Thursday, July 19, 2012

DASAR ISLAMI TASAWUF

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
DASAR ISLAMI TASAWUF

KARENA sifatnya yang universal baik dalam arti ruang dan waktu, satu sistem spiritual seperti tasawuf mungkin saja menerima pengaruh dari sistem yang lain yang ada sebelumnya, seperti juga mungkin saja ia juga mempengaruhi sistim dan disiplin spiritual yang lain. Karena itu kalau tasawuf, sebagai aspek spiritual Islam dikatakan telah dipengaruhi oleh unsur-unsur mistis, atau filosofis sebelum Islam, seperti mistisisme Kristen, Yahudi, Hindu, atau sistem filsafat Neo-platonisme atau Stoakisisme, maka hal tersebut boleh-boleh saja. Tetapi itu sekali-kali tidaklah berarti bahwa Islam sendiri sebagai agama tidak cukup memberikan basis bagi kehidupan spirituliatasnya sendiri. Andaikan sistem-sitem mistik dan filosofis yang ada sebelum Islam dan sebelum munculnya tasawuf tidak pernah ada, maka saya yakin bahwa mistisisme Islam atau tasawuf ini akan tetap tumbuh, karena spiritualitas pada hakikatnya merupakan kebutuhan esensial manusia kapan dan di mana saja. Dan itulah sebabnya mistisisme dengan segala variasi dan kesamaannya bisa dan telah muncul dalam tradisi dan bangsa manapun di dunia ini. Demikianlah, maka Islam telah memberikan beberapa basis bagi tumbuhnya sistem spiritualnya sendiri yang disebut tasawuf.

