam.[ii]
Pemahaamn ini dipeluk dan dianut oleh otoritas (mayoritas) umat Islam
melalui lembaga-lembaga formal keagamaan yang dengan otoritas itu segera
menjadikannya sebagai doktrin yang melembaga dan meluas sehingga
menjadi pegangan aqidah satu-satunya yang benar, tak boleh ditawar-tawar lagi, tidak boleh diinterpretasikan lagi, inilah yang disebut dengan ortodoksi agama.[iii]
Demikian
juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan
porsi pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam
Islam. Persoalan wahyu dan akal muncul sebagai bentuk merespon realitas
yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan memahaminya lewat
akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul dalam menyikapi
ini secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab
rasional (ra’yu) yang diwakili oleh mu’tazilah dimana kemudian filosof
tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang diwakili oleh
teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini
pengaruhnya ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah (Sunni/Ahlus
Sunnah wal Jama’ah).
Dalam
sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah
diskursus yang telah membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan
spektakuler dalam kegemilangan peradaban Islam di ranah
ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan
kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini pula
telah mematikan kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta.
Permasalahan ?
Persoalan
yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur
telah dikuasai oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus
tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah yang utama. Dalam pandangan
Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh
Mu’tazilah.[iv]
Demikian
juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman
ortodoksi Islam yang mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa
keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang beriman dan hanya ada pada
golongan Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus Sunnah
wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga
tidak ada keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka
sudah di anggap ingkar Allah dan ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya.
Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas dan ini sudah Fixed Price
( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di
monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa
yang lahir adalah : ” inilah tauhid yang murni dan sebenarnya, yang
harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat, tidak boleh ada
peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam
tauhid, iman dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jama’ah
semuanya sesat dan kufur, tidak bisa ditawar-tawar lagi, apalagi
direlatifkan.
Persoalan
selanjutnya, Dalam konteks kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar
menawar dalam persoalan iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak
bisa di interpretasikan lagi. Apakah persoalan tauhid sesautu yang sudah
final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa
dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar ilmu
tauhid ?. demikian juga dengan persoalan wahyu dan akal, apakah benar
sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal harus tunduk
kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman
tauhid seperti diatas (teologi asy’ary) berpengaruh terhadap eksistensi
dan etos kerja umat Islam saat ini yang mundur, terbelakang, bergulat
dengan kemiskinan.
Apakah
benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan
apakah perlu kita mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai
dengan konteks kekinian dan dengan pendekatan dan persfektif lain ?
Pendekatan Kekinian
Menyimak
pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan
dengan model dunia dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin
maju, modern dan canggih saja. Artinya, keadaan yang semakin modern ini
perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola pemikiran sesuai
dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena
tidak bisa mengejar, menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang
hujan, kita malah menjajakan es , apa yang akan terjadi ?.
Pola
tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan
mereka. Seperti apa definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu
juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran mereka. Hari ini, tauhid yang
diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan
seperti disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu
jalan keselamatan, wahyu harus diatas segala-galanya, sehingga kita
dapat melihat di Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam lain pada
umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat
yang eksklusif, fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan
kerusakan dan tindakan bar-bar.
Fenomena
diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan
persfektif yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan
perfektif kontekstual. Artinya tanpa mau mengerti bahwa teks tauhid yang
dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi pemikiran
dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam
yang di agungkan dan dipraktekkan adalah Islam Syari’at yang diyakini
paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam peradaban, yang semuanya
serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya telah membawa
Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu
pengetahuan.
Tauhid
teks – wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada
keselamatan diluar komunitas sendiri – dalam perfektif Syari’at
melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam berfikir,
dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks
peradaban – akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif – akan
menghasilkan umat yang toleran, humanis, bebas berfikir, yang semua ini
merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global.
Pertanyaan
selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual
dan tauhid kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak
seperti itu, dan masing-masing berdiri sendiri. tanpa bisa
didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan
akal, iman dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak.
