أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dimensi Mistis KEBANGKITAN ASYURA
Ayatullah Jawadi Amuli
Jika kita memandang Imam Husain sebagai Insan Kamil dan Khalifah Allah di bumi.
Maka tidak ada lagi batas-batas yang menentukan pengaruh misi beliau.
Sebab, di manapun nilai-nilai kemanusiaan itu tersisa,
di sana tentu akan hidup misi Asyura sebagai kekuatan
yang terkadang tidak lagi dapat diukur oleh hamparan bumi dan lintasan zaman.
Kebangkitan
Imam Husain atau Asyura bukanlah pengalaman pribadi, akan tetapi sebuah
peristiwa sejarah yang menjadi bagian dari sunnatullah (tata cipta
Tuhan), sebagaimana yang dijalani oleh segenap para kekasih Tuhan
lainnya. Tentu, ada misi yang terkandung di dalamnya, karena semua
sunnatullah berlaku secara mutlak atas setiap individu, masyarakat dan
zaman. Oleh karena itu, misi kebangkitan Imam Husain tidak dibatasi oleh
waktu, tempat, ataupun individu tertentu.
Sebagai
sunatullah, segala kejadian yang berlangsung sebelum, seketika, dan
setelah peristiwa Asyura senantiasa menjadi fokus analisis pihak
pendukung maupun penentangnya. Mereka meneliti dan mencermati setiap
pernyataan maupun perilaku para penguasa Bani Umayyah yang terkait
dengan pra-Asyura, keputusan-keputusan mereka di hari Asyura, ataupun
kebijakan-kebijakan praktis mereka pasca-Asyura. Pencermatan itu mampu
menunjukkan seberapa besar ambisi musuh-musuh Islam mengubur habis
peristiwa besar tersebut.
Kekuatan Misi Imam Husain
Kekuatan
sebuah misi ditentukan oleh kualitas eksistensial dan kepribadian
empunya. Artinya, seiring dengan rendahnya kualitas kepribadian
seseorang, pengaruh misi yang dibawakannya pun dangkal dan terbatas.
Juga sebaliknya, semakin kepribadian seseorang itu besar dan luhur,
sekadar itu pula radius misinya turut melebar luas.
Dari
sini, terbetik beberapa pertanyaan di benak kita; apakah misi Imam
Husain dalam peristiwa Asyura hanya menjadi penting bagi Mulim Syiah
saja, ataukah juga bagi Muslim Sunni? Lalu, apakah misi tersebut
berpengaruh hanya pada umat Islam, atau malah menyentuh semua penganut
agama samawi dan bahkan kaum monoteis dunia? lebih dari itu, apakah misi
al-Husain, selain memiliki muatan ketuhanan, juga menampung nilai-nilai
kemanusiaan, yang dengan begitu berarti misi itu pun relevan untuk
selain kaum monoteis?
Jawaban
atas setiap pertanyaan di atas ini segera akan kita temukan tatkala
kita mengenal dengan baik siapa Imam Husain. Kadar pengenalan tentang
beliau dalam kapasitasnya sebagai Imam orang Syiah hanya cukup
mengantarkan kita pada lingkaran misi beliau untuk kaum Muslimin saja,
maka wilayah pengaruh misi beliau pun tidak akan melampaui batas-batas
dunia mereka. Begitu pula, sekiranya kita mengenal al-Husain sebagai
teladan kaum monoteis, niscaya pancaran misi tersebut akan mengisi
relung jiwa-jiwa monoteis saja.
Hal
ini sungguh berbeda manakala kita memandang Imam Husain sebagai Insan
Kamil dan Khalifah Allah di bumi. Pada cara pandang ini, tidak ada lagi
batas-batas yang menentukan pengaruh misi beliau. Sebab, di manapun
nilai-nilai kemanusiaan itu tersisa, di sana tentu akan hidup misi
Asyura sebagai kekuatan yang terkadang tidak lagi dapat diukur oleh
hamparan bumi dan lintasan zaman.
Sepanjang
sejarah, dimanapun manusia berada, di sana pasti ada wadah yang siap
menampung misi Imam Husain. Dalam hal ini, setiap kelompok yang merasa
perlu belajar dari nilai pemikiran dan norma sosial yang terkandung
dalam peristiwa Asyura, mereka akan menemukan dirinya bahwa hanya
kelompok mereka yang menjadi audiens utama misi Asyura. Jelas bahwa
usaha pembelajaran diri setiap kelompok dan apapun hasil yang
didapatkannya itu tidak berarti pembatasan atas wilayah misi Karbala.
Yang
perlu ditegaskan di sini, bahwasanya gelombang misi perjuangan Imam
Husain di Karbala tidak terbendung oleh batasan apapun karena sasaran
utama misi tersebut adalah manusia (sebagai manusia, peny.). inilah
isyarat yang terungkap dalam sabda Rasulullah SAW: “Husain dariku dan
aku dari Husain” (Majlisi, Biharul Anwar, Jilid 1:261).
Imam
Husain memang cucu Rasulullah. Meski begitu, kita tahu bahwa selain
al-Husain, ada cucu-cucu lain beliau. Hanya saja, Rasulullah tidak
pernah bersabda layaknya ungkapan di atas mengenai hal ihwal cucu-cucu
selain al-Husain. Sejatinya, ada makna yang bisa ditangkap dari sabda di
atas bahwa kelangsungan agama, kenabian dan risalah Rasulullah akan
selalu hidup berkat kebangkitan al-Husain. Makna inilah yang memahamkan
kita bahwasanya misi kebangkitan al-Husain menyusupkan pengaruh besar
pada kelangsungan cahaya risalah dan kenabian Muhammad SAW.
Tidak
ada alat yang bisa dengan cermat mengukur cakupan misi Rasulullah SAW,
kecuali Al-Quran. Di dalamnya disebutkan bahwa kehadiran beliau di bumi
ini adalah untuk segenap manusia. Al-Quran juga mengangkat beliau
sebagai rahmat bagi alam semesta; “Dan tidak Kami utus engkau (wahai
Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al-Anbiya
21:107). Di ayat lain Al-Quran menegaskan: “Dan tidak Kami utus engkau
(wahai Muhammad) kecuali untuk segenap manusia” (QS. Saba 34:27).
Dengan
demikian, jika Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sebagai karunia untuk
alam semesta, sementara Rasulullah sendiri bersabda bahwa dirinya dari
Husain dan Husain darinya, maka dari ayat dan hadis ini kita dapat
merangkai sebuah deduksi logis yang begitu tegas menghasilkan misi
Karbala sebagai konklusinya.
Mengenai
ihwal Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman bahwa berkah wujud Rasul
adalah universal. Di sisi lain, beliau sendiri melalui lisan rahmatnya
bersabda bahwa kelangsungannya (Rasulullah) berada pada kebangkitan Imam
Husain di Karbala (ana min Husain). Kesimpulan dari dua premis ini
ialah bahwa misi kebangkitan Imam Husain pun universal. Arti
keuniversalan dari sebuah kesimpulan logis yaitu pengukuhan
dua prinsip mutlak; Pertama, keberlakuannya secara mutlak atas semua
manusia, dan kedua, keberlakuannya secara mutlak berlaku atas segala zaman.
Oleh
karena itu, misi di dalam peristiwa Asyura bagi kaum Syiah sangatlah
penting, karena mereka adalah umat Imam Husain, sama pentingnya bagi
segenap umat Islam, Karena semua muslim berada di bawah kepemimpinan
beliau, walaupun sebagian orang tidak mengakui hal ini. Bahkan, misi
Asyura itu merupakan karunia bagi segenap monoteis dan para penganut
agama samawi di seluruh dunia, karena al-Husain membawa misi yang
berketuhanan yang di dalamnya setiap monoteis menemukan nilai-nilai
ketuhanan beliau.
Pada
giliran akhirnya, karunia misi Imam Husain itu benar-benar relevan dan
menyentuh segenap manusia di dunia ini, karena perlawanan di Karbala
merupakan gerakan kemanusiaan. Maka itu, tidak seorangpun akan merasa
tidak mendapatkan keuntungan dari kebangkitan Karbala. Tampak jelas,
bagaimana cahaya tragedi Karbala selalu memancar dan hidup pada jiwa
setiap manusia.
Manusia dan Pentingnya Misi
Sebagaimana
di atas tadi bahwa adiensi misi Asyura adalah umum; penting untuk
segenap manusia. Ini jika dicermati sisi kuantitas mereka. Hasilnya
jelas berbeda jika ditilik dari sisi kualitas. Pada asumsi terakhir ini,
misi Asyura hanya menyapa sekelompok manusia, suatu komunitas atau
masyarakat tertentu. Misi Asyura penting bagi para ulama, filsuf, teolog
dan arif saja. Hanya mereka itulah yang menangkap frekuensi misi itu
dengan baik, misi yang senantiasa memancar sampai Hari Kiamat.
Menjelang Hari Kiamat nanti, Imam Mahdi muncul
menuntaskan berbagai misi yang telah disampaikan oleh Imam Husain. Pada
saat itu, keteraturan menjadi kekacauan yang menyeluruh untuk kemudian
diubah jadi bentuk lain; langit akan diganti dengan langit yang lain,
dan bumi pun akan ditata kembali oleh hukum-hukum khas yang sesuai
dengan perubahannya.
Oleh
karena itu, tidak seorang Muslim (Sunni maupun Syiah), Kristen,
Zoroaster atau kafir sekalipun akan mengatakan bahwa tidaklah penting
semua kegiatan yang dilakukan untuk memperingati peristiwa al-Husain.
Sebab, segala macam ucapan, perilaku maupun tulisan al-Husain telah
diperlihatkan pada berbagai tingkat intelektualitas. Pada saat itu,
dikatakan kepada sebagian orang: “Jika engkau bukan Muslim, maka
merdekalah engkau dalam berpikir”. dan salah satu tanda
kemerdekaan berpikir adalah kebebasan berkehendak. Sementara, kebebasan
berkehendak sendiri berarti tidak dikuasai dan tidak menguasai; “Jika
kamu tidak beragama, tidak pula ada rasa takut akan akhirat pada dirimu,
maka jadilah kamu orang yang bebas dalam kehidupan duniamu.” (Kalimaat
al-Imam al-Husain, 504)
Ajaran
kebebasan ini menjelaskan kepada kita betapa sisi kemanusiaan dalam
peristiwa Karbala sangat dihormati dan dijunjung tinggi, sehingga bagi
orang yang tidak percaya Tuhan ataupun Hari Pembalasan, sementara
hatinya masih menyimpan keyakinan akan kebebasan, ia akan bisa merasakan
pentingnya peristiwa itu. Maka itu, tidak berlebihan jika tragedi
Karbala diangkat sebagai penuntun sejati menuju kemerdekaan dan
kebebasan umat manusia.
Tidak
seorangpun yang merasa tidak perlu mengenang peristiwa Karbala, tidak
seorang intelektual pun yang merasa tidak lagi butuh ajaran Asyura.
Sementara itu, para ahli ibadah dan zahid yang masih terus meniti
perjalanannya, para filsuf dan teolog yang sudah mendekati tujuan
mereka, ataupun arif yang telah melihat melalui musyahadah (penyingkapan
hati) tatkala puncak titian, telah ia capai, semua adalah para
pendengar sejati misi dan pesan Imam Husain, karena Karbala merupakan
satu peristiwa yang mampu mengantarkan para pelaku jihad asghar (jihad
kecil; berperang melawan musuh dari luar) sampai titik kemenangan,
memberikan tuntutan kepada para pelaku jihad awsath (jihad menengah;
melawan hawa nafsu, pent.) dan ulama Akhlak, serta mampu mengantarkan
kaum arif sampai pada jenjang fana’ dan berakhir pada fana’ fillah
(melebur dalam Tuhan). Ketika itu, mereka menerima titah “mahwu qabla
as-shahwi wa shahwu ba’dal mahwi” (melebur sebelum terjaga, dan terjaga
setelah melebur).
Dalam
menjelaskan jihad akbar -jihad yang lebih berat dibanding jihad awsath
-kaum arif menggambarkannya sebagai peperangan antara rasio dan cinta,
yang harus diakhiri dengan cinta sebagai pemenangnya. Di medan
peperangan dahsyat antara pemikiran dan syuhud (penyaksian batin) tadi,
syuhud-lah yang mesti didahulukan di atas pemikiran. Begitu pula, dalam
pergolakan antara Irfan dengan Hikmah (filsafat), yang pertamalah
sejatinya diunggulkan dari yang terakhir.
Di
atas tadi bukan sekadar himbauan. Lewat sebuah bait Jalaluddin Rumi,
(Mastnawi Ma’nawi, daftar; pertama, bait.2128) kita diingatkan:
Kaki filosof ibarat kayu
Khaki dari kayu betapa rapuh
Maka, sepatutnya kita mengatakan sebagaimana Jalaluddin Rumi (Lub-e Lubab Matsnawi, Intisyarat Asathir, hal. 208):
Pena ingin segera melukiskan
karena keagungan cinta
Pena tak lagi sanggup menuliskan
bak keledai jatuh dalam lumpur
akal tak lagi mampu uraikan cinta
hanya cinta yang mampu jelaskan sendiri
bak mentari terbit buktikan ujud mentari
argumenmu harus lalui cahayanya.
Yakni,
ada kalanya dikiaskan bahwa argumentasi para filosof ibarat tiang kayu
yang sesungguhnya sangat mudah diguncang. Kiasan ini bukan berarti tiang
kayu tidak punya ketahanan sama sekali. Ia kuat. Hanya pada saat-saat
tertentu, kekuatannya diluluhkan oleh gigi gergaji syuhud ataupun mata
kapak Irfan, seperti kejadian yang dialami Khalilullah (Kekasih Allah)
Nabi Ibrahim as tatakala beliau mengangkat kapak itu dan mengoyak-ngoyak
tiang tersebut.
Jika tubuhmu pendek sambungkan kayu
Supaya anak-anak memandangmu tinggi
Dari
sekian permainan anak-anak, seringkali kita lihat bagaimana anak yang
pendek perawakannya berusaha tidak kalah tinggi dengan anak yang
jangkung. Ia pun gunakan kaki kayu tampil sepantar dengan yang lain.
Sementara orang dewasa selalu mengingatkan mereka, “kaki kayu ini tidak
akan pernah membuat orang dianggap besar, manusia harus berusaha untuk
selalu berjalan di atas kaki sendiri, bertumpuhlah di atas kakimu biar
kamu cepat jadi orang besar.” Untuk anak-anak, kaki kayu berfungsi hanya
sebagai alat untuk menipu.
Sekaitan
dengan kaum filosof dan mutakallim (ahli Kalam), sikap para arif
terhadap mereka layaknya sitiran orang dewasa kepada si anak itu,
kendati mereka pun mampu mengenalkan Tuhan kepada sejumlah kalangan
dengan cara mereka sendiri, misalnya melalui fenomena-fenomena malam
seperti yang dialami Kalimullah Nabi Musa as.
Adapun
Imam Husain, dari puncak ketinggian syuhud-nya, seakan ia menyapa kaum
filosof, “Tanggalkan kaki kayu kalian, karena kegiatan intelektual
ataupun pertimbangan matematis dalam banyak hal malah menjadi kendala
dan hijab.”
Peristiwa
Karbala, di mata para syahid yang gugur di sana, bukan sekedar jihad
kecil (jihad asghar) yang didalamnya peperangan fisik dijalani hanya
demi sepetak tanah atau seteguk air. Pun peristiwa Karbala bukan ukuran
jihad pertengahan (jihad awsath) yang diperjuangkan untuk sekedar
penyucian jiwa. Para pahlawan di sana telah berhasil melalui dua tahapan
jihad itu, karena tahapan yang mereka tempuh ialah jihad besar (jihad
akbar) yang memiliki banyak derajat. Mereka berhasil mencapai derajat
tinggi dari jihad ini, pencapaian unggul jauh di atas pendekatan nalar
seorang filosof. Untuk inilah Imam Husain lantas mengajak
sahabat-sahabat setia beliau mencapai titik puncak jihad akbar.
Tentunya,
pada asumsi bahwa seorang pesuluk sudah sampai pada tahapan penyaksian
(mukasyafah), ia bisa disebut sebagai imam para ahli sujud. Sebab oleh Al-Quran manusia diajak -setelah mencapai derajat makrifat -untuk hijrah dan menempuh derajat yang lebih tinggi, yaitu imamah.
Terdapat
empat tahapan yang digariskan dalam Al-Quran, yaitu: makrifat
(pengetahuan), hijrat (perpindahan), sur’at (kecepatan), sabqat
(mendahului). Empat tahapan ini menjelaskan bahwa dalam upaya mencapai
makrifat, pertama-tama manusia harus tahu jalan mana dan arah mana yang
harus ditempuh, tahu apa dan bagaimana lingkungan yang baik itu, serta
punya penuntun jalan.
Segera
setelah berhasil melewati jenjang makrifat, ia harus memulai tahapan
selanjutnya, yaitu hijrat. Tahapan ini menyediakan beberapa tuntutan
seperti: bergegas-gegas, “Saari’uu” (QS. Ali Imran 3:33). Manakala ia
telah mempercepat perjalanannya, ia diperingatkan, “Janganlah kamu hanya
konsentrasi pada kecepatan lajumu, tetapi juga berpikirlah supaya kamu
bisa mendahului yang lain dan melesat dengan cepat,” “Saabiquu” (QS.
57:21).
Ada beberapa tempat dimana kecepatan (sur’at) dan rasa ingin mendahului (sabqat) itu dilarang oleh Islam.
Tempat itu biasa disebut dengan takatsur (bermegah-megahan), bukan
kautsar (telaga surgawi). Mengenai yang pertama itu dikatakan bahwa
“Janganlah sekali-kali terlintas dalam benakmu bahwa rumah ataupun
permadanimu lebih indah dibandingkan milik orang lain”, “Sedangkan
mereka itu lebih mewah perlengkapan rumah tangganya dan leibh sedap
dipandang mata” (QS. Maryam 19:74).
Zahir
takatsur adalah kekayaan, padahal batinnya hanya menyimpan racun.
Adapun kautsar, semakin ia ruah, malah menjadi semakin indah. Kalau
tentang takatsur dikatakan : “Janganlah engkau menyibukkan diri”,
tentang kautsar dilukiskan:
Dihadapan fatamorgana terangi
pikiranmu tuk temukan teman sejati
walau mesti berjalan menyungsang
apalagi bila harus dengan kaki telanjang
Tatkala
manusia bisa menuntaskan empat tahapan di atas, mampu mendahului yang
lainnya dalam kompetisi sampai keluar sebagai pemenang, ketika itulah
dikatakan kepadanya bahwa anda harus mengemban kepemimpinan umat.
Sebagaimana Allah SWT dalam Al-Quran menerangkan bahwa para musafir
(pencari Tuhan) yang telah sampai pada tujuannya, mereka, menerima titah
Allah supaya mereka memohon kepadaNya, “Jadikanlah diri kami sebagai
pemimpin orang-orang yang bertakwa.”
Titah
Allah menerangkan bahwa para musafir itu imam dan orang-orang yang
bertakwa adalah makmum mereka. Masyarakat yang bertakwa sebagai umat
sedang engkau sebagai pemimpin masyarakat yang bertakwa: “Dan jadikanlah
kami bagi orang-orang yang bertakwa sebagai imam” (Bihar al-anwar, jil
6, hal 154)
Upaya
pencapaian imamah merupakan seruan umum. Tahapan ini tidak hanya
diakses oleh pribadi tertentu. Meski begitu, upaya ini tidaklah mudah.
Sama halnya usaha seseorang menjadi imam, yakni selaku penyelenggara
hukum, pemimpin politik atau penanggung jawab urusan budaya sebuah
negara, yang terbuka lebar untuk segenap putra bangsa.
Ini
berbeda dengan imamah para maksum, sebuah kewenangan yang ditegaskan
Al-Quran bahwa, “Allah lebih mengetahui di mana Dia akan memberikan
risalah-Nya” (QS. Al-An’am:124). Kewenangan Ilahi (pascakerasulan Nabi
SAW) ini dipercayakan tidak lebih kepada dua belas imam saja. Ia begitu
istimewa, tidak ada manusia selain mereka yang laik menerimanya.
Bagaimanapun, imamah ini tidak ada kaitannya dengan maksud kita di sini.
Walhasil, pengorbanan Imam Husain telah membuka luas semua jalan yang ada, walau untuk tokoh-tokoh Irfan. Hafidz mengatakan:
Jika kau lihat dirimu mulia dan cerdik
takkan mungkin dapatkan irfan kutunjukkan satu titik, janganlah lihat dirimu
niscaya kau kan sampai
Manakala
seseorang sudah tidak lagi melihat pada dirinya, segala yang bergantung
pada dirimu pun tiada lagi terlihat olehmu. Kalau dirimu sudah tidak
lagi kau lihat, keunggulan ilmu dan popularitasmu tidak lagi berarti
bagi dirimu. Kalau dulu kamu pernah lihat dirimu tiga lalu menjadi dua,
sekarang dirimu menjadi tunggal. Kalau dulu kamu masih melihat
keberadaan dirimu lantas mengatakan: “Aku yang sedang beribadah ini,
hanya kepada-Mu aku menyembah (QS Al-Fatihah 1:5),” maka sesungguhnya
dirimu, ibadahmu dan Allah yang kau ajak bicara, semuanya masih kau
lihat ada tiga lalu kau jadikan dua.
Karena
itu, jangan lagi kau lihat dirimu, lihatlah penghambaanmu pada Allah,
jangan sampai mata rantai ini hilang dan menjadi awal kebinasaanmu.
Sesungguhnya dualisme itu pun masih dalam lingkaran syirik. Maka,
usahakan dalam penghambaanmu itu hanya Tuhan yang kau lihat. Bahkan,
penglihatan inipun tidak kau lihat. Dalam Munajat Sya’baniah
diperdengarkan: “Ya Ilahi, anugerahkan kepadaku mutlak pencurahan
kepada-Mu”.
Mutlaknya
pencurahan diri kepada Allah bukan berarti memutuskan ketergantungan,
bahkan juga bukan terputusnya ketergantungan. Mutlak pencurahan diri
yaitu kesempurnaan keterputusan diri dari selain Allah. Inilah tujuan
paling luhur. Terkadang manusia berkata: terputus lantas diam, tidak ada
lagi pembicaraan tentang pemutusan ataupun terputusnya sesuatu, ini
yang dimaksud dengan kesempurnaan keterputusan (kamal inqitha’).
Setiap arif niscaya telah menyatu dengan Imam Husain ‘penghulu para syuhada’, karena misi beliaulah yang mendidik seseorang menjadi arif sejati.
“Peristiwa
Karbala, di mata para syahid yang gugur di sana, bukan sekedar jihad
kecil (jihad asghar) yang didalamnya peperangan fisik dijalani hanya
demi sepetak tanah atau seteguk air. Pun peristiwa Karbala bukan ukuran
jihad pertengahan (jihad awsath) yang diperjuangkan untuk sekedar
penyucian jiwa. Para pahlawan di sana telah berhasil melalui dua tahapan
jihad itu, karena tahapan yang mereka tempuh ialah jihad besar (jihad
akbar) yang memiliki banyak derajat.”
No comments:
Post a Comment