Sebagai sebuah sistem spiritual, tasawuf tentu memiliki basis filosofis, di atas mana seluruh bangunan spiritualnya dibangun. Basis filosofis tersebut tidak lain daripada basis atau prinsip bagi seluruh yang ada di alam semesta yaitu Tuhan. Tuhan adalah basis ontologis bagi segala sesuatu, yang tanpa-Nya segala yang ada ini akan kehilangan pijakannya. Para Sufi menyebut prinsip ini sebagai Kebenaran (al-Haqq). Di sebut al-Haqq karena Dialah yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, sementara yang lain bersifat nisbi dan majazi.
Para Sufi mengambarkan prinsip ini sebagai sebuah prinsip yang menyeluruh dan paripurna. Dari sudut pandang waktu Dialah yang awal dan akhir, yakni Dia adalah asal dan tempat kembali segala yang ada, termasuk manusia. Dari sudut ruang, Dialah yang Lahir dan yang Batin, yakni immanen dan transenden. Dan konsep realitas yang paripurna ini sepenuhnya didasarkan pada ayat al-Qur’an tepatnya surat al-Hadid ayat 3 yang berbunyi: Dialah yang Awwal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin.
Esensi dari sebuah sistem mistisisme adalah perasaan dekat dengan tuhan. Dan perasaan dekat ini dinyatakan dalam pengalaman Sufi akan kehadiran Tuhan yang ia rasakan baik pada dirinya maupun pada alam yang mengelilinginya. Tentang kedekatan dan kehadiran Tuhan di mana-mana ini, para Sufi menemukan basis-basisnya dalam al-Qur’an sendiri. Surat al-Baqarah ayat 186, menyatakan bahwa Tuhan amat dekat dengan hamba-Nya, dan bahwa Dia akan mengabulkan do’a hambanya itu apabila ia betul-betul memanjatkan doanya; sementara surat yang sama ayat 115 menyatakan bahwa “kemana saja kita palingkan wajah kita, di sana ada wajah Tuhan”, dan itu karena Tuhan memiliki dan meliputi seluruh alam semesta, timur dan baratnya dunia. Ibarat matahari, yang karena ketinggian dan kebesarannya bisa terlihat di mana saja, tanpa harus mengimplikasikan keanekaan dan kegandaan dalam jumlah. Bahkan surat Qaf ayat 16 menunjukkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia daripada urat nadi lehernya sendiri”, dan karena itu dikatakan mengetahui bahkan apa yang dibisikkan jiwanya. Dikisahkan bahwa Abu al-Hasan al-Nuri, seorang sufi abad ke-9 dibawa ke pengadilan atas tuduhan bahwa ia telah berkata, “Aku tadi malam telah bersendirian dengan Tuhan di rumahku.” Ketika dimintai keterangan atas pernyataan tersebut, ia membenarkan penyataan tersebut berasal darinya, dan ia memcoba membenarkannya dengan mengutip ayat, “…dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi lehernya sendiri,’ seraya berkata ‘Bahkan pada saat ini ia sedang berada dekat dengan Tuhan sebagaimana orang-orang yang hadir di pengadilan tersebut.”
Selain kesemestaan Tuhan dan perasaan dekat atau kehadiran-Nya, al-Qur’an juga memiliki ayat-ayat yang dijadikan sebgai basis konsep Sufi tentang cinta (mahabbah). Surat Ali-Imran, ayat 30 secara hipotesis menyatakan kemungkinan terjadinya cinta timbal balik antara Tuhan dan hamba-Nya. “Katakanlah jika kamu mencintai Tuhan maka ikutilah aku (nabi) dan Allah akan mencintai kamu.” Pada masa al-Nuri hidup, menyatakan bahwa seseorang mencintai Tuhan dan Tuhan mencintainya, dianggap sebagai skandal dan telah merendahkan martabat Tuhan, karena telah menganggap Tuhan sama dengan hamba-hambaNya. Ketika al-Nuri diminta keterangan tentang pernyataan bahwa ia mencintai Tuhan, dan Tuhan mencintainya, maka ia berkata bahwa hal yang seperti itu hanya ia ulang dari pernyataan Tuhan sendiri yang menyatakan bahwa “akan datang suatu kaum di mana Tuhan mencintai mereka dan mereka mencintai Tuhannya…” (lihat surat al-Maidah ayat 54).
Di samping al-Qur’an, hadits-hadits Nabi juga memberi basis yang sama-sama kuat terhadap konsep-konsep tertentu dari para Sufi. Hadits yang menyatakan bahwa “barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya”, telah diambil para Sufi sebgai konsep “ma’rifah” yaitu pengetahuan sejati yang diperoleh secara langsung dari sumbernya sendiri. Hadits tersebut telah dijadikan sebagai basis bagi sebuah modus pengetahuan yang berbeda dengan modus pengetahuan biasa, yakni apa yang kita kenal dengan nama “ilmu hudluri”. Demikian juga hadits yang menyatakan bahwa “Tuhan adalah pusaka yang terpendam” (Kanzan makhfizan), telah dijadikan basis bagi konsep tajalliat Tuhan, di mana diyakini bahwa alam semesta ini merupakan manifestasi (tajalliyat) dari sifat-sifat Tuhan sendiri, dan punya hubungan eksistensial dengan-Nya.
Kiranya dengan ini cukuplah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut telah menjadi indikasi yang memadai bagi adanya basis islami bagi konsep-konsep dasar dan fundamental yang telah membentuk secara permanen spiritual Islam yang kita sebut tasawuf atau mistisisme Islam ini.

APAKAH TASAWUF ITU ?


TASAWUF adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual. Dan spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia maka tasawuf lebih menekankan aspek ruhaninya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan “kehidupan akhirat” yang lebih baik dan kekal ketimbang kehidupan dunia “yang fana”, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan ia lebih menekankan aspek esoteris ketimbang aspek eksoteris. Lebih menekankan penafsiran batini katimbang penafsiran lahiriah.

