أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Wahhabi kemudian juga dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi, karena itu dianggap bid’ah. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah. Mereka mengharamkan nyanyian. Mereka membenci kesenian. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawuf dan filsafat yang merupakan salah satu warisan kekayaan intelektual Islam dianggap barang haram. Praktik kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahhabisme.
Wahhabi kemudian juga dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi, karena itu dianggap bid’ah. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah. Mereka mengharamkan nyanyian. Mereka membenci kesenian. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawuf dan filsafat yang merupakan salah satu warisan kekayaan intelektual Islam dianggap barang haram. Praktik kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahhabisme.
Dalam
sebuah diskusi di Paramadina beberapa waktu lalu, K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menyebut kelompok Islam Wahhabi sebagai kelompok Islam
yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi. Kelompok ini kemudian
menutupi rasa rendah dirinya dalam bentuk mental mudah tersinggung,
gampang mengkafirkan orang, dan aksi-aksi kekerasan. Mereka menganggap
diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas kebenaran sejati.
Kelompok-kelompok lain adalah kafir, penghuni neraka, dan kalau perlu
harus dimusuhi bahkan dibasmi.
Belakangan,
ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah
ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, dan pembakaran
rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat.
Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski
terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya
mereka segelintir saja.
Ideologi
yang dikembangkan kelompok yang gemar mengkafirkan dan mengeluarkan
fatwa sesat ini sangat mirip dengan ideologi Islam yang sekarang dianut
kerajaan Arab Saudi, Wahhabisme. Bahkan kebanyakan pengamat mengatakan
bahwa hampir semua gerakan Islam garis keras dewasa ini merupakan bagian
dari, atau setidaknya dipengaruhi oleh, kelompok Wahhabi. Ideologi
inilah yang dianut secara resmi oleh Taliban di Afganistan dan jaringan
al-Qaidah yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di
pelbagai belahan dunia.
Gus
Dur menyebut kelompok Wahhabi memiliki rasa rendah diri yang sangat
besar karena ideologi ini berasal dari satu wilayah pinggiran di jazirah
Arab, yaitu Najd. Kota Najd adalah satu wilayah yang dalam sejarah
Islam tidak pernah memunculkan intelektual atau pemimpin Islam yang
diakui. Wilayah ini malah terkenal sebagai wilayah yang kerap melahirkan
para perampok suku Badui. Nabi sendiri mengakuinya dalam salah satu
hadis. Orang-orang Najd juga adalah kelompok orang yang paling akhir
masuk Islam. Bahkan Najd melahirkan tokoh oposan terhadap nabi Muhammad
yang amat terkenal: Musailamah al-Kazzab (Musailamah Sang Pembohong).
Musailamah mendeklarasikan diri sebagai nabi pesaing untuk menandingi
popularitas kenabian Muhammad saat itu.
Selain
Wahhabi, ideologi garis keras pada masa-masa awal Islam, Khawarij, juga
didirikan orang-orang Najd. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa
Wahhabisme sebenarnya hanyalah bentuk baru dari ideologi Khawarij.
Orang-orang Khawarijlah yang mempopulerkan konsep takfir (pengkafiran)
dan bahkan pembunuhan terhadap mereka yang tidak setuju dengan
pendapatnya. Kelompok inilah yang kemudian membantai sahabat sekaligus
menantu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, dan melancarkan aksi yang
sama terhadap Gubernur Damaskus saat itu, Amr Bin Ash.
Kaum
Wahhabi menjadi kekuatan yang destruktif ketika mereka melakukan
aliansi mengejutkan dengan sekelompok bandit pimpinan Muhammad Ibn
al-Saud dari wilayah Dir’iyyah. Al-Saud sendiri adalah keturunan Banu
Hanifah, salah satu klan yang di masa lalu menjadi pendukung utama
Musailama al-Kazzab. Sejak saat itulah kaum Wahhabi terus melancarkan
intimidasi dan teror dalam bentuk pengkafiran dan pembantaian terhadap
orang-orang yang mereka anggap kafir (kelompok Syi’ah, mayoritas Sunni,
dan orang-orang non-Muslim). Arab Saudi lalu mereka kontrol, sampai saat
ini, sehingga menjadi negara yang paling tertutup dan paling tidak
bebas di seluruh dunia.
Wahhabi
kemudian juga dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi
salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun
yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi, karena itu dianggap
bid’ah. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung
perempuan di dalam rumah. Mereka mengharamkan nyanyian. Mereka membenci
kesenian. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban.
Buku-buku tasawuf dan filsafat yang merupakan salah satu warisan
kekayaan intelektual Islam dianggap barang haram. Praktik kehidupan
sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di
bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahhabisme.
Dengan
keuntungan minyak yang masih mengucur sampai hari ini, penguasa Saudi
sukses mengekspor ideologi Wahhabi ke seluruh pelosok dunia, tidak hanya
ke negara-negara Islam, melainkan juga ke Eropa dan Amerika. Menurut
Hamid Alghar, dalam buku Wahhabism: A Critical Essay, kelompok ini
berhasil meraih pengikut sekitar 10% dari keseluruhan umat Islam di
seluruh penjuru dunia. Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi
martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat dalam
beberapa tahun ini, sebetulnya datang dari generasi yang benar-benar
terdidik secara “Barat.” Tapi, ideologi yang diekspor penguasa
Saud-Wahhabi telah menggerakkan mereka untuk melakukan aksi terorisme.
Keluarga
Saud dan Wahhab yang kini menguasai otoritas politik dan agama di Arab
Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang dikenal saleh, kalau tidak
dapat disebut kurang bermoral. Stephen Sulaiman Schwartz, dalam The Two
Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, menyebut
keluarga al-Saud sangat gemar menghambur-hamburkan kekayaan Saudi untuk
keperluan judi dan main perempuan. Dengan kelakuan semacam itu, jumlah
pangeran Saudi saat ini ditaksir mencapai 4.000 orang. Artinya, seorang
raja yang memiliki ratusan istri dan selir bukanlah dongeng belaka di
Arab Saudi.
Schwartz
menyebut dukungan terhadap Wahhabisme yang dilakukan penguasa Saudi
adalah bentuk pengelabuan atas praktik tak bermoral yang mereka lakukan.
Ideologi yang disebarkan oleh keluarga mantan bandit inilah yang
kemudian dianut, atau setidaknya mempengaruhi, kelompok Islam Indonesia
yang belakangan gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap
mereka yang berbeda pendapat. Pengetahuannya terhadap Islam dan
sejarahnya tidak mendalam, bahkan mereka bukan orang-orang yang cukup
religius. Saya percaya bahwa kekerasan bukanlah pantulan dari
religiositas seseorang atau sekelompok orang. Mungkin, rasa rendah diri
itulah yang justru mendatangkan brutalisme.
No comments:
Post a Comment