أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Seorang arif yang sebenarnya pastilah seorang yang memiliki semangat juang dan seorang mudafi’ (pembela agama), dan pejuang Ilahi pastilah seorang arif. Sebab, tiada perang membela agama tanpa makrifah. Irfan dan Asma al-Husna Allah tidak akan mewujud tanpa daya tarik dan daya tolak, tanpa tawalli (cinta) dan tabarri (benci).
Jelas, hubungan keduanya ada di dalam keagungan kalimat-kalaimat urafa Ilahi
(para ahli irfan). Dalam pengertian, bahwa doa mereka mendambakan
syahadah dan berjuang di medan pertempuran. Kebanyakan, doa Imam Ali,
Imam Husain dan Imam Sajjad menukil tentang masalah ini. Sementara,
sebagian orang malah berharap agar mereka selamat dan tetap hidup, doa
Imam Ali dan para Imam adalah, “Ya Allah, berilah taufik syahadah kepada kami.” Di sini terbentuklah persatuan irfan dengan hamasah. Yakni, memohon kepada Allah untuk dapat melakukan difa’ dan membela agama-Nya.
Akhir kalimat dalam surat Imam Ali kepada Malik al-Asytar (panglima perangnya) adalah, “Aku
memohon kepada Allah, agar Dia menutup usia saya dan usia Anda dengan
kebahagiaan dan syahadah, dan kita akan kembali kepada-Nya.”
(Nahjul Balaghah). Saat itu, Imam Ali sebagai pemimpin tertinggi sementara Malik al-Asytar adalah panglima pasukan yang diutus ke Mesir. Dalam surat itu, Sayyidina Ali memberikan nasihat untuk Malik yang bertugas di Mesir, yang diakhiri dengan ajakan untuk meraih syahadah.
(Nahjul Balaghah). Saat itu, Imam Ali sebagai pemimpin tertinggi sementara Malik al-Asytar adalah panglima pasukan yang diutus ke Mesir. Dalam surat itu, Sayyidina Ali memberikan nasihat untuk Malik yang bertugas di Mesir, yang diakhiri dengan ajakan untuk meraih syahadah.
Seorang pengabdi dalam nizham’alawi
(pemerintahan Ali) adalah orang yang berbahagia dan syahid. dan
kebahagiaan yang diharapkan bukanlah keselamatan duniawi, sebab ini
bukanlah jalan Malik, juga bukan karakter Ali. Kebahagiaan dimaksud
adalah syahadah. Tiadanya kesedihan sedikit pun dalam menghidupkan agama
hingga mencapai syahadah adalah kepribadian Malik Asytar dan paham Ali
bin Abi Thalib. Bisa saja bibir menyebut nama Ali, tetapi hati menyebut
yang lain. Ketika nama dan zikir tentang Ali ada dalam hati, maka hati
akan merindukan syahadah, seraya berkata, “Ya Allah, di saat Islam
dalam bahaya dan adanya keharusan membela agama, maka mati lantaran
sakit adalah kehinaan, bangkai. Aku siap menjadi syahid. Pabila
maslahatnya demikian, maka syahidkanlah aku. Jika tidak, maka akan aku
umumkan kesiapanku.”
Imam Ali berkata kepada Malik Asytar, “Saya
tidak takut akan syahadah, Anda juga tidak takut akan syahadah. Orang
yang takut akan syahadah, tidaklah pantas memerintah dalam Islam. Orang
yang takut akan syahadah, tidaklah tepat memimpin pasukan di Mesir. Saya
memohon kepada Allah, agar akhirt hayat Anda (berada) dalam husn
al-khatimah.” Inilah kalimat terakhir dalam surat Imam Ali tersebut.
Kini, kita
sampai pada pembahasan mengenai putera suci Imam Ali, Husain bin Ali.
Beliau telah menapaki makrifah yang terkandung dalam Doa Arafah tentang
tugas di medan laga Karbala. Orang-orang yang diseru ke Karbala adalah
mereka yang memiliki pemikiran tentang hamasah keirfanan dan irfan kejuangan. Imam Husain tidak mengajak zahid (yang ibadahnya karena surga) dan abid (yang
ibadahnya karena takut neraka) ke Karbala. Mereka yang beraroma zuhud
dan dan ibadah-tandus, bukanlah insan yang memiliki “spirit” Karbala dan
bukanlah revolusioner Islami.
Ketika mengumpulkan pasukan Karbala, apa yang Imam Husain sampaikan? Pertama, mengumumkan bahaya yang datang menjelang. “Agama dalam marabahaya,” ucap beliau.
Kedua, menjelaskan syarat keikutsertaan bangkit bersama beliau. Imam Husain tidak mengatakan, “Setiap muslim harus datang, setiap zahid, setiap abid harus ikut serta.” Sebab, darah orang-orang seperti mereka tidak akan mampu menghancurkan tatanan kekuasaan Bani Umayyah.
Sebagian sahabat Nabi SAW yang masih hidup di zaman putera beliau (Imam Husain) berkata, “Dengan usia kami yang sudah uzur ini, kami tidak akan mampu membunuh, bahkan akan gampang terbunuh.”
Kalau kita perhatikan peristiwa Karbala yang terjadi 50 tahun setelah
Nabi SAW wafat, tentunya sahabat yang berusia 50 tahun di masa hidup
Nabi SAW, maka di zaman bangkitnya Imam Husain, usianya pasti telah 100
tahun. Seorang sahabat yang masih hidup dalam kondisi seperti itu,
sangatlah beruntung. Orang-orang yang hidup di masa itu tahu bahwa di
sebuah daerah terdapat seorang tua yang hidup sezaman dengan Nabi SAW
dan memperoleh kehormatan dengan julukan sahabat Nabi SAW. Dia adalah
Anas al-Kahili. Di Karbala, ia menghadap Imam Husain dan berkata, “Izinkanlah saya mereguk syahadah.”
Imam memberinya izin dan ia meminta dua potong kain (kepada beliau). Ia
kemudian mengikat pinggangnya dengan kain yang satu dan kepalanya
dengan kain yang lain, agar ia dapat melihat apa yang ada di hadapannya.
Pribadi yang demikian itu adalah orang yang mewarisi nilai-nilai Karbala.
Selama kurang lebih 14 abad, setiap kekuatan zalim yang muncul dan berperang melawan (orang-orang yang memiliki) hadaf
(tujuan) Karbala, pasti akan hancur. Terkadang, mereka berperang atas
nama Al-Husain, terkadang dengan semangat berapi-api, atas nama
kebangkitan dan tujuan Al-Husain. Banyak sekali orang yang telah
melakukan peperangan, mereka membunuh dan terbunuh. Tetapi nama mereka
terkubur dalam buku sejarah. Peneliti sejarah harus membuka halaman demi
halaman buku sejarah. Setelah banyak halaman terbaca, ia baru dapat
menutupnya dan menarik kesimpulan darinya. Namun, semangat perjuangan
Karbala senantiasa menjadi nominasi dalam sejarah, sebab orang-orang
biasa tidak dapat menciptakannya.
Sirah Imam
Husain seluruhnya adalah irfan. Dalam Doa Arafah, berkenaan dengan sifat
dan kriteria para pejuang (Islam), Imam berkata, “Saya akan berangkat dan (saya) membutuhkan pertolongan. Namun, tidak (dari) setiap orang, melainkan hanya golongan khusus.” Dan, “Hendaklah orang-orang mukmin benar-benar menyenangi perjumpaan (dengan) Allah.”
Orang yang rindu akan liqa
(perjumpaan dengan) Allah, bila mengangkat senjata (berperang), itu
bukan lantaran takut akan neraka. Sebab, seorang penakut neraka,
tangannya bisa saja gemetaran manakala melihat api menyala yang akan
membakar tubuhnya (di dunia ini). Dan, seseorang yang ke medan laga
Karbala, karena ambisi surga, kakinya akan gemetaran saat melihat bahwa
setelah kematiannya, keluarganya akan ditawan dan rumahnya akan
dirampas. Adapun, seorang yang mendambakan liqa Allah, tidak
hanya hatinya tidak akan goyah, tangan dan kakinya tidak akan gemetar,
bahkan ia juga akan mengajak orang lain berbalut keteguhan.
Di Mekkah, Imam Husain mengumumkan kebangkitannya kepada umat, “Sekarang,
bukanlah saat (yang tepat) untuk berhaji, meskipun ini bulan haji. Saya
menetap di sini mulai bulan Syawal, Dzulqaidah hingga sekarang, 8
Dzulhijjah. Pada tanggal delapan Dzulhijjah ini, di Mekkah, para jamaah
haji memakai pakaian ihram dan mereka berjalan menuju Arafah. Adapun
saya, sebagai Imam Nathiq (yang berbicara), mengatakan bahwa sekarang
bukanlah waktunya (untuk wukuf) di Arafah dan Mina.sekarang ini, tidak
seharusnya (kita) pergi ke Mina, menyembelih kurban unta dan kambing.
Sekarang ini, seharusnya kita pergi ke Karbala dan memberikan darah
kita.”
Singkatnya,
semua orang menyaksikan bahwa Husain bin Ali (waktu itu) tidak
melaksanakan haji. Dalam ceramah beliau di hadapan khalayak, beliau
berseru, “Wahai umat , besok pagi saya akan berangkat ke Irak, saya
merindukan kematian. Saya tegaskan kepada kalian bahwa kematian adalah
hiasan pada leher dan para lelaki Ilahi.”
“Maut
telah digariskan bagi anak Adam bak kalung melingkar di leher seorang
dara. Saratnya kerinduan untuk bertemu dengan para pendahuluku, bagaikan
kerinduan Ya’qut kepada Yusuf dan, apa yang akan kualami adalah bagian
yang terbaik. Aku dapat melihat tubuhku yang tercabik-baik oleh
serigala-serigala padang pasir, antara Nawawis dan Karbala.”
Imam Husain
pertama sekali menggambarkan maut seraya berkata, “Jangan mengira bahwa
saya tidak mengetahui apa yang akan menimpa kepala saya. Di Karbala
telah tersedia makam untuk saya, dengan penuh kesadaran saya akan
melangkah ke sana. Dan, di sana saya dapat melihat potongan-potongan
badan saya yang dikoyak-koyak serigala-serigala gurun Karbala. Dan
orang-orang yang pergi bersama saya, hadaf mereka adalah liqa Allah, (Yang ada) dalam benak mereka hanyalah liqa Allah.
Imam Husain mengutarakan itu secara resmi di Mekkah, di hadapan khalayak, yang juga dihadiri mata-mata bani Umayah, “Barangsiapa
yang siap mengorbankan jiwa raganya demi kami dan ingin segera berjumpa
dengan Allah, bersegeralah bergabung bersama kami. Sebab saya akan
segera berangkat, insya Allah.”
Imam Ali sebagai seorang arif Islam pertama, dalam suratnya kepada Malik Asytar, pernah mengatakan, “Saya memohon kepada Allah, agar Dia menutup usia saya dan panglima pasukan saya dengan kebahagiaan dan syahadah.” Dan, Apabila puteranya, Husain bin Ali adalah pribadi hamasah
universal, maka tidak hanya doa irfannya saat di Arafah yang nampak,
tetapi juga khutbahnya di Mekkah dan ajakannya pada perjuangan (jihad).
Sayyidina Ali berkata, “Sesungguhnya, semulia-mulia kematian adalah terbunuh di jalan Allah.” Dan ini bertolak pada sabdanya, “Allah mewajibkan jihad untuk keagungan Islam (dan muslimin).” Kita melihat bahwa kini, Islam telah mencapai arus besar izzah.
Semua ini berkat darah para syuhada, berkat pengorbanan para pejuang
Islam. Bila ada orang yang menolak kenyataan ini, maka untuk menjelaskan
kepadanya, Sayyidina Ali berkata, “Jihad paling awal yang (harus)
kalian utamakan adalah dengan tangan kalian, kemudian dengan lisan
kalian, lalu dengan hati kalian. Barangsiapa yang tidak pernah
memutuskan sesuatu dan tidak (mau) mengingkari kemungkaran, ia akan
dibalik keadaannya, yang di atas menjadi ke bawah dan yang di bawah ke
atas.”
Alam
pemikiran akan selalu ada. Hingga sekarang pun jalur pemikiran Imam
Husainmasih hidup. Dan menangisi seorang syahid akan melahirkan
kerinduan pada syahadah. Sebab, menangisi seorang syahid menghidupkan
jiwa perjuangan dalam diri seseorang. Orang yang berjiwa Husaini tidak
akan melakukan kezaliman dan anti kezaliman. Pemikiran zalim dan
tindakan pro-kezaliman menunjukkan kosongnya jiwa Husaini dalam diri
mereka. Karena itu, tidak mungkin seorang pecinta Rasul dan Ahli Baitnya
yang khusus akan memiliki pemikiran yang zalim dan pro-kezaliman. Orang
yang pro-kezaliman adalah seorang umawi (berjiwa Umayah). Orang yang berbuat zalim adalah seorang umawi.
Sebab, manakala berkuasa, mereka akan berbuat zalim, dan manakala
tidak, mereka akan mendukung kezaliman. Oleh karenanya, pada hari kiamat
kelak, setiap manusia akan dipanggil dengan nama imam mereka : “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al-Isra : 71)
Pribadi zalim berada pada barisan umawiyin. Apabila kita ingin memahami jalan pemikiran Husain bin Ali atau jalan pemikiran umawiyin,
maka kita harus menengok ke dalam diri kita, adakah kita
pro-kesewenang-wenangan atau tidak? Jika kita melihat keburukan dalam
diri, maka kita harus mengubah dan memperbaharui akhlak kita.
Di malam Asyura, Sayyid al-Syuhada, setelah mengumpulkan semua sahabatnya, berpidato dan menyempurnakan hujjahnya kepada mereka, “Umawiyin
hanya berurusan dengan saya, tidak dengan kalian. Kalian adalah sahabat
yang paling setia. Namun, di sini, di tempat ini, tiada sesuatu yang
lain kecuali kematian dan syahadah.” Sebab, seluruh tanah ini penuh dengan kaki-tangan umawi. Partisipasi orang-orang dalam pasukan umawiyin adalah lantaran (mudahnya mereka) termakan propaganda buruk.
Imam Husain berkata, “Barangsiapa
yang tetap tinggal di sini, ia akan mati syahid! Termasuk, bayi saya
yang (sedang) menyusu ini, ia juga akan terbunuh.” Qasim bertanya, “Wahai paman, apakah mereka akan menyerang kemah-kemah (kita)?” Imam menjawab, “Selama aku masih hidup, tidak akan!” “Wahai paman, apakah mereka akan mensyahidkan saya?” tanya Qasim. Imam balik bertanya, “Menurutmu, apa kematian itu?” Qasim menjawab, “(Sesuatu yang)lebih manis dari madu!” Semua ini adalah semangat juang keirfanan, yakni syahadah bagi Qasim adalah lebih manis dari madu. Kemudian Imam Husain berkata, “Benar, mereka akan mensyahidkanmu.”
No comments:
Post a Comment