Mengapa tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya? Ini karena para ahli tasawuf --yang kita sebut sufi-mempercayai keutamaan “spirit” dibanding dengan “jasad”, mempercayai dunia spiritual ketimbang dunia jasmani. Secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual itu lebih hakiki, lebih riil dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spirit. Karenanya Realitas Sejati bersifat spiritual, bukan seperti yang disangkakan kaum materialisme yang menganggap bahwa yang riil bersifat material. Begitu nyata status ontologis “Tuhan” yang spiritual tersebut, sehingga para sufi menganggap atau berkenyakinan bahwa Dia-lah satu-satunya realitas sejati; Dialah “asal” dan sekaligus “tempat kembali”, alpha dan omega. Kepada-Nyalah para sufi mengorientasikan jiwa mereka, Dia-lah buah kerinduannya, dan kepada-Nyalah mereka akan berpulang untuk selamanya.
Manusia memiliki dua rumah; satu rumah jasadnya, yaitu dunia yang rendah ini, kedua rumah ruhnya, yaitu alam yang tinggi Tetapi karena hakikat manusia terletak pada ruhnya, maka manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam ruhanilah tempat ruh atau jiwa manusia yang sebenarnya. Perasaan terasing inilah yang kemudian memulai sebuah pencaharian mistik (mystical quest) dari seorang manusia, dan dengan itu pula manusia memulai perjalanan spiritual menuju Tuhannya,--inilah yang kita sebut thariqah. Namun karena Tuhan sebagai “tujuan” terakhir perjalanan spiritual manusia bersifat ruhani, maka manusia harus berjuang menembus rintangan-rintangan materi agar ruhnya menjadi suci. Itulah sebabnya “tasawuf” dikatakan sebagai berasal dari kata “shafa” yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang sufi setelah mengadakan “pensucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani. Pensucian atau pembersihan (katarsis) ini penting dalam rangka mendekatkan diri kepada Yang Maha Suci, yaitu Allah s.w.t., karena Yang Maha Suci hanya bisa didekati oleh yang suci juga.
Dari kenyakinan ini muncullah cara hidup spiritual yang pada prinsipnya bertujuan pada “kedekatan” dengan “sumber dan tujuan” hidupnya yaitu Tuhan. Cara hidup spiritual ini bisa mengambil bentuk menyebut-nyebut nama tuhan atau yang dikenal dengan istilah “dzikir”, dengan mana seorang sufi memenuhi jiwanya dengan nama-nama Tuhan sehingga dapat merasakan kehadiran dan kedekatannya; atau dalam bentuk merenungkan dan berulang-ulang membaca “firman-Nya” dengan penuh kecintaan agar dengan begitu seorang sufi dapat memahami “kehendak” Tuhan dan menghayati “hikmah” serta “pelajaran” yang terkandung di dalamnya; atau dalam bentuk “bersendirian dengan Tuhan” di tengah malam ketika yang lain sedang terlelap tidur atau apa yang dikenal sebagai “qiyam al-lail”, sehingga dengan demikian tercapai hubungan intim dan personal dengan-Nya; muncullah dari sini buah hubungan ini dalam bentuk “munajat-munajat” atau “lamahat” yakni lintasan-lintasan cahaya Ilahi. Untuk mengintensifkan spiritualitasnya, maka sang sufi berusaha untuk mengatasi berbagai rintangan yang akan menghambat lajunya pertemuan dengan Tuhan. Inilah yang disebut pensucian diri atau “tazhiyat al-nafs” , yang bisa berbentuk menahan diri dari hawa nafsu, termasuk amarah, membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, atau melakukan latihan-latihan jiwa dalam berbagai disiplin termasuk berpuasa, uzlah dan lain-lainnya

HAKIKAT


PARA SUFI menyebut diri mereka “ahli hakikat”. Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran hakiki; karena itu mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan al-Haqq, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj.”Aku adalah Tuhan” (ana al-Haqq). Obsesi terhadap hakikat (realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “La ilaha illah Allah “ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.

Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki, dalam arti ialah yang betul-betul ada, ada yang absolut, sedangkan yang lain keberadaannya tidak hakiki atau nisbi dan tergantung kepada kemurahan Tuhan. Dialah Tuhan yang awal dan akhir, yang lahir dan batin, “sebab” dari yang segala ada dan tujuan akhir tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya obyek-obyek yang tersembunyi dalam kegelapan. Dia jugalah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan al-Akhir, al-Zhahir dan al-Bahtin. Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau asal dari segala yang ada, Prima Causa, sebab pertama dari segala yang ada di dunia. Dia yang Akhir diartikan sebgai “tujuan akhir” atau “tempat Kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah pula pulau harapan ke mana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” ke mana jiwa manusia yang sedang mengembara di dunia rindu kembali. Dia adalah “muara” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah sang kekasih, dimana sang pecinta selalu mendambakan pertemuan. Dnilah tujuan akhir ke mana sang Sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkan sebagai “al-Zhahir” dan “al-Bathin”, dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin dari Tuhan, atau “pantulan” Tuhan dalam sebuah cermin. Alam lahir karena itu merupakan refleksi atau manifestasi (tajalliyat) Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tetapi juga tidak sama. Dan ketidaksamaannya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Bathin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir, Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivatif dan akibat daripada-Nya. Tuhan adalah mutlak sedangkan alam adalah nisbi, Tuhan ibarat matahari, sedangkan alam adalah cahayanya. Keberadaan matahari tidak tergantung pada cahayanya., namun justru keberadaan cahaya sangat bergantung pada matahari. Jadi, keberadaan alam sangat tergantung kepada-Nya. Sifat dasar diri-Nya adalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin.
Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi yang lain, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Konsep fana’ atau “faana’ al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep baqa’ adalah afirmasi terhadap satu-satunya Realitas Sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang dinyatakan dalam formula “illa Allah”. Fana’ dan baqa’ dipandang sebagai “station” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai maqam tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai “kendala” atau menurut istilah mereka “berhala” terbesar yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu ibadah mereka diikhlaskan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata “Satu lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”

MA’RIFAT

MA’RIFAT adalah sejenis pengetahuan dengan mana para Sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Ma’rifat berbeda dengan jenis ilmu lainnya, di mana ia menangkap obyeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image ataupun simbol dari obyeknya tersebut.
Seperti indra menagkap obyeknya secara langsung, demikian juga “hati” atau intuisi menangkap obyeknya secara langsung, perbedaannya terletak pada jenis obyeknya; kalau obyek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat), obyek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengenalan ini manusia mengalami obyeknya secara langsung, dan karena itu ma’rifah disebut sebagai ilmu dzauqi (experiental), yang biasanya dikontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi). Walaupun sama-sama melalui pengalaman / dialami seseorang, namun hubungan orang itu dengan obyeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi obyek-obyeknya berada di luar dirinya, dan dikaitkan dengannya melalui “representasi”, sedangkan obyek-obyek intuisi, hadir begitu saja dalam diri orang tersebut, dan karena itu disebut “ilmu hudhuri” dan bukan “ilmu hushuli”.
Ma’rifat dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu rasional, dimana pemilahan antara subyek dan obyek begitu dominan, dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap obyek-obyek ma’qulat (ruhani) sebagaimana intuisi tetapi cara keduanya berbeda. Akal menangkap obyek ruhani melalui hal-hal yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui, jadi bersifat inferensial. Sementara intuisi menangkap obyeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapan, mukasyafah atau penyinaran (iluminasi) dan penyaksian (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
Ma’rifat tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi itu seperti mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut hanya dengan datang dan memandang laut. Ia juga tidak dapat diperoleh lewat penggalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara. Untuk mendapatkan mutiara (ma’rifat) orang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; yakni butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan mengingatkan bukan hanya penyelam yang ulung tetapi juga beruntung, yakni tergantung kepada kemurahan Tuhan, karena tidak semua kerang mengandung mutiara yang didambakan.
Ma’rifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasarkan pada pengalaman; artinya ia harus dialami, bukan dipelajari. Seperti memahami rasa manis, akan bisa dengan mudah dengan langsung mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain atau membaca buku akan mendapatkan pengetahuan yang semu. Paling banter, hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Ma’rifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para Sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita berdzikir dan melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri dan bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang Sufi hanyalah simbol karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada simbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting mawar dari M.A.W.A.R.?
Perbedaan lain antara ma’rifat dengan jenis pengetahuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung, mengasah otak dan berpikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis, jadi manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh obyek pengetahuannya. Tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia, pada tahap akhir semuanya tergantung kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan “persiapan diri” (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit jiwa lainnya, yakni akhlak yang tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari ke dalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel di atasnya, agar ketika sinar matahari itu masuk atau hadir maka kaca kita siap mengantarkannya ke dalam jantung rumah kita dan memberi cahaya pada sekitarnya. Sehingga terjadi iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekitarnya dan membuat benda-benda yang tak tampak atau remang-remang menjadi jelas dan terang benderang.

