أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar
tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas
masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali
diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan
syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti
paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan
pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati
mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri
berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa
rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa,
tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib
adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu
adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu
meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan
disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah
itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong
inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut
ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna
ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat
hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh
Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh
pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti
madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai
masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan
dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning
sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) .
Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan
Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya
Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali
mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa
ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan
terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia
memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran
ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling
kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah
“tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya
ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati,
juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui
segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya
mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan
dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam
diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan
yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al
Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman
atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan.
Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat
syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal).
Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan
Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya
ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar
tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti,
tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta
sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur
al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara
syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik
manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik
puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi
sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid
al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat
al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya
menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti
Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir
sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar,
dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya
diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya
adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai
dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri,
yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah
sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata
lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang
harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah
kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat
kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah
sesuatu yang saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual
tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada
pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan
wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya
kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah
manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural.
Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia,
bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran
manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang
menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di
dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud.
Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya
memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah
Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini,
memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh
mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap
suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang
tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang
manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula
menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi,
maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam
al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split
personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan,
harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia.
Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan
di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi.
Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban
atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya
sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia.
Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang
baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk
kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat
wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi
wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi
perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan
hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin,
bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad,
yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas
saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma
dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya
Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri,
tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang
shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan,
tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi
dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah
sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari
manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari
sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing
manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam
otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter
bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan
matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga
melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan
sesat.
Sekali lagi apa yang terurai di atas,
adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi.
Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi.
Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan,
sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada
Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya
yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk
lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia
adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya
terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu
itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh
dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah
manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam
kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian
Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala
kehidupan yang juga sempurna.
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi
kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga
menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai
pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang
muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah
berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi
Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau
“dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati
ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu
kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas,
dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia
menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak
pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu
kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang
dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir,
ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah
dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke
tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang
menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari
lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar
darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh.
Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati
ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati,
kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan
mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan
diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang
menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang
Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang,
berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang
semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya,
oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi
hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa
bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran
Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian
itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi
dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya – memang menuntut
jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan
kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi sufisme di Tanah
Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti
Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar
mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh
seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil),
serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1)
Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia
[ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah
yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai
pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat
manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia
menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani
manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara
menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai
pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan
Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku
angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg
disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati,
Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal
tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar
sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana,
tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak
terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian
alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran
atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling
terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng.
Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII
yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai
dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada
halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian.
Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua
angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan
dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis
jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab
setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung
lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah
pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti
Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana
batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran
tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh
Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka
demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa
disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus
ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya
dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar
tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale
(tempat manunggalnya) Allah.
c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k. Imannya jinabat, maksudnya adalah
jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning
(bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o. Imannya nur, maksudnya adalah jangan
ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat
berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka,
‘arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin,
belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua,
itu berkumpul di pucuknya jantung yang disebut alam kiyal (‘alam
al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung
yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti
kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal
pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma af’al, yang disebut alam
arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal
jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan
panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling
Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai
khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia
adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan
kodrat yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki
wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui
tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme
Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil
“dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin
utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan
keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari
sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang
dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya
Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah
dalam diri pribadi masing-masing.
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:
Adapun yang menjadi maksud:
a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c. Ma’rifat, penglihatan roh.
d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e. Akal, pembicaraannya roh.
f. Niat, pakaremaning roh.
g. Shalat, menghadapnya roh.
h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut
mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh
Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid
dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, ma’rifat,
qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat,
shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar
semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga
masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh
kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna
keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan
pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
DUA PULUH DUA
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat
bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah.
Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan
eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka
jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya,
penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh
Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh
sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat
yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian
pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa,
adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut
kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak
merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha
Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar
mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui
letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia
menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar
mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep
utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi
ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau
bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan
bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam
mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid
serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa
kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti
Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan
Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas
ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas,
ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya
hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa
ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga,
hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat
menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir
dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air
kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan
sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh
Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya
adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian
dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa
(kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak,
yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan
sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan
energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata,
bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang
diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala
Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri
manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian
hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar
bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat
tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang
teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan
kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang
bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat
Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata
penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal,
keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal
sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat
sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena
perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada
dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena
kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau
persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu
ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat
diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia
yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan
al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian
di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu
selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah
syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa
syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal
harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi
tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat.
Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika
(menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal
tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki
relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati.
Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat
biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya,
sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana
tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah),
bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian,
maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur
secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma
badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah,
Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang
berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai
takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak
ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang
agung dan dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan
Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang
tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan
“syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan
jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain
adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat
Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan
menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan
selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya
adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia
adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa
kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif,
dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan
sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan,
dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam
pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan
kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup.
Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana
kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at
sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam
menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka
pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis
kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian
dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas
yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam
ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang
belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di
atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar
dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu
lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan
dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu
(Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian
itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati,
hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang
menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya
kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya
yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah
ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat
netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya
tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana
syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni
ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah,
“la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan
halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses
sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya,
seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam
keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan
kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama
dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya,
tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha
illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa
tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu
menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat
lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah
mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan
Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga
bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda
manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama,
ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak
mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut
hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam
bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek
adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek
diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan
Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang
tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika
seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab
batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek
masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim
adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam
keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah
berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar,
dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan
diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut
Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal
dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang
Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan
ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan
balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di
atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah
penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif
adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi
pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan,
sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para
muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh
ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti
ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati
penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti
ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku
yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap
dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah,
sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh
puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah,
cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Shalat Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku
lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat
shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan.
Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa,
di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril),
memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang
shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng
weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak
hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah,
sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe
ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang
menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam
nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat,
angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang
shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah,
sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku
lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati
ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan
Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang
shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah,
sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun
shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe
ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa,
sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala
Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang
menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam
gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa
adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan
kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang
shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap
dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah,
sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam
Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena
Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku,
sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e. Duduk di antara dua sujud dengan doa,
“langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah
yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis
hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala
sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun
kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung,
ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at,
namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam
dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran
Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau
shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri
dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak
semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta
ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab
Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri),
bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan
bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa
sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan
merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh
karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan
kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan
benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya,
bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu
penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama,
yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang
sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti
Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan
Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan
tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada
point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang
tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang
melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan
mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan
siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS.
Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan
bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya
khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh
akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan
tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap
kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan
diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah;
(5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah
yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa
yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk
berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan
esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan
agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan
khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat
hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu
adalah al-Islam, penyerahan diri <Wong Jowo ngomonge’ Pasrah
Bongkoan>. Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham
qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’
bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan
meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika
Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model
shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 38-39>.
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa
syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau
“wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat
amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi
atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes
palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu
semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh”
atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar
adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah
mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu.
Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat
melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena
pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan
hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau
kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi
alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan
syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan
tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan
berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah
gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah
shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah
merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk
ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan
profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang
Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti,
termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah
pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu
bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini
menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari
teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah,
ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan
pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian
langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh VII Asmarandana, 50-51>.
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan
hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia
dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan
dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi
manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti
Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi
akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi
penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan
proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat
Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan
menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan
dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah),
bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi,
politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi
Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya
sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan
menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta
perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin
menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia
tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai
akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga
pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” <Kitab Mantra Yoga, hlm. 63>.
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas
sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan
multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut.
Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang
bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah,
yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah satu sumber
pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah sukma (roh di
kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu
diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang
disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah
bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut
akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan
tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan
tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), “aku
ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang
disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang
murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah
dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” <Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 42-44>.
Menurut Syekh Siti Jenar, baik
pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya
yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul
Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu, dan
akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat
Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang menunjukkan semua
budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi dan budi
dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak
terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah
hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon, Sang Wajibul
Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga nama tidak
perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan
Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” <Suluk Wali Sanga R. Tanaja, hlm. 44, 51>.
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar
tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai
makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Sekurangnya kedua hal
itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama akan mengalami
kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh
Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik,
“Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab
bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam jiwa raganya merupakan
wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam semesta. Itulah
sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya
jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri
dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat
Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang
dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot,
darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang
pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman
kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan
rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan
Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an
dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al
digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 182-283>.
EMPAT PULUH DELAPAN
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar. <Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 26-27>.
Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap
mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag
manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai tempat
masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman itu
disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing,
dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan
ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan
pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh
Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang berarti
pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik
Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir
kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak
menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat
dan makna historis).
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” <Serat Syekh Siti Jenar, Sinom, Widya Pustaka; hlm. 25-26 bait 30-36>.
Syekh Siti Jenar menyatakan secara tegas
bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal yang selalu
tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa
manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru sesudah
ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan
ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok
mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zotmulder;
364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat badan
wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan
kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi, pikiran,
angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat
dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih,
bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang
siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain.
Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk
akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan
citranya.” <Serat Syekh Siti Jenar, Ki Sasrawijaya, Pupuh III :
Dandang Gula, 27-28; Falsafah Sitidjenar, hlm. 33>.
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia,
saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan
sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali
saja.” <Pupuh XIII Sinom, 29; Falsafah Sitidjenar, hlm. 34>.
Ini adalah pandangan Syekh Siti Jenar
tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti Jenar, sumber
ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera, akal-nalar,
dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak bisa
dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang yang
sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya, konsistensi dengan
pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa baginya Muhammad
bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan ajaran Islam
secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi apa-apa,
kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar menjadikan
Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif. Dalam
memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa syafa’at
tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian hari.
Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan
dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan
asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya
untuk diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan
rasa. Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang
Cahaya. Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling
Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar menghubungkan antara
alam yang diciptakan Allah, dengan konteks kebebasan dan kemerdekaan
manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan manusia. Segala sesuatu
harus berlangsung dan mengalami hal yang natural (alami), tanpa
rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka ketidakmauannya
memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah milik Dirinya
Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak mengelola
alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia bersama.
Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan atas alam.
Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus dimiliki
secara kolektif.
Dari wejangan Syekh Siti Jenar tersebut,
juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta adalah tajaliyat
Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam yang kemudian
memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab segala sesuatu
yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama, termasuk nama
Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh manusia. Dan
nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik Nama yang
sesungguhnya. <Untuk sejarah pemberian nama Tuhan, lihat buku Karen
Armstrong, The History of God: The 4.000 Quest of Judaism, Christianity
and Islam. New York: Ballatine, 1993>. Maka memang nama itu perlu,
namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun
halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak kecuali dzat Allah
yang tidak rusak. <Sang Indrajit, Wedha Mantra : 1979, Bab 203, hlm.
51>.
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari
Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi salah satu
sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi”
lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa wajhahu” (Segala
sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya (penampakan wajah
Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti
Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag akan hancur
mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti
“illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah satu inti
dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka
kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur
Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling berdiri
sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur Muhammad dan
malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini berhubungan erat
dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada
manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan sebagainya) akan
dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah, maksudnya adalah apakah
dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal dengan Allah atau
tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui orangtua, adalah
sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian dunia, roh berada
dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” <Suluk Syekh Siti Jenar, I, hlm. 292>.
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau
mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan tidak memiliki
apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya
tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah berhasil
Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis
Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu
antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang bisa
‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena
semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa
‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik
(penempuh jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni
Allah Yang Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal.
Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat
menuju kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan
keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia
berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya itu
di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya
dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata maka kita akan semakin
buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada
diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau tidak bisa melihat
cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat
denganmu.” <Suluk Syekh Siti Jenar, II, hlm. 246-248>.
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat
berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh
Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah
pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan
pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan
makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang memandang
kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar
jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya karena perilaku
serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat adalah bahwa
para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga
apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam
wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam
pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia yang manunggal
dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu
diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut,
namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau
af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita
harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian naskah-naskah Jawa
Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan
pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,”
serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya
Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan pernyataan tersebut, hanya
anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah yang sebenarnya. Dan itu
merupakan bentuk penggambaran ajaran anunggaling Kawula Gusti yang
salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar,
yang ada hanya Allah,” memang benar adanya. Namun pernyataan kedua, “di
sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar,” tidak bisa dianggap
benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti
bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi
Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini.
Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih
naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan
kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh
Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang
sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang
ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi
shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan
dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan
dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur
tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian
alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat
pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga,
hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar,
orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di
sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti
budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya
tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak
tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah
wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir
dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan
adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap
Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya
kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun
demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu
ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid
berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap,
bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20>.
“Tiada usah merasa enggan menerima
petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu
menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak
ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa
sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu
setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya
berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti
kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada
wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan,
sebab itu palsu.” <Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh
XI Pangkur, 25-36>.
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan
ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami
dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya
orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan
menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan
menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang
dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum
tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan
kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya
sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal
kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih
mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya
dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang
sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni,
membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena
itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan,
dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling
mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi,
salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha
Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak
dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan
waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam
pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima
yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan
menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif
adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah.
Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak
bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada.
Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal
rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada
yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi
wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu
alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat
Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain,
karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu
ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan
pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat
itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu.
Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan
cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh
kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal,
napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud
pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha
illallah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 4>.
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui
ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap
siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan
angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya
belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar
biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam
angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya
tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang
hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di
dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan
keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu
dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati.
Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul,
saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat
dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain.
Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba
campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
<Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula,
29-31>
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar,
di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini
tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah
ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi
Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di
mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya
orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak
tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah,
mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” <Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 8-18>.
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa
Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam
semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang
berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada
berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam
semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam
semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya
kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru,
berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya
di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit,
sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat
tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali
kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja
uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga :
berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa
itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat
berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus,
rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba
uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa
kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat
dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga
dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu
atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba
berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari
kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid
Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka
untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka
bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah
memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu
(Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu
baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah
manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam
Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul
manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka
tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang
menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini
sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan
mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba
Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai
lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya
dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah
segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan
para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan
berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan
harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta
diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad
sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang
dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut
pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada
patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi
ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar
dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana
sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa,
kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah
makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih
manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat
sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan
mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka
agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka
masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang
yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga
mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan
demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai
jawaban atas empat pertanyaan paduka.”<Serat Syaikh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45>.
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang
pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo
(1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat
dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa
pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua
itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia
itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara
yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
<Ajaran Syekh Amongraga itu sebenarnya meliputi semua tindakan
manusia di dalam menyelami kehidupan di bumi ini, yang disebut Syekh
Siti Jenar sebagai alam kematian. Dalam memahami 20 ajaran tersebut,
hendaknya jangan terjebak dalam segi kontekstualnya saja, namun
hendaknya diselami dengan segenap nalar dan rasa batin.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu sejati yang
berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya
pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka
seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang
salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman
dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang
seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan
manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi
khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah
kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah
ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap
berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita,
Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya,
Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari
tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi
misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata
keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi.
Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum
berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk
ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang
berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad
dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya,
roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya
satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih
dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah.
Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang
Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika
menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah
Allah.” <Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu
yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda,
mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia
diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat
raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar
dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena
kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat
‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah
mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari
kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah
sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang
melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa
masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang
memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah
dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada
wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada
Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka
Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan
shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya
berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan
ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan,
dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi
Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno
yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat,
Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh
mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga
raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi
Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga
disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya
bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa
merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa
wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat
‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan
malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.”
<Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2>.
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk
Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin
dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik
dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat
maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia
ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar
atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya
sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat
sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi
bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha
Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi
adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama.
Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang
kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari
perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang
berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya
adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya
adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih
perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang
disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya
kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora.
Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan
perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan
tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah
dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi
itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi
napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik
menarik secara ghaib.@tentang anasir
No comments:
Post a Comment