أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
RASULULLAH SAW : MANUSIA ILAHI
Oleh : Syaikh Jawadi Amuli
Manusia wajib mencintai Rasul SAW lebih
dari yang lain, bahkan dari egonya sendiri. Allah SWT menyebutkan
sifat-sifat baik dari manusia yang dicintainya, Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang bertobat, dan mencintai orang-orang yang membersihkan diri (QS. Al-Baqarah : 222). Allah juga mencintai ahli takwa, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa (QS. At-Taubah : 4). Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya yang berbaris seperti bangunan yang kokoh (QS. Ash-Shaff : 4). Tetapi yang paling dicintai sekali oleh Allah adalah Muhammad SAW karena ia adalah penjelmaan Dirinya (mazhar) yang sempurna (untuk semesta alam). Al-Quran memberi isyarat, Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad)(QS. Ali-Imran : 31).
Para pecinta kekasih Allah akan menjadi
kekasih Allah. Mereka yang mencintai Rasul SAW akan berusaha
menyamainya (begitu pula dengan Rasulullah SAW yang mencintai Allah
sehingga ia menjadi manusia Ilahi). Ia sangat menghamba-Nya sedemikian
rupa sehingga ia manusia Ilahi.
Anas bin Malik mengatakan, “Pernah
datang seorang Arab pegunungan menemui Rasulullah SAW dan bertanya,
‘Kapan kiamat terjadi?’ Pertanyaan itu diajukan ketika waktu shalat
tiba. Rasulullah SAW menjawab, ‘Tanyakan pertanyaan itu ketika selesai
shalat.’ Usai shalat, Nabi SAW bertanya, ‘Memangnya apa yang telah
engkau persiapkan?’ Orang Arab itu menjawab, ‘Aku bersumpah kepada Allah
aku tidak mempersiapkan dengan shalat dan puasa yang banyak namun aku
hanya punya kecintaan kepada Rasul.’ Kemudian Rasulullah SAW mengatakan,
‘Orang itu akan bersama orang yang dicintainya.’ Anas mengatakan, Aku
belum pernah merasakan kegembiraan yang dirasakan oleh orang-orang
Muslim dengan kata-kata ini.”
Imam Baqir mengatakan, “Suatu hari
Rasulullah SAW mengatakan di tengah-tengah umatnya, Cintailah Allah
karena Dia telah menyediakan jamuan jasmani dan ruhani kalian.
Cintailah aku karena Allah karena aku adalah wadah pancaran cahaya
karunia-Nya, dan cintailah Ahlul Baitku karena mereka adalah perantara
antara aku dan kalian.”
Dalam sebuah hadis yang mata rantainya disebut dengan Silsilah adz-Dzahab (silsilah emas) dari Amirul Mukminin Ali Kw mengatakan, “Seorang
laki-laki Anshar datang menemui Rasulullah SAW sambil mengatakan, ‘Aku
tidak bisa berpisah dengan Anda. Ketika aku mau memasuki rumah dan
tempat kerja, aku teringat dengan Anda. Karena itu aku berangkat untuk
menemui Anda sebab aku mencintai Anda. Aku membayangkan kelak di hari
kiamat Anda pasti masuk ke surga, ke tempat yang termulia, sementara
aku bagaimana?” Saat itu turunlah ayat, “Dan barangsiapa yang
menaati Allah dan Rasul, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang
yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta
kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa : 69). Kemudian
Rasulullah SAW meminta orang itu mendekatinya dan beliau membacakan ayat
itu sebagai kabar gembira untuknya.
Rasulullah SAW mengatakan, “Seorang
hamba belum sempurna imannya kecuali kalau ia lebih mencintai diriku
dibanding dirinya sendiri dan keluargaku lebih dicintai daripada
keluarganya sendiri dan Ahlul Baitku lebih dicintai daripada Ahlul
Baitnya sendiri dan diriku lebih dicintai dari dirinya.”
Rasulullah SAW adalah Akal Semua Manusia
Eksistensi Rasulullah SAW adalah akal munfashil seluruh manusia. Allah SWT mengatakan, “Dialah yang telah mengutus seorang rasul ke tengah-tengah masyarakat yang ummi.” (QS. Al-Jumuah : 2) dan ….juga ke tengah-tengah masyarakat Mukmin
(QS. Ali Imran : 164). Allah telah menganugerahkan kepada orang Mukmin
dengan mengutus dari kalangan mereka seorang rasul. Bahkan juga untuk
para malaikat karena para malaikat adalah murid-murid manusia sempurna.
Manusia sempurna adalah tajalli Allah SWT. Manusia yang akil (rasional) selalu berusaha menundukkan quwwah tahriki (fakultas sensasi) dengan quwwah idrak (fakultas perseptif) dan quwwah idrak yang lebih rendahnya akan menyerah pada quwwah ‘aliyah-nya (fakultas yang lebih tinggi).
Imam Ali Kw mengatakan, “Jika terjadi
bencana, jadikan hartamu sebagai pembela jiwamu dan jika terjadi
sesuatu yang membahayakan agamamu maka serahkan jiwamu demi agamamu.”
Seorang manusia semestinya lebih mendahulukan akal munfashil-nya yaitu Rasulullah SAW sebelum akal muttashil menyatu dengannya. Seperti halnya ketika terjadi hal-hal yang membahayakan sehingga quwwah tahriki (fakultas stimulasi) dan idraki
(persepsi)nya menjadi korban fakultas kognitif (intelektual). Dan,
semua manusia seharusnya mau mengorbankan dirinya demi Rasulullah SAW,
walaupun di tengah-tengah mereka masih hidup orang-orang bijak dan
pintar, karena manusia-manusia bijak itu bagi Rasulullah SAW tidak lebih
dari anggota tubuhnya. Nabi SAW adalah akal universal manusia. Manusia
mana pun tidak memiliki hak untuk memilih fakultas lain selain akalnya.
Ibaratnya ketika manusia menemui
kekeliruan panca indra maka akallah yang harus menjadi hakimnya,
demikian juga sahabat-sahabat Rasulullah SAW harus menyerahkan segala
keputusan kepada Rasulullah SAW. Jadi suara semua fakultas manusia
adalah, “Kalau tidak ada akal maka celakalah kami” atau dengan bahasa hidupnya, “Kalau tidak ada Al-Quran dan Rasul, maka celakalah kami.”
Al-Quran memberi isyarat tentang keharusan mempertaruhkan jiwa demi membela Rasulullah SAW, “Tidak
pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam
di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang)
dan tidak pantas (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada
(mencintai) diri Rasul.” (QS. At-Taubah : 20). Seorang manusia
tidak boleh mementingkan dirinya sehingga menjauh dari Rasulullah SAW
karena Rasulullah adalah nyawanya dan siapa pun harus menyadari bahwa
jiwa Rasul SAW lebih penting dari jiwanya. Ia tidak boleh membiarkan
Rasulullah SAW dalam situasi bahaya. Nabi itu lebih utama dari diri kaum
mukmin. Annabiyyu awla bilmu’minina min anfusihim. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri (QS. Al-Ahzab : 6).
Ketika seseorang mempertaruhkan nyawanya untuk Rasul SAW, ia tidak menyerahkan untuk sesuatu yang bukan bagian dari dirinya (outward). Sejatinya, ia sedang menyerahkan pada yang akan menyempurnakan dirinya (inward).
Lanjutan dari surah At-Taubah ayat 20 itu berbunyi, “Yang
demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan
kelaparan di jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu
bencana kepada musuh kecuali (semua) itu akan dituliskan bagi mereka
sebagai suatu amal kebaikan. Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik.”
Artinya, manusia yang rela mengorbankan
jiwa dan hartanya untuk Rasulullah SAW akan memperoleh sesuatu yang
lebih berharga karena kemahakerdilannya dileburkan dengan
kemahasempurnaan-Nya. Posisi yang mulia itu harus dicintai oleh yang
memiliki posisi mutawassith atau nazil (lebih rendah). Karena itulah ayat mengatakan, laqad ja’akum rasulun min anfusikum, Sungguh telah datang Rasul dari diri kalian sendiri. Jadi, Rasul itu sesungguhnya bagian dari diri kalian.
Walhasil, kalau sang manusia mengorbankan
dirinya untuk Rasul SAW, maka ia akan bertemu dengannya dan menjadi
manusia sempurna. Ia juga bisa mencapai syuhud (menyaksikan) Rasulullah SAW dan risalahnya. Syuhud adalah kedudukan tertinggi bagi manusia.
Rasulullah adalah Spirit Manusia
Rasulullah SAW diturunkan di tengah-tengah era jahiliah sebagai akal munfashil untuk menyelamatkan mereka dari kesesatan dan ketidaksadaran. Karena itu, ketika Allah SWT berfirman, “Mahasuci Allah sebaik-baik pencipta.”
Ia berbicara ketika Rasulullah SAW telah diciptakan dalam suatu
tatanan masyarakat manusia, sehingga Allah memuji dirinya yang telah
mencipta Rasulullah SAW.
Allah SWT menjelaskan tentang tahapan-tahapan penciptaan manusia yaitu mula-mula dari tanah, kemudian sperma, alaqah, mudghah (segumpal daging), tulang dan daging dan kemudian ditiupkan ruh, “Dan
sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah, kemudian
Kami menempatkan air mani itu dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian
air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang
melekat itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain.
mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun : 14).
Mahasuci Allah yang telah menyaring manusia dari makhluk nabati dan hewani. Allah yang sebaik-baik pencipta (ahsanul khaliqin) juga sebaik-baik yang menegakkan (ahsanu taqwim), maka manusia akan menjadi ahsanul makhluqin.
Rasulullah SAW diutus di tengah-tengah masyarakat jahiliah agar
kehidupan maknawi bisa bersemi, menyelamatkan manusia dari kehidupan
kebodohan menuju kehidupan yang sempurna dan membahagiakan. Semua
manusia adalah ahsanul makhluqin dibanding makhluk-makhluk lain tetapi tidak ada manusia yang menyamai Rasulullah SAW, sebab ia adalah mazhar jamaliyah wa jalaliyah (manifestasi keindahan dan keagungan) Allah SWT.
Karena itu ketika diucapkan nama Nabi
Muhammad SAW, semua imam menampakkan sikap kerendahhatian dan kecintaan.
Dalam sebuah riwayat, ada seorang lelaki bernama Abu Harun menemui Imam
Shadiq. Imam bertanya, “Selang beberapa hari ini kami tidak melihat Anda. Apakah Anda bepergian?” Ia menjawab, “Aku dikarunia seorang putra sehingga aku sangat sibuk menjamu tamu sekaligus merawat ibuku.” Imam Shadiq berkata, “Semoga Allah SWT memberkati kelahirannya. Siapa nama anak itu?” Abu Harun menjawab, “Kuberi nama Muhammad.” Begitu mendengar nama Muhammad, wajah Imam tertunduk ke bawah tanah seperti hendak sujud. Kemudian tiga kali mengucapkan, “Muhammad, Muhammad, Muhammad! Engkau beri nama anakmu Muhammad!” (ungkapan kebahagiaan). Kemudian Imam mengatakan, “Aku
dan anakku, ayah dan ibuku, dan semua orang, siap untuk dijadikan
tebusan bagi Muhammad! Janganlah sampai kalian memusuhinya atau
memukulnya atau bersikap tidak sopan terhadapnya! Ketahuilah, tidak ada
satu pun rumah di atas muka bumi yang disebut nama Muhammad dari dalam
rumah itu kecuali rumah dan tanah itu pasti mengucapkan tasbih setiap
harinya.”