TAREKAT


TAREKAT (thariqah), seperti syari’at berarti jalan, hanya saja yang pertama berarti jalan kecil (path) sedangkan yang terakhir berarti jalan besar (road). Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang Sufi. Selain tarekat sering juga dipakai kata suluk yang artinya juga jalan spiritual, dan orangnya disebut salik. Tetapi kata tarekat juga dipakai sebagai kelompok persaudaraan atau orde spiritual yang biasanya didirikan oleh seorang Sufi besar, seperti Abdal-Qadir jaelani, Sadzali, Jalal al-din Rumi dan lain-lain. Nama tarekat tersebut biasanya diberi nama sesuai dengan nama-nama para pendirinya. Karena itu kita mengenal tarekat Qadiriah, Sadzaliyah atau Mawlawiyah yang dinisbatkan dengan kata Mawlana (guru kami) sebuah sebutan yang diberikan oleh para pengikut Jalal al-din Rumi kepada dirinya.

Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para Sufi dan Zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda, sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu menuju Tuhan, mendekati Tuhan bahkan bersatu dengan-Nya, baik dalam arti majaz atau hakiki, yaitu kesatuan mistik atau ittihad (mystical union). Meskipun begitu para ahli sepakat untuk memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini ke dalam station-station (maqamat), dan keadaan-keadaan (ahwal). Sementara maqamat dicapai dengan usaha yang sadar dan sistimatis, ahwal adalah keadaaan-keadaan jiwa (mental states) yang datang secara spontan dan berlangsung relatif cepat dan tak lama.
Selain pengalaman spiritual yang berbeda-beda dari seorang Sufi dalam tarekatnya, intensitas dan kecepatan perjalanannya pun bisa berbeda-beda. Ali Nadwi misalnya menggambarkan perjalanan mistik Rumi seperti burung rajawali (falcon) yang bisa dengan cepat tiba di tangan rajanya, sedangkan ‘Aththar seperti semut. Rumi sendiri misalnya mengatakan,” Seorang Sufi bermi’raj ke Arasy dalam sekejap; sang Zahid perlukan sebulan untuk sehari pejalanan.”
Walaupun jalan spiritual ini obyektif, karena dialami oleh orang-orang suci di sepanjang zaman, tetapi pengalaman masing-masing Sufi dalam menempuh perjalanan tersebut adalah subyektif. Dan karena sifat pengalamannya subyektif, maka tidak mungkin kita mengharapkan adanya keseragaman ungkapan dan nama-nama tahapan (maqamat) atau keadaan-keadaan (ahwal) dari seluruh atau masing-masing Sufi. Oleh karena itu wajar, kalau para penulis Sufi berbeda misalnya dalam menamakan maqam-maqam ataupun urutan-urutannya. Al-Kalabadzi, misalnya menyebut maqam-maqam tersebut sebagai berikut: taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, taqwa, tawakkal, ridha’, mahabbah dan ma’rifat, sementara al-Ghazali menyebutnya sebagai berikut : taubat, sabr, faqr, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat dan ridha, sedangkan al-Qusyairi sebagai berikut; taubat, wara, zuhud, tawakkal, sabar dan ridha. Selain perjalanan tersebut digambarkan secara datar dan dalam bentuk prosa, seperti tersebut di atas, ada juga yang menggambarkannya secara simbolis dan dalam bentuk puitis. Farid al-Din ‘Aththar misalnya menggambarkan perjalanan spiritualnya dengan indah dalam karya puitisnya Manthiq al-Thayr sebagai perjalanan panjang dan melelahkan dari burung-burung (yang melambangkan jiwa-jiwa manusia) dalam rangka menjumpai raja mereka “simurgh”. Untuk itu mereka harus melampaui tujuh lembah yaitu lembah pencaharian, lembah cinta, ma’rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, faqir dan fana’. Atau seperti Ibn ‘Arabi yang melukiskan pengalaman spiritualnya secara detail tanpa berusaha memberi nama masing-masing tingkatnya tetapi menceritakan dengan gamblang perjalanan manusia dari tingkat indrawi menuju tingkat imajinal, dan dari dunia imajinasi ke tingkat spiritual murni. Sekurangnya ada 19 tingkatan yang digambarkan Ibn Arabi dalam kitabnya Risalat al-Anwar fima yumnah shahib al-khalwa min al-Asrar, sebelum akhirnya manusia kembali kepada dunia indrawi.
Apa yang kita gambarkan selama ini tentang tarekat, adalah pengertian tarekat sebagai perjalanan spiritual, yang juga disebut suluk. Tetapi ada pengertian lain dari tarekat dalam arti persaudaraan atau ordo spiritual. Pengertian ini sebenarnya yang lebih dikenal oleh kalangan luas, seperti Tarekat Naqsabandiah, Sinusiah, Qadiriah dan sebagainya. Tentu bukan tempatnya di sini untuk membahas satu persatu tarekat tersebut, namun beberapa hal tentang tarekat ini perlu dikemukakan. Pertama, tentang metode spiritual dan peranan sang guru (mursyid). Karena tasawuf pada hakekatnya tidak bisa dipelajari lewat buku, maka latihan spiritual berupa dzikr, atau sama’, adalah cara yang efektif untuk memahaminya lewat pengalaman batin. Daripada mengajarkan murid-murid tentang ajaran-ajaran para Sufi, seorang guru akan mengajak murid-muridnya untuk melakukan perjalanan bersama melalui dzikir menuju tuhan, dengan metode yang pernah dialami oleh si mursyid. Dengan begitu sang guru berharap bahwa apa yang pernah ia alami dengan metode yang sama akan juga dialami oleh murid-muridnya. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi dan dengan penuh ketaatan kepada petunjuk sang guru. Ini terjadi karena sang guru merasa yakin hanya dengan cara itulah maka pengalaman seorang murid akan sesuai dengan yang direncanakan. Dalam hal ini murid tidak boleh protes atau membangkang, dan seorang murid harus bertindak seolah-olah seperti mayat dalam pangkuan orang yang memandikannya. Boleh saja membangkang, tetapi sang guru tidak bertanggung jawab atas kegagalan sang murid yang membangkang tersebut dan tidak ada jaminan bahwa usahanya itu akan berhasil. Jadi inilah kira-kira peranan sang mursyid terhadap muridnya, yakni memastikan bahwa segala hal-ihwal metodenya dijalankan sepenuhnya oleh sang murid. Baru setelah segalanya dijalankan dengan baik, seorang murid bisa berharap sukses dalam upaya tersebut.

ANTARA SYARI’AT DAN HAKIKAT



Syari’at adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah, yang dirujuk sebgai tujuan utama penciptaan manusia (wa ma khalaqtu al-jinn wa’l-insa illa liya’budun). Sedangkan hakikat, yakni tasawuf /sufisme, seperti yang diisyaratkan dalam definisi ihsan (engkau beribadat seakan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tidak melihat Tuhan, niscaya Ia melihat kamu), merupakan pelengkap dari ibadat tersebut. Oleh karena itu antara syari’at dan hakikat seharusnya tidak boleh kita pisahkan tanpa menimbulkan masalah.

Syari’at yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat adalah seperti sebuah bangunan kosong dan belum dihias. Sedangkan hakikat tanpa syari’at akan seperti perhiasan tanpa yang dihiasnya, sehingga hanya akan menjadi tumpukan barang yang acak. Oleh karena itu sepatutnyalah kedua aspek penting dari agama kita itu tidak dihayati secara terpisah tetapi dilaksanakan sebagai dua hal yang saling melengkapi, dan harus diperlakukan secara seimbang. Penekanan yang berat sebelah kepada salah satu aspek dari keduanya hanya akan melahirkan ahli-ahli eksoterik formal (ahl al-zhahir), yang tidak bisa mengapresiasi dimensi spiritual dari ibadah formal mereka, atau kalau tidak, ahli esoterik yang sama sekali meninggalkan ibadat-ibadat formal yang merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam.
Sebenarnya, kalau kita perhatikan tokoh-tokoh utama tasawuf, seperti Syaikh Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali, dalam karya-karya besarnya, mereka selalu berusaha untuk menselaraskan kedua aspek penting agama kita. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, misalnya, al-Ghazali bukan saja membicarakan keutamaan-keutamaan spiritualitas Islam dan nilai-nilainya yang luhur, tapi bahkan dalam bab-bab pertamanya, ia membicarakan aspek-aspek formal peribadatan, seperti yang dilakukan para fuqaha dalam kitab-kitab fiqih mereka, yakni bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa dan haji. Hanya saja kepada setiap jenis ibadat formal tersebut ditambahkan makna batin dan segala macam keutamaannya. Hal serupa juga dilakukan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tirai). Digambarkan dalam kitab tersebut berbagai pemahaman sufistik tentang berbagai macam ibadah. Misalnya, ia menafsirkan ibadah haji sebagai perjalanan ke lubuk hati kita yang terdalam dari dunia indrawi. Ia tidak menghilangkan praktek lahiriah ibadah tersebut, tetapi menambahkan makna yang tersembunyi dari ibadat-ibadat yang biasanya dilakukan secara fisik saja. Misalnya, memakai baju Ihram di miqat, pada waktu menunaikan ibadah haji, bagi Sufi bukan hanya mengganti pakaian biasa dengan baju ihram, tetapi ada makna spiritual dibalik itu. Pencampakan baju yang biasa kita pakai bermakna mencampakkan “emblem-emblem” yang biasanya menghiasi baju kita sehari-hari tersebut, seperti menunjukkan status ekonomi tertentu, atau pangkat dan tanda jasa lainnya yang menunjukkan status sosial dan kedudukan orang yang menyandangnya. Dengan menanggalkan baju “biasa” itu maka diharapkan pengaruh harta dan kedudukan pada saat itu terhadap diri kita akan terhapus, dan dengan mengenakan baju ihram yang sederhana dan putih kita diingatkan akan fitrah kita yang suci dan pandangan Tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia karena harta dan kedudukannya, tetapi pada kesucian hati dan ketaqwaannya. Demikian juga dengan sa’i (lari-lari kecil) dari Shafa ke Marwah dan sebaliknya selama tujuh kali, punya makna agar kita, setelah kembali ke negeri masing-masing, terbiasa bertolak dari Shafa (kesucian) menuju Marwah (kebajikan), dan dari kebajikan menuju kesucian. Dan kalau kita berhasil melaksanakannya maka besarlah pengaruh dan manfaat yang kita peroleh dari ibadah haji tersebut. Dengan begitu ibadah haji kita insya Allah menjadi haji yang mabrur

No comments: