أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Rendah Hati (Tawadhu)
Pokok Pokok Ilmu Laduni
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab
(Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (Q.S. Ali Imron : 7).
Selama ini masih ada sebagian kaum
muslim yang meragukan adanya penganugerahan ilmu dari Allah secara
langsung kepada seseorang yang dikehendaki-Nya dengan argumentasi bahwa
Allah Swt sudah menurunkan Al-Qur’anul Karim sebagai rujukan dari
berbagai pengetahuan (ilmu) yang dipelajari oleh manusia. Ilmu adalah
suatu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat kepada yang
mempelajarinya. Andaikan ada seorang mukmin belajar tentang ilmu tauhid,
misalnya, maka ia akan mendapatkan pengetahuan dari ilmu tersebut
(tauhid). Tetapi, tidak semua orang yang belajar ilmu tauhid memperoleh
pengetahuan yang mendalam dari ilmu yang dipelajarinya karena hal-hal
tertentu, terkait dengan tidak dapat masuk ilmu tersebut (tauhid) ke
dalam jiwanya.
Andaikan ilmu yang dipelajari
seseorang (mukmin) dapat meresap ke dalam jiwanya, maka itu berarti ilmu
tersebut telah menjadi pengetahuan baginya. Lebih dari sebatas itu,
dia telah ditanamkan oleh Allah kemampuan mengetahui ilmu tersebut.
Inilah anugerah yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Dalam pemahaman tentang ilmu laduni (laddunniyah robbaniyah),
ilmu yang disebut terdahulu (tauhid) tidak dipelajari secara literal,
selain diperoleh secara langsung di dalam dirinya. Dadanya penuh ilmu
yang telah ditanamkan oleh Allah Swt disebabkan karena Allah telah
berkehendak sebagaimana yang ditetapkannya tanpa campur tangan dari
makhluk-Nya. Ilmu yang seperti ini di dalam Al-Qur’an dikenal dengan Al-Hikmah.
“Allah menganugrahkan al
hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah
itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)” (Q.S. Al-Baqarah : 269).
Maka, yang disebut ilmu laduni
adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada orang-orang yang senantiasa
tunduk dan patuh kepada-Nya. Kehendak Allah ditujukan agar setiap kaum
mukmin yang menggunakan akalnya dapat mengambil pelajaran dari ayat-Nya
ini. Allah Swt berkehendak demikian untuk mengajak kepada kaum mukmin
agar berkhidmat kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya!
Jadi, tidaklah mustahil ada sebahagian
kaum mukmin mendapatkan ilmu laduni atau Al-Hikmah. Derajat semacam
ini disebabkan Dia (Allah) telah mencintainya (kaum mukmin) tadi.
Adakah seorang mukmin dapat dicintai oleh Allah dengan kehendak-Nya?
Ada, itu pasti! Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang kepada kaum
mukmin yang senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya.
Anugerah Al-Hikmah kepada
manusia, selain Nabi dan Rasul-Nya, sudah ada dijelaskan di dalam
Al-Qur’an. Contohnya adalah Ibunda Maryam yang diajarkan Al-Hikmah oleh
Allah Swt. Allah berfirman mengenai pengajaran-Nya tersebut sebagai
berikut:
“Dan Allah akan mengajarkan kepadanya (Maryam) Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil” (Q.S. Ali Imron : 48).
Para wali Allah, sebagaimana
dapat dibaca dari kitab-kitabnya, misalnya, adalah termasuk contoh
lainnya. Mereka, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka,
dapat menulis banyak kitab tanpa menyandarkan kepada kitab-kitab yang
ada sebelumnya yang ditulis oleh ahlinya, selain Al-Qur’an dan Hadits.
Pengetahuannya didapatkan secara langsung dari dalam hatinya.
Tulisan-tulisannya merujuk kepada ilmu-Nya yang diperoleh dari ‘Kitab Yang Hidup’
yang tersimpan di dalam cahaya-Nya! Dalam kalimat sederhana,
pengetahuan para wali Allah diperoleh tidak secara literal, melainkan
dia mendapati pengetahuan tersebut berdasarkan ilham (pengetahuan
mendalam) yang memancar dari dalam jiwanya (hatinya).
Namun demikian, pengetahuan yang
diajarkan kepada wali sama sekali berbeda dengan wahyu yang diturunkan
kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu merupakan firman yang
disampaikan oleh Allah melalui perantaraan Jibril a.s. dan dijadikan
Pedoman (Kitab Pegangan) bagi seluruh umat manusia. Sedangkan ilham
atau Al-Hikmah atau laddunniyah robbaniyah merupakan pengetahuan
yang tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk semua umat manusia,
selain Al-Hikmah tersebut sangat membantu wali-Nya mudah mengetahui
seluruh perkara yang tidak dapat dijangkau oleh akal (pemikiran logis
intelektual)!
Apabila ada yang meyakini akan
kebenarannya (Al-Hikmah) tersebut, tentu saja, sangat membantu
memudahkan bagi siapa pun kaum mukmin dalam menempuh perjalanan menuju
kepada-Nya (thariqah). Dengan perantaraan Al-Hikmah itulah, seorang wali
Allah akan menguraikan setiap hal berdasarkan pemahaman yang
diajarkan oleh Allah (Al-Hikmah atau ilham atau laddunniyah robbaniyah) sehingga tampak dia dapat menguasainya tanpa menemukan kesulitan.
“Maka apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat
cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. Az-Zumar : 22).
Al-Hikmah yang diajarkan kepada
wali Allah berbeda dengan Al-Hikmah yang diajarkan kepada Nabi dan
Rasul-Nya. Dengan Al-Hikmah itu pulalah seorang wali diajarkan
langsung, selain oleh Allah (dengan cahaya-Nya, karena cahaya-Nya adalah
ilmu-Nya), juga oleh Nabi dan Rasul Saaw. Berdasarkan hal itu, maka
seorang wali dengan seizin Allah senantiasa dapat berhubungan langsung
dengan beliau di dalam kekuasaan-Nya.
Dengan Al-Hikmah, seorang Nabi juga dapat mengajarkan kepada Nabi yang lain. Allah Swt berfirman:
“Musa berkata kepada Khidhr:
"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (Q.S. Al-Kahfi : 66).
Demikian juga, seorang wali
dapat memperoleh pengetahuan yang diajarkan oleh beliau (Khidhr a.s.).
Seterusnya orang mengenalnya dengan sebutan ilmu laduni! Pokok-pokok
ilmu laduni, dengan demikian, dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama,
Allah Swt dengan kebijaksanaan-Nya mengajarkan Al-Hikmah kepada siapa
yang Dia kehendaki: seorang Nabi atau Rasul, seorang wali Allah atau
kaum muttaqin. Dalam pengajaran tentang ayat-ayat-Nya, Allah menurunkan
malaikat Jibril a.s. untuk menyampaikan kepada Rasul-Nya. Pesan-pesan
yang disampaikan-Nya itu disebut wahyu. Adapun pengajaran yang
disampaikan selain kepada Nabi dan Rasul-Nya, maka dalam hal itu, Allah
menurunkan ilmu-Nya dengan banyak cara:
- Mengajarkan ilmu laduni atau Al-Hikmah (dalam hal ini disebut ilham atau pemahaman yang mendalam dalam memaknai ayat-ayat Allah dan berbagai hal lainnya yang sulit dijangkau oleh kecerdasan akal semata-mata) kepada seorang wali Allah (aulia Allah). Pemahaman yang mendalam ini merupakan karunia khusus yang diberikan kepada wali-Nya;
- Mengajarkan ilmu laduni atau Al-Hikmah (pengetahuan robbaniyah atau keilahian), yang karena itu dia dapat mengenal Tuhannya, kepada orang-orang bertakwa (ma’rifat) atau sering disebut ‘arif billah atau ‘irfanillah. Seorang yang sudah diperkenankan memandang wajah-Nya dikaruniai oleh Allah mengetahui rahasia Allah yang tidak diketahui oleh kebanyakan kaum beriman yang belum berkhidmat (bersungguh-sungguh melalui sebuah perjuangan tanpa mengenal lelah dan beristiqamah dalam menjalaninya) untuk mendekati Dia (Allah) Yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana;
- Mengajarkan Al-Hikmah (pengetahuan goibisasi), sekalipun bukan ilmu laduni, sebagaimana diajarkan kepada wali Allah atau sudah mencapai derajat ma’rifat, kepada kaum mukmin yang sedang bergeliat rasa keberimanannya;
- Mengajarkan Al-Hikmah (pengenalan akan kemahabesaran Allah) sampai Allah berkenan menganugerahkan pengetahuan tentang rahasia Allah kepada orang-orang beriman yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada-Nya (thariqah);
- Mengajarkan Al-Hikmah (pengetahuan syari’ah atau hukum-hukum pengaturan tatacara peribadatan atau ‘ubudiyyah, sebagaimana yang dipelajari oleh para pemikir Islam: para fuqaha, para muhaddits dan lain-lain keahlian tentang ilmu-ilmu keislaman), yang dengan itu, seseorang diberi kemudahan atas pengetahuan yang dipelajarinya secara mendalam;
- Mengajarkan Al-Hikmah (pengenalan akan ketinggian kedudukan-Nya) kepada orang-orang beriman yang ahli ibadah.
Kedua, ilmu laduni diajarkan
oleh Allah Swt, selanjutnya diteruskan oleh Nabi dan Rasul-Nya kepada
para wali-Nya. Dengan kebijaksanaan-Nya, Rasul Saaw dapat mengajarkan
Al-Hikmah kepada seorang wali Allah secara langsung tanpa perantaraan.
Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah ketika meninggikan dasar-dasar
Baitullah:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada
mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al
Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah : 129).
Demikian juga, seorang Nabi
(selain Rasul Saaw) dapat meneruskan kebijaksanaan Allah (Al-Hikmah)
kepada Nabi lainnya (seperti Khidhr kepada Musa a.s.), seorang wali
Allah, kaum muttaqin (‘arif billah atau ‘irfanillah), kaum
mukmin yang menempuh perjalanan (thariqah) mendekati puncak
kesufiannya, kaum mukmin yang mempelajari ilmu kalam (diperoleh melalui
pemberian kemudahan memahami tanpa disadari oleh kecerdasan
intelejensinya sendiri)!
Al-Hikmah juga dapat diajarkan,
dengan kebijaksanaan Allah, dari seorang wali Allah kepada
murid-muridnya. Allah Swt sangat menyayangi hamba-hamba-Nya yang
senantiasa mengingat-Nya. Dengan kedudukannya di sisi Allah, seorang
wali Allah (aulia Allah) di dalam hatinya memancar cahaya-Nya sehingga
sangat terang benderang bertaburkan ilmu Allah! Dengan cahaya-Nya itulah
dia dapat mengajarkan Al-Hikmah kepada murid-muridnya.
Maqam orang mukmin yang dianugerahi ilmu laduni atau Al-Hikmah, dengan demikian, bukanlah maqam
sekedar diperuntukkan hanya pada orang-orang tertentu, melainkan harus
diperjuangkan dengan sepenuh jiwa untuk mencintai-Nya! Mencintai-Nya
menyebabkan Dia (Allah) berkenan menurunkan kebijaksanaan-Nya (Hikmah)!
Dengan cara seperti itu, maka siapa pun kaum mukmin dapat meraihnya!
Pelajaran ilmu-lmu keislaman akan mudah dipahami sekiranya telah dianugerahi ilmu laduni! Pertama, Allah Swt akan senantiasa menunjuki apa, bagaimana dan mengapa adanya Islam sebagai agama yang diridoi Allah! Kedua, pokok-pokok ajaran Islam yang harus dipelajari, dipahami dan diamalkan akan lebih mudah dikuasai! Ketiga,
agama sebagai penuntun bagi pemeluknya tidak hanya sebatas pengakuan,
melainkan betul-betul sebagai pedoman hidup yang dapat mengantarkan
dirinya (umat Islam) kepada keridoan Allah Azza wa Jalla!
Dengan ilmu laduni, seorang yang telah
mendapatkannya seolah tak pernah kebingungan menjalani kehidupan di
dunia karena Allah Swt senantiasa memberinya ilmu yang mendalam! Dalam
hal memahami ayat-ayat Allah, melalui ilmu laduni yang dianugerahkan
Allah Swt, seorang akan dengan mudah memaknainya tanpa menemukan
kesulitan! Dengan demikian, ilmu laduni menjadi pedoman hidup diri
seseorang untuk memahami apa yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya
agar selamat di dunia dan di akhirat!
Rendah Hati (Tawadhu)
Seorang yang sangat mengharap
Al-Hikmah atau ilmu laduni akan cepat mendapatkannya apabila dapat
merendahkan dirinya di hadapan Allah Azza wa Jalla; dengan kata lain,
dia harus rendah hati dalam tutur kata, sikap dan perbuatannya.
Kesombongan diri akan mempersulit untuk meraihnya.
Kesombongan sangat dibenci oleh
Allah Azza wa Jalla. Sedangkan, Al-Hikmah atau ilmu laduni merupakan
anugerah atau pemberian Allah kepada seorang yang dengan sepenuh jiwa
mencintai-Nya. Maka, mustahil orang yang menyombongkan dirinya akan
meraih Al-Hikmah atau ilmu laduni! Ini adalah syarat yang tak dapat
terbantahkan.
“Sembahlah Allah dan
janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (Q.S. An-Nisa : 36).
Tampak jelas bagaimana Allah
sangat membenci orang-orang yang sombong. Pertama, mereka (segenap umat
manusia) yang tidak mau menyembah Allah sebagai Tuhan Yang Mahaesa!
Keesaan-Nya sudah sangat jelas karena tidak ada Tuhan kecuali Allah!
Maka, kaum muslim yang tidak solat (Allah menyebutnya fasik) termasuk
orang-orang yang sombong kepada Allah! Kedua, kaum muslim yang ahli
ibadah tetapi masih cenderung bersekutu dengan iblis dalam ‘ubudiyah.
Mereka menyekutukan Allah dengan terang-terangan maupun tersembunyi.
Secara terang-terangan, persekutuan dilakukan dengan memuja berhala
(yang dituhankan dapat menolong dirinya, meminta pertolongan kepada
iblis dengan melakukan persembahan di tempat-tempat angker agar dapat
mendatangkan pesugihan dan sebagainya!). Sedangkan secara tersembunyi,
dan termasuk dalam jumlah yang banyak, dilakukan oleh ahli ibadah yang
selalu mengikuti bisikan iblis! Asumsinya: setan adalah musuh yang nyata
(‘aduwwum mubin) yang harus diperangi oleh kaum mukmin! Apabila
mengikuti ajakan iblis, maka berarti bersekutu (bermitra atau
menjadikannya sebagai penolong dalam kejahatan!). Seharusnya yang
dijadikan penolong adalah Allah sebagai satu-satunya Pemilik atau
Pencipta seluruh makhluk-Nya. Maka, apabila menjadikan setan sebagai
penolong secara tersembunyi karena tidak ada perjuangan untuk melawan
kejahatannya, berarti telah menduakan Tuhan (syirik)!
Syirik yang dijelaskan pada bagian
kedua tersebut sangat sulit bagi kaum mukmin untuk menghindarinya! Allah
Swt, karena itu, sangat menghendaki untuk segera bertobat dengan
sebenar-benar bertobat sekiranya sangat berharap akan menyucikan
jiwanya. Allah Swt menganggap orang yang bertobat dengan diiringi
beramal soleh disebut sebagai bertobat dengan sebenar-benarnya bertobat.
“Dan orang yang bertobat dan
mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar-benarnya” (Q.S. Al-Furqan : 71).
Peringatan Allah sering
ditimpakan kepada kaum mukmin yang belum juga mau bertobat. Sebagian ada
yang menyadarinya dan sebagian lagi kembali kepada kejahatan sesudah
diturunkan pertolongan Allah! Bagi yang menyadarinya, maka yang harus
dilakukan adalah mengikuti perintah dan larangan Allah (beramal soleh).
Orang beriman lagi beramal soleh disebut juga sebagai orang bertakwa!
Allah Swt pasti akan mengangkatnya dari ‘dalam kerugian’. Surat Al-Ashr
dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kaum mukmin yang sangat berharap
tidak berada di ‘dalam kerugian’!
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya
menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran“ (Q.S. Al-‘Ashr : 1-3).
Beriman dan beramal soleh adalah
suatu ketentuan yang tidak dapat dihindari agar memperoleh
keberuntungan. Beramal soleh adalah perbuatan yang secara syar’i
diamalkam bukan sekedarnya saja, tetapi sungguh-sungguh (hakiki), yakni
tidak sebatas menjalankan perintah tetapi juga meninggalkan
larangan-Nya. Tidak sekedar melaksanakan solat, tetapi juga
mendirikannya. Artinya, tidak karena telah melakukan perintah wajib
solat, maka boleh berbuat mungkar dan keji. Allah Swt tidak akan
menjadikan solatnya sebagai solat yang ditunaikan dengan sungguh-sungguh
(hakiki) apabila pelaku solat masih melawan kedua orang tuanya,
menjauhkan karib-kerabat, menghardik anak-anak yatim, membenci
orang-orang miskin, bertengkar dengan tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, bermusuhan dengan teman sejawat, tidak menolong secara
finansial ibnu sabil dan tidak memperhatikan dengan patut hamba sahaya
(para peminta-minta, termasuk juga para pembantu, khususnya di rumah).
Demikian juga dengan peribadatan
lainnya, seperti mengeluarkan zakat (juga infak dan sodakoh). Allah
sangat membenci orang yang mengeluarkan zakat tetapi hanya untuk
kebanggaan diri (dipuji oleh orang lain sebagai seorang muzakki yang
patuh)! Mengeluarkan zakat dimaksudkan agar menyisihkan sebagian rezeki
yang diperolehnya dari Allah dan, karena itu, ada hak orang lain yang
berhak memperolehnya, bukan semata-mata harta miliknya sendiri.
Mengeluarkan zakat ditujukan sesungguhnya agar diri menjadi bersih dari
kekotoran, bukan mengotori dengan riya dan bangga diri! Ini hakikatnya
zakat.
Allah juga menilai puasa kaum mukmin
bukan sebatas mencegah untuk tidak makan dan minum di siang hari
berpuasa, akan tetapi puasa sesungguhnya (hakikatnya) adalah dapat
mengendalikan nafsu (nafsu syahwat, nafsu imajinasi dan nafsu amarah
atau angkara murka)! Begitu juga dalam menunaikan ibadah haji di
Baitullah, seorang mukmin mengamalkannya untuk lebih mendudukkan dirinya
rendah di hadapan Allah. Tidak ada perbedaan karena kedudukan di
dunia, di hadapan Allah Swt sama-sama sebagai hamba-Nya! Karena itu,
pak haji dan bu haji tidak patut kembali menjadi seorang mukmin yang
angkuh dan menyombongkan diri dengan sesamanya.
Dengan kata lain, yang disebut
beramal soleh adalah berbuat dengan sungguh-sungguh karena Allah, bukan
sebatas sekedarnya saja! Secara syar’i dibenarkan dan juga mengetahui
hakikatnya untuk tidak diabaikan!
Saya dapat menyimpulkan dalam hal ini sebagai berikut:
- Al-Hikmah atau ilmu laduni adalah ilmu Allah Swt yang dianugerahkan kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah sesudah dengan sungguh-sungguh dia berjuang (jihad) dan berhijrah dari kegelapan menuju cahaya! Makna jihad berarti memerangi kebatilan di dalam dada manusia yang dihembuskan iblis agar tidak tunduk dan patuh kepada Allah. Tobatan nasuha merupakan awal seseorang yang beriman kepada Allah untuk berhijrah menghindar dari musuh yang nyata (‘aduwum mubin) yang berupaya menguasainya. Perjuangan semacam ini akan ditolong oleh Allah dengan rahmat-Nya (kasih saying-Nya). Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah : 218).
- Sekiranya kaum mukmin sangat berharap mendapatkan Al-Hikmah atau ilmu laduni, maka dia sepatutnya menyadari bahwa karunia Allah diberikan dalam rangka menundukkan keangkuhan diri di hadapan kemahabesaran Allah Azza wa Jalla. Dia sangat membenci orang yang sombong dan membangga-banggakan diri;
- Derajat manusia sangat ditentukan oleh ketakwaannya, bukan disebabkan oleh keturunan atau kedudukan (jabatan/pangkat/gelar/tahta)! Siapa pun memiliki hak yang sama di sisi Allah Swt apabila dia telah menjadi hamba-Nya yang tunduk dan patuh kepada-Nya.
Allah Swt sangat menghendaki agar kaum mukmin segera berubah, minadhdhulumati ila nuur (dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Berhijrah dan berjuanglah. Carilah wasilah (perantara) untuk mendekati-Nya! Allah Swt pasti menolongnya dengan kemahabesaran-Nya.
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah perantara (jalan) yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan” (Q.S. Al-Maa’idah : 35).
No comments:
Post a Comment