أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Karbala, adalah taman bunga cinta dan
kesetiaan. Di sanalah tempat bertajalli irfan Imam Husain, pemimpin
kafilah cinta kebenaran dan Ilahi beserta para keluarga dan para
sahabatnya dalam kesatriaan yang hakiki. Irfan Imam Husain mengajarkan
kepada para arif dan para pesuluk di jalan cinta dan haq, jalan yang
tercepat untuk wusul dan syuhud jamal dan jalal Allah SWT.
Kecintaan Imam Husain
Kecintaan adalah suatu makna yang
inheren di dalam diri pemilik cinta, dan dia bermakna konsepsi
kesempurnaan dan keindahan dari dimensi ia mempunyai pengaruh terhadap
pemiliknya. Dan ia menjadi penyebab terciptanya hubungan mesra dan
harmoni antara sesuatu dengan sesuatu lainnya. Kecintaan merupakan
wasilah bagi terjalinnya hubungan antara setiap pencari dan tujuan
akhir, antara setiap murid dengan muradnya. Setiap pecinta mendapatkan
daya tarik kepada yang dicintainya sehingga dia dengan perantara
pertemuan (wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan kesempurnaan.
Kehidupan Imam Husain, seluruhnya tajalli
kecintaan. Imam Husain, tidak hanya pecinta Tuhan, akan tetapi juga
pecinta segala apa yang berasal dari-Nya. Beliau merupakan orang
terdepan dalam jalan kecintaan, dia setiap saat mendambakan pertemuan
dengan Tuhan, sehingga dengan cahaya-Nya dia terbimbing ke puncak
perjamuan dan bersama kakeknya Rasulullah SAW, ayahandanya Amirul
mukminin Ali bin Abi Thalib, ibundanya Hadhrat Fatimah binti Rasulillah,
dan saudaranya Imam Hasan serta para nabi dan wali Tuhan lainnya
bergabung dalam kafilah pimpinan pecinta Ilahi.
Imam Husain berharap dari Tuhan supaya beliau ditarik pada hakikat para muqarribun
(orang-orang dekat) dan terarahkan pada suluk dan tarikah orang-orang
pecinta. Beliau juga bermohon kepada Tuhan supaya cahaya Ilahiah yang
mengiluminasi pada setiap kalbu nabi, wali, dan orang-orang khusus, juga
mengiluminasi pada kalbunya, sehingga dia sampai kepada makrifat dan
tauhid paling sempurna. Dengan itu dia dapat dengan cepat wusul dan
menyaksikan jamal dan jalal Tuhan serta menghapuskan kecintaan kepada
selain-Nya dari kalbunya. Ini adalah maqam fana, dimana maqam ini
merupakan akhir dan puncak maqam irfan dan kecintaan. Dalam maqam ini,
pecinta tidak memiliki kecintaan lagi selain kepada mahbubnya, hatta
kepada dirinya sendiri. Penghulu para syuhada Imam Husain dalam hal ini
mengungkapkannya dalam doa Arafah seperti ini, “Tuhanku! Saya adalah
sang fakir dikala kaya, bagaimana aku tidak fakir dalam kefakiranku,
Tuhanku! Saya adalah sang bodoh dikala berilmu, bagaimana aku tidak
bodoh dalam ketidaktahuanku… . Tuhanku! Sebab aku berperantara dengan
efek-efek-Mu untuk mengenal-Mu maka aku jauh dari syuhud dan wusul
kepada-Mu maka berikanlah kepadaku khidmat yang dengan cepat
menyampaikanku kepada wusul dan syuhud kepada-Mu, bagaimana (aku)
berdalil atas-Mu dengan sesuatu yang ia dalam keberadaannya butuh
kepada-Mu, apakah ada maujud selain-Mu mempunyai zuhur dimana zuhurnya
tidak ada Engkau sehingga ia menjadi penyebab Engkau dikenali? Kapan
Engkau gaib sehingga butuh kepada dalil yang menunjukkan atas-Mu? Kapan
Engkau jauh sehingga makhluk-makhluk menjadi penyampai kepada-Mu? Buta
mata yang tidak melihat-Mu dimana Engkau senantiasa pengawas ia dan
merugilah hamba yang tidak mendapatkan bagian dari kecintaan-Mu.”
Hubungan Antara Perang dan Irfan
Perang fisabilillah serta gerakan amar makruf dan nahi munkar
mempunyai prinsip-prinsip dan syarat-syarat tertentu dimana memperoleh
mereka merupakan suatu kemestian dan menolak perkara-perkara yang
merintangi mereka juga menjadi suatu kewajiban. Karena itu, dalam perang
dan pergerakan di jalan hak, tidak hanya menuntut keikhlasan, akan
tetapi juga menuntut makrifat (baca; irfan) terhadap derajat kedarurian
peperangan dan kadar pengaruhnya bagi hidayah umat manusia secara umum
serta kadar pengaruhnya dalam memelihara akidah umat Islam secara
khusus.
Perang, terkadang dikitari dengan
kemudahan, seperti kondisi dalam menentukan hak dan batil dan
merealisasikannya dapat dilakukan dengan mudah. Namun perang juga
terkadang diputari dengan kerumitan, seperti keadaan dimana hak dari
batil sulit dipisahkan dikarenakan atmosfir budaya dan sosial sedemikian
keruh dan kotornya. Dan apabila telah dilakukan pemisahan hak dari
batil, perkara lain yang menyulitkan pelaksanaannya adalah masalah
politik dan ketiadaan medan untuk melakukan peperangan. Dalam keadaan
seperti ini, jika seseorang dapat menentukan hak dari batil dan
mengetahui secara bijak kebenaran bangkit untuk mempertahankannya, maka
ia berhak mendapatkan pemuliaan dan penghormatan setinggi-tingginya.
Perang dan jihad hakiki tidak mungkin
terlaksana tanpa irfan hakiki, sebagaimana irfan hakiki tidak mungkin
dihasilkan tanpa pengorbanan harta, kedudukan, dan jiwa: “Katakanlah,
jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu,
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu
khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai,
lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di
jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” (QS, At-Taubah [9]: 24)
Dalam barisan para mujahid hakiki tertera
alamat irfan dan dalam shaf para arif sejati tergambar alamat
mujahadah. Yakni makrifat seorang arif kepada Tuhan dan kerinduan
bertemu dengan-Nya menjadi pilar pembebasan diri dari berbagai
ikatan-ikatan duniawi dan modal dasar untuk memperoleh tujuan ukhrawi
yang didambakan: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang
memperoleh kemenangan.” (QS. At-Taubah [9]: 20)
Kecintaan serta kerinduan seorang arif
tidak akan pernah padam kecuali dengan pertemuan (wusul), dan pertemuan
tidak mungkin terjadi kecuali dengan perang dan jihad, dan perang hakiki
tidak akan dihasilkan kecuali dengan makrifat sempurna (irfan hakiki).
Oleh karena itu, antara hamparan medan politik dan perlawanan terhadap
kezaliman serta antara irfan sejati dan perang hakiki terdapat
keselarasan dan kesimetrian sempurna. Seorang pejuang yang berperang
dalam konteks seperti ini maka ia adalah pejuang yang paling utama dari
seluruh pejuang, sebagaimana seorang arif seperti ini lebih tinggi dari
seluruh arif. Imam Husain potret paling sempurna orang yang menyatukan
antara irfan sejati dan perang hakiki, karena itu beliau layak sebagai
sayyid para syuhada dalam pengertian penghulu orang yang mati syahid dan
penghulu orang-orang arif yang bertemu kekasih yang dirindukannya.
Menggabungkan Perang dan Irfan
Perang fisabilillah dan makrifat Ilahiah
merupakan dua substansi nilai insan yang masing-masing mempunyai
keutamaan. Pertanyaannya adalah, dapatkah kedua keutamaan dan
kesempurnaan ini bergabung pada diri seseorang? Dengan kata lain,
dapatkah seseorang dari satu sisi memiliki hati lembut, pengasih, dan
pemaaf, di sisi lain memiliki jiwa membaja, pemberani, kesatria, dan
pantang menyerah dalam berhadapan dengan thagut dan kezaliman? Apakah
jiwa yang mempunyai dimensi jihad, pengorbanan, dan rezim perang, dapat
menjadi ahli doa, berbisik-bisik dengan Haq SWT, dan menangis
tersedu-sedu? Yang jelas sejarah telah menampilkan orang-orang yang
kehidupannya telah menyatukan kedua keutamaan dan kesempurnaan insani
tersebut. Kendatipun kebanyakan orang tidak dapat mempertemukannya,
apatah lagi menyatukannya. Seperti terdapat orang yang senantiasa dalam
hidupnya beribadah dan bermunajat, namun ketika mereka diperhadapkan
antara bergabung dengan pasukan hak Amirul Mukmini Imam Ali atau pasukan
batil Muawiyah, ataukah diperhadapkan antara memilih menyokong pasukan
hak Imam Husain atau pasukan batil Yazid, mereka malah diam dan sama
sekali tidak dapat memilih di antara keduanya. Juga terdapat orang yang
di medan peperangan, pemberani dan kesatria, namun sangat disayangkan
karena mereka bukan ahli irfan, sehingga terkadang mereka salah memilih
jalan atau tidak menghiraukan seruan pemimpin yang hak.
Namun, orang seperti arif Yaman Uwais
Qarani, adalah salah seorang di antara orang-orang yang dapat
menggabungkan antara kedua keutamaan tersebut. Dari sisi ibadah, tatkala
malam tiba dia berkata, ini adalah malam ruku. Dan dia semalaman ruku
hingga waktu subuh tiba. Terkadang dia juga berkata, ini adalah malam
sujud. Dan dia melewati malam itu dengan sujud hingga subuh tiba. Dalam
dimensi kesatriaan, dikatakan bahwa dalam keadaan mengenakan pakaian
dari wol dan bersenjata dengan dua pedang, dia hadir dalam perang
shiffin. Dan di hadapan pimpinan kaum arif Amirul Mukminin Imam Ali
berkata, ulurkan tanganmu hingga aku membaiatmu. Setelah dia membaiat
Imam Ali, dia berperang dalam pasukan beliau hingga dia meneguk syahadah
dan bertemu dengan sang kekasih mutlak.
Tidak diragukan bahwa para keluarga dan
sahabat yang menyertai Imam Husai di hari-hari Karbala dan berperang
bersama beliau di jalan hak, mereka semua itu adalah orang-orang yang
mampu menyatukan antara perang hakiki dan irfan hakiki. Mereka bukan
tipe orang yang diam dan tidak memenuhi ajakan pemimpin hak, dan mereka
bukan juga tipe orang yang bukan ahli ibadah dan munajat. Mereka, di
bawah pimpinan pemimpin kafilah pecinta Ilahi, merindukan syahadat dan
pertemuan serta perjamuan dengan sang kekasih mutlak, Allah SWT.
Tentu orang seperti arif Uwais Qarani dan
para keluarga serta sahabat-sahabat Imam Husain, mereka ini adalah
orang-orang yang berada dalam maqam tinggi dalam hal jihad hakiki dan
irfan hakiki. Akan tetapi terdapat orang-orang yang juga berada dalam
barisan ini yang secara gradasi berada dalam maqam yang lebih rendah
dari pada mereka. Yang urgen bagi kita adalah mengambil langkah yang
pasti bergabung dengan mereka di bawah pimpinan kafilah pecinta
kebenaran Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Sayyid syuhada Imam
Husain.
Rahasia Doa dan Gerakan Kebangkitan Imam Husain
Doa Arafah Imam Husain, kendatipun ia
adalah suatu doa dan munajat kepada Sang Penguasa Mutlak, akan tetapi di
dalam baris bait-baitnya juga terkandung rahasia kebangkitan dan
peperangan melawan penguasa kufur dan zalim. Beliau berkata, Tuhan!
…Engkau mengarunia lutf dan ihsan kepadaku, lutf dan ihsan itu adalah
Engkau sedemikian sabar dalam penciptaanku hingga priode gelap jahiliah
lewat kemudian sistem Islami berdiri, barulah ketika itu Engkau
mengadakanku di dunia dalam sistem pemerintahan Islami. Yakni Imam
Husain bersyukur bahwa dia tidak diadakan di dunia dalam kondisi zaman
jahiliah dan penguasaan orang-orang kafir, dimana jika beliau lahir
sebelum pemerintahan Islami, beliau tidak akan dapat memperoleh nikmat
Islam dan makrifat-makrifatnya yang dalam.
Akan tetapi substansi ungkapan beliau itu
tidak hanya perkara itu sebenarnya, tetapi perkara yang lebih urgen
adalah dorongan pada pembentukan pemerintahan Islami dan upaya untuk
tegaknya sistem Ilahi. Sebab jika seseorang ingin bersyukur dikarenakan
tidak dilahirkan dalam kondisi pemerintahan kufur dan jahiliah, maka dia
mesti dalam bentuk aplikasinya berupaya meruntuhkan daulah kufur dan
kekuasaan syirik serta berusaha mendirikan pemerintahan Islami dan
menjaganya. Ini tidak lain karena keberadaan pemerintahan kufur dan
zalim, kendatipun tidak memustahilkan orang untuk memperoleh makrifat
Ilahi dan akhlak insani, tetapi jalannya sangat sulit dan berat. Karena
atmosfir yang menguasai lingkungan budaya, sosial, dan politik
masyarakat adalah lingkungan jahiliah, akhlak rendah, dan thagut. Oleh
karena itu, penghulu para syahid Imam Husain, dengan maksud ini juga
beliau bangkit melawan pemerintahan zalim Yazid, supaya masyarakat dan
orang-orang akan datang berada dalam pancaran pemerintahan Islami.
Sehingga mereka seperti beliau berada dalam lingkupan lutf dan berkah
daulah hak dan hidup dalam lindungan pemerintahan Islam serta sinaran
pancaran Al-Quran.
Berasaskan ini juga beliau sebelumnya
berkata, saya bangkit menentang pemerintahan zalim hingga saya menghapus
kekufuran dan menciptakan perbaikan pada umat kakekku Rasulullah SAW.
Beliau kemudian merealisasikan tujuan ini dengan seluruh irfan dan
kesatriaannya hingga beliau sampai pada tujuannya lewat meneguk manisnya
syahadat dan indahnya pertemuan dengan sang kekasih mutlak.
Tajalli Irfan Peristiwa Karbala
1. Cinta Ilahi
Kecintaan kepada Tuhan ibaratnya api yang
membakar segala apa yang dicapainya. Ia juga ibarat hujan yang
mencurahkan air kepada segala sesuatu. Kecintaan kepada Tuhan itu
sendiri muncul dari makrifat kepada-Nya. Karena itu semakin makrifat
bertambah kepada-Nya, semakin kecintaan bertambah juga terhadap-Nya.
Bagaimana dengan manusia sempurna (insan kamil) yang mempunyai makrifat
sempurna insani kepada Allah SWT? Tentu kecintaannya juga pada-Nya
adalah sempurna dan sedalam mungkin, yang hanya dibatasi oleh pembatas
kecintaan yang tidak dapat dimiliki oleh maujud mumkin. Oleh
karena itu, sesuatu yang membawa Imam Husain pada hari Asyura melepaskan
segala sesuatu hatta jiwanya, adalah cinta Ilahi. Dan beliau rela
menanggung segala beban dan penderitaan pada hari itu; hanya karena
cinta dan rindunya kepada Tuhan Yang maha Agung.
Kecintaan beliau kepada Tuhan ini,
bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba dan dalam peristiwa
perjalanan Karbala ditemukan. Akan tetapi dalam seluruh perjalanan hidup
beliau dipenuhi dengan cinta Ilahi dan peristiwa Asyura itu adalah buah
dari kecintaan beliau tersebut. Dan sebagaimana diisyaratkan
sebelumnya, bahkan seluruh hidup beliau merupakan tajalli cinta kepada
Tuhan. Doa dan munajat beliau, terutama doa Arafah, menjadi bukti dari
cinta Ilahi beliau ini. Dan juga malam-malam munajat, shalat, dzikir,
sabar, tawakkal, dan pengorbanan yang beliau lewati di hari-hari Karbala
merupakan manifestasi dari totalitas kecintaan beliau kepada Allah SWT.
Di samping Imam Husain di hari-hari
Karbala, juga anggota-anggota keluarga beliau dan para sahabat-sahabat
beliau yang meneguk kesyahidan, semuanya telah menunjukkan manifestasi
cinta Ilahi dan menjadi para pecinta yang syahid. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, seperempat abad
sebelum peristiwa Asyura tersebut, ketika beliau melewati Karbala beliau
berkata kepada orang-orang yang menyertainya, di sini akan menjadi
tempat terbunuhnya para syuhada pecinta. Sesuai dengan ungkapan
Sayyidina Ali ini maka semua orang yang berperang dipihak hak dan tauhid
pada hari-hari Karbala, mereka semuanya adalah pecinta Ilahi SWT. Dan
pimpinan serta imam mereka yaitu Imam Husain merupakan pimpinan kafilah
pecinta yang mengajarkan kepada para pengikutnya kecintaan, perang, dan
irfan hakiki, dan juga bagi generasi-generasi akan datang yang mengikuti
maktab kecintaannya.
2. Shalat
Shalat, adalah pilar dan tiang agama.
Bahkan ia paling asasnya dasar agama setelah wilayat. Dan shalat
merupakan manifestasi irfan dan spiritualitas yang sangat jelas. Imam
Husain, dengan seluruh usia yang dilewatinya dipenuhi dengan shalat dan
ibadat, -sebagaimana diriwayatkan dari Imam Sajjad bahwa beliau berkata,
ayahku dalam sehari semalam shalat seribu rakaat- pada hari tâsû’a
(hari kesembilan bulan muharram) meminta dari saudaranya hadhrat Abul
Fadl supaya mengambil kerelaan dari musuh untuk memberi mereka
kesempatan satu malam, dimana malam itu beliau ingin hanya berdoa,
shalat, tilawah Al-Quran, istigfar, dan munajat kepada Tuhan. Karena
itu, setelah beliau berbicara dengan para pengikutnya dan mengungkapkan
segala kemungkinan yang akan terjadi besoknya dan hujjah telah sempurna
bagi mereka, beliau kembali ke kemahnya dan melewati seluruh malam itu
dengan shalat, istigfar, dan munajat. Demikian pula para
sahabat-sahabatnya melewati malam itu dengan shalat, istigfar, dan
munajat.
Pada hari Asyura, ketika peperangan
demikian hebatnya berkecamuk, tapi saat-saat pembicaraan tentang shalat
diungkapkan, beliau berpikir menegakkan shalat dan berkata, engkau
mengingatkan kami kepada shalat, semoga Tuhan menjadikan kamu di antara
orang-orang yang menegakkan shalat. Benar, sekarang adalah awal waktu
shalat, mintalah dari musuh supaya menghentikan perang sejenak hingga
kita selesai menunaikan shalat. Sebab musuh tidak bersedia menghentikan
perang maka Said bin Abdullah Hanafi dan Zuhair bin Qin bertanggung
jawab melindungi jiwa Imam dalam keadaan shalat, yang pada akhirnya
kedua sahabat Imam ini meneguk syahadat sebagai pengabdiannya terhadap
shalat. Shalat ini mempunyai tiga kekhususan: berjamaah, awal waktu,
dan secara alani (terang-terangan).
Demikianlah kecintaan beliau kepada
shalat sebagai manifestasi dari kecintaan beliau kepada Tuhan. Dan
shalat merupakan ungkapan jelas dari kecintaan kepada Tuhan, kendatipun
perang di jalan hak itu sendiri juga ungkapan kecintaan kepada Tuhan.
Karena itu, perealisasian shalat dalam keadaan perang berkecamuk,
merupakan dua keutamaan yang bertajalli pada saat yang bersamaan.
3. Pengorbanan
Dalam peristiwa Karbala, terpancar
pengorbanan sejati. Pengorbanan harta dan jiwa pada hari-hari Karbala
merupakan manifestasi utama dari irfan dan spiritualitas. Imam Husain
adalah pimpinan pengorbanan Karbala bagi agama Hak SWT. Beliau tidak
menyisakan sedikit pun bagi dirinya, semua yang berada dalam kuasanya
dipersembahkannya bagi keselamatan agama kekasihnya. Oleh karena itu,
asas gerakan Imam Husain dalam menentang penguasa zalim dan kufur, tegak
berasaskan pengorbanan untuk menyelamatkan agama Tuhan. Sebab
pengorbanan beliau dalam pergerakan Asyura ini demikian terang dan jelas
maka kami tidak perlu menyebutkannya. Dan kami cukupkan dengan menyebut
dua contoh pengorbanan sejati dari sahabat-sahabat beliau dalam
peristiwa hari-hari karbala tersebut:
Ketika hadhrat Abul fadl mencapai air
sungai Furat dan menciduknya, kendatipun beliau sangat haus, tetapi
beliau pantang meminumnya dikarenakan mengingat junjungannya Imam Husain
beserta anak-anaknya berada dalam keadaan haus. Pengorbanan ini adalah
pertanda kecintaan kepada sang Imam sebagai manifestasi kecintaan kepada
Sang Pemilik Imam. Pengorbanan ini bukan didasari oleh faktor emosi
semata, tetapi didasari oleh makrifat dan irfan yang dalam.
Sebagaimana kami sebutkan sebelumnya, di
waktu zuhur Asyura, dua orang sahabat Imam dengan penuh suka cita
berdiri melindungi Imam dari anak-anak panah musuh ketika Imam tegak
menunaikan shalat jamaah pada awal waktu zuhur di hari Asyura tersebut.
Dan kedua shabat Imam tersebut pada akhirnya meneguk manisnya syahadat
menyusul sahabat-sahabat lainnya yang terlebih dahulu meneguknya. Tidak
diragukan, pengorbanan ini pastilah didasari oleh makrifat dan irfan
tentang loyalitas serta kecintaan kepada imam sebagai manifestasi
kecintaan kepada Sang Penguasa Imam.
4. Kesabaran
Dalam pergerakan Asyura, terlukis dengan
indah makna kesabaran dan taslim menerima qadha dan ketetapan hukum
Tuhan. Sebab Imam Husain sebagai pimpinan kafilah kebenaran dalam
melawan kezaliman, dengan makrifat dan irfan mengetahui akhir dan
kesudahan pergerakan tersebut. Dan pada akhir-akhir waktu yang tersisa
baginya, beliau dalam munajatnya mengungkapkan, Tuhanku! Aku sabar atas segala qadha-Mu… Tuhanku! Aku sabar atas segala ketetapan hukum-Mu….
Beliau tidak hanya mencukupkan kesabaran dalam menghadapi berbagai
peristiwa hari-hari Karbala itu untuk dirinya, tetapi beliau juga
menasehatkan kepada para keluarga dan sahabatnya untuk bersabar dan
taslim dalam menghadapi qadha dan ketetapan Tuhan. Pada hari Asyura
beliau berkata kepada anak-anak pamannya dan Ahlulbaitnya, sabar wahai anak-anak pamanku, sabar wahai Ahlulbaitku. Sebagaimana beliau juga berkata kepada sahabat-sahabatnya, sabar wahai bani al-kiram. Yakni, karena kalian semua berasal dari keluarga mulia maka hendaklah bersabar.
Dan betapa kesabaran dan taslim menerima
qadha Tuhan ini memanifestasi secara sempurna dalam jiwa hadhrat Zainab,
dimana setelah beliau menyaksikan peristiwa demi peristiwa dan bencana
serta musibah demi musibah di hari-hari Karbala dan Asyura tersebut,
beliau dalam majlis ibnu Ziyad berkata, “Tidaklah aku saksikan kecuali keindahan.”
Sangat banyak lagi manifestasi
sifat-sifat sempurna insani dan Ilahi yang terlukis dalam peristiwa
hari-hari Karbala dan Asyura yang tidak sempat lagi kami isyaratkan,
meskipun dalam bentuknya yang global. Yang jelas Imam Husain beserta
keluarga dan para sahabat-sahabatnya telah memperlihatkan kepada kita
jalan suluk dan irfani yang cepat menyampaikan kita kepada Tuhan dan
syuhud terhadap jalal dan jamal-Nya. Menurut riwayat, jalan dan perahu ruhani Imam Husain adalah asra’ (lebih cepat) dan lebih penuh dari lainnya.[]
No comments:
Post a Comment