أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
DIMENSI MISTIS Kebangkitan asyura (2)
Ayatullah Jawadi Amuli
Misi Al-Husain yang Universal
Sebagaimana
yang telah disinggung bahwa pengaruh misi Al-Husain begitu besar dan
luas. Ia diperjuangkan tidak untuk zaman tertentu. Dalam beberapa
kesempatan beliau mengingatkan kita : “Selama kepemimpinan umat dipegang
oleh manusia seperti Yazid, maka diucapkanlah selamat tinggal kepada
Islam, karena setelah itu tidak akan ada lagi yang namanya Islam”
(kalimat al-imam Husain:284). Sebelum, seketika, dan setelah kesyahidan
beliau serta peristiwa Karbala. Beliau hendak menegaskan bahwa kapanpun
pemimpin umat Islam memiliki kesamaan dengan Yazid, saat itu pula Islam
berada dalam bahaya serius.
Peringatan
Husain di atas tadi secara langsung berhadapan dengan keluguan cara
piker setiap orang yang mengatakan, “Agama itu tidak ada hubungannya
dengan politik, kita menerima agama tapi tidak usah
menghubung-hubungkannya dengan urusan politik.” Peringatan Husain itu
tepat menusuk anggapan para politisi yang percaya bahwa
“Kami sangat memerlukan umat Islam dan agama mereka, dan kalau anda
seorang mufti maka berilah fatwa yang sesuai dengan kehendak kami,
sampai anda mengakui bahwa semua perilaku kami sesuai dengan perintah
agama Tuhan.”
Peringatan
Husain itu juga secara keras menegur mufti ataupun tuan Syarih Qadhi
(hakim agung) yang menyatakan bahwa Islam tidak punya urusan dengan
politik, padahal mereka sendiri melibatkan diri dalam politik. Mereka
siap mendengarkan tawaran penguasa supaya mengeluarkan fatwa sesuai
dengan seleranya dan menyaksikan Al-Husain terbunuh, sehingga rakyat
terpanggil hadir di padang Karbala.
Imam
Husain ‘penghulu para syahid’ tidak mengatakan : “Apabila Yazid menjadi
pemimpin umat, maka diucapkanlah selamat tinggal kepada Islam”, tapi
beliau mengatakan : “Jika suatu saat ada seorang seperti Yazid yang…”.
Disini, bukan sosok Yazid yang dimaksudkan, tapi kepemimpinan manusia
seperti Yazid. Maka itu, peringatan di atas merupakan kaidah yang
berlaku pada tiga zaman yang berbeda; pra-Karbala, era-Karbala,
pasca-Karbala. Pra-Karbala mengacu pada kekuasaan Muawiyah, era-Karbala
mengacu pada kekuasaan Yazid, dan pasca-Karbala mengacu pada kekuasaan
manusia seperti Marwan Hajjaj, dan sejenisnya.
Ditempat
lain, Imam Husain menyatakan : “Orang sepertiku tidak akan membaiat
orang seperti dia (Yazid)” (Majlisi, Bihar al-Anwar, jil. 44:325). Dalam
pada itu, Ahlulbait Nabi merupakan perwujudan cahaya yang satu, tidak
seorang pun dari mereka membaiat penguasa zalim dizamannya, tidak ada
satu pun dari mereka yang mengakui kedaulatan penguasa seperti : Bani
Umayyah, Bani Marwan, Bani Abbas.
Ucapan dan pendirian Imam Husain menyingkapkan kepribadian beliau sebagai “manusia ilahi.” Beliau mampu
menatar tiga generasi sekaligus; tidak hanya manusia dizamannya, tetapi
juga umat manusia yang datang sebelum dan setelahnya. Dengan kata lain,
kepedulian al-Husain telah menundukkan lompatan zaman.
Manusia-manusia
Ilahi itu sangat peduli pada kehidupan para pendahulunya. Dari sisi
lain, mereka pun amat peduli pada diri mereka sendiri dengan melakukan
banyak perbuatan baik, tanpa mengurangi perhatian mereka yang besar pada
kesalehan generasi penerus; “dan berilah kebaikan (shaleh) kepada anak
cucuku”. Dengan begitu, mereka berharap nama mereka tetap terjaga
sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang.
Ala
kulli hal, semua ucapan Imam Husain as menunjukkan bahwa kebangkitan
beliau merupakan sunnatullah, bukan masalah pribadi, karena di dalamnya
beliau menggunakan kata-kata “seperti dirinya” dan “seperti Yazid”,
bukan “diriku” dan “diri Yazid”. Jelas bahwa misi yang diangkat oleh
perlawanan beliau di Karbala tidak dilingkungi keterbatasan waktu. Misi
Al-Husain selalu hidup, baru, dan relevan dengan tiga penggalan zaman
sekaligus; lampau, sekarang dan mendatang.
Memahami Arti Kehidupan dan Kematian
Dari
sekian misi perjuangan Imam Husain yang paling menonjol di Karbala
ialah usaha memisahkan kebenaran dari kebatilan, ketulusan dari
kebohongan, kebaikan dari kejahatan, kemuliaan dari kehinaan, kepekaan
dari kebebalan, kesaksian dari kebutaan, dan kesadaran dari kebodohan
yang semuanya berkisar pada satu titik; pembedaan kehidupan dari
kematian.
Setiap
manusia mesti komit pada nilai-nilai di atas, sebab kalau memang mereka
mampu memilih dan memutuskannya, tentunya mereka pun akan mengusahakan
ekstensi dan aktualisasi yang sesuai Jika tidak, mereka akan dijebak
oleh fallacy (kesalahkaprahan) dalam bertindak. Semua orang ingin tahu
mana itu yang disebut dengan kebenaran dan mana itu realita kebatilan.
Seketika mereka tahu demikian ini, secepat itu pula mereka akan menerima
kebenaran. Semua orang ingin tahu mana itu kejujuran dan mana itu
kebohongan, sehingga mereka bisa menjadi orang jujur dan berusaha
menghindari kebohongan. Dan, semua orang ingin tahu mana itu kemuliaan
dan mana itu kehinaan, sehingga dengan pengetahuan itu mereka bisa hidup
mulia dan berusaha menjauhi kehinaan hidup.
Pada
dasarnya, semua itu mengacu pada kematian dan kehidupan. Maka,
sesungguhnya semua orang ingin tahu apa itu kematian dan kehidupan.
Jelas bahwa nilai-nilai di atas adalah serangkaian konsep yang gamblang,
di mana setiap orang menganggap begitu mudahnya mengartikan makna
nilai-nilai tersebut, tanpa memerlukan lagi arahan konseptual lainnya,
sampai merekapun yakin akan berhasil menentukan ekstensi dan
aktualisasinya di luar. Secara umum, anggapan demikian ini ada pada
setiap manusia, apakah ia penguasa maupun rakyat biasa.
Dalam
hal ini, penguasa akan mengatakan bahwa kebenaran itu ada padaku,
kebijakanku pasti benar, dan akulah manusia mulia, baik hati, arif dan
tanggap. Sementara rakyat yang berada di kubu penentang pun mengajukan
klaim-klaim yang sama. Di sini, tampak sekali betapa sulit bagi sebagian
orang menentukan perkara-perkara tersebut. Maka itu, jalan terbaik guna
mendapatkan kepastian tentangnya ialah kembali kepada sumber otentik,
yaitu Al-Quran dan Ahlulbait sehingga kita dapat mengambil banyak
pelajaran dari mereka.
Dalam
Al-Quran, Allah SWT menyingkapkan bahwa sebagian orang yang secara
lahiriah tampil intelek, tajam pandangan, tanggap pendengaran, tapi
batin mereka ternyata bodoh, buta dan tuli. Ada orang-orang yang kita
lihat jujur dan tulus, tetapi pada hakikatnya justru mereka itu
pembohong. Menurut penglihatan kita, mereka berada di atas kebenaran,
tapi hakikat mereka itu hanya kebatilan. Pada gilirannya, Allah SWT
mengingatkan kita bahwa ada sebagian orang kita anggap hidup, padahal
mereka itu sudah mati ; “Mereka memiliki hati tapi tidak digunakan untuk
memamahami (ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata (tetapi) tidak
dipakai untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka memiliki
telinga (tetapi) tidak dipakai untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah)”
(QS. Al-A’raf : 179).
Di
ayat lain AllahSWT. Menegaskan, barangsiapa yang menghalangi jalan yang
telah ditempuh Nabi Ibrahim as maka ia tergolong manusia bodoh : ”Dan
tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang
memperbodoh dirinya sendiri” (QS. Al-Baqarah [2]:130). Maka itu, ada
manusia-manusia yang dihadapan Allah sungguh bodoh, mereka hidup dengan
segala kebodohan, sementara mereka sendiri mengira dirinya orang sehat,
berakal, intelek, berpikir jernih.
Sekaitan
dengan kebenaran dan kebatilan, kejujuran dan kebohonganpun, kembali
kita diingatkan Allah SWT : “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa
berbuat baik sebaik-baiknya” (QS. Al-Kahfi [18] : 104). Mereka adalah
orang-orang yang sibuk mengusahakan kebusukan sambil menganggapnya
sebagai keindahan.
Al-Quran
menyederhanakan nilai-nilai tersebut menjadi satu, bahwa mereka adalah
mayat, telah mati, hanya kita saja yang menganggapnya masih hidup, dan
bahwa orang-orang kafir itu pada hakikatnya hidup dalam kematian.
Kalaulah dikatakan bahwa kehidupan manusia itu dihitung dari
kelahirannya sampai diliang lahat, ini artinya kehidupan telah dimaknai
hanya dengan melihat kehidupan fisik semata, sementara jiwa atau ruhnya
telah mati. Maka dari itu, penglihatan, pendengaran, kebenaran,
kemuliaan dan kebajikan merupakan sesuatu yang tidak lebih dari bangkai
yang tidak mungkin lagi mendapatkan segala sifat-sifat kesempurnaan.
Di
sinilah Imam Husain , sesuai pentauladanan para pendahulu dan keluarga
beliau melalui pendidikan, penyucian diri dan nasehat, mampu menjelaskan
seluruh makna yang terkandung dalam nilai-nilai di atas itu kepada
segenap masyarakat. Pada saat itu, sebegitu banyak usaha-usaha meraih dukungan. Di
dalamnya para penguasa Bani Umayyah mengeluarkan pernyataan dengan
retorika mereka yang khas, begitu pula apa yang diupayakan oleh
Ahlulbait dengan caranya yang unik, mirip dengan gerakan Musa as bersama
saudara beliau, Harun as. Mereka menyikapi umatnya dengan penuh
kelembutan, sedangkan kepada Firaun, pembantu dan orang-orangnya, mereka
mengambil cara dan sikap yang berbeda.
Seperti
yang dituturkan Al-Quran, bahw Firaun acapkali menyerukan masyarakat :
“Jangan kalian pedulikan ajakan Musa, karena ia berusaha untuk
menjerumuskan kalian, dan ‘karena sesungguhnya aku khawatir dia akan
menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’” (QS.
Al-Ghaafir [mu’min]: 26).
Baik
ajakan Nabi Musa as maupun seruan Firaun, masing-masing mendapatkan
pendukung massa. Ada yang beriman dan membela Musa, ada pula yang
menerima retorika para pembantu Firaun. Dua jenis ungkapan tersebut
selalu ada pada setiap zaman baik sebelum maupun setelah zaman Nabi Musa
sebagaimana pula yang terjadi sebelum dan setelah zaman al-Husain.
Sewaktu
Husain bin Ali dalam kondisi dan situasi semacam itu, lantas beliau
melihat tak lagi kalimat maupun nasehat dapat mengubahnya. Ketika itu
beliau yakin bahwa hanya pengorbanan jiwa dan penumpahan darah sucinya
mampu menyadarkan masyarakat. Hanya perjuangan di Karbala dan peristiwa
Asyura yang mampu menunjukkan kunci permasalahan yang sebenarnya kepada
mereka.
Manakala
kunci budaya agama sudah dipegang oleh masyarakat, segera mereka dapat
membuka dan memasuki pintu sebuah bangunan budaya agama dan mereka akan
melihat perhiasan yang tersimpan di dalam ajaran-ajarannya. Dari sanalah
mereka akan menemukan aktualisasi kehormatan dan kebusukan, kemuliaan
dan kehinaan, kebebasan dan ketertindasan/ketergantungan, ketenangan dan
kebatilan, oleh karena itu penentuan ekstensi kehidupan dan kematian
sejati mengharuskan pandangan kita untuk melihat pula pembedaan akan
kejujuran dan kebohongan, kebenaran dan kebatilan, kemuliaan dan
kehinaan, kehormatan dan celaan.
Menghidupkan Amar Maruf Nahi Mungkar
Misi
lain yang diperjuangkan al-Husain ialah menghidupkan kewajiban amar
ma’ruf wa nahi munkar (menyeru kebajikan dan mencegah keburukan) serta
memulihkan semangat dan tekad masyarakat dalam menegakkan kewajiban
tersebut. Dalam surat Lukman, segera setelah menerangkan makna hikmah,
Allah SWT mengenalkan Lukman sebagai manusia yang telah menerima hikmah
dari-Nya. Allah SWT menandaskan manusia hakim (bijak) seperti inilah
yang kemudian mewasiatkan pesan-pesan bijak kepada anaknya melalui
ucapannya :
Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan maruf
(yang baik) dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan
bersabarlah atas segala yang menimpa kamu sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah (QS. Lukman: 17)
Yang
dimaksudkan maruf adalah sesuatu yang direstui oleh akal dan agama
(Quran dan Hadis). Sebaliknya munkar, yaitu apa-apa yang ilegal dan
tertolak menurut akal atau agama. Lukman berkata: “Tegakkanlah amar
maruf nahi mungkar”. Lalu beliau menekankan bahwa dalam rangka kewajiban
itu diperlukan tekad kolektif, karena kita akan menghadapi rintangan
dan kesulitan, dan untuk itu kita harus selalu menanamkan kesabaran.
Adapun maksud dari azmil umuur (perkara yang ditetapkan) ialah perkara
yang harus dilapisi itikad yang kuat dan tekad yang bulat.
Jelas
bahwa semua kerja dan usaha (sengaja) manusia didasari oleh kehendak.
Tanpa kehendak itu, ia tidak mungkin melakukan usaha apapun, meski kita
temukan pada sebagian usahanya ia mesti berpikir dan berdiskusi terlebih
dahulu untuk kemudian mengambil kebulatan tekad. Dan, kalau usaha itu
penting dan menyangkut nasib bersama, ia pun tidak mungkin
terealisasikan tanpa ada kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, bisa dipastikan usaha dan kerja ini memerlukan tekad
kolektif dari segenap lapisan masyarakat.
Amar
maruf nahi munkar bukanlah kewajiban khusus untuk kalangan pesantren,
karena kewajiban khusus mereka adalah mengusahakan pembinaan dan
pembersihan jiwa. Amar maruf nahi munkar bukanlah kewajiban utama
lingkungan akademisi, sebab kewajiban khas mereka ialah mengusahakan
peningkatan kualitas pengajaran dan pendidikan. Ia juga bukan tugas
utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena amanat besar yang
harus mereka buktikan ialah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan
generasi muda bangsa. Sesungguhnya amar maruf nahi munkar merupakan
kewajiban sosial. Untuk itu, jelas diperlukan kebulatan tekad segenap
komponen bangsa.
Amar
dan nahi berarti kesanggupan dalam menyampaikan, bukan sekadar
kepiawaian dalam beretorika dan menasehati. Bukan pula sebatas
keterampilan dalam menulis sebuah artikel. Semua itu perkara yang
sederhana dan sangat mudah. Amar dan nahi yaitu upaya menyampaikan
perintah dan larangan praktis terhadap gejala ganjil dan tidak layak
dalam sebuah lingkungan. Maka itu, sumber-sumber fikih meletakkan
masalah amar maruf nahi munkar dalam bab jihad, yang didalamnya
kewajiban berjihad tidak hanya atas kalangan pesantren, perguruan
tinggi, ataupun departemen pendidikan dan kebudayaan. Sebab, tugas utama
mereka sekali lagi berkaitan dengan ihwal peningkatan intelektualitas
dan kultur masyarakat.
Seseorang
yang tidak tahu bahwa ia telah melakukan dosa bukanlah objek amar maruf
nahi munkar. Hanya saja, ia harus diberi “pencerahan” mengenai
hukum-hukum syariat sehingga ia tahu bahwa perbuatannya itu tidak
dibenarkan agama. Disinilah tanggung jawab utama para ulama, intelektual
dan penyelenggara pendidikan dan kebudayaan.
Akan
halnya seseorang yang tahu bahwa tindakannya itu sebuah dosa dan
penyelewengan, namun ia tetap melakukannya dengan kesadaran dan
kesengajaannya, orang seperti inilah yang layak ditindak sesuai amar
maruf nahi munkar. Terhadapnya harus diambil tindakan yang tegas, yang
tentunya perlu kesatuan tekad dari segenap unsur masyarakat. Di sinilah
letaknya wajib kifayah, dimana semua anggota masyarakat sama-sama
bertanggung jawab melaksanakannya.
Setiap
unsur masyarakat, apakah ia ulama, intelektual, aparat pemerintah
urusan pendidikan dan kebudayaan, maupun rakyat sipil, semua
berkewajiban mengambil posisi dan peran sosial masing-masing. Namun,
berkenaan dengan bidang-bidang penting dalam upaya menerapkan hukum
Tuhan seperti : menegakkan hukum pidana, semestinya ditangani secara
khusus oleh ahli hukum/ dewan hakim, dan harus diusahakan dengan
kebulatan tekad bersama segenap lapisan masyarakat manakala muncul
upaya-upaya perlawanan atas supremasi hukum.
Ada
perbedaan esensial antara kewajiban amar maruf nahi munkar dan
penegakan hukum pidana. Dalam konteks amar maruf, kita harus mengajak
pelaku kepada kebaikan; dan dalam konteks nahi munkar, kita wajib
melarang perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama, kita harus
menegur pelakunya dengan mengatakan: “Lakukanlah perbuatan baik ini!”
atau “Tinggalkanlah pekerjaan buruk itu!”
Namun,
dalam konteks penegakan hukum pidana, seorang terpidana akan dijatuhi
hukuman dan dipertanyakan kepadanya: “Mengapa Anda lakukan tindakan
jahat itu?” Penegakan hukum ini adalah tanggung jawab para aparat
pengadilan syariat Islam.
Sementara
amar maruf nahi munkar merupakan tugas setiap individu, bukan hanya
tugas seorang hakim. Oleh karena itu, pertanyaan seperti : “Kenapa
perbuatan munkar itu kau lakukan?” adalah bukan hanya tanggung jawab
para aparat kehakiman, tetapi perintah untuk melakukan ataupun
meninggalkan suatu perbuatan terkait dengan kewajiban amar maruf nahi
munkar itu amat bergantung pada tekad seluruh komponen bangsa.
Rasulullah
SAW pernah bersabda: “Tidak seorangpun di dalam masyarakat Islam ini
dibenarkan lari dari tanggung jawab yang harus ia pikul”, sehingga
dengan seenaknya ia mengatakan : “Apa urusannya denganku?”, atau hendak
merusak tanggung jawab orang lain dengan mengatakan : “Apa urusannya
denganmu?”, atau membela diri bahwa, “Bukankah aku bermaksiat dengan
hartaku sendiri, dan aku sendiri yang kelak akan menanggung segala
resiko buruk dan balasan siksa”.
Sesungguhnya
Rasulullah SAW hendak menegaskan bahwa tanggung jawab kolektif itu ada
karena manusia membawa sisi sosial. Dan, untuk menjelaskan ketetapan
eksistensinya kepada masyarakat bukanlah merupakan perbuatan yang mudah,
adapun sisi sosial yang terdapat pada setiap individu bisa dengan mudah
ditetapkan. Karena manusia, selain memiliki sisi individual, juga merangkap sisi sosial. Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa manusia selalu tergantung pada selainnya.
No comments:
Post a Comment