Tidak bisa jika persfektif yang digunakan adalah persfektif Islam
paripurna (Islam Syari’at) dan bisa jika perfektif yang digunakan adalah
persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita
sebut dengan persfektif pemikiran ke Islaman.
Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur, untuk
interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks kekinian dengan
pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan
jawaban, bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada
akal, atau malah sebaliknya, atau malah kita tidak perlu kepada wahyu,
cukup dengan akal dan apakah tauhid itu aqidah ataukah hanya sebuah
pemikiran. Mari kita dialogkan ini secara kritis.
Dalam
sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam
akan mudah di pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena
persoalan teologi, filsafat, tasawuf, politik dalam Islam, ushul fiqh
termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari persfektif
pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir,
semuanya relatif, tanpa ada vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak
dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu aspek
(Syari’at), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya
merupakan nyawa atas keberlangsungan sebuah agama.
Menurut
Lutfi Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar
dari permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak
awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi
disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau
wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena
mereka meyakini bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam
al-Quran. Kalaupun tidak ada disana, mereka meyakini bahwa al-Quran
memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu
harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi
filosof dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling
berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab
suci tidak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu
berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan.[v]
Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam
Islam, pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil,
hal ini dikarenakan tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti
yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam
relatif ”sejalan” dengan ideologi ortodoksi. Bahkan
beberapa sains dalam Islam berkembang pesat akibat langsung dari
ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan pemikiran
spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi.
Pandangan – pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan
keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya adalah kecurigaan di
gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam.
Dalam
tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber
pengetahuan Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki
status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu
adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering
diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan
wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted,
para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan
yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi filsafat
dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran.
Dalam
filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara
yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi,
dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada
dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih
mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran
ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di
luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di
luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber
pengetahuan.
Islam
sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau
menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan
satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo
(1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto,
bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan
dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah
terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas
tertentu Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha
Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu
sisi, dan the second massage, di sisi lain.
Semua
penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam
mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak
bisa dihindari dalam menerjemahkan “kemauan” wahyu yang seringkali -atau
bahkan selalu- turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi
akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan
realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri
peperangan kelompok Ali dan Mu’awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh
Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi
satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi
kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah
al-Qur’an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia
menafsirkannya.
Al-Farabi
ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi
menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan:
Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai
perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek
perolehan (al-’aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya
bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar,
intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif.
Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan kondisi
intelek penerimaan wahyu secara umum. [vi]
Wahyu
yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah
sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada
para Nabi pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan
pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang
pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya’kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman,
Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini.
Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam al-Qur’an dan
tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan
kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma’ruf) serta menghindari
kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju
semuanya.
Tesis
Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat.
Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles
misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran
umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai
“guru pertama” (al-mu’allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar
kepada jalan pikiran para filosof Muslim. Kuatnya pengaruh Aristoteles
dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi
dikukuhkan sebagai “guru kedua” (al-mu’allim al-tsani) setelah
Aristoteles.
Dengan
demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya
harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan
akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia
membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu
tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak
manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu
memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.
Walaupun
wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan
filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya.
Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari
filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau
memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan
tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan
tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang
tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat.
Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran
atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode
persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan agama.
Tantangan
menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin
mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap
dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan
mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu
sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi
pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan
kembali kejayaannya.
Bagi
banyak orang di negara maju, abad ke – 20 (dan juga ke-21) adalah era
pemikiran (bukan pengkafiran), karena akselerasi kemajuan umat manusia
terjadi begitu luar biasa pada masa ini. Boleh dibilang, seluruh
pencapaian penting yang kita nikmati sekarang, adalah produk abad ke 20.
abad ke 20 adalah abad pemikiran, karena semua pencapaian teknologi
yang dihasilkan pada masa ini merupakan produk zaman ini. Abad
ke -20 (dan juga abad ke -21) adalah era kemenangan rasionalitas dan
pmikiran. Diduni abarat, pengkafiran boleh dibilang sudah selesai.
Kalalupun ada, itu adalah kasus khusus dan tak pernah lagi menjadi isu
central.
Di
negara-negara Muslim, pengkafiran tak pernah berakhir, bahkan kini ada
kecendrungan semakin menguat. Sejak Khomeini mengeluarkan fatwa mati
untuk Salman Rushdie pada awal tahun 1980-an, kebebasan berfikir menjadi
sesuatu yang menakutkan di dunia Islam.
Sementar
itu, bagi filsuf dan pemikir muslim, akal merupakan pemberian Tuhan
yang paling berharga,lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa
akal, kitab suci tak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu
berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan (fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika, wa idza mukhalifan thuliba ta’wiluhu).
Reaktualisasi Tauhid : Keimanan Yang Membangkitkan Pemikiran
Tauhid, nama ini mengisyaratkan akidah yang pertama dan paling popular, yaitu akidah tauhid. Namun
muncul pertanyaan, apakah tauhid itu bersifat teoritis atau praktis?
Apakah tauhid itu berhubungan dengan bilangan Tuhan, dan ternyata
bilangannya satu, atau tauhid itu sebenarnya merealisasikan gambaran
kemahaesaan tuhan di dunia ini? Pada hakikatnya Tauhid itu
terkadang bersifat ilmiah, dan terkadang pula bersifat praksis. Ilmu
tauhid merupakan landasan teoritis bagi aktivitas praksis. Sedangkan
mekanisme kerja tauhid itu adalah mengesakan sikap, kemudian mengesakan
masyarakat, dan mengesakan dunia dalam satu sistem, yaitu sistem wahyu.
Dunia memiliki sistem dunia, sedangkan tauhid itu satu aktivitas
diantara sekian aktivitas yang bersifat emosional, yaitu meletakkan
esensi tauhid pada perasaan terdalam seorang yang mengesakan gambaran
kesatuan dunia.
Dengan
demikian, tauhid bukanlah akidah dalam pengertian gambaran teoritis
semata-mata, melainkan sebuah”mekanisme kerja mengesakan”. Perkataan tawhid
itu sendiri secara bahasa merupakan “ kata benda aktif ”, bukan ”kata
benda pasif”, yang menunjukkan kepada suatu proses, tidak menunjukkan
substansi seperti halnya pada perkataan wahid yang mengacu kepada pola kata fa’il.
Tauhid itu merupakan kerja emosional yang didalamnya seseorang
menyatukan segala kekuatan dan kemampuannya menuju hakikat yang satu dan
mutlak, serta menyeluruh dan bersifat umum, yang hanya dapat ditangkap
oleh pemikiran, murni dan suci. Pada umumnya gerakan pembaruan
kontemporer lebih memberikan nilai-nilai ketuhanan pada tauhid praktis
daripada tauhid teoritis, dan mengubah tauhid menjadi kekuatan yang
aktif di dalam menyatukan emosi masing-masing individu dan
menyatupadukan keterpecahan Amat.
Terkadang
tauhid disandingkan dengan sifat, maka keduanya menjadi nama sebuah
disiplin ilmu, yaitu”ilmu tauhid dan sifat”. Tema ini merupakan
tema-tema ilmu yang termulia, dan “sifat” merupakan esensi akidah
tauhid. Pada hakikatnya persoalan “zat” dan “sifat” menurut orang-orang
terdahulu merupakan inti tauhid. Namun, kekeliruan mereka terletak pada
usaha mereka dalam mempersonalisasikan, membakukan, menghalangi,
memedamkan, membekukannya seperti patung “zat” dan “sifat” tersebut.
Sedangkan “zat” tersebut sebenarnya dapat membangkitkan kesadaran yang
tulus, sebagaimana “sifat” memberikan gambaran keteladanan yang tinggi
yang mendorong manusia untuk merealisasikan sifat-sifat Tuhan tersebut
di dalam kehidupan praksis.