Imam Shadiq telah menunjukkan
penghormatan yang spontan dan luar biasa kepada Nabi Muhammad karena
kesadarannya bahwa masyarakat akan mati tanpa kehadirannya. Seandainya
Nabi Muhammad SAW tidak diutus, maka semua orang akan menjadi kafir dan
tidak beragama, menyembah berhala. Masyarakat yang tidak menerima
risalah Nabi SAW baik lantaran jahil qushuri (kelemahan dari diri mereka) atau karena jahil taqshiri
(kelemahan dari luar diri mereka), maka mereka akan masih hidup di era
jahiliah, sekalipun mereka sudah menjadi masyarakat yang berperadaban.
Pasalnya, mereka tidak melacak jalan hakikat, mereka dapat tersesat
dalam ajaran-ajaran ateis (zindik), dan sebagainya. Dalam Ziarah Jami’ah (ziarah untuk semua Imam), kita sering mengucapkan doa “Bikum akhrajnallahu minadzdzulli” (Karena berkat kalianlah Allah telah mengeluarkan kami dari kehinaan).
Aura dan Misi Risalah Rasulullah
Aura Risalah
Ada dua risalah. Yang pertama keberkatan
primer dan kedua keberkatan sekunder. Tujuan utama risalah adalah
mencerahkan masyarakat, memaksimalkan potensi kesucian dan potensi untuk
melakukan syuhud (menyaksikan) al-Haq dan haqa’iq ghaybi wa ‘ayni (rahasia-rahasia gaib dan riil) di alam penciptaan.
Risalah Nabi SAW ditegakkan di atas asas, “Maka berbahagialah yang telah menyucikan dirinya,”(QS. Al-A’la : 14) untuk menyelamatkan peradaban dan mengajarkan makrifat eksistensi, “Dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari itu,”(QS. Thaha : 64). Untuk mengganti ketakaburan, kebanggaan atas harta dan kebanggaan kesukuan.
Misi Risalah
- Menegakkan keadilan, “Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan).” (QS. Al-Hadid : 25)
- Mengikat persatuan di tengah-tengah umat Islam, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.”(QS. Al-Hujurat : 10)
- Melindungi territorial wilayah Islam, “Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”(QS. At-Taubah : 123)
Misi ini akan tercapai jika masyarakat Muhammad telah mengalami pencerahan. Al-Quran menyatakan, “Alif
Lam Ra. (Ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar
engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang
benderang.”(QS. Ibrahim : 1)
Allah selalu mengingatkan tentang sikap musuh-musuh Islam yang ingin mengubah kalian seperti mereka, Mereka menginginkan kalau kalian kafir seperti mereka sehingga kalian dan mereka menjadi setara (QS. An-Nisa : 89), Mereka akan terus memerangimu sehingga kalian meninggalkan agama kalian jika mereka mampu (QS. Al-Baqarah : 217).
Mereka yang memusuhi Islam berusaha
memisahkan Islam dengan umatnya. Mereka ingin menguasai pikiran umat
Islam dan pada akhirnya, mereka ingin merampok keyakinan suci,
kehormatan dan aset-aset umat Islam.
Tambahan kata “jika mereka mampu”
mengindikasikan bahwa itu tidak bisa dilakukan oleh mereka karena Allah
SWT tidak akan membiarkan itu terjadi. Pasalnya, Dia selalu menempatkan
orang-orang saleh di dunia ini. Jadi, dunia ini tidak pernah sepi dari
kaum yang saleh.
Allah juga memberi lampu merah kepada sebagian mukmin, “Barangsiapa
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan barangsiapa yang
murtad dari agamanya maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang saling
menyayangi sesama mereka. Mereka itu lembut terhadap orang-orang Mukmin
dan keras terhadap orang-orang kafir.”(QS. Al-Maidah : 54).
No comments:
Post a Comment