أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
al Qusyairi, Prinsip-Prinsip Tasawuf
al Qusyairi nama lengkapnya, Abdul Karim ibn Hawazin, Lahir pada tahun 376 Hijriyyah di Istiwa, Nishapur. Di Nishapur pula ia tumbuh besar dan bertemu guru nya Abu Ali al-Daqqaq, seorang sufi terkenal . Qusyairi mempelajari Fiqih kepada Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi (meninggal 405 H), serta belajar ilmu kalam dan usul fiqih kepada Abu Bakar ibn al-Farouk (meninggal 406 H), Qusyairi menelaah karya-karya dari al-Baqillani, dari sini Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus sunnah wal Jamaah yang dikembangkan al-Asy’ari dan para muridnya. Menurut Ibn Khallikan, al-Qusyairi adalah sufi yang mengkompromikan Syari’at dengan hakekat. al-Qusyairi meninggal 465 H.
al-Qusyairi, berkata, “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah, yang tidak tertandingi serta tidak kenal macet. Merekapun tahu hak yang lama dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini al-Junaid, berkata; Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin mereka didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti dikatakan Abu Muhammad al-Jariri: Barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.“
” Duhai, Saudaraku! Janganlah terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat. Sebab ketika hakekat realitas-realitas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada dalam berpakaian… Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri, dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin….
dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan serta bukannya tauhid, dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendahhatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu serta bukannya pengenalan terhadap Allah.”
al-Qusyairi, menekankan pada kesehatan batin dengan berpegang pada al-Qur’an dan pula as-Sunnah Rosul.
Tingkat Keimaman dalam Tasawuf
Pada dasarnya, ajaran Tasawuf merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat pada Allah dan Tasawuf menjauhkan dari pengaruh-pengaruh selain Allah. Kemudian dengan Tasawuf maka terbukalah hijab yang menutupinya.
Tingkatan keimanan dalam tasawuf, yang meliputi:
Maqom Taubat ( arabic: التوبة ), yaitu meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan demi menjunjung ajaran Allah dan menyingkiri murka-Nya ( Imam al- Ghozali).
Maqom Waro’, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah, menurut Syaikh Ibrahim Adham. Waro’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat (tidak jelas halal atau haramnya), Waro’ Lahiriyah: meninggalkan seluruh perbuatan kecuali perbuatan yang karena Allah, Waro’ Batiniyah: sikap hati yang tidak menerima selain Allah
Maqom Zuhud ( زاهد ), lepasnya pandangan keduniawian dan usaha memperoleh keduniawian dari seorang yang sebenarnya mampu untuk memperolehnya.
Maqom Shobar ( الصبر ), ketabahan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu (Imam al-Ghozali), Syaikh Dzun Nun al-Misri mengatakan: Shobar adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama, tabah dan tenang dalam menghadapi cobaan, dan menampakkan hidup lapang dalam mengalami kemelaratan.
Maqom Faqir ( فقير ), Tenang dan tabah diwaktu susah dan memprioritaskan orang lain di kala sedang berada ( Syaikh Abu Hasan al-Nuruy). Syaikh Ibrohim al-Khawwash, mengatakan Faqir adalah selendang orang-orang mulia, pakaian para Rosul dan baju kurung kaum Sholikhah.
Maqom Syukur ( شكر ), pengakuan terhadap kenikmatan, tindakan badan untuk mengabdi kepada Allah dan ketetapan hati untuk selalu menyingkiri yang haram, Syaikh Abul Qasim mengatakan, “Hakikat syukur adalah tidak menggunakan kenikmatan untuk maksiat, tidak segan-segan menggunakannya untuk taat sedang batasan syukur adalah mengetahui bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah Ta’ala.
Maqom Khauf, Rasa ketakutan dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah, Syaik Abul Hasan al-Nury, berpendapat “orang yang Khauf adalah yang lari dalam ketakutan dari Allah untuk menuju kepada Allah”.
Maqom Roja’, Rasa gembira hati karena mengetahui adanya kemurahan dari dzat yang menjadi tumpuan harapannya, Syaikh Abu Ali, berkata: “Khauf dan Roja’ adalah ibarat dua belah sayap burung, jika seimbang keduanya, maka terbang nya burung menjadi sempurna, jika kurang salah satunya, maka terbangnya tidak sempurna, dan jika hilang keduanya, maka burung jatuh dan menemui kematiannya.
Maqom Tawakal, sikap hati yang bergantung pada Allah dalam menghadapi sesuatu yang disukai, dibenci, diharapkan atau ditakuti kalau terjadi dan bukan menggantungkannya pada suatu sebab, sebab satu-satunya adalah Allah(al-Muhasibi). Syaikh Sahl berpendapat, “Jenjang pertama kali dalam Tawakal adalah hendaknya hamba dihadapan Allah bersikap sebagaimana mayat dihadapan orangyang merawatnya, dibalik kesana kemari diam saja.”
Maqom Ridho, Rasa puas hati dalam menerima nasib yang pahit (Abul Hassan al-Nuri), Rabi’ah Adawiyah menjelaskan, sewaktu ditanya bagaimana seorang hamba bisa dikatakan Ridlo, Jawabnya: “Apabila ia senang dalam menghadapi musibah sebagaimana ia senang dalam menerima nikmat. Syaikh Yahya bin Mu’arif, ketika ditanya, “Kapan seorang mencapai Maqom Ridho?” beliau menjawab: “Jika diberi mau menerima, jika ditolak ia rela, jika ditinggalkan ia tetap mengabdi dan jika diajak ia menuruti.”
secara teori tingkatan di awali dari nomer 1 berurutan sampai nomer 10, akan tetapi bisa juga ketika seseorang mengalami loncatan dari nomer 1 langsung ke no 10, dengan bimbingan seorang mursyid dan atas kehendak Allah swt. dalam tasawuf semua bisa terjadi..
No comments:
Post a Comment