أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Menguak Rahasia Puasa Orang-orang Arif
Pentingnya Nilai Bulan Ramadhan
Satu perkara yang penting bagi pe-salik
(kepada Allah SWT) adalah mengetahui hak dan nilai bulan Ramadhan,
karena bulan puasa ini merupakan bulan undangan Allah SWT bagi mereka
yang menitih jalan kepada-Nya. Bulan Ramadhan, merupakan tempat bertamu
kepada Allah SWT, begitu juga makna yang tepat untuk orang berpuasa
adalah tamu Allah SWT (dhiyafatullah), sekaligus sebagai bentuk
usaha untuk mendapatkan keikhlasan dalam gerak dan diam, dengan dasar
ridha kepada pemilik rumah, Allah SWT.
Nilai dan Faedah Lapar
(Wahai pencari maqam qarb-posisi dekat-) lapar bagi pesalik, keutamaannya adalah penyempurnaan jiwa (nafs) dan makrifah Allah SWT. Juga fadhailnya disebut dalam hadis begitu agung dan besar. Oleh karena itu kita mencari sebab, hikmat dan falsafahnya.
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dimana beliau bersabda: ”Bukalah
jiwa kamu menuju mujahidah dengan perantara lapar dan haus, karena
tindakan ini sama dengan melaksanakan jihad dijalan Allah SWT,
sebagaimana tidak ada amal yang lebih dicintai Allah SWT selain dari
lapar dan haus.” Begitu juga dalam hadis lain bahwa: ”Dihari
kiamat, posisi yang lebih dekat pada Allah SWT di antara kamu pada Allah
SWT adalah mereka yang lebih banyak (menahan) lapar dan mereka yang
banyak berpikir tantang Allah SWT.” Disabdakan pada Usamah: ”Kalau
bisa, ketika malaikat maut hendak mengambil nyawamu, (adalah)ketika
perutmu lapar dan tenggorokanmu haus, lakukanlah hal ini, karena
perbuatan ini adalah posisi yang paling mulia. Kedudukan kamu yang
dapat dibayangkan, adalah dekatnya posisi kamu dengan Rasul, para
malaikat bersuka ria ketika ruh mu tiba serta Allah SWT mengucapkan
salam dan salawat kepadamu.” Disabdakan juga: ”Laparkan perutmu dan keringkan badanmu, semoga Allah SWT akan melihat hatimu.” Dalam hadis mi’raj, Allah SWT berfirman kepada Rasulullah SAW : “Wahai Ahmad, apakah engkau mengetahui faedah dan hasil dari puasa?” Saya berkata: “Tidak wahai Ilahi.” Allah SWT berfirman: “Hasil dan faedah dari puasa adalah mengurangi makan dan bicara.” Kemudian Allah SWT menjelaskan hasil dari pada diam para pemikir dengan berfirman: “Diam
mewariskan hikmat, dan hikmat mewariskan ma’rifat, dan ma’rifat
mewariskan yakin, karena hamba sampai pada tingkatan yakin, tidak ada
sisa lagi, untuknya tidak ada beda apakah kehidupannya susah atau
mudah?! Ini adalah posisi shahib ridha. Bagi siapa yang beramal mencapai
ridha Saya, maka tiga hasil yang akan pasti didapatkannya. Akan
diajarkan kepadanya rasa syukur, sehingga tidak bercampur antara
kejahilan dan kebodohan, zikir dan ingat tanpa ada kelupaan, kasih dan
sayang akan diberikan kepadanya sehingga tidak akan didahulukan kasihnya
kepada makhluk melebihi cintanya kepada Allah SWT karena Saya pemilik
cinta, dan Saya akan mencintainya. Ciptaan Saya akan menuju pada
kasihnya, mata dan hatinya selalu terpaku pada keagungan dan kemuliaan
Diri-Ku, padanya ilmu sehingga kesumat hamba tidak tersembunyi.
Pada kegelapan malam dan terangnya
siang Kami akan bermunajat sehingga hilang dan terputuslah bahaya
makhluk yang ada bersamanya. Firman-Ku dan ucapan para malaikat akan
sampai pada telinganya. Kebenaran dan rahasia-Ku yang tertutup atau
tersembunyi dari semua makhluk akan jelas dan terang baginya.”
Kemudian difirmankan: “Akal dan
idrak-nya akan tenggelam dalam pengetahuan marifat-Ku, dan Saya akan
duduk di akalnya, kemudian kematian, tekanan, panas dan ketakutan akan
menjadi ringan dan mudah, sehingga (dengan cepat dan selamat)akan masuk
ke dalam surga.” Ketika malaikat maut turun kepadanya dan mengatakan: “Selamat padamu, berbahagialah!. Tuhanpun rindu padamu!” Sampai disitu disabdakan dan kemudian Allah SWT berfirman: “Ini adalah surga-Ku, tinggallah di situ, ini adalah lingkungan-Ku, tenanglah (dan tetaplah)! Maka ruh menjawab: “Wahai
Sembahanku?! Engkau telah mengetahui aku, maka saya dengan-Mu tidak
memerlukan semua makhluk. Demi Keagungan dan Kemuliaan-Mu aku
bersumpah, kalau Engkau hendak memotong-motongku, dan hidup di antara
hamba-MU dengan keadaan yang paling sengsara, dan tujuh puluh kali
terbunuh, maka kesenangan dan ridha Engkau akan lebih aku cintai.” Hingga disini difirmankan, kemudian Allah SWT berfirman: “Demi
Kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku bersumpah, di antara Aku dan engkau
tidak ada batasan masapun yang akan menjadi hijab atau penutup, ketika
engkau menghendaki dan menginginkan datanglah kepada-Ku, inilah apa yang
Aku perbuat pada kekasih-Ku.”
Pada riwayat ini telah ditunjukkan dengan
jelas hikmat dan falsafah lapar dan keutamaannya. Kalau kita ingin
mengetahui lebih jauh dan jelas tentang keutamaan dan faedah dari pada
lapar dalam puasa ini, maka lihatlah pada ulama akhlak yang akan
membawakan riwayat yang ada. Karena mereka akan menjelaskan tentang
keutamaan besar dari lapar, diantaranya adalah penyembuh hati, karena
kenyang akan memperbanyak uap di otak, jiwa akan lambat beraktivitas
dalam berpikir dan menentukan, terjadinya rasa berat sehingga akan
membutakan hati. Dan rasa lapar adalah lawannya, lapar akan mengobati
hati dan kecepatannya, hati akan terus beraktivitas berpikir yang
berkelanjutan dengan makrifat, kemudian selalu siap untuk menerima
cahaya (Ilahi), sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW : “Siapa yang membiarkan perutnya lapar, maka pikiran dan pemahamannya akan membesar.” Begitu banyak lagi faedah dari lapar.
Rahasia Perjamuan Pesalik dengan Lapar
Rahasia Allah SWT menentukan untuk
menerima tamu-Nya adalah dengan lapar. Karena itu adalah untuk nikmat
yang lebih baik dan tinggi dari nikmat makrifat, qurb- dekat- dan liqa’. Dan rasa lapar adalah paling dekatnya sebab untuk itu.Puasa adalah jamuan Allah SWT untuk hamba-Nya.
Bagi seorang pesalik dijalan Allah SWT,
lapar dan puasa bukan sekedar taklif, tapi adalah jamuan yang wajib
disyukuri dan dilakukannya. Keinginan Allah SWT inilah yang perlu
diketahui kedudukannya serta mendalami nilai yang terdapat dari ayat
panggilan Ilahi dari ayat suci-Nya. Karena itu adalah panggilan dan
undangan kepada kalian untuk sampai pada tempat pertemuan. Dari
nikmatnya kebaikan dan kefahaman dari hikmah dan falsafah tasyri’i
puasa tersebut adalah mengurangi makan dan dan melemahkan kekuatan
badan, sehingga dari sisi ini, puasa yang dilakukan di siang hari dapat
dilakukan pula di malam hari. Puasa bukan hanya sekedar untuk tidak
makan dan minum, tapi harus bersama puasa telinga, mata, mulut, dan
sebagian kabar mengatakan bahwa kulit dan rambutpun harus berpuasa.
Niat dan Tujuan Pesalik dalam Puasa
Wahai para pesalik, untuk amal (puasa)
ini tidak layak hanya dengan berniat untuk menghilangkan/mencegah murka
Ilahi, sebagaimana tidak layak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan
pahala dan masuk kedalam nikmat surga sekalipun dengannya semua itu bisa
didapat. Tapi haruslah berniat bahwa dengan puasa akan mendekatkan diri
kepada Allah SWT, mendekatkan diri pada ridha Allah SWT. Dengan ini,
maka akan dijauhkan dari syifat syaithani dan mendekat pada sifat malaikatiyah.
Ketika ini sudah diketahui, dengan
pemahaman pengetahuan agar menjauhi semua tindakan dan perkataan yang
menjauhkan diri saat hadir dihadapan Allah SWT. Karena tindakan yang
menjauhkan diri dari Allah SWT itu bertentangan dengan keinginan-Nya
dalam perjamuan di perhelatan ini maka, janganlah bergembira di saat
engkau datang, kedekatan dan kehadiran pada dar-al-dhiyafah
(tempat perjamuan) yang sebagai istana Mun’im (Allah SWT) karena semua
rahasia dan apa yang ada di hati hamba-hamba-Nya telah diketahui
oleh-Nya. Jangan melupakan Allah SWT karena Dia memperhatikan kamu,
jangan sekali-kali kita melakukan protes, sementara Dia ada dihadapan
kamu. Demi jiwaku aku besumpah, bahwa ini dalam hukum akal merupakan
perbuatan qabaih ‘adhimah (keburukan/cela yang agung), dimana
akal tidak akan ridha jika dengan sahabatnya berlaku demikian, (apakah
lagi dengan Tuhannya).
Tapi karena kita berada di tempat yang sempurna dan Fadhl Ilahi,
maka semua kealpaan ini tidak menjadikan kita terusir, karena Dia telah
mengampuni hamba-Nya sehingga tidak keluar dari lingkungan taklif. Tapi
juga hamba haruslah memahami kadar Tuan dan Sayyidnya untuk tidak
bertindak hanya sebanding halal dan haram, tapi haruslah sebanding
Ketuanan dan KeSayyidan-Nya, bertindak dengan ubudiyah pada-Nya atau
lebih rendah dari ini, yaitu tindakan orang yang hina dan dina.
Dengan kata lain, hamba haruslah berlaku sebagaimana yang dipesankan oleh Imam Shadiq Beliau berkata: “Ketika
engkau berpuasa hendaknya, memandang bahwa dirimu diundang dan dekat
dengan akhirat [kematian]. Keadaanmu dalam keadaan tunduk,
khusyu’,rendah dan hina dalam keadaan ketakutan dihadapan Tuhannya,
bersihkan hatimu dari cela dan jauhkan batinmu dari makar dan tipu
muslihat serta semua bentuk perbuatan yang keluar dari Ilahi.”
Tetapkanlah dalam puasa untuk meletakkan
kekuasaan hanya pada Allah SWT dengan ikhlas (mengetahui hanya Allah SWT
yang pantas disembah). Berharaplah sepenuhnya pada Allah SWT, hati dan
badan hanya untuk Allah SWT. Pada hari-hari puasamu, jadikan hati untuk
cinta dan zikir, badan beramal untuk ridha-Nya, hilangkan semua dari
apa yang tidak diperlukan dalam undangan (perjamuan) itu. Imam
menasehatkan juga (dimana kita harus bersedia untuk melakukannya) bahwa
kita harus menjaga agar semua anggota badan jauh dari bahaya,
penentangan dan larangan Allah SWT, terutama “lidah”, sehingga debat dan
sumpahpun perlu dihindari.
Kemudian diakhir riwayatnya beliau bersabda: “Apabila
kalian mengamalkan pesanku tentang semua hal yang pantas bagi orang
orang yang puasa, maka (puasanya) telah benar, kalau tidak demikian,
maka fadhilah dan pahalanyapun akan kurang.”
Maka pikirkanlah apa yang telah
dipesankan tentang kewajiban orang puasa, kemudian berharaplah dengan
nilainya, maka ketahuilah bahwa diri diundang dan dekat dengan akhirat,
hati akan keluar dari lingkungan duniawi dan tidak keluar dari kesiapan
untuk lingkungan akhirat. Bagitu juga kalau hatinya hudhu’dan
besih dari semua hal yang bukan Ilahi. Kalau saja hati dan badannya
merendah hanya untuk Allah SWT dan menghindar dari semua hal yang bukan
Ilahi, maka ruh,hati dan badan serta semua wujudnya ada pada zikir Allah
SWT, mahabbah Allah SWT, tenggelam dalam ibadah Allah SWT maka puasanya
menjadi puasa orang-orang “muqarribin” (orang orang yang dekat dengan
Allah SWT).
Begitulah Allah SWT berfirman atas hak
orang orang yang dekat dengann-Nya, untuk berpuasa yang demikian,
sekalipun hanya satu hari dalam umurnya.
Tingkatan Puasa
Ada tiga macam tingkatan puasa yang dilakukan oleh umat manusia.
1. Puasa Awam: yaitu puasa yang hanya
sekedar meninggalkan makan, minum dan wanita. Sebagaimana apa yang
dikatakan para fuqaha tentang kewajiban dan muharamat yang ditentukan
untuk puasa.
2. Puasa Khawash [Panca Indera]: yaitu
selain dari pada apa yang harus ditinggalkan tersebut, seorang yang
berpuasa harus menjaga semua anggota badannya dari pekerjaan yang
dilarang Allah SWT.
3. Puasa Khawash Al Khawash [Jiwa]: yaitu
meninggalkan semua perkara yang menghalangi manusia kembali kepada
Allah SWT dan beramal hanya untuk Allah SWT, baik halal maupun haram.
Pada tingkatan dua dan tiga ada banyak peringkat/bagiannya [gradasinya] juga, terutama pada peringkat kedua, sebanyak tingkatan ashabul yamin
dari mukminin, di mana setiap personal memiliki batasan sendiri dan
tidak sama dengan sahabatnya. Setiap orang yang sampai pada(tingkatan)
tersebut maka mereka adalah orang yang amalnya dekat dengan orang yang
ada diatasnya.
Tingkatan Orang Berpuasa Berdasarkan Motivasi
Orang yang berpuasa terbagi menjadi
beberapa bagian dilihat dari motivasi dan niatnya berpuasa. Sebagian
orang berpuasa dengan tujuan benar yaitu tidak hendak melakukan hal
yang membatalkan puasanya,tapi bukan karena Allah SWT, seperti takut
kepada masyarakat atau berusaha untuk mendapatkan keuntungan dirinya
sendiri,atau karena adat kebiasaan muslimin.
Sebagian yang lain berpuasa karena takut pada azab neraka dan mengharapkan pahala Allah SWT.
Sangat sedikit yang hanya berharap pada
pahala saja, karena kebanyakan dari mereka motivasinya adalah untuk
mencegah dari azab dan mengharapkan pahala.
Sebagian lain, selain dari berniat untuk
meninggalkan azab dan meraih pahala, juga berkeinginan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT dan mendapatkan ridha daripada-Nya.
Dan sebagian lain, dengan ikhlas hanya untuk mendekatkan diri dan ridha Allah SWT.
Mereka yang mengharapkan peringkat
ruhaniah mukhlisin, selalu berusaha untuk Mahbub-nya, dia akan
berusaha sepenuhnya untuk menambah setiap usaha (riyadhah) bagi
dirinya. Kalau saja ada dua perbuatan yang sama fadhilahnya, maka dia
akan memilih salah satu yang lebih berat untuk jiwanya. Inilah hak dari
semua yang menjadi muqarab, berbahagialah mereka, sebagaimana yang
dilakukan oleh Amiril Mukminin as.
Hal yang penting dan harus dijaga sebelum
memulai berbuka puasa atau sahur setelah membaca Basmalah (Bismillahir
Rahman ir Rahim) adalah membaca surat Al Qadr.
Tingkatan Puasa Para Pesalik dan Puasa Benar [makbul]
Perhatikanlah wahai orang yang berpuasa!.
Apa yang dapat dipetik dari akhbar; ghibah, bohong, memandang hal-hal
yang diharamkan seperti memandang bukan muhrim, didasari dengan
kebencian dan kezaliman –sedikit ataupun banyak- akan membatalkan puasa,
karena puasa bukan hanya tidak makan dan minum saja. Karena orang yang
(sebenarnya) berpuasa harus juga berpuasa telinga, mata, lidah, faraj
dan perutnya. Kaki dan tangannya pun harus terjaga. Banyaklah
diam,kecuali kata kata untuk kebaikan. Bersahabatlah dan berbuat
baiklah dengan pembantu dan pelayanmu, karena puasa harus menjaga
telinga dan mata dari semua hal yang haram dan yang membawa keburukan.
Hindarilah memarahi dan menghardik
pembantu dan pelayan, jauhilah. Dapatkan nilai dari puasa. Karena
hari itu adalah hari puasamu jangan jadikan hari puasamu sama dengan
hari ketika kamu tidak berpuasa. Rasul SAW bersabda: “Apa yang
paling mudah dijalankan oleh orang yang berpuasa dan Allah SWT
menjadikan-Nya mudah bagi orang yang puasa adalah tidak minum dan tidak
makan.”
Puasa hakikatnya adalah memutuskan
anggota badan dari perbuatan dosa, tidak sekali-kali melihat pada
hal-hal yang dilarang Allah SWT. Kalau berpuasa dengan dasar tersebut,
maka hati akan terjaga untuk selalu mengingat Allah SWT, hanya berpuasa
untuk Allah SWT sajalah puasa itu akan sempurna. Kalau seseorang
mengetahui hakikat puasa, maka derajat dan hikmat tasyri’ puasapun akan
diketahuinya. Dengan sendirinya dia akan menjauhi dan menghindari dari
perbuatan haram sehingga puasanya dapat diterima, kalau tidak, maka
puasanya patut dipertanyakan. Makna dari pada sudah terlaksananya
kewajiban berpuasa, tidaklah berarti bahwa nanti di hari kiamat dia
sudah akan berbahagia dan puasanya telah diterima.
Ukuran yang paling jelas untuk menimbang
puasa diterima atau tidaknya puasa di bulan puasa adalah sabda
Rasulullah SAW. Bagi orang yang berada di bulan (puasa-Ramadhan) tapi
dosanya tidak berkurang, sebagaimana sabda Nabi: “Barang siapa telah
meniggalkan bulan puasa (Ramadhan) tapi dosanya tidak berkurang, Allah
SWT tidak akan mengampuninya.” Dengan dasar ini pula beliau diutus Allah
SWT sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Petunjuk jelas untuk memperluas dan
melipatgandakan rahmat, pengampunan-Nya yang mencakup semuanya serta
kasih-Nya di bulan ini. Bukankah tidak ada kenikmatan lain lagi selain
ini?!. Dia adalah Rahmatan lil alamin. Muslimin tidak akan terkutuk
betapapun besar dosanya.[ Sumber : Islam Muhammadi Online]
Maqam Yakin
Oleh: Ayatullah Anshari Syirazi Hf
“Salah satu maqam akhlaq adalah maqam Yaqin.
Yaitu manusia untuk mencapai kesempurnaan diharuskan untuk mencapai
peringkat dimana dia tidak ada lagi keraguan, wahm (angan-angan) dan
khayal dalam meyakini hukum-hukum dan akidah-akidah Islam. Yaqin mempunyai tiga tingkatan yaitu; pertama Ilmul yaqin, Kemudian ‘Ainul yaqin, dan terakhir adalah Haqqul yaqin. Al-Quran menyatakan: “Lau ta’lamuna ilmal yaqîn”, Kalau kamu menemukan keyakinan terhadap Mabda dan Ma’ad, surga dan neraka melalui ilmul yaqin,
kamu akan menyaksikan neraka dan penduduknya itu dengan penglihatan
batin. Kalau seorang manusia memandang kepada alam penciptaan ini dengan
pandangan mata batin dan pandangan Ibrahim as “Wakadzalika nurî Ibrahima malakutassamâwâti wal ardhi”
(Al-An’am : 75), sekarang ini dia akan menyaksikan orang-orang yang
berada di neraka jahannam; yaitu kalau anda memperoleh derajat awal
keyakinan itu, maka akan muncul dalam hati anda pengetahuan-pengetahuan
dan ilmu-ilmu (makrifat Ilahi). Sekarang, jika seseorang naik dan
memperoleh tingkat keyakinan selanjutnya yaitu ‘Ainul yaqin dan Haqqul yaqin, maka ilmu dan pengetahuan yang lebih dahsyat lagi akan muncul dan terbit dalam jiwa dan hatinya.
Orang-orang,
khususnya kaum penganut mazhab Islam pecinta keluarga Rasul diharuskan
dalam memperoleh tingkatan-tingkatan keyakinan itu menggunakan metode
yang benar yaitu menggunakan dalil-dalil burhan (argumen), Al-Quran dan sunnah.
Salah seorang tokoh menukilkan perkataan dari anak almarhum Sayyid Ali
Aghai Qadhi bahwasanya ayahnya berkata: meskipun keraguan dan
kebimbangan dalam agama ada sampai ajal tiba di tenggorokan dan kalau
tidak, setelah kematian, segala sesuatunya nanti akan nampak dan
keyakinan yang sebenarnya pun akan tercapai. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Al-Quran: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari
(hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu,
Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Al-Qaf : 22).
Jika setiap
manusia betul-betul menjaga hukum-hukum Allah, yaitu melaksanakan yang
wajib dan menjauhi segala yang dilarangnya serta keyakinannya terhadap Mabda’ dan Ma’ad dan sebagainya mencapai pada maqam Yaqin,
maka dia akan memperoleh sebuah kondisi dan pengalaman spiritual yang
hal-hal itu tidak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata dan dialog. Dan
ini dinyatakan dalam Al-Quran : “Niscaya kamu melihat neraka jahim” atau dalam ayat 12 surat al-Hujurat dinyatakan : “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat : 12).
Kalam wahyu
itu bukanlah sesuatu yang majazi. Kenapa kalam wahyu itu kita
predikasikan kepada sebuah ungkapan majazi?! Tariklah diri kita ini ke
arah yang lebih tinggi mendekati maqam ishmat, sehingga semua
hakikat itu tersingkap bagi kita. Dan selama kita masih terkurung dan
berada di sangkar badan dan materi ini, kita tidak akan mampu dan mau
menerima rahasia-rahasia Al-Quran itu dan bahkan kita akan selalu
mempredikasikannya (Al-Quran) itu ke dalam bentuk yang majazi.
Ada
sekelompok manusia yang terbebas dari kurungan badannya dan memperoleh
karunia penglihatan Ibrahim as, manusia-manusia langitan ini,
menyaksikan dengan jelas bahwa berghibah itu seperti memakan daging
saudara sendiri dan begitupun, mereka mampu melihat dan mendengar dengan
mata batinnya kondisi penghuni kubur.
Ada sebuah
riwayat dari Rasulullah SAW : bahwa beliau masuk mesjid pada waktu
subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan seorang pemuda kurus namun
penuh cahaya di wajahnya, duduk di salah satu sudut mesjid. Rasulullah
bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh ini? Pemuda itu menjawab:
Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada Allah SWT.
Bertanya Rasulullah tentang kondisi Zaid
Bagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati
Berkata Aku hamba yang yakin
Bertanya mana bukti keyakinan yang menakjubkan itu??
Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langit
Dan aku melihat dan menyaksikan Arasy dan para penghuninya.
Imam Ali as dalam khutbahnya (193), menta’birkan kelompok manusia seperti ini dengan ungkapannya yaitu: “Mereka ada di alam dunia ini, menyaksikan Surga seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati keindahannya.”
Manusia langitan seperti ini hanya dengan Allah SWT mengadakan transaksi : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah : 111).
Kalau
seseorang telah menemukan keyakinan maka tak akan pernah dia menampakkan
ketakwaannya, karena segala sesuatu itu tidak semuanya bisa diungkapkan
di dunia ini.
“Setiap orang yang mendapatkan karunia dan tarbiyah, rahasia-rahasia Ilahi akan dicamkannya dan mulutnya terjahit”
Ayat-ayat
ini adalah sebuah peringatan dan ancaman bagi semuanya, khususnya ahli
ilmu dan keutamaan. Mereka berkewajiban untuk memperkenalkan akan dunia
gaib itu kepada masyarakat, segala sesuatu yang ada di alam malak, malakuti, mempunyai lahir dan batin. Tabarakallazi biyadihilmulku wa huwa ‘ala kulli syain qadîr (Al-Mulk : 1), Fasubhanallazi biyadihi malakutu kulli syain (Yasin : 83) kedua ayat ini adalah dalil akan adanya alam malakut dan batin.
Di alam ini
terdapat berita-berita yang tidak pernah berhenti siang malam, yang mana
kita tak bisa mendengar dan menyaksikannya karena kita buta. Mereka
yang bisa melihat dan mendengar, siang malam tak pernah tidur
mendengarkan ucapan-ucapan tasbihnya seluruh makhluk yang ada di alam
ini.
Makan dan minum telah menjauh dari tingkat cinta
Saat itulah kau akan sampai pada sahabat yang mana tak ada tidur dan makan lagi
Manusia
dalam kondisi ini, merasakan nikmatnya berwudhu, atau pada bulan
ramadhan dikarenakan sedikit makan maka dia merasakan nikmatnya
saat-saat mendekati waktu berbuka di mana hal itu bukanlah perumpamaan
kenikmatan dunia. Allah SWT mengaruniakan nikmat ini kepada orang-orang
mukmin supaya mereka semakin yakin kepada-Nya seperti seorang ibu yang
meletakkan tangannya yang berisi manisan di mulut bayi.[Diterjemahkan
oleh Sultan Nur dari pelajaran Akhlaq dar Hauzeh karya Ayatullah Ansari Shirazi Hf,)
No comments:
Post a Comment