Oleh
sebab itu, “zat” dan “sifat” mengisyaratkan kerangka dasar teoritis
bagi statu perbuatan. Atau merupakan ideologi yang dibawa oleh wahyu
untuk diterapkan dalam kehidupan praksis, yang oleh seorang intelektual
dapat ditangkap sebagai sebuah sistem ideal yang sejalan dengan
pemikiran rasional dan hukum alam.
Implikasi
dari sikap orang-orang terdahulu dalam mempersonalisasikan “zat” dan
“sifat” dan penghindarannya dari kesadaran yang tulus dan dari
nilai-nilai prilaku telah memunculkan pertentangan yang jelas antara
tauhid teoritis dengan prilaku praktis. umat, baik secara perorangan
yang mengakibatkan berpisahnya pemikiran dari perasaan, dan ucapan dari
perbuatan. Maka, meluaslah kemunafikan dan manusia-manusia pengecut,
sehingga masing-masing individu umat memiliki kepribadian
yang pecah. Fenomena kepribadian yang pecah ini tampak pula dalam
kehidupan kebudayaan kita, yaitu antara kebudayaan yang bernafaskan
agama dan kebudayaan yang bersemangat sekuler, dan antara
tradisionalisme dan modernisme. Dalam politik antara timur dan barat,
dalam kehidupan sosial antara konservatisme dan progresivisme. Dan dalam
ekonomi antara kapitalisme dan sosialisme.
Intinya, tauhid dalam maknanya sebagai keimanan dan perpaduan antara wahyu dan akal untuk reaktualisasinya dalam konteks kekinian harus diarahkan kepada keimanan yang membangkitkan pemikiran,[vii]
bukan keimanan yang memenjarakan pemikiran. Tauhid yang harus di
kedepankan adalah tauhid praksis, yang bersendikan kepada kekuatan akal
pikiran yang senantiasa selalu bisa di arahkan sesuai dengan konteks
zaman, bukannya mengutamakan tauhid teoritis yang kaku, yang tidak bisa
dirubah-rubah lagi karena kekuatan akal harus tunduk di bawah wahyu,
tanpa bisa di dialogkan.
Tantangan
kebebasan berfikir (pemikiran) di dunia Islam memang sangat berat,
karena harus melawan tembok-tembok besar dan berlapis-lapis. Lapisan
pertama adalah negara-negara Islam yang secara umum adalah dunia yang
tidak ramah terhadap kebebasan. Lapis kedua, kebebasan berfikir terancam
oleh masyarakat Islam sendiri, sebagai masyarakat yang tidak toleran
dan paling cepat bereaksi menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan
kebebasan berekspresi dan berpendapat (pemikiran). Pembunuhan dan
penganiayaan intelektual terbesar terjadi di dunia Islam. Lapis terakhir
adalah para ulama dan tokoh agama, yang telah membantu penyebarluasan
sikap intoleran dan kebencian terhadap apa saja yang tidak mereka
restui.
[i] . Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution, UI-Press, Jakarta 1986, 1
[ii]. Lihat, Harun Nasution, Pendahuluan dalam Teologi Islam, ix
[iii]
Lihat misalnya, Luthfi Assyaukanie, Pengkafiran di era pemikiran :
matinya kebebasan dan akal pikiran, disampaikan pada ”Nurcholis Madjid
Memorial Lecture”, diselenggarakan oleh Pusat Studi islam dan Kenegaraan
(PSIK) Universitas Paramadina Jakarta, 20 Juli 2006, 1
[iv] .Ibrahim Madkhour, Aliran dan teori filsafat Islam, terj. Bumi Aksara Jakarta, 2004, 67
[v] Dalam makalah Pengkafiran di Era pemikiran : Matinya Kebebasan dan Akal pikiran , disampaikan pada ”Nurcholish
Madjid Memorial Lectures” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK), universitas Paramadina Jakarta, 20 Juli 2006, hal. 6
[vi] Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Bandung, 2002, 92.
No comments:
Post a Comment