Wednesday, July 18, 2012

SIFAT-SIFAT ALLAH : Analisa Akidah 50 versi Asy’ariah

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dalam khazanah teologi Islam klasik, diskursus mengenai sifat-sifat Allah Swt. cukup intens dibicarakan, baik sifat Allah yang berjumlah empat puluh satu (wajib, mustahil, dan jawaz), maupun sifat para rasul yang berjumlah sembilan. Diskursus mengenai sifat-sifat ini biasa diistilahkan dengan akidah lima puluh.
Kecenderungan untuk mengetahui sifat-sifat Allah Swt. umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk menyucikan (taqdis) Allah Swt. dari segala hal yang tidak layak dimiliki-Nya sebagaimana tuduhan orang-orang musyrik, mengangkat tinggi-tinggi keagungan-Nya, dan demi mengukuhkan keimanan umat manusia. Tujuan ini lebih didasarkan pada realitas emosional dan psikologi manusia yang mudah terhipnotis oleh keahlian dan kelebihan orang lain yang berada di luar daya nalarnya.
Disamping itu, analisa lain menyatakan bahwa penyematan sifat-sifat itu juga didorong oleh faktor geofrafis dan struktur sosial masyarakat Arab yang memang gemar memakai simbol-simbol tertentu sebagai media mengungkapkan perasaan hati. Logika seperti ini juga dapat ditemui pada motif pemberian mujizat kepada Nabi Saw. Allah Swt. memberikan al-Quran dan mukjizat-mukjizat lainnya kepada Nabi Muhamad Saw. adalah agar misi dakwahnya dapat diterima dan ajaran yang disampaikan dibenarkan. Kepatuhan dan ketaatan tidak akan terwujud tanpa dibantu oleh sebab-sebab berupa kelebihan dan keluarbiasaan yang dapat meluluhkan hati masyarakat. Inilah salah satu bukti bahwa masyarakat Arab pada umumnya menyukai simbol-simbol kelebihan dan keluarbiasaan, yang tetap melekat hingga berabad-abad berikutnya. Simbolisasi itupun pada akhirnya merambah pada tataran akidah ketuhanan; dimana bukti kemahakuasaan Allah Swt. dan kebenaran Nabi SAW. perlu ”disimbolkan” melalui penyematan sifat-sifat tertentu, melalui apa yang kita kenal dengan sebutan sifat 50 itu. Disamping perlu dicatat, sifat-sifat tersebut telah terurai dalam al-Quran.

 Mengenal Zat (Entitas) Tunggal
Penelusuran sifat-sifat ketuhanan dimulai dengan bukti eksistensi konsep Tuhan sebagai Ada (dengan ”A” besar) yang Niscaya (juga dengan ”N" besar) atau Niscaya Ada (Wajib al-Wujud). Ada yang Niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipikirkan ketidakadaannya. Coba pikirkan bagaiman sesuatu yang ada itu tidak ada, pastilah kita akan menemui kontradiksi. Jadi, Niscaya Ada alias Wajib al-Wujud itu adalah keber-Ada-an yang dipastikan wujudnya. Namun, ini hanya membuktikan sebuah keber-Ada-an itu adalah ada yang semua orang tahu.
Kemutlakan Tunggal adalah inti ajaran Islam. Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin. Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang menjadi sumber dari semua wujud-wujud yang lain. Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka, sebagai bandingan dari Wujud Hakiki atau Zat yang Mutlak. Karena itu, Eksistensi Tuhan bukan untuk dilihat tapi untuk diketahui, sebab melihat Tuhan dengan mata kepala adalah mustahil. Manusia hanya dapat mengetahui Tuhan dengan mata hati tanpa dapat menggambarkan dengan suatu yang bertempat dan berbentuk.1 Ibnu Khaldun mengatakan:
”Janganlah sekali-kali Anda mempercayai sugesti yang dimunculkan oleh benak pikiran bahwa Anda mampu mengetahui segala yang ada dan sebab-sebabnya, mengetahui secara detil semua wujud. Sugesti semacam itu hendaklah direndahkan sebagai kebodohan. Ketahuilah, setiap orang yang memiliki persepsi kesan superfisial mengatakan bahwa seluruh wujud terjangkau oleh persepsinya, dan bahwa wujud itu tidak akan melampauinya. Kenyataannya, persoalan itu berbeda sama sekali, dan kebenaran berada di belakangnya. Tidakkah Anda lihat orang yang tuli, bagaimana wujud terbatas baginya pada persepsi keempat inderanya dan akalnya. Segala yang dapat didengar bukan merupakan bagian dari wujud baginya. Demikian pula orang yang buta, semua yang dapat dilihat bukan merupakan bagian wujud baginya. Untuk orang cacat semacam itu, apabila kepada mereka tidak diletakkan kesetiaan pada informasi yang diterima dari bapak-bapak, guru-guru, dan orang lain, mereka tidak akan mengakui eksistensi segalanya itu.2
Pengakuan terhadap keesaan Tuhan identik dengan pengerahan persoalan ini kepada Tuhan yang menciptakannya dan yang menguasainya. Tidak ada pencipta selain-Nya. Semua sebab-sebab itu meningkat kepada-Nya dan kembali kepada kekuasaan-Nya. Kita mengetahui-Nya hanya lantaran kita muncul daripada-Nya. Inilah penafsiran pernyataan yang dimunculkan oleh para shadiqin: ”Ketidakmampuan menemukan persepsi, itulah persepsi” (’Ajz al-idrak idrak).
Dalam keadaan tidak mungkin melihat Tuhan, yang harus diketahui manusia ialah usaha terus-menerus dan penuh kesungguhan (mujahadah) kepada-Nya. Ini diwujudkan untuk merentangkan garis lurus antara diri manusia dengan Tuhan. Garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati nurani.
Karena kemahaesaan-Nya dan kemutlakan-Nya, wujud Tuhan adalah wujud kepastian. Justru Tuhanlah wujud yang pasti. Abu Hanifah berkomentar, tidak pantas manusia berbicara tentang Zat Allah Swt. Sebab ia telah tercukupkan dengan mengenal dan memahami sifat-sifat-Nya yang telah difirmankan. Persepsi kemanusiaan tidak dibolehkan berbicara sifat-sifat ketuhanan berlandaskan pada akal semata.3 Tepat di titik ini, kelemahan manusia dalam memahami Wujud Eksistensial Allah Swt. teruraikan. Manusia hanya mampu memahami sifat-sifat-Nya, bukan Wujud eksistensial-Nya.

 Memahami Sifat-sifat Allah

Sifat adalah kata bahasa Arab yang merupakan derivasi dari kata wasf (shifat) yang telah diindonesiakan. Sifat dapat diartikan sebagai sebuah sebutan yang dapat menunjukkan keadaan suatu benda. Atau lebih mudahnya, sifat adalah ciri-ciri sesuatu. Dapat juga dipahami, sifat adalah sebuah ciri-ciri (amârah) yang melekat pada diri seseorang dan dapat digunakan sebagai sarana identifikasi.4
Dalam ilmu teologi, term sifat menjadi faktor fundamen yang mempengaruhi perbedaan dalam menentukan sifat-sifat Allah. Para mutakallim (teolog) mengartikan sifat adalah suatu unsur selain zat dan tidak harus nampak di luar zat. Pengertian semacam ini mendorong seseorang berpandangan bahwa sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh, sementara teolog yang mendefinisikan sifat sebagai unsur di luar zat dan harus nyata adanya, mendorongnya berpendapat bahwa hitungan sifat wajib-Nya hanya berjumlah tujuh.
Bagi manusia yang berpikir dan berjiwa sehat akan mengakui eksistensi Wujud Tuhan, bahkan meniscayakan Wujud-Nya. Karena fitrah yang terkandung dalam hati nurani dan rasio di kepala, memaksakan mengenal Hakikat Tunggal. Disamping, kalau mau sadar dan merenungi format kemanusiaan, dari aspek lahir (jism) dan aspek batin yang meliputi nyawa, nalar, atau unsur hewani, nabati, debu, pasir, batu, udara, angkasa, air hujan, durasi waktu; ada siang ada malam, semua itu menjadi indikasi-indikasi akan Wujudnya Tuhan. 5
Makanya, Allah Swt. berfirman surat al-Anfal [8]: 22-23:
إن شر الدواب عند الله الصم البكم الذين لا يعقلون ولو علم الله فيهم خيرا لاسمعهم ولو أسمعهم لتولوا وهم معرضون  
Sesungguhnya seburuk-buruknya mahkluk berkaki (dabbah) di sisi Allah adalah orang yang tuli dan bisu, yaitu orang-orang yang tidak mau berpikir. Seandainya Allah akan memberi kebaikan terhadap mereka, maka Ia membuka pendengaran mereka. Dan ketika Ia telah membuka pendengaran mereka, maka mereka menolak dan berpaling”.
Meski keajaiban-keajaiban tampak di depan mata, tapi Wujud Allah Swt. tidak dapat diketahu oleh manusia. Eksistensi Tuhan adalah samar (ghaib) menurut mata manusia dan jangkauan nalar. Kendati demikian, dengan mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya maka nalar akan dapat menjangkau Wujud Tuhan. Seandainya Ia berkehendak lain, dalam arti tidak memperkenalkan kepada manusia melalui daya nalarnya, maka siapapun tidak akan menemukan Eksistensi-Nya.   
Tapi bukti kosmologis memberi sumbangan pengetahuan kepada kita, bahwa Ada yang Niscaya itu memang benar dan nyata. Keniscayaan Wujud Tuhan terejawantah di balik keunikan-keunikan dan keanekaragaman bentuk ciptaan-Nya. Nalar tidak dapat menerima kondisi tidak adanya Pencipta ciptaan-ciptaan itu. Keberadaan ciptaan menunjukkan Wujudnya Sang Pencipta, atau menurut konsep Aristotelian, Ia dibahasakan sebagai Prima Causa (Penyebab Utama) atas keberadaan setiap yang ada.6   
Menurut analisa Imam Ghazali, kalimat tauhid (baca: syahadat) mengandung makna implisit akan keniscayaan Wujud Allah Swt., sifat-sifat-Nya, sifat tindakan-Nya, dan percaya atas kenabian Muhammad Saw.7 Dari situ pula bangunan iman berdasarkan pada empat komponen: (1) Mengetahui Allah dan titik sentralnya pada sepuluh hal pokok: mengenal Wujud Allah Swt., Qidam dan Baqa’-Nya, bukan bentuk nature (jauhar), bukan benda materi (jism), dan bukan berbentuk sifat (’irdh), dan tidak membutuhkan ruang dan waktu, Dia akan dapat diketahui melalui sifat-sifat-Nya dan Zat-Nya yang bersifat Esa; (2). Mengenal sifat-sifat-Nya, dan berkisar pada sepuluh dasar; yakni memahami bahwa keadaan Allah Swt. itu Hidup, Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Benar berita-berita-Nya, Bersih dari menitis pada ciptaan, dan semua sifat-sifat-Nya Qadim ; (3). Mengetahui tindakan-Nya. Ini juga berkisar pada sepuluh hal pokok: Seluruh gerakan makhluk adalah atas kontrol (ciptaan) dan kehendak-Nya, Ia memberi hak bergerak (kasb ) pada makhluk dengan tidak lepas dari ciptaan dan kehendak-Nya, keutaman Allah Swt. tidak bertambah dan berkurang sebab makhluk karena kemulyaan-Nya mutlka, Allah Swt. boleh (dapat) juga mentaklif manusia diluar kemampuannya karena kemutlakan kekuasaan-Nya meskipun tidak akan terjadi,8 Allah Swt. tidak berkeharusan menjaga yang terbaik, terutusnya Nabi Muhamad merupakan kewenangan mutlak Allah Swt., dan kenabian Muhammad Saw. tetap berlandaskan pada mu’jizat: (4). Percaya pada berita intuitif (wahyu), yang berkisar pada sepuluh dasar: dikumpulkan (hasyr) di hari kiamat, nasyr, siksaan kubur, pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, timbangan amal, melewati shirath (tangga akhirat), terciptanya surga dan neraka, dan hukum pemerintahan.9 Semua sifat-sifat Tuhan dan tata nilai di muka telah diuraikan secara baik dalam al-Quran atau hadits.10
Sedangkan dalam pandangan Muhamad Amin, implikasi ayat al-Quran yang mengurai sifat-sifat Allah Swt. menunjukkan tiga prinsip dasar, yang seandainya terpenuhi maka akan memperoleh substansinya dan terjamin kebenarannya. Tapi salah satu diantara ketiganya tidak boleh ada yang dialpakan. Ketiga prinsip dasar itu adalah:
Pertama, prinsip mensucikan (tanzih) Zat Allah Swt. dari segala bentuk keserupaan dengan ciptaan, baik dalam Zat-Nya, pekerjaan-Nya dan sifat-sifat-Nya.11 Hal Ini dibangun atas dasar surat al-Syura [42]: 11:
ليس كمثله شيء
Tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai Dia
Dan surat al-Nahl [16]: 74. yang berbunyi:
فلا تضربوا لله الأمثال  إن الله يعلم وانتم لا تعلمون  
Maka janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui”. 
Kedua, prinsip percaya dan menerima sifat-sifat Allah Swt. dari kutipan wahyu (baca: firman-Nya). Logikanya, kelemahan dalam mengetahui Zat Allah Swt. sudah pasti akan menyebabkan kemustahilan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, menerima dan membenarkan berita yang berasal dari wahyu adalah sebuah keniscayaan. Siapakah yang dapat mengetahui Zat Allah  Swt. kalau bukan diri-Nya?.
Ketiga, percaya dan menerima sifat-sifat Allah Swt. dari hadits Nabi. Sebab setiap perkataan Nabi Saw. adalah semata-mata atas komando Allah Swt. Karena itu, esensi hadits-hadit Nabi tidak lain adalah esensi dari wahyu Allah Swt., -sama sekali tidak menyimpang dengan wahyu. Hal itu telah dijelaskan dalam al-Quran surat al-Najm [53]: 3-4:
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى
Dia (Muhamad) tidak berkata berdasar hawa nafsunya, tiadalah ia kecuali wahyu yang diwahyukan.
Itulah prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui sifat-sifat Allah Swt. dan mengetahui Substansi Ketuhanan nan Sejati. Semua orang tahu, bahwa menyifati benda materi bukanlah hal yang sulit. Tapi menyifati entitas yang di luar jangkauan nalar, Wujud Tunggal, Eksistensi Abstrak, mustahil ada yang mampu mengetahui-Nya. Langkah yang harus ditempuh adalah pendekatan melalui pesan-pesan ketuhanan. Dengan cara inilah hakikat ketuhanan akan diketahui melalui sifat-sifat-Nya.12
Mengenai universalitas sifat-sifat Allah Swt., secara garis besar bahwa Ia tidak mempunyai kemiripan dengan sifat-sifat makhluk. Sehingga ketika ditemukan teks-teks wahyu yang bila dipahami secara eksplisit akan menimbulkan kesan keserupaan sifat-sifat Allah Swt. dengan sifat makhluk-Nya, misalkan sama’ [mendengar] dan bashar [melihat], menurut Muhamad Amin, tidak berarti sifat tersebut harus dihapus (tidak diterima) atau disamakan dengan makhluk. Penyematan sifat-sifat itu merupakan isyarat bahwa Ia memiliki sifat sama’ dan bashar, misalnya, akan tetapi wujud dan bentuknya berlainan dengan sifat yang dimiliki makhluk. Karena walau bagaimana pun, tidak ada sesuatu-pun yang menyerupai-Nya.
Jadi harus dipahami bahwa kebenaran riil mengenal sifat-sifat  Allah swt. harus selaras dengan ketentuan tiga prinsip dasar di muka. Kemudian dalam perkembangannya, penuturan sifat-sifat Allah Swt. sebagian ada yang dilandasi wahyu dan sebagian lagi berlandaskan nalar-rasionil.

Spesifikasi 50 Sifat
Para mutakallim membagi lima puluh sifat Allah Swt. menjadi sifat wajib, muhal, dan jawaz.13 Menurut Imam al-Haramain, pemahaman tiga bentuk sifat ini tergolong sebagai konsumsi akal (rasional). Sehingga bagi orang yang tidak mampu memahami kehendak sifat-sifat tersebut berarti tidak berakal. Digambarkan bahwa kalau dikatakan Allah Swt. itu wajib bersifat, seumpama qudrah (kuasa), tentunya akal memahami bahwa ketiadaan sifat kuasa bagi-Nya tidak mungkin akan diterima akal.
Tapi sebelum mengenal partikulasi sifat-sifat Allah Swt., secara global harus diyakini bahwa Zat Tunggal Allah Swt. selalu bersanding erat dengan segala sifat purna, hampa dari bermacam-macam kekurangan (cacat), dan berwenang melakukan dan meninggalkan segala hal yang potensial wujud (baca: mumkinat). Perincian ke 50 sifat itu adalah sebagai berikut:
I. Sifat-sifat Allah Swt.
1)     Sifat Wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh. Kemudian jumlah dua puluh sifat ini dikelompokkan menjadi empat, yaitu nafsiyah, salbiyah, ma’ani, dan ma’nawiyah.14 (1). Nafsiah, adalah sifat yang berhubungan dengan keberadaan Zat Allah Swt.  Ini hanya memiliki satu sifat, yaitu sifat wujud  (Eksistensi Tuhan).15 (2) Salbiyah, dapat diartikan sebagai jenis sifat yang dipahami untuk meniadakan-menyangkal- ketidaklayakkan dan ketidaksesuaian bagi Allah Swt. Dinamakan salbiyah (terlepas) karena motifasi penyifatan ini bertujuan menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah Swt. Adapun sifat-sifat yang terekrut dalam Salbiyah meliputi sifat qidam; dahulu tanpa permulaan, baqa; kekal, mukhalafah li al-hawadits; berbeda dengan makhluk, qiyamuhu bi nafsih: eksis dengan Zat sendiri, dan wahdaniyah: Maha Esa. Sifat salbiyah dapat digambarkan seperti sifat qidam (dahulu tidak berawal), misalnya, berarti bahwa wujud Allah Swt sudah ada sejak semula tanpa di dahului sesuatupun. Jadi sifat qidam ini menolak sifat kebaharuan; (3) Ma’ani, adalah sifat wajib bagi Allah Swt yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia dan dapat meyakinkan orang karena kebenarannya dapat dibuktikan oleh pancaindera. Yang termasuk ke dalam sifat ma’ani ada tujuh sifat, antara lain sifat qudrat; kuasa, iradat: kehendak, ilm: pengetahuan, hayat: hidup, sama’: mendengar, bashar: melihat, dan kalam: bicara. (4) Ma’nawiyah, sifat yang berhubungan dengan sifat ma’ani, atau merupakan kelanjutan logis dari sifat ma’ani. Sifat yang masuk dalam bagian ini ada tujuh, kaunuhu qadiran: Keberadaan-Nya Maha Kuasa, kaunuhu muridan: Keberadaan-Nya Maha Berkehendak, kaunuhu ’aliman: Keberadaan-Nya Maha Mengetahui, kaunuh hayyan: Keberadaan-Nya Maha Hidup, kaunuh sami’an: Keberadaan-Nya Maha Mendengar, kaunuhu bashiran: Keberadaan-Nya Maha Melihat, dan kaunuhu mutakalliman: Keberadaan-Nya Maha Berbicara.
2)     Sifat Muhal 16(kebalikan sifat wajib) juga ada dua puluh. Lebih mudahnya bahwa sifat wajib adalah sesuatu yang sudah pasti dimiliki Tuhan, sebaliknya, sifat muhal sudah pasti tidak ada pada Zat Allah Swt. Jadi disamping orang muslim wajib memahami sifat Allah Swt juga harus paham dengan sifat yang tidak layak dimiliki-Nya. Yakni kaharusan meniadakan sifat-sifat muhal yang berjumlah dua puluh pada Zat-Nya.
3)     Sifat Jawaz hanya satu. Sifat ini diibaratkan hak wewenang Tuhan dalam bertindak. Segala realitas yang dihubungkan dengan eksistensi Allah Swt. untuk berbuat (jaiz) sebenarnya bukan bagian sifat yang menetap pada Zat-Nya, melainkan sebuah sifat yang berhubungan dengan Kuasa-Nya. Jadi jangan disalahpahami bahwa Zat Allah Swt. tersifati dengan jawaz. Yang benar bahwa Zat Allah Swt. hanya tersifati dengan sifat-sifat wajib.17 Dari sini dapat disimpulkan bahwa sifat jawaz Allah Swt. ialah hak wewenang Tuhan. Adalah rasional bila Allah Swt. mungkin melakukan segala apa yang menjadi kehendak-Nya, tanpa terikat dengan segala apapun.

 II. Sifat-Sifat Rasul18

1)     Sifat Wajib yang ada pada rasul jumlahnya ada empat: (shidq) jujur dalam bicara, (amanah) terpercaya menjauhi perbuatan haram dan makruh, (fathanah) kecerdasan dan kemampuan mengalahkan lawan atau menyirnakan ajaran sesatnya, dan (tabligh) menyampaikan pesan Allah Swt. kepada umat manusia sesuai perintah-Nya. Dengan terbuka, sifat wajib ini harus dipahami bahwa akal tidak menerima keberadaan seorang rasul yang tidak bersifat seperti ini.
2)     Sifat Muhal, juga ada lima: (kidzib) berdusta, (khianat) tidak konsekwen terhadap perbuatan halal dan haram, (baladah) bodoh atau lemah pemahaman (Jawa: blôon), dan (kitman) menyembunyikan pesan Tuhan yang harus disampaikan kepada umat manusia. Dengan sifat-sifat ini, secara rasional, diartikan bahwa para rasul tidak akan memiliki sifat-sifat yang demikian. Akal tidak akan menolak wujudnya sifat-sifat ini pada diri rasul.
3)     Sifat Jawaz bagi Rasul ialah kebolehan melakukan perbuatan manusiawi yang tidak mengurangi kemulyaan derajatnya. Dengan sifat ini, para Rasul juga memiliki sifat-sifat dasar manusiawi, seperti berjalan, makan, minum, dan lain sebagainya. Tapi semua itu tidak mengurangi sifat mulia mereka.

Kontroversi Sifat-sifat Allah  
Dalam ranah teologi, pembagian sifat-sifat wajib Allah Swt. menjadi 20 sifat tidak disepakati semua mutakalimin. Mereka masih mempermasalahkan, terutama tentang konsep alam realitas. Menurut al-Sanusi, sebuah realitas terbagi dalam empat bagian: nyata adanya, nyata ketiadaannya, perihal keadaannya, dan perihal anggapannya. Contoh yang nyata adanya adalah tubuh manusia, dan contoh yang nyata tidak adanya adalah manusia sebelum kelahirannya. Sedangakan hal keadaan adalah seperti keberadaan Umar yang berkuasa (menjadi presiden, misalnya), dan perihal pengungkapan seperti penetapan bahwa umar bersifat kuasa. Pada akhirnya, al-Sanusi menetapkan bahwa sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh.
Sementara menurut Abu Hasan Asy’ari, sifat yang berhubungan dengan sifat keadaan ditiadakan karena dianggap sesuatu yang irasional. Mayoritas teolog yang selaras dengan pemikiran Asy’ári, akhirnya tidak mengaitkan sifat yang berhubungan dengan keadaan, dan menyatakan sifat wajib Allah Swt. hanya dua belas. Sifat Ma’nawiyat (baca: kaunuhu bashiran dan lain-lain) digugurkan. Mereka tidak setuju bila Allah Swt. disifati dengan sifat keberadaan-Nya berkuasa. Bahkan menurut al-Asy’ari, yang gugur bukan hanya sifat ma’nawiyah, tapi juga sifat wujud (nafsiyah). Karena sifat wujud tidak lain hanyalah Entitas Zat (’ain al-dzat) itu sendiri, bukan sesuatu yang lain. Sebab jika dikatakan Wujud Allah Swt. berarti yang dimaksud adalah bentuk Zat-Nya, bukan sifat-Nya.19
Perbedaan ini dikomentari oleh Muhamad Fadhali. Menurutnya, bagi tingkat awam cukup dikatakan bahwa sifat keberadaan itu merupakan akar dari sifat-sifat ma’ani.20 Meskipun secara eksplisit, komentar itu tidak memberi corak pemikiran lain atau pemihakan, tapi komentar tersebut sangat signifikan, mengingat kebutuhan teori akidah (sifat) kaum awam adalah akidah instan, yakni teori akidah yang gampang diterima secara langsung dan tidak membutuhkan pemikiran terlalu dalam.
Berbeda dengan Muhamad Amin. Ia berasumsi bahwa sifat ma’nawiyah tidak lebih dari sekedar cara jitu untuk menyifati Allah Swt. -memudahkan pemahaman- dengan sifat-sifat ma’ani. Sehingga wajar bila para teolog (mutakallim) yang berasumsi demikian menyatakan bahwa sifat ma’nawiyat merupakan mediasi (washithah tsubutiyyah [sarana pendukung pasti]), bukan justru menafikan maupun menetapkan sifat-sifat Allah Swt yang hakiki.21 Pandangan semacam itu, menurut Muhammad Amin, hanya dibuat-buat dan merekayasa akidah dari sebagian kalangan mutakallimin saja. Sebab, demikian kilah Amin, akal sehat tentunya tidak perlu perantara dalam menetapkan sesuatu dan menafikannya. Dapat dipastikan bahwa setiap suatu yang tidak ada sudah tentu tetap berada dalam ketiadaan, dan suatu yang ada sudah pasti tergolong sebagai realitas yang wujud. Dan perlu dicatat, tambah Amin, tidak ada istilah perantara dalam menetapkan dan menafikan sesuatu.22
Dari sini dapat disimpulkan bahwa perbedaan para mutakallim di muka dapat dikerucutkan dalam dua kelompok berikut: (1). Ulama yang menilai bahwa sifat ma’nawiyat termasuk sifat hakiki. Menurut pendapat ini, sifat juga ada yang diperuntukkan (berhubungan) bagi perihal keberadaan (ahwal), yaitu sebuah sifat yang menetapkan wujud-Nya (keberadaan Allah Swt. bersifat qudrah, misalnya), bukan untuk menafikan atau mewujudkan sifat pada Zat-Nya. Dari latarbelakang pemikiran seperti ini, sifat ma’nawiyat dinilai termasuk sifat yang ada dan atau dimiliki oleh Zat Allah; (2). Ulama yang berpandangan bahwa hal keberadaan bukanlah sifat, dan tidak setuju bila ada semacam perantara dalam menetapkan ketiadaan atau wujud suatu sifat. Pendapat ini menganggap cukup pada sifat ma’ani sebagai dasar pijakan mengetahui sifat-sifat Allah Swt. Adapun ma’nawiyat sebenarnya hanya sekedar piranti penunjang untuk menetapkan sifat ma’ani pada Zat. Jika sekedar piranti penunjang, menurut ulama ini, tidak bisa dikatakan sebuah sifat, karena sebuah sifat adalah sifat itu sendiri. Lagi pula, realitas-faktualnya menunjukkan bahwa ma’nawiyat tidak terdapat dalam gambaran akal pikiran manusia.23
Jika diteliti lebih dalam, argumen kedua pendapat di atas lebih didasari oleh pebedaan dalam mendefinisikan makna sifat itu sendiri. Bagi ulama yang mengartikan sifat adalah sesuatu selain Zat, maka akan mengartikannya sebagai seluruh jenis sifat, baik salbiyat, nafsiyat, ma’ani, atau ma’nawiyat. Sedangkan ulama yang mengartikan sifat sebagai unsur yang nyata ada dan menjadi tambahan (fakta eksternal) di luar Zat, tentu akan mengatakan bahwa sifat hanya ”terdapat” dalam sifat ma’ani.24

Benarkah Sifat Allah Terbatas dalam Akidah Lima Puluh
Lepas dari kontroversi hitungan sifat-sifat Allah Swt. di atas, yang pasti kalau sifat Allah Swt. bisa diketahui manusia dalam jumlah terbatas, ini akan menimbulkan pertanyaan: Apakah hanya sebatas itu sifat-sifat Allah? Kalau terbatas itu, apa bedanya dengan sifat-sifat makhluk yang serba terbatas?
Sebelum pertanyaan ini dijawab, perlu diketahui bahwa akidah Ahlussunah wal-Jamaah dalam menetapkan sifat-sifat Allah Swt. berdasarkan al-Quran maupun hadits Nabi Saw. sama sekali tidak mengalami perubahan, pergeseran, penambahan, pengurangan, penafian, atau bahkan penginkaran, baik karena faktor keterasingan dalam pikiran atau karena dinilai berada di luar batas nalar. Posisi akal dalam pandangan Ahlussunah wal-Jamaah hanya menjadi alat bantu dalam memahami sifat-sifat Allah Swt., baik merujuk fiman-Nya, catatan hadits, dan menjadi referensi hukum-hukum Allah Swt. Sama sekali akal tidak memiliki otoritas dalam membentuk syariat, menolak, atau bahkan menghapus ketentuan hukum yang berdasarkan syariat.25
Sifat-sifat wajib Allah Swt., jika dirujuk dalam hadits-hadits Nabi Saw., sebenarnya tidak terbatas pada hitungan 20. Bahkan Nabi Saw. penah menyatakan bahwa Allah Swt. memiliki sifat paripurna yang tidak terhingga (tidak terhitung jumlahnya). Jadi, apabila Allah Swt. itu bersifat sempurna dan paripurna, tentunya sifat-sifat pada Zat-Nya pun tidak terhingga pula; tidak sebatas pada dua puluh sifat. Justru akan sangat naif bila Tuhan bersifat terbatas dalam gambaran manusia. Karenanya, sifat-sifat Allah Swt. hakikatnya tidak dapat tertuang hanya dalam dua puluh sifat. Kalaupun para teolog menjelaskan bahwa sifat wajib Allah Swt. hanya berjumlah dua puluh -lepas dari kontroversi ulama- bukan berarti membatasi sifat sifat wajib-Nya. Akan tetapi lebih didasari asumsi bahwa, dalam ranah teologi, ketika nalar tidak dapat menjangkau, sementara wahyu tidak menerangkan, maka tidak ada tuntutan bagi manusia untuk memahami atau membahasnya. Ini merupakan keputusan Allah Swt. yang selalu disesuaikan dengan kadar kemampuan nalar manusia. Bahkan bila direnungi, kemampuan manusia mengetahu ke 20 sifat-Nya sudah merupakan fadhlullah (anugerah dari Allah) yang luar biasa.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa, manusia hanya diwajibkan mengetahui apa yang dapat dijangkau oleh pikirannya. Sudah jelas bahwa semua sifat Allah Swt. tidak dapat dicapai  oleh manusia, mengingat kodrat manusia yang terbatas dan berhingga. Karena itu, melalui panduan wahyu, manusia diberi pengetahuan mengenai sifat-sifat-Nya sebatas pada sifat-sifat yang memang mampu dinalar oleh keterbatasan akal manusiawi. Kebetulan, sifat-sifat wajib yang dalam wahyu Allah Swt. dan hadits Nabi Saw. hanya diberitahukan sebanyak 20 sifat. Dengan demikian, ke 20 sifat yang mampu diketahui manusia inilah yang wajib ia ketahui dan ia yakini kebenaran dan keberadaannya. Namun manusia jangan beranggapan bahwa hanya sebatas itulah sifat-sifat yang dimiliki Allah Swt. Sifat Allah Swt. Maha Tak Terhingga, Maha Sempurna, dan Maha Paripurna untuk dapat dijangkau oleh pikiran manusia.26

Koherensi Sifat dan Asmaul Husna
Asmaul Husna adalah nama-nama baik (indah) yang dimiliki Allah Swt. Jumlah nama-nama tersebut ada sembilan puluh sembilan. Namun sebelumnya, perlu diingat kembali bahwa orientasi nama bukanlah penamaan tersebut dan bukan pemilik nama. Dalam Asmaul Husna, yang dimaksud ialah sesuatu yang melekat pada Zat Allah Swt., bukan Zat itu sendiri maupun unsur lain di luar Zat-Nya.27 Sementara arti definitif sebuah nama ialah bentuk kalimat yang berfungsi untuk menunjukkan obyek yang mempunyai nama.
Dalam sebuah hadits , Nabi Muhamad Swt. berpesan: ”Berperilakulah seperti perilaku (akhlaq) Allah”.28 Akhlak Allah Swt. tersebut dapat ditemukan pada Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah Swt. Maksud hadits tersebut bukan bermakna kita dianjurkan meniru hakikat perilaku-perilaku Allah Swt. secara sepadan tanpa cela, melainkan diselaraskan dengan kadar kemampuan yang dapat dilakukan manusia. Umpama Allah Swt. memiliki Nama Maha Dermawan (al-jawwâd), maka kita dianjurkan meniru aplikasi dari sifat itu, yakni berperilaku murah hati terhadap orang lain, bukan berbuat murah seperti yang dilakukan Allah Swt.
Jika ditilik dari aspek implikasinya, menurut al-Ghazali, konsepsi Asmaul Husna dipilah dalam sepuluh kelompok:29
1.      Nama yang menunjukkan Zat-Nya saja. Misalkan kalimat ’Allah’. Penamaan tersebut tentu mengenalkan pada Zat yang Niscaya Ada.
2.      Nama yang disamping menunjukkan pada Zat-Nya, juga mengandung nilai salbu: pemblejetan hal-hal yang tidak layak ada pada Zat-Nya. Seperti al-Quddûs (Maha Suci), al-Ghaniy (Maha Kaya), dan lain-lain. Al-Quddûs: Maha Suci berarti Zat-Nya Suci tanpa dapat digambarkan oleh semua dugaan (prasangka) manusia, dan berarti pula memustahilkan hal-hal yang menodai Kesucian-Nya.
3.      Nama yang kembali pada Zat-Nya secara berhubungan. Seperti al-’Aliy, al-’Azhim, al-Awwal, al-Akhir, dan lain-lain. Al-’Aliy dapat diartikan Maha Tinggi (Jawa: luhur), di atas ketinggian derajat semua makhluk. Berhubungan yang dimaksud di sini adalah terdapat unsur perbandingan dengan yang lain.
4.      Nama yang kembali pada Zat-Nya dengan menafikan dan berhubungan. Semisal al-Mâlik dan al-’Azîz. Gambarannya, Allah Maha Penguasa yang tidak butuh pada siapa pun (menafikan), akan tetapi dibutuhkan oleh siapa pun (berhubungan).
5.      Nama yang kembali pada Zat beserta sifat-sifat yang menetap. Misalkan al-Hayy, al-’Alîm, al-Qâdir, al-Murîd, al-Samî’, al-Bashîr, dan Mutakallim. Kalau kita katakan bahwa Allah Swt. Maha Mengetahui, ini berarti menunjukkan pada Zat-Nya yang bersifatan Mengetahui.
6.      Nama yang kembali pada sifat Ilmu: mengetahui serta berhubungan. Seperti al-Hakîm, al-Khabîr, al-Syahîd, al-Muhshiy. Nama al-Hakîm (Pemberi Keputusan), menunjukkan pada sifat Ilmu-Nya yang berhubungan dengan kemulyaan pengetahuan yang melebihi pengetahuan makhluk.
7.      Nama yang kembali pada sifat Qudrat serta bertambah hubungannya. Semisal al-Qawiyy, al-Matîn, al-Qahhâr. Sifat Quwat pada Allah ini memiliki unsur keunggulan; kekuatan tiada lawan.
8.      Nama yang kembali pada sifat Irâdat beserta tindakan dan berhubungan. Semisal al-Rahman, al-Rahîm, al-Raûf, al-Wadûd. Contohnya, al-Rahman ini kembali pada sifat irâdat-Nya yang behubungan dengan (tindakan) memberikan kebutuhan terhadap kaum lemah.
9.      Nama yang kembali pada Zat beserta sifat sandaran. Seperti al-Khâliq, al-Bâri’, al-Wahhâb, al-Mushawwir, al-Mughîs, dan lain-lain.
10.  Nama yang kembali pada petunjuk pekerjaan-Nya serta berhubungan. Semisal al-Majîd, al-Karîm, dan al-Lathîf. Nama al-Lathîf menunjukkan pada keluasan keagungan serta kemulyaan Zat-Nya. 
Disamping Asmaul Husna menjadi rujukan (kunci) kesempuraan dan kebahagian seorang, juga dapat menjamin masuk surga. Bahkan dalam hadits Nabi Saw. dikatakan: ”Barangsiapa yang berperilaku dengan salah satu akhlak Allah maka ia akan masuk surga”. Inilah salah satu di antara keistimewaan Asmaul Husna, yang tidak dapat disamakan dengan nama-nama manusia yang tidak mencerminkan makna sama sekali. Kalau manusia, namanya Shalih (yang baik) tapi realitas perilakunya jelek, maka antara nama dan maknanya saling berlawanan.
Yang perlu dicatat, nama-nama Allah Swt. sama sekali bukanlah laqab (julukan, nama lain, alias).30 Gambaranya ialah jika ada seorang manusia yang pandai itu disebut ’al-’Alîm’, padahal nama aslinya Badrun, maka penamaan Allah Swt. tidak seperti itu. Allah Swt. memiliki nama bukan karena unsur sifat-Nya yang kemudian disematkan (laqab) kepada Zat-Nya, melainkan karena sifat-sifat itu memang menetap tak terpisahkan dari Zat-Nya.  
Kesimpulannya, Asmaul Husna menurut Syeh Abi Qasim al-Karkani, termasuk sifat-sifat Allah Swt. yang tidak akan berubah menjadi sifat manusiawi. Akan tetapi, mengandung pengertian bahwa Allah Swt bisa memberi hasil yang dinisbatkan pada sifat-sifat tersebut. Diumpamakan seperti seorang santri yang mendapatkan ilmu gurunya, akan tetapi gurunya tidak mendapatkan ilmunya dari si santri.31 Nah, melaui Asma’ al-Husna, Allah Swt. dapat memberi manfaat kepada manusia, tapi Allah Swt. sendiri tidak mengambil manfaat dari apa yang dilakukan oleh manusia. Wallahu ’Alam []


1 Mengenal Tuhan adalah mengetahui sesuatu yang tidak seperti dalam gambaran hati kita. Gambaran imajinatif itu bukan Tuhan. Karena apa yang ditemukan dalam gambaran kita tidak lain hanyalah sesuatu yang berbentuk dan bertempat.   
2 Abdurahman bin Khladun, Mukaddimah Ibn Khaldun, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, h. 459.
3 Muhamad bin Ibrahim ibn Sa’dulLah ibn Jamaah (w. 727),ed. Wahbi Sulaiman Ghawiji al-Al-bani, Idhah al-Dalil fi Qath’ihijaj Ahl al-Ta’thil, Dar al-Salam, vol. I, h. 21.
4 Syarif Ali ibn Muhamad al-Jurjani, al-Ta’rifat, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, h. 132.
5 Dalam perkembangan ilmu modern, banyak  di antara ilmuan besar dan berpengaruh, seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan. Ini sangat bertentangan dengan konsep bahwa dengan penemuan-penemuan ilmiyah (kosmologis) akan memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan. Lalu yang menjadi pertanyaan; apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan modern itu sehingga menjadi ateis?. Jawabnya ialah karena kerangka kerja ilmiah yang mereka gunakan ternyata, seperti dinyatakan Holmes Rolston III, telah mengalami ’sekularisasi’ yang secara programatik dilakukan oleh para ilmuan modern. Jadi, penyebabnya ialah unsur sekular yang telah merasuk dan mewarnai metode ilmiah modern, yang telah berhenti bicara tentang makna dan hanya terfokus pada fakta. Unsur sekular dalam metode ilmiah ini, misalnya bisa kita rasakan dalam pernyataan astronom Prancis, Pierre Simon De Laplace, ’I mistrust anything but the direct result of observation and calculation’ (saya mencurigai atau tidak percaya apa pun [sebagai sumber ilmu] kecuali hasil langsung obserasi dan kalkulasi). Dengan demikian, jelaslah keberpihakan ilmuan Barat pada alam pemikiran materialistik, dan menolak pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat metafisis atau spiritual. Alam pun mulai dijauhkan dari Tuhan, dan dipandang semakin otonom, bahkan akhirnya diyakini sebagai self generating (tercipta dengan sendirinya). Baca: Dr. Mulyadi Kartanegara, Menembus Batas Waktu; Fanorama Filsafat Islam, Mizan, h. 89.    
6 Muhamad bin Ibrahim ibn Sa’dulLah ibn Jamaah (w. 727),ed. Wahbi Sulaiman Ghawiji al-Al-bani, Idhah al-Dalil fi Qath’ihijaj Ahl al-Ta’thil, Dar al-Salam, vol. I, h. 21.
7 Abu Hamid Muhamad ibn Muhamad al-Ghazali, Raudhat al-Thalibin wa ’Umdat al-Salikin (Majmu’ Rasail Imam Ghazali), Dar al-Fikr, Beirut, h. 98.
8 Yang terjadi hanyalah hubungan ketidakmampuan manusia bertalian dengan Pengetahuan Tuhan atas kehendak-Nya tidak melestarikan. Konsepsi ini dapat membenarkan pen-taklif-an pada Abu Jahal untuk memeluk Islam, meskipun hal itu tidak mungkin terjadi karena pengetahuan Allah Swt. akan ketidak-islam-an Abu Jahal.     
9 Ibid
10 Muhamad bin Ibrahim ibn Sa’dulLah ibn Jamaah, Op. cit. h. 21.
11 Atau dalam bahasa lain, bahwa Allah Swt. itu sempurna dalam segi Zat, sifat dan pekerjaan-Nya (kamâl al-dzat wa al-shifat wa al-af’al).
12 Muhamad al-Amin al-Syaqanthi (w. 1393), Manhaj wa Dirasah li ayat al-Asma wa al-Shifah, Dar al-Salafiyah, Kuwait, vol. I, h. 10.
13 1) Sifat Wajib, adalah sebuah sifat yang tidak mungkin ketiadaannya menurut pandangan akal. Dalam arti akal tidak dapat membayangkan ketiadaan sifat tersebut. Seperti sifat butuh ruangan bagi benda materi (jirm). Mengandaikan ada pandangan bahwa pohon tidak menempati ruangan di atas bumi, ini akal tidak menjangkaunya, tidak menerimanya; 2) Sifat Muhal, ialah sifat yang menurut pandangan akal tidak dapat menemukan keberadaanya. Diibaratkan sifat itu bagaikan benda yang tidak tertampung oleh akal. Contoh, si Umar adalah manusia yang tidak bergerak dan tidak terdiam. Realitas seperti ini tidak dapat diterima akal dan tidak mungkin ditemukan; 3) Sifat jawaz, disebut juga sifat mumkin (logis). Yaitu sebuah bentuk sifat yang menurut akal bisa terjadi dan juga bisa tidak. Seumpama perkataan, Badrun memiliki anak. Akal menerimanya. Hal ini mungkin-mungkin saja, karena Badrun punya pasangan istri. Dan pernyataan bahwa Badrun tidak memiliki anak. Ini juga mungkin, karena manusia hanya berusaha men-produk, sementara pemilik produks adalah Tuhan. Tengok sendiri : Syeh Muhamad al-Fadhali, Kifayah al-’Awam, Mutiara Ilmu, Surabaya, h. 23.           
14 Salbiyah ialah jenis sifat untuk memahami akan ketiadaan segala sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt. Ma’ani, ialah bentuk sifat yang berada di luar zat Dalam arti, kemungkinan bisa terlihat seandainya faktor hijab (satir; tirai penghalang)-nya telah tersingkap. Ma’nawiyah, yaitu sifat yang menetap pada zat, dan tidak akan sampai keluar mewujud dari balik persembunyian (wujud zat). Sehingga, sifat-sifat ini tidak diharapkan penampakannya. Nafsiyah, yang hanya sifat ’wujud’, adalah jenis sifat untuk menetapkan eksistensi-Nya. Para teolog berselisih pendapat mengenainya; apakah pantas (rasioanl) bahwa sisi keberadaan menjadi sebuah bentuk sifat . Periksa: Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah al-Dusuqi al-Maliki (w. 1220 H), Loc. cit.
15 Menurut madzhab Asy’ariyah, sifat wujud adalah entitas zat-Nya. Sama sekali tidak mengatakan wujud sebagai unsur di luar zat. Dan zat bukanlah sifat. Tetapi, ketika mengucapkan wujud dikategorikan sebagai sifat maka anggapan itu boleh-boleh saja dalam batasan secara global. Penerapan pola pikir semacam ini hanya beralasan toleran (tasamuh). Sementara menurut al-Razi, wujud termasuk unsur diluar zat. Makanya anggapan wujud sebagai salah sifat sudah sangat tepat. Menurut para Filsup, wujud adakalanya sebagai sifat dan adakalanya tidak. Wujud dikatakan sebagai sifat bila dihubungkan dengan hal kebaruan (ciptaan), sementara wujud yang dikaitkan dengan hal yang qadim (wujud Tuhan) maka yang dimaksud bukan sifat tapi entitas zat-Nya. Telisik: Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah al-Dusuqi al-Maliki, Op. cit. h. 74-75.    
16 Term sifat pada sesuatu yang Muhal bagi Allah Swt. termasuk bentuk kata majaz (metaforis), mengingat sifat ini sama sekali tidak ada. Semestinya sifat adalah sesuatu yang menetap dalam diri yang tersifati. Sementara sifat muhal tidak ada wujudnya. Namun, persepsi lain menyatakan sebuah sifat tidak pasti harus wujud pada dzat. Digambarkan seperti seorang yang tersifati buta, meskipun kebutaan tidak harus terwujud dalam diri orang tersebut. Layaknya sifat qidam (kekal) pada Allah Swt.   
17 Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah al-Dusuqi al-Maliki (w. 1220 H), h. 192.
18 Syeh Muhamad al-Fadhali, Kifayah al-’Awam, Mutiara Ilmu, Surabaya, h. 75.
19 Syeh Muhamad al-Fadhali, Loc. cit. hlm. 62-63. Dalam buku ’Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam,, pengarangnya juga menkritik bahwa, kesalahan terbesar bukti ontologis adalah membuat pengubahan jenis kata dari kata keadaan menjadi kata sifat dan akhirnya menjadi benda abstrak yang dimutlakkan, yaitu ada alias wujud.  
20 Nama-nama (sifat) Allah Swt. seperti qadiran, murîdan, ’aliman dlsb. itu menunjukkan pada sifat-Nya, karena seseorang yang mengatakan qadîran (penguasa) tentu yang terbayang adalah entitas yang tersifati dengan sifat qudrah (kuasa). Tapi lain dengan Asy’ari, justru berpersepsi bahwa yang ditunjukkan oleh kata qadiran itu realitas sifatnya, bentuk sifat qudrah-nya. Meskipun pendapat Asy’ari demikian, tidak mendorong mayoritas Asy’ariyah (pengikut Asy’ari) mengikuti pendapatnya. Karena pendapat mashyur di kalangan Asy’ariyah menetapkan, yang ditunjukkan oleh kata qadîran, misalnya, adalah entitas zatnya. Akhirnya dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat: 1) Kata yang menunjukkan pada entitas dzat, tetapi dapat memberitahukan pada sifatnya, seperti istilah qadîr; 2) yang hanya menunjukkan pada entitas dzat semata, seperti lafal jalalah. Orang yang mengatakannya pasti yang teringat adalah dzatiyyah Allah-nya; dan 3) kata yang dapat menunjukkan pada bentuk sifatnya saja, seumpama qudrah, kata ini akan mengajak imajinasi manusia pada sebuah bentuk sifat qudrah-nya. Periksa: Syeh Ibrahim al-Baijuri, Syarh Kifayah al’Awam, Mutiara Surabaya, h. 64.
21 Muhamad Amin  al-Syanqhithi (W. 1393), (ed) ’Athiyyah Muhamad Salim, Manhaj wa Dirasah li Ayat al-Asma’ wa al-Shifat, Dar al-Salafiyyah, Kuwait, vol. I, h. 20.
22 Ibid,
23 Syeh Muhamad ibn Ahmad ibn ’Arafah al-Dusuqi al-Maliki, Op. cit. h. 119.
24 Ibid, h. 73.
25 Muhamad bin Ibrahim ibn Sa’dulLah ibn Jamaah, Op. cit. h. 73.
26 Ibid.
27 Abu Hasan bin Isma’il al-Asy’ari, ed. Hilmut Rabtar, Maqalat al-Islamiyin wa al-Ikhtilaf al-Mushallin, Dar al-Ihya al-Turats al-’Arabi, Beirut, cet. Ketiga, vol. I, h, 170.
28 Abu Hamid Muhamad bin Muhamad al-Ghazali, ed. Bisam Abdul Wahab al-Jabi, al-Maqsid al-Asnâ fi Syarh ma’aniLlah al-Husna, Al-Jaffan wa al-Jabi, cet. I, thn. 1987, vol. I, h. 150. Atau dalam hadits lain, riwayat al-Mundzir yang ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim bahwa: “Bagi orang mukmin tertentu memiliki akhlak dengan akhlak Allah”. Menghubungkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt. itu merupakan tehnis mengikatkan perilaku manusia dengan akhlak Allah Swt. Baca: Muhamad Syams al-Haq al-’Azhim Abadi Abu al-Thayb, ’Awn al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cet. Kedua, 1415, vol. 5, h. 77.
29 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Rawdhat al-Thâlibin wa ’Umdat al-Sâlikîn, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, h. 127-128
30 Abu Hasan al-Asy’ari, Ibanat An Ushul al-Dianat, h. 151
31 Abu Hamid Muhamad bin Muhamad al-Ghazali, , al-Maqsid al-Asnâ fi Syarh ma’aniLlah al-Husna

No comments: