أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Rahasia Menyucikan Diri
“A learned man who is not cleansed is more dangerous than an ignorant man.” [Imam Khomeini qs (1900 - 1989)]
Imam Khomeini, pemimpin spiritual Islam, pernah mengatakan, ”Seorang terpelajar yang tidak bersih (hatinya) lebih berbahaya ketimbang seorang jahil” 81]
Penyucian diri merupakan tema sentral dari semua agama. Ia tidak saja merupakan gagasan agama tetapi juga merupakan fitrah dari kehidupan itu sendiri. Ini dapat kita lihat dalam beberapa bentuk dalam kehidupan setiap makhluk hidup. Burung memiliki kecenderungan membersihkan bulu-bulu dan kaki-kakinya dan mencari tempat yang bersih untuk ia naungi.
Kecenderungan ini dalam kehidupan manusia lebih nyata dan jelas. Bahkan bagi manusia, tidak saja menunjukkan kemampuannya di dalam pembersihan fisik atau kehidupan materinya, tetapi juga di balik ini ada yang tersembunyi, sesuatu yang merupakan rahasia seluruh penciptaan dan merupakan alasan mengapa dunia ini diciptakan.
Penyucian adalah proses yang dengannya termanifestasi ritme kehidupan. Ritme yang mengoperasikan ruh selama berabad-abad di dalam mineral, tanaman, hewan dan manusia. Melalui semua pengalaman ini, sampailah ia pada realisasi dimana ia menemukan kemurniannya, kemurnian di dalam esensinya, maupun kemurnian dari semua yang dapat mempengaruhi kondisi aslinya.
Seluruh proses penciptaan dan penyibakan spiritual menunjukkan bahwa ruh adalah kehidupan itu sendiri, yang mewakili ketuhanan di dalam kehidupan, telah membuka dirinya dari lipatan yang tak terbilang jumlahnya hingga ia turun dari surga ke bumi.
Proses ini dinamakan involusi, yang kemudian disebut sebagai evolusi, atau penyibakan Esensi Ilahi dari lipatan-lipatan materi yang membungkusnya. Pembebasan ruh dari sumbatan dan balutan inilah yang disebut penyucian, dan dalam bagian kehidupan apapun hal ini dapat dirasakan.
Dari pengertian ini kita dapat memahami perkataan ‘kebersihan berdampingan dengan keshalehan’. Dalam bahasa Arab penyucian adalah Shaf yang ditarik dari akar kata Shufi. Beberapa tatanan terdahulu, Sufi disebut sebagai Saudara-saudara atau Para Ksatria Penyucian. Dan ini tidak berkaitan dengan penyucian fisik tetapi penyibakan ruh terhadap kondisi aslinya, wujud murni metafisis atau akal murni filosof. Kata Sophia atau kearifan murni memiliki derivasi yang sama.
Dalam penggunaan umumnya kata murni kita dapati memiliki arti yang sama, misalnya ketika kita berbicara tentang air murni atau susu murni, kita artikan bahwa subtansi aslinya tidak dicampur dengan unsur asing lain.
Oleh karena itu istilah kehidupan murni digunakan untuk mengungkapkan usaha manusia untuk menjaga spiritualitasnya dari nilai-nilai yang salah dalam kehidupan duniawi. Ia adalah pencarian yang terus-menerus terhadap diri yang orisinal, hasrat untuk menemukannya, merupakan penyucian atau pemurnian kehidupan. Tetapi istilah ini juga dapat digunakan dengan arti yang lain kepada bagian lain dari kehidupan manusia.
Ketika istilah ini merujuk kepada tubuh, maka ini berarti tidak boleh ada unsur asing yang masuk ke dalam tubuh. Dan ini adalah tahap pertama untuk penyucian. Bila seseorang dikatakan berpikiran murni, bukan berarti bahwa pikirannya itu alami dan semua yang tidak alami telah dicuci atau dibersihkan. Ini mengarahkan kita kepada pertanyaan mengenai apakah yang alamiah bagi pikiran?
Dan jawabannya yang tidak lebih baik untuk ini adalah berkenaan dengan pikiran anak kecil. Apa yang kita dapati dalam pikirannya? Yang pertama kita temukan adalah keyakinan, kecenderungan alaminya kepada kepercayaan. Maka cinta, kecenderungan alaminya kepada persahabatan dan kasih saying. Maka harapan, hasrat alaminya kepada kesenangan dan kebahagiaan.
Tidak ada anak-anak yang tidak beriman secara alami. Jika tidak demikian ia tidak dapat belajar apa-apa. Apa yang ia dengar dan yang dikatakan kepadanya diterima oleh pikirannya, yang siap untuk percaya, kagum dan amanah. Inilah pengalaman hidup. Kehidupan dunia dimana sifat mementingkan diri berkuasa, akan merusak keindahan pikiran seorang anak yang adalah orang beriman yang alamiah.
Teman yang alami akan siap tersenyum; pengagum keindahan yang alami, akan siap melihat tanpa kecaman dan mengabaikan semua yang tidak menarik hatinya. Seorang pecinta alamiah tidak mengenal kata benci.
Ada dua cara agar menjadi murni di dalam pikiran dan raga. Cara pertama adalah menjalani hidup dengan fitrah ilahi yang dapat menerangi jalan kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan dan tidak kita lakukan berada dalam penyucian hidup.
Cara lainnya sangat sederhana dan sangat sulit: memperhatikan anak kecil, cemburu terhadap ketakberdosaannya, kesederhanaan dan kemurniannya, lalu tumbuh seperti anak kecil ini, pertama menauladani anak usia sembilan tahun, kemudian delapan tahun, tujuh tahun, dan seterusnya, hingga terakhir mengambil contoh dari seorang bayi. Gambaram ini diajarkan oleh bunda Maria terhadap bayi tercintanya, Isa as (Yesus).
Untuk kembali kepada tingkat yang lebih tinggi, yakni ketakberdosaan, kita tidak perlu membuang intelek, kita justru harus menguasainya. Selama manusia mengabaikan inteleknya, selama itu juga ia menjadi budaknya.
Tetapi bila ia menguasainya berarti ia menjadi pemimpinnya. Manusia lebih baik dari malaikat, oleh karenanya dunia dapat menjadi tempat yang lebih tinggi dari surga Adn, jika manusia menjadi pemimpin atas inteleknya.
Bila jiwa itu berkembang, ia akan merasakannya sendiri. Dengan kata lain ia sadar akan penyuciannya, akan keagungannya, akan kehidupannya yang kekal, akan kebahagiaannya, akan inspirasi dan kekuatannya. Seperti inilah pikiran yang orisinal dan kondisinya yang alami.
Tetapi karena pikiran ini tumbuh dan diberi makan di dunia ini, hal-hal yang tidak alamiah pun masuk ke dalamnya dan untuk sementara tampak dibutuhkan, bermanfaat dan indah. Mereka pun membangun jenis pikiran lain, yang kadang-kadang disebut sebagai ego atau diri yang palsu. Mereka membuat manusia menjadi pintar, terpelajar, brilyan, dan banyak lagi sebutan lainnya.
Bila kita berfikir tentang ini maka muncul pertanyaan mengenai apakah kita harus menjaga anak agar tetap terus menjadi anak kecil, sehingga ia tidak perlu belajar segala sesuatu yang bersifat duniawi. Jika demikian akan adil bila kita bertanya bagaimana jika ruh tetap berada di surga dan tidak pernah turun ke bumi!
Keagungan ruh sebenarnya dapat tercapai ketika ia berada di bumi dan ketika ia menyadari eksistensi spiritualnya. Inilah kesempurnaan ruh. Oleh karenanya, semua yang dunia berikan, di jalan ilmu, pengalaman, akal, semua pengalaman manusia itu sendiri, atau pengalaman yang diajarkan dari orang lain, semua yang dipelajari dari kehidupan, kesedihannya dan kekecewaannya, kesenangannya dan kebahagiaannya, semua pengalaman yang saling bertentangan ini, membantu kecintaan kita untuk membuat visi kita menjadi lebih penuh dan lebih luas.
Orang yang telah menjelajahi segala pengalaman dan tidak membiarkan ruhnya tercemar hingga tetap suci dan tinggi, orang seperti ini dapat disebut berpikiran murni.
Di dalam kitab Upanishad disebutkan bahwa,“His seen by a pure heart and by a mind whose thoughts are pure.”- Dia (Tuhan) hanya dapat dilihat oleh sebuah hati yang murni, dan oleh pikiran yang memiliki pemikiran yang suci” [Upanishads, Katha Upanishad, IV ; based on Mascaro, Juan, 1965]
Jenis penyucian pertama adalah penyucian dunia fisik dimana manusia harus mematuhi hukum-hukum kebersihan dan hygiene. Dengan menunaikannya berarti ia telah mengambil langkah pertama kepada spiritualitas. Penyucian selanjutnya adalah penyucian yang umumnya disebut sebagai penyucian hidup.
Penyucian diri ditunjukan dalam sikap social manusia, moral dan religius. Etika bangsa dan agama seringkali sangat kaku berkenaan dengan jenis penyucian ini, dan kadang-kadang tampak seolah lahiriah semata, penyucian bikinan manusia dimana seseorang harus mencari dan menemukan rencana yang lebih tinggi lagi. Bagaimanapun juga, ada standar penyucian batiniah.
“Mereka yang telah melepaskan diri mereka sendiri dari segala sesuatu dan terlepaskan, tak pernah sekilaspun terpikir oleh mereka walau hanya pada suatu momen di mana mereka mesti menyerah, mereka tetap tabah, tak bergeming dengan pendirian mereka dan kokoh – orang semacam ini seorang diri telah benar-benar mencapai pelepasan” 82]
Manusia tidak selalu sanggup mengatakan bila tindakannya itu benar ataukah salah sesuai dengan keadaan tertentu. Tetapi ia selalu dapat mengingat prinsip psikologis ini, dan memutuskan mengenai apakah tindakan atau kata-katanya merampas kekuatan batinnya dan kedamaian serta kenyamanannya yang membentuk kehidupan alamiahnya.
Tak ada manusia yang dapat memutuskan lain. Diri manusia itu sendiri yang harus menjadi hakim bagi dirinya. Oleh karenanya tidak ada manfaatnya bersikap terlalu kaku terhadap standar penyucian moral atau social. Agama telah membuatnya, sekolah-sekolah telah mengajarkannya, penjara-penjara telah penuh dengan para penjahat, koran-koran telah banyak memuat tentang kesalahan-kesalahan manusia.
Tidak ada hukum lahiriah yang dapat menghentikan kejahatan. Manusia sendirilah yang harus memahami apa yang baik dan apa yang buruk baginya. Ia harus mampu membedakan mana minuman yang beracun dan mana yang tidak. Ia harus mengetahuinya, mengukurnya, mempertimbangkannya dan memutuskannya. Dan ia hanya dapat melakukannya dengan memahami psikologi apa yang alami untuknya dan yang tidak alami.
Tindakan, pemikiran dan ucapan yang tidak alami adalah yang membuatnya merasa tidak nyaman, sebelum, selama, atau setelah tindakan itu diambil. Karena perasaan tidak enak ini adalah bukti bahwa bukan jiwanya yang melakukannya.
Jiwa selamanya mencari sesuatu, yang akan membuka jalan untuk mengungkapkan dirinya dan memberinya kebebasan dan kenyamanan di dalam kehidupan fisiknya. Pada dasarnya seluruh kehidupan cenderung kepada kebebasan, terhadap penyingkapan sesuatu yang terbungkus oleh kehidupan fisik.
Kita telah melihat apa arti dari menyucikan kehidupan raga dan pikiran. Tetapi ada penyucian selanjutnya, ia adalah penyucian hati, ia adalah usaha yang terus-menerus untuk membuat hati agar tetap murni dari segala kesan yang datang dari luar dan asing terhadap fitrah hati yang sesungguhnya yang adalah cinta. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan perhatian yang terus-menerus terhadap sikap seseorang atas orang lain.
Dengan memperhatikan kesalahan-kesalahan mereka, dengan memaafkan kekurangan-kekurangan mereka, dengan memutuskan tiada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang memutuskan. Karena semua keputusan yang kasar dan pahit terhadap orang lain adalah seperti racun. Rasanya sama seperti menyerap racun ke dalam darah yang berakibat menjadi penyakit.
Awalnya penyakit ini terasa di batin saja, tapi kemudian terasa dalam kehidupan fisik. Dan inilah penyakit yang sulit disembuhkan. Kebersihan lahiriah tidak terlalu berakibat kepada penyucian batin. Tetapi ketidakbersihan batin dapat menyebabkan penyakit baik di luar maupun di dalam.
Setelah tahap ketiga ini dicapai, dan hati telah terbiasa dengan ideal-ideal yang tinggi, dengan pemikiran-pemikiran yang baik, dengan amal-amal yang benar, masih ada lagi penyucian yang lebih besar, yang di dalamnya semua yang dilihat atau dirasakan, atau semua yang disentuh atau dikagumi, dirasakan sebagai Tuhan.
Pada tahap ini tidak ada pemikiran atau perasaan yang boleh masuk ke dalam hati kecuali Tuhan semata. Dalam gambaran seorang artis hati ini dapat melihat Tuhan, artis yang dekat dengan alam, dengan kemampuannya ia mereproduksi yang ia amati, ia seperti melihat keempurnaan Tuhan, dan karenanya, baginya segalanya adalah Tuhan.
Bila penyucian ini dicapai, manusia hidup dalam kebajikan. Kebajikan bukanlah sesuatu yang ia ungkapkan atau ia alami dari waktu ke waktu. Kehidupannya itu sendirilah kebajikan. Setiap kali Tuhan tidak hadir dalam kesadarannya, ia menganggapnya sebagai dosa, walau pun sebenarnya bukan dosa. Karena pada saat itu juga ia menganggap penyucian hatinya ternodai. 83]
Rahasia Menyucikan Diri
“A learned man who is not cleansed is more dangerous than an ignorant man.” [Imam Khomeini qs (1900 - 1989)]
Imam Khomeini, pemimpin spiritual Islam, pernah mengatakan, ”Seorang terpelajar yang tidak bersih (hatinya) lebih berbahaya ketimbang seorang jahil” 81]
Penyucian diri merupakan tema sentral dari semua agama. Ia tidak saja merupakan gagasan agama tetapi juga merupakan fitrah dari kehidupan itu sendiri. Ini dapat kita lihat dalam beberapa bentuk dalam kehidupan setiap makhluk hidup. Burung memiliki kecenderungan membersihkan bulu-bulu dan kaki-kakinya dan mencari tempat yang bersih untuk ia naungi.
Kecenderungan ini dalam kehidupan manusia lebih nyata dan jelas. Bahkan bagi manusia, tidak saja menunjukkan kemampuannya di dalam pembersihan fisik atau kehidupan materinya, tetapi juga di balik ini ada yang tersembunyi, sesuatu yang merupakan rahasia seluruh penciptaan dan merupakan alasan mengapa dunia ini diciptakan.
Penyucian adalah proses yang dengannya termanifestasi ritme kehidupan. Ritme yang mengoperasikan ruh selama berabad-abad di dalam mineral, tanaman, hewan dan manusia. Melalui semua pengalaman ini, sampailah ia pada realisasi dimana ia menemukan kemurniannya, kemurnian di dalam esensinya, maupun kemurnian dari semua yang dapat mempengaruhi kondisi aslinya.
Seluruh proses penciptaan dan penyibakan spiritual menunjukkan bahwa ruh adalah kehidupan itu sendiri, yang mewakili ketuhanan di dalam kehidupan, telah membuka dirinya dari lipatan yang tak terbilang jumlahnya hingga ia turun dari surga ke bumi.
Proses ini dinamakan involusi, yang kemudian disebut sebagai evolusi, atau penyibakan Esensi Ilahi dari lipatan-lipatan materi yang membungkusnya. Pembebasan ruh dari sumbatan dan balutan inilah yang disebut penyucian, dan dalam bagian kehidupan apapun hal ini dapat dirasakan.
Dari pengertian ini kita dapat memahami perkataan ‘kebersihan berdampingan dengan keshalehan’. Dalam bahasa Arab penyucian adalah Shaf yang ditarik dari akar kata Shufi. Beberapa tatanan terdahulu, Sufi disebut sebagai Saudara-saudara atau Para Ksatria Penyucian. Dan ini tidak berkaitan dengan penyucian fisik tetapi penyibakan ruh terhadap kondisi aslinya, wujud murni metafisis atau akal murni filosof. Kata Sophia atau kearifan murni memiliki derivasi yang sama.
Dalam penggunaan umumnya kata murni kita dapati memiliki arti yang sama, misalnya ketika kita berbicara tentang air murni atau susu murni, kita artikan bahwa subtansi aslinya tidak dicampur dengan unsur asing lain.
Oleh karena itu istilah kehidupan murni digunakan untuk mengungkapkan usaha manusia untuk menjaga spiritualitasnya dari nilai-nilai yang salah dalam kehidupan duniawi. Ia adalah pencarian yang terus-menerus terhadap diri yang orisinal, hasrat untuk menemukannya, merupakan penyucian atau pemurnian kehidupan. Tetapi istilah ini juga dapat digunakan dengan arti yang lain kepada bagian lain dari kehidupan manusia.
Ketika istilah ini merujuk kepada tubuh, maka ini berarti tidak boleh ada unsur asing yang masuk ke dalam tubuh. Dan ini adalah tahap pertama untuk penyucian. Bila seseorang dikatakan berpikiran murni, bukan berarti bahwa pikirannya itu alami dan semua yang tidak alami telah dicuci atau dibersihkan. Ini mengarahkan kita kepada pertanyaan mengenai apakah yang alamiah bagi pikiran?
Dan jawabannya yang tidak lebih baik untuk ini adalah berkenaan dengan pikiran anak kecil. Apa yang kita dapati dalam pikirannya? Yang pertama kita temukan adalah keyakinan, kecenderungan alaminya kepada kepercayaan. Maka cinta, kecenderungan alaminya kepada persahabatan dan kasih saying. Maka harapan, hasrat alaminya kepada kesenangan dan kebahagiaan.
Tidak ada anak-anak yang tidak beriman secara alami. Jika tidak demikian ia tidak dapat belajar apa-apa. Apa yang ia dengar dan yang dikatakan kepadanya diterima oleh pikirannya, yang siap untuk percaya, kagum dan amanah. Inilah pengalaman hidup. Kehidupan dunia dimana sifat mementingkan diri berkuasa, akan merusak keindahan pikiran seorang anak yang adalah orang beriman yang alamiah.
Teman yang alami akan siap tersenyum; pengagum keindahan yang alami, akan siap melihat tanpa kecaman dan mengabaikan semua yang tidak menarik hatinya. Seorang pecinta alamiah tidak mengenal kata benci.
Ada dua cara agar menjadi murni di dalam pikiran dan raga. Cara pertama adalah menjalani hidup dengan fitrah ilahi yang dapat menerangi jalan kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan dan tidak kita lakukan berada dalam penyucian hidup.
Cara lainnya sangat sederhana dan sangat sulit: memperhatikan anak kecil, cemburu terhadap ketakberdosaannya, kesederhanaan dan kemurniannya, lalu tumbuh seperti anak kecil ini, pertama menauladani anak usia sembilan tahun, kemudian delapan tahun, tujuh tahun, dan seterusnya, hingga terakhir mengambil contoh dari seorang bayi. Gambaram ini diajarkan oleh bunda Maria terhadap bayi tercintanya, Isa as (Yesus).
Untuk kembali kepada tingkat yang lebih tinggi, yakni ketakberdosaan, kita tidak perlu membuang intelek, kita justru harus menguasainya. Selama manusia mengabaikan inteleknya, selama itu juga ia menjadi budaknya.
Tetapi bila ia menguasainya berarti ia menjadi pemimpinnya. Manusia lebih baik dari malaikat, oleh karenanya dunia dapat menjadi tempat yang lebih tinggi dari surga Adn, jika manusia menjadi pemimpin atas inteleknya.
Bila jiwa itu berkembang, ia akan merasakannya sendiri. Dengan kata lain ia sadar akan penyuciannya, akan keagungannya, akan kehidupannya yang kekal, akan kebahagiaannya, akan inspirasi dan kekuatannya. Seperti inilah pikiran yang orisinal dan kondisinya yang alami.
Tetapi karena pikiran ini tumbuh dan diberi makan di dunia ini, hal-hal yang tidak alamiah pun masuk ke dalamnya dan untuk sementara tampak dibutuhkan, bermanfaat dan indah. Mereka pun membangun jenis pikiran lain, yang kadang-kadang disebut sebagai ego atau diri yang palsu. Mereka membuat manusia menjadi pintar, terpelajar, brilyan, dan banyak lagi sebutan lainnya.
Bila kita berfikir tentang ini maka muncul pertanyaan mengenai apakah kita harus menjaga anak agar tetap terus menjadi anak kecil, sehingga ia tidak perlu belajar segala sesuatu yang bersifat duniawi. Jika demikian akan adil bila kita bertanya bagaimana jika ruh tetap berada di surga dan tidak pernah turun ke bumi!
Keagungan ruh sebenarnya dapat tercapai ketika ia berada di bumi dan ketika ia menyadari eksistensi spiritualnya. Inilah kesempurnaan ruh. Oleh karenanya, semua yang dunia berikan, di jalan ilmu, pengalaman, akal, semua pengalaman manusia itu sendiri, atau pengalaman yang diajarkan dari orang lain, semua yang dipelajari dari kehidupan, kesedihannya dan kekecewaannya, kesenangannya dan kebahagiaannya, semua pengalaman yang saling bertentangan ini, membantu kecintaan kita untuk membuat visi kita menjadi lebih penuh dan lebih luas.
Orang yang telah menjelajahi segala pengalaman dan tidak membiarkan ruhnya tercemar hingga tetap suci dan tinggi, orang seperti ini dapat disebut berpikiran murni.
Di dalam kitab Upanishad disebutkan bahwa,“His seen by a pure heart and by a mind whose thoughts are pure.”- Dia (Tuhan) hanya dapat dilihat oleh sebuah hati yang murni, dan oleh pikiran yang memiliki pemikiran yang suci” [Upanishads, Katha Upanishad, IV ; based on Mascaro, Juan, 1965]
Jenis penyucian pertama adalah penyucian dunia fisik dimana manusia harus mematuhi hukum-hukum kebersihan dan hygiene. Dengan menunaikannya berarti ia telah mengambil langkah pertama kepada spiritualitas. Penyucian selanjutnya adalah penyucian yang umumnya disebut sebagai penyucian hidup.
Penyucian diri ditunjukan dalam sikap social manusia, moral dan religius. Etika bangsa dan agama seringkali sangat kaku berkenaan dengan jenis penyucian ini, dan kadang-kadang tampak seolah lahiriah semata, penyucian bikinan manusia dimana seseorang harus mencari dan menemukan rencana yang lebih tinggi lagi. Bagaimanapun juga, ada standar penyucian batiniah.
“Mereka yang telah melepaskan diri mereka sendiri dari segala sesuatu dan terlepaskan, tak pernah sekilaspun terpikir oleh mereka walau hanya pada suatu momen di mana mereka mesti menyerah, mereka tetap tabah, tak bergeming dengan pendirian mereka dan kokoh – orang semacam ini seorang diri telah benar-benar mencapai pelepasan” 82]
Manusia tidak selalu sanggup mengatakan bila tindakannya itu benar ataukah salah sesuai dengan keadaan tertentu. Tetapi ia selalu dapat mengingat prinsip psikologis ini, dan memutuskan mengenai apakah tindakan atau kata-katanya merampas kekuatan batinnya dan kedamaian serta kenyamanannya yang membentuk kehidupan alamiahnya.
Tak ada manusia yang dapat memutuskan lain. Diri manusia itu sendiri yang harus menjadi hakim bagi dirinya. Oleh karenanya tidak ada manfaatnya bersikap terlalu kaku terhadap standar penyucian moral atau social. Agama telah membuatnya, sekolah-sekolah telah mengajarkannya, penjara-penjara telah penuh dengan para penjahat, koran-koran telah banyak memuat tentang kesalahan-kesalahan manusia.
Tidak ada hukum lahiriah yang dapat menghentikan kejahatan. Manusia sendirilah yang harus memahami apa yang baik dan apa yang buruk baginya. Ia harus mampu membedakan mana minuman yang beracun dan mana yang tidak. Ia harus mengetahuinya, mengukurnya, mempertimbangkannya dan memutuskannya. Dan ia hanya dapat melakukannya dengan memahami psikologi apa yang alami untuknya dan yang tidak alami.
Tindakan, pemikiran dan ucapan yang tidak alami adalah yang membuatnya merasa tidak nyaman, sebelum, selama, atau setelah tindakan itu diambil. Karena perasaan tidak enak ini adalah bukti bahwa bukan jiwanya yang melakukannya.
Jiwa selamanya mencari sesuatu, yang akan membuka jalan untuk mengungkapkan dirinya dan memberinya kebebasan dan kenyamanan di dalam kehidupan fisiknya. Pada dasarnya seluruh kehidupan cenderung kepada kebebasan, terhadap penyingkapan sesuatu yang terbungkus oleh kehidupan fisik.
Kita telah melihat apa arti dari menyucikan kehidupan raga dan pikiran. Tetapi ada penyucian selanjutnya, ia adalah penyucian hati, ia adalah usaha yang terus-menerus untuk membuat hati agar tetap murni dari segala kesan yang datang dari luar dan asing terhadap fitrah hati yang sesungguhnya yang adalah cinta. Dan ini hanya dapat dilakukan dengan perhatian yang terus-menerus terhadap sikap seseorang atas orang lain.
Dengan memperhatikan kesalahan-kesalahan mereka, dengan memaafkan kekurangan-kekurangan mereka, dengan memutuskan tiada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang memutuskan. Karena semua keputusan yang kasar dan pahit terhadap orang lain adalah seperti racun. Rasanya sama seperti menyerap racun ke dalam darah yang berakibat menjadi penyakit.
Awalnya penyakit ini terasa di batin saja, tapi kemudian terasa dalam kehidupan fisik. Dan inilah penyakit yang sulit disembuhkan. Kebersihan lahiriah tidak terlalu berakibat kepada penyucian batin. Tetapi ketidakbersihan batin dapat menyebabkan penyakit baik di luar maupun di dalam.
Setelah tahap ketiga ini dicapai, dan hati telah terbiasa dengan ideal-ideal yang tinggi, dengan pemikiran-pemikiran yang baik, dengan amal-amal yang benar, masih ada lagi penyucian yang lebih besar, yang di dalamnya semua yang dilihat atau dirasakan, atau semua yang disentuh atau dikagumi, dirasakan sebagai Tuhan.
Pada tahap ini tidak ada pemikiran atau perasaan yang boleh masuk ke dalam hati kecuali Tuhan semata. Dalam gambaran seorang artis hati ini dapat melihat Tuhan, artis yang dekat dengan alam, dengan kemampuannya ia mereproduksi yang ia amati, ia seperti melihat keempurnaan Tuhan, dan karenanya, baginya segalanya adalah Tuhan.
Bila penyucian ini dicapai, manusia hidup dalam kebajikan. Kebajikan bukanlah sesuatu yang ia ungkapkan atau ia alami dari waktu ke waktu. Kehidupannya itu sendirilah kebajikan. Setiap kali Tuhan tidak hadir dalam kesadarannya, ia menganggapnya sebagai dosa, walau pun sebenarnya bukan dosa. Karena pada saat itu juga ia menganggap penyucian hatinya ternodai. 83]
No comments:
Post a Comment