أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Agama
dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental
dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang
mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan
filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini
sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya
dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral
keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan
pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya
sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan
kesesuaian dua mainstream disiplin ini.
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa
antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim,
dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama
agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari
pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan
ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat
berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan,
dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati
nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di
samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar
tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih
membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua
ini yang hanya dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat.
Jika
agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam
dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana
mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama
dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek
penelitian dan pengkajian filsafat.
Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan
keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan
sesuai dan sejalan jika seorang penganut agama senantiasa
menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati
secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan
kepercayaan agamanya. Dengan demikian, filsafat tidak lagi
dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak
keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat
untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna
terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini
niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita
terhadap kebenaran ajaran agama.
meskipun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak
bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian
penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan
berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga landasan
keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus
menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya
melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam
terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan
menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Dengan
satu ungkapan dapat dikatakan bahwa filosof agama mestilah
dari penganut dan penghayat agama itu sendiri. Lebih jauh,
filosof-filosof hakiki adalah pencinta-pencinta agama yang
hakiki. Sebenarnya yang mesti menjadi subyek pembahasan di
sini adalah agama mana dan aliran filsafat yang bagaimana
memiliki hubungan keharmonisan satu sama lain. Adalah sangat
mungkin terdapat beberapa ajaran agama, karena
ketidaksempurnaannya, bertolak belakang dengan kaidah-kaidah
filsafat, begitu pula sebaliknya, sebagian konsep-konsep
filsafat yang tidak sempurna berbenturan dengan ajaran agama
yang sempurna. Karena asumsinya adalah agama yang sempurna
bersumber dari hakikat keberadaan dan mengantarkan manusia
kepada hakikat itu, sementara filsafat yang berangkat dari
rasionalitas juga menempatkan hakikat keberadaan itu sebagai
subyek pengkajiaannya, bahkan keduanya merupakan bagian dari
substansi keberadaan itu sendiri. Keduanya merupakan karunia
dari Tuhan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Filsafat
membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang
berkaitan dengan dengan alam gaib yang tak bisa dijangkau
oleh akal filsafat. Sementara agama juga memerlukan filsafat
untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan perspektif ini,
adalah tidak logis jika ajaran agama dan filsafat saling
bertolak belakang.
Anselm[1]
dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion"
mengungkapkan kalimat yang menarik berbunyi: Saya
beriman supaya bisa mengetahui. jika kalimat ini kita
balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya
tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm
meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan
pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan
penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap
ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai
sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan.
Kesempurnaan iman dan kedalaman pengahayatan keagamaan
seseorang adalah berbanding lurus dengan pemahaman
rasionalnya terhadap ajaran-ajaran agama, semakin dalam dan
tinggi pemahaman rasional maka semakin sempurna keimanan dan
semakin kuat apresiasi terhadap ajaran-ajaran agama. Manusia
membutuhkan rasionalisasi dalam semua aspek kehidupannya,
termasuk dalam doktrin-doktrin keimanannya, karena akal dan
rasio adalah hakikat dan substansi manusia, keduanya
mustahil dapat dipisahkan dari wujud manusia, bahkan manusia
menjadi manusia karena akal dan rasio. Tolok ukur
kesempurnaan manusia adalah akal dan pemahaman rasional.
Akal merupakan hakikat manusia dan karenanya agama
diturunkan kepada umat manusia untuk menyempurnakan
hakikatnya. Penerimaan, kepasrahan dan ketaatan mutlak
kepada ajaran suci agama sangat berbanding lurus dengan
rasionalisasi substansi dan esensi ajaran-ajaran agama.
Substansi dari semua ajaran agama adalah keyakinan dan
kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan, sementara eksistensi
Tuhan hanya dapat dibuktikan secara logis dengan menggunakan
kaidah-kaidah akal-pikiran (baca: kaidah filsafat) dan bukan
dengan perantaraan ajaran agama itu sendiri. meskipun akal
dan agama keduanya merupakan ciptaan Tuhan, tapi karena
wujud akal secara internal terdapat pada semua manusia dan
tidak seorang pun mengingkarinya, sementara keberadaan
ajaran-ajaran agama yang bersifat eksternal itu tidak
diterima oleh semua manusia.
Dengan
demikian, hanya akallah yang dapat kita jadikan argumen dan
dalil atas eksistensi Tuhan dan bukan ajaran agama.
Seseorang yang belum meyakini wujud Tuhan, lantas apa arti
agama baginya. Kita mengasumsikan bahwa ajaran agama yang
bersifat doktrinal itu adalah ciptaan Tuhan, sementara belum
terbukti eksistensi Pencipta dan pengenalan sifat-sifat
sempurna-Nya, dengan demikian adalah sangat mungkin yang
diasumsikan sebagai "ciptaan Tuhan" sesungguhnya adalah
"ciptaan makhluk lain" dan makhluk ini lebih sempurna dari
manusia (sebagaimana manusia lebih sempurna dari hewan dan
makhluk-makhluk alam lainnya). Lantas bagaimana kita dapat
meyakini bahwa seluruh ajaran agama itu adalah berasal dari
Tuhan. meskipun kita menerima eksistensi Tuhan dengan
keimanan dan membenarkan bahwa semua ajaran agama berasal
dari-Nya, tapi bagaimana kita dapat menjawab soal bahwa
apakah Tuhan masih hidup? Kenapa sekarang ini tidak diutus
lagi Nabi dan Rasul yang membawa agama baru? Dan masih
banyak lagi soal-soal seperti itu yang hanya bisa
diselesaikan dengan kaidah akal-pikiran. Berdasarkan
perspektif ini, akal merupakan syarat mendasar dan mutlak
atas keberagamaan seseorang, dan inilah rahasia ungkapan
yang berbunyi: Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
Mungkin masih terdapat sebagian penganut agama yang
beranggapan bahwa ajaran-ajaran agama dapat dipahami secara
rasional lewat pandangan-pandangan para filosof yang bukan
penganut agama itu sendiri, menurut mereka adalah tidak
urgen mengkaji dan mendalami filsafat untuk menafsirkan
ajaran-ajaran suci agama. Anggapan ini sangatlah keliru,
karena para filosof itu tidak mengetahui secara universal
dan komprehensif ajaran-ajaran agama, jadi
tafsiran-tafsirannya atas ajaran agama sangat besar
kemungkinan mengandung kesalahan.
Oleh
karena itu, para analisis non-religius seperti Bertrand
Russel dan Anthony Flew yang memandang ajaran agama dari
luar tidak mampu menjelaskan dan menjabarkan substansi dan
esensi ajaran agama secara sempurna. Sebagian pengkritik dan
pengkaji ajaran agama dari luar dapat dikatakan bahwa mereka
itu tidak memahami secara jelas dan proporsional tema
pembahasan dan pengkajiannya sendiri. Sangat disayangkan,
sebagian penganut agama tanpa sikap kritis dan selektif
menerima apa adanya analisa dan penafsiran mereka.
Harapan
umat beragama kepada para filosof non-religius adalah bukan
pembenaran dan apologi terhadap hakikat ajaran agama, tetapi
pengetahuan yang komprehensip dan proporsional terhadap
ajaran agama dan keprihatinan yang cukup sebagaimana yang
dimiliki para penganut agama. Di samping itu, yang paling
urgen bagi mereka adalah pemahaman mendalam dan rasional
atas ajaran-ajaran keagamaan dan bukan penerimaan secara
awam terhadapnya. Seorang filosof non-religus yang memandang
dan mengkaji ajaran agama dari luar, sebelumnya tidak mesti
beriman kepada agama itu, tapi pengetahuan yang benar atas
inti kajian.
Mengenai
dikotomi agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya
para pemikir terpecah dalam tiga kelompok: kelompok pertama,
berpandangan bahwa antara keduanya terdapat hubungan
keharmonisan dan tidak ada pertentangan sama sekali.
Kelompok kedua, memandang bahwa filsafat itu bertolak
belakang dengan agama dan tidak ada kesesuaiannya sama
sekali. Kelompok ketiga, yang cenderung moderat ini,
substansi gagasannya adalah bahwa pada sebagian perkara dan
persoalan terdapat keharmonisan antara agama dan filsafat
dimana kaidah-kaidah filsafat dapat diaplikasikan untuk
memahami, menafsirkan dan menakwilkan ajaran agama.
Sangat
penting untuk digaris bawahi bahwa yang dimaksud filsafat
dalam makalah ini adalah metafisika (mâ ba'd ath-thabî'ah).
Jadi subyek pengkajian kita adalah hubungan antara agama dan
metafisika, namun metafisika menurut perspektif para filosof
Islam.
Sebelumnya telah disinggung
bahwa sebagian pemikir Islam memandang bahwa antara agama
dan filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan
keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami
perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah
seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan
antara agama dan filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama)
adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang
mengamalkan ajaran-ajaran syariat."[2]
Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling
ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusian.
Tentang Agama
Segala konsep
teoritis, terkhusus yang berhubungan dengan manusia,
senantiasa menjadi tema dan subyek analisa, pengkajian dan
perdebatan, tak terkecuali konsep teoritis tentang agama.
Oleh karena itu, tak bisa disangkal hadirnya berbagai
pandangan tentang definisi dan pengertian agama yang hingga
sekarang ini belum juga dihasilkan kesepakatan bersama, tapi
kerumitan definisi ini bukan berarti bahwa manusia tidak
dapat memahaminya secara universal. Robert Hume dalam hal
ini berkata, "Agama sedemikian sederhananya bisa diamalkan
dan dihayati oleh seorang anak yang baligh dan manusia
dewasa yang berakal, tetapi akan rumit sekali ketika ingin
dikonsepsi secara sempurna dan komprehensip, yang karenanya
ia memerlukan analisa mendalam dan pengalaman keagamaan yang
tinggi."[3]
Definisi tentang agama sangat beragam karena berkaitan
dengan seluruh dimensi kehidupan manusia seperti Etika,
Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Filsafat dan Estetika.
Problematika Pendefinisian Agama
Definisi tentang agama memiliki kerumitan tersendiri karena
beragam faktor, sebagian faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Perbedaan dalam metodologi pendefinisian agama. Sebagian
mendefinisikan agama berpijak pada empirisme dan sebagian
lain mendefinisikannya lewat pendekatan rasionalisme,
fenomenologi, psikologi, dan sosiologi.
b.
Perbedaan dalam penentuan individu-individu agama. Sebagian
dari awal memandang bahwa aliran filsafat dan sosial
dikategorikan kedalam individu-individu agama dan
berdasarkan inilah agama itu didefinisikan secara luas.
c.
Menyamakan antara esensi agama dan perilaku penganut agama.
Para pengkaji agama yang mendefinisikan agama melalui
pendekatan empirisisme dan fenomena-fenomena agama terkadang
tidak lagi membedakan antara perilaku-perilaku penganut
agama dan hakikat ajaran agama sehingga perbuatan negatif
para penganut agama itu dimasukkan sebagai bagian dari
definisi agama.
d.
Pengkajian terhadap sisi internal agama atau eksternal
agama. Sebagian orang mengusulkan bahwa untuk memahami
hakikat dan esensi agama mesti merujuk pada wahyu dan
teks-teks suci agama sebagai internalitas agama dan menjauhi
segala metode, sumber dan sudut pandang yang merupakan
dimensi eksternalitas agama, tapi sebagian juga menekankan
penelitian terhadap agama mesti berangkat dari sisi
eksternalitas agama; di samping terdapat perbedaan yang
mencolok antara teks-teks suci semua agama juga terdapat
keragaman model-model pendekatan rasional dari setiap aliran
filsafat, hal inilah yang semakin memperuncing hadirnya
perbedaan dalam pendefinisian agama.
e.
Menggunakan istilah-istilah yang kabur dan tidak transparan
dalam pendefinisian agama. Sebagian teolog menguraikan agama
dalam bentuk yang rumit dan kompleks, realitas ini tidak
dapat menjadikan definisi agama semakin jelas malah
mengaburkannya.
f.
Pendefinisian agama hanya secara leksikal dan harfiah.
Sebagian teolog dalam mendefinisikan agama hanya merujuk
makna leksikal agama seperti ketaatan, khusyu',
pahala dan kepasrahan. Sementara metode seperti ini tak bisa
mengungkap esensi agama, berlebih lagi kalau kata-kata
tersebut dari awal tidak ditetapkan untuk mewakili makna
agama itu sendiri.
g.
Pendefinisian agama dipengaruhi oleh istilah-istilah
epistemologi, antropologi, ontologi, pandangan dunia, dan
ideologi. Tak satupun teolog dan filosof agama yang
berangkat dari awal dalam pendefinisian agama, hampir semua
memandang agama sesuai dengan latar belakang pemikiran dan
disiplin ilmunya.
h.
Agama tidak memiliki individu luar yang dapat terindera
secara lahiriah. Problem lain dalam pendefinisian agama
adalah agama tak mempunyai realitas eksternal yang mudah
terindera secara lahiriah, karena suatu konsep yang tidak
memiliki obyek luar di alam materi akan sangat sulit
dipahami dan dimengerti sebagaimana mestinya.
i.
Perubahan yang terjadi pada sebagian agama. Begitu banyak
agama-agama yang mengalami perubahan dan penyimpangan
disepanjang sejarah kehidupannya dan karena inilah lahir
banyak aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang berbeda.
meskipun hikmah Ilahi mengharuskan minimal satu agama dan
mazhab yang terjaga dari perubahan dan penyimpangan itu agar
manusia mendapatkan petunjuk dan terus mengalami
kesempurnaan. Tapi bagaimanapun adanya perubahan yang
terjadi pada teks suci beberapa agama tak bisa disangkal dan
menyebabkan perbedaan pendefinisian agama.
j.
Pengetahuan yang tak komprehensif tentang agama. Memahami
sebagian agama dan terfokus pada cabang agama (fiqih agama)
akan berefek pada pendefinisian agama yang beragam.
Definisi Agama
a.
Definisi leksikal agama
Kata
agama dalam Kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi mempunyai
makna antara lain: pahala dan balasan, ketaatan dan
penghambaan, kekuasaan, syariat dan hukum, umat, kepasrahan
dan penyerahan mutlak, aqidah, cinta, akhlak yang baik,
kemuliaan, cahaya, kehidupan hakiki, amar ma'ruf nahi
munkar, amanat dan menepati janji, menuntut ilmu dan beramal
dengannya, dan puncak kesempurnaan akal.
b.
Definisi gramatikal agama
1.
Definisi agama menurut para teolog Barat:
-
Agama adalah suatu sistem
Ilahi yang ditetapkan bagi manusia yang memuat pokok-pokok
agama dan cabang-cabangnya.[4]
-
Agama adalah suatu ketetapan
Ilahi untuk umat manusia yang bertujuan membahagiakan
manusia di dunia dan akhirat.[5]
-
Agama ialah hukum dan
undang-undang Ilahi yang mengajak orang-orang berakal
menerima dan mengikuti seruan Nabi-Nya.
[6]
-
Agama adalah berikrar dengan
lisan, yakin pada pahala dan siksaan di akhirat dan beramal
sesuai hukum dan perintahnya.
[7]
-
Agama merupakan segala upaya
dan usaha untuk menyingkap dan menyempurnakan hakikat
kebaikan di dalam wujud kita.[8]
-
Agama adalah keyakinan kepada
kehendak Tuhan Yang Kuasa atas semua alam dan etikanya
sesuai dengan watak manusia.[9]
-
Agama yakni meraih pengetahuan
hubungan antara manusia dan Tuhan dimana manusia bisa
merasakan kekuasaan mutlak-Nya atas dirinya dan terus
berharap akan nikmat-nikmat-Nya.[10]
-
Agama yaitu kumpulan
kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
perbedaan antara pengalaman spiritual biasa dan hakikat
tertinggi. Pengalaman ini dari sisi implikasi dan maknanya
memiliki keunggulan lebih kecil dari hakikat tertinggi yang
bersumber dari yang non-pengalaman.[11]
-
Agama adalah suatu sistem
keyakinan dan perbuatan yang berhubungan dengan suatu
hakikat tertinggi yang berada di luar jangkauan pengalaman
spiritual dan menyeru para penganutnya membentuk suatu
masyarakat yang beretika dan bermoral.[12]
-
Agama adalah suatu sistem
kepercayaan dan prilaku yang memiliki kasih sayang,
kelembutan, dan cinta dimana dengannya masyarakat dapat
memikul beban kehidupan dan mengemban amanat tujuan hidup
manusia. Dengan agama pula manusia bisa memaknai
persoalan-persoalan seperti kematian, penderitaan dan tujuan
penciptaan segala eksistensi.[13]
-
Agama adalah kumpulan
simbol-simbol yang jika diamalkan akan melahirkan motivasi
dan kekuatan hidup manusia; agama sesuai dengan teori-teori
universal tentang eksistensi dan hadir dalam bentuk
simbol-simbol untuk merahasiakan hakikatnya.[14]
2. Definisi agama menurut para teolog Islam:
-
Agama adalah kepasrahan dan
ketaatan kepada Tuhan.[15]
-
Agama adalah keyakinan kepada
Pencipta alam dan manusia serta hukum-hukum praktis yang
sesuai dengan keyakinan ini.[16]
-
Agama adalah kumpulan
hukum-hukum praktis yang berpijak pada suatu keyakinan, dan
yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah bukan hanya
ilmu teoritis, karena ilmu teoritis terkadang tak
mengharuskan suatu amal, tapi sebagai ilmu yang terpancar
dari keyakinan tertinggi yang meniscayakan amal[17].
Dan di tempat lain, agama didefinisikan sebagai kumpulan
suatu keyakinan (kepada Tuhan dan kehidupan abadi) dan
perasaan serta hukum-hukum yang sesuai dengan keyakinan itu
dimana mesti diamalkan di dalam kehidupan manusia.[18]
-
Agama adalah ilmu yang
diterapkan di semua aspek kehidupan manusia untuk
mengantarkannya pada kesempurnaan. Agama memiliki empat
dimensi: pencerahan pemikiran dan keyakinan, pendidikan
akhlak, penciptaan hubungan harmonis di antara manusia, dan
penghapusan perbudakan dan penjajahan.[19]
-
Agama adalah kumpulan
keyakinan dan kepercayaan, hukum-hukum, dan etika yang
bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur masyarakat
manusia. Terkadang kumpulan keyakinan itu adalah batil,
terkadang benar, dan terkadang gabungan benar dan batil.
Jika kumpulan itu adalah benar, maka disebut agama yang
benar dan bila batil disebut pula agama batil. Agama benar
adalah keyakinan, akidah, dan undang-undangnya bersumber
dari Tuhan, sementara agama batil berasal dari selain Tuhan.[20]
Hubungan Agama dan Filsafat Menurut Para Filosof
Abu Hayyan Tauhidi, dalam
kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan
syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan
filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[21].
Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan
pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia
berangkat ke Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam
(teologi). Di samping ia berusaha memadukan syariat dan
filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis
dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan
beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang
murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang
juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan
filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari
argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil
melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam
pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan,
"Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang
berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa
kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat
Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam
ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang
mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang
meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah
satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk
apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan
bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang
lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara
substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan
akal yang membawa pesan-pesan Tuhan."[22]
'Amiri memandang bahwa akal
secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah
Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan
sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa
derajat akal jika dibandingkan dengan jiwa sama seperti
daya penglihatan jika dihubungkan dengan mata. 'Amiri,
dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung
hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa
mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam
materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa
adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada
jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia
meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran.
Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada
kehancuran dan kemaksiatan."[23]
'Amiri
beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan
untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang
memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi
khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan membangun alam
ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia
dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan
alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan
alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah
substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual
tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani
terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang
menghubungkan dan menggabungkan dua alam.
Dari
perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan
menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu
sisi terhubung ke alam ruhani dan pada sisi lain memanjang
ke alam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan
menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke
alam materi. Menurut 'Amiri, meskipun jiwa di awal
perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan
indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari
cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa. Perlu
diperhatikan bahwa meskipun jiwa senantiasa mengambil
manfaat dari cahayai akal, tapi tanpa cahaya agama jiwa
mustahil mencapai alam spiritual tertinggi. 'Amiri dalam
menjelaskan hal itu mengambil sebuah pemisalan: dalam
perkembang-biakan spesis tumbuhan di alam, semua tingkatan
kesempurnaan satu spesis tumbuhan secara potensial terdapat
dalam wujudnya, tapi untuk mewujudkan daun-daunnya,
bunga-bunganya dan buah-buahnya mesti membutuhkan seorang
tukang kebun. Jiwa manusia juga secara potensial memiliki
semua derajat kesempurnaan, tetapi untuk mengaktualkan
seluruh potensi yang dimilikinya niscaya memerlukan agama
dan filsafat.
Dengan memperhatikan apa yang
telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa filosof
tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal,
dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari
pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini
berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan
"syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal
adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada
seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut
terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku
padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada
orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi
dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka".[24]
Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan
sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka
yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa
hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia
yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan
dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab
al-Itmâm lifadhâil al-Anâm, membahas hubungan antara
teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu
bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham,
lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk
al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan
kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi
adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan
kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah
satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir,
dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan
doa.
Menurut
Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis
(terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal
mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha
sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas
segala sesuatu tersingkap baginya.
Musa bin Maimun, seorang
filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam
beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah
satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada
kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan
agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-Hairîn, berkata,
"Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia.
Ilmu dan makrifat adalah salah satu bentuk ibadah yang
sesungguhnya dapat mengantarkan seorang hamba dekat kepada
Tuhan, makrifat dapat menyingkap hakikat dan rahasia
eksistensi. Semakin tinggi dan sempurna pengetahuan manusia
maka semakin ia dekat kepada Tuhan dan semakin dalam
kecintaannya kepada-Nya"[25].
meskipun menurutnya ibadah merupakan hasil dari kecintaan,
tetapi kecintaan seseorang kepada Tuhan berbanding lurus
dengan ilmu dan makrifatnya.
Abu
Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof yang
juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat.
Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan
kebahagian pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf
(pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf
Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada
niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair
suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh
dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan dunia,
tapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang
berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi,
kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada
ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur,
rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa
ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian
kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan
akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang
lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia,
maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal,
dan ketika ia sampai pada derajat alam akal tertinggi, maka
selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak
tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.
Dalam
sejarah filsafat Islam, Syeikh Syihabuddin Suhrawardi adalah
termasuk salah seorang filosof yang menentang pemisahan
ajaran suci agama dan pemikiran filsafat, ia beranggapan
bahwa keduanya terdapat kesatuan hakikat. Ia kemudian
membangun sendiri sistem filsafatnya berpijak pada asumsi
adanya kesatuan tersebut. Menurutnya, perbedaan yang ada di
antara agama-agama dan aliran-aliran pemikiran dipengaruhi
oleh banyak faktor dan salah satu faktor utamanya adalah
perbedaan dalam istilah.
Hakikat
matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi
banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota
hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan
jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang banyaknya. Dari
kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa
Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinâyah
(figuratif), dan bahasa kinâyah tidak dapat diketahui
oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat
dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan
bakat yang cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup
hanya dengan kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui
bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang
hanya dapat dicapai dengan riyâdhah (disiplin
spiritual), murâqabah (penjagaan diri dari segala
kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan
alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan
dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan,
maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua
makhluk-Nya.
Di zaman ketika Syaikh Isyraq
meletakkan pondasi filsafat Isyraqiyah (Iluminasi)nya di
dunia timur Islam dimana menekankan pada kesatuan hakikat,
juga Abul Walid bin Rusyd di dunia barat Islam lantang
menyuarakan keharmonisan hikmah (baca: filsafat) dan syariat
(baca: agama). Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqâl
fi ma baina asy-Syariah wa al-Hikmah, menjabarkan dan
mengkaji aspek-aspek syariat. Ia di awal kitab Manâhij
al-Adillah fi Aqâid al-Millah juga memaparkan masalah
tersebut dan berkata, "Syariat terbagi dalam dua bagian,
yakni lahir dan batin, dan batin syariat dikhususkan untuk
para ulama, sementara mayoritas yang awam hanya
diperintahkan untuk mengamalkan lahiriah syariat dan
menghindari berbagai bentuk takwil. Bagi kaum ulama juga
tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan
hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada
masyarakat awam."[26]
Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali
As yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga
mereka dapat memahami, jika kandungan pembicaraan lebih
tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka
dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para
Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci,
yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi
satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah
orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu
Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah
itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana jika
makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada
masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan
persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd
berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang
memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.
Dengan
demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai
hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu
Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran
politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu
kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi jika diperhatikan
bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir
syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan
secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua
hakikat atau beberapa hakikat yang saling bertentangan.
Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang
hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan
kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat
disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama
dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof
Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu
Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka
mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan
antara agama dan filsafat.
Pada
abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama
Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat
eksistensi dan melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru
dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan
dari Ahlulbait Nabi As dan berkesimpulan bahwa agama dan
filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat
keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia
tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya
bertema Syarh Ushul al-Kâfi ia menafsirkan 34 hadits
yang sahih berkenaan dengan akal dan
keunggulan-keunggulannya. Hadits-hadits tentang akal ini
memang paling banyak diriwayatkan dari Imam-Imam Suci
Ahlulbait Nabi As yang disampaikan oleh ulama dan ahli hadis
(muhaddits) Syiah. Sementara hadis-hadis seperti ini
sangat jarang diriwayatkan oleh ulama dan ahli hadis Sunni
dan bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa hadis-hadis
yang berhubungan dengan akal adalah palsu.
Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa
hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan
palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi di samping
ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadis,
maka dari itu, hadis-hadis yang ia anggap sahih juga
dipandang sahih oleh para ahli hadis lainnya.
Allamah Thabathabai, seorang
filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak membenarkan
adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia memandang
bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap
masalah-masalah teologi adalah hal yang bersifat fitrah bagi
manusia. Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk
kezaliman dan kesesatan jika kita memisahkan antara
ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah
agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat Ilahi, akhlak,
dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak
diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan
mengantarkan manusia kepada hakikat kebahagiaan dan
kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan
manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan
pemberian akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap
berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan
makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani
kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk
penyikapan yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di
dunia? Apakah manusia dapat menggapai pemahaman makrifat dan
ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal, dan
kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat
manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi
mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya
sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara
tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar
tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam
mengajak manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai
dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan logis.
Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul
As mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum
langsung dari sumber wahyu."[27]
Para
Nabi dan Rasul As memiliki kemampuan untuk turun dari
derajat tertinggi dan berbicara dengan manusia sesuai dengan
kadar kemampuan akal dans pemahamannya. Semua Nabi dan Rasul
as tidak memaksa manusia untuk menerima segala hal tanpa
dalil akal dan argumentasi rasional, mereka tidak mengajak
manusia dengan taklid buta. Kitab suci al-Qur'an membahas
masalah teologi (mabda), eskatologi (ma'âd),
dan persoalan metafisika dengan berbagai burhan dan
argumentasi. Kitab suci ini sangat memuji ilmu, makrifat,
akal, dan kemandirian intelektualitas serta menentang segala
bentuk kebodohan dan taklid buta. Tuhan dalam al-Qur'an
berfirman:
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
dan dalil yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik".
(Qs. Yusuf: 108)
Sebagaimana ayat yang disaksikan di atas, Nabi dan Rasul as
mengajak manusia kepada Tuhan berdasarkan hujjah, bashirah dan dalil yang nyata. Tak diragukan lagi bahwa
ajakan dan dakwah para Nabi berpijak pada bashirah
dan bukan taklid tanpa argumentasi. Dan ketika terdapat
burhan dan argumentasi, maka kita tidak bisa menyatakan
bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan hikmah dan
filsafat. Perlu diperhatikan bahwa filsafat itu jangan
dipandang sebagai rangkaian dan kumpulan dari pemikiran,
perspektif, dan gagasan filosof-filosof Yunani yang di
antara mereka terdapat orang mukmin, kafir, yang benar, dan
yang salah.[www.wisdoms4all.com]
[1]
. St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog
dan filosof abad pertengahan, ia berkebangsaan
Italia dan kemudian tersohor setelah ia merumuskan
argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi
Tuhan.
[2]
. Abul Qasim Baihaqi,
Durratul Akhbâr wa Lum'atul
Anwâr, hal. 28.
[3]
. Robert Hume, Adyân-e Zendeh Jahân,
penerjemah: Abdurrahim Gawohy, hal. 18.
[4]
. John Nas, Târikh Jame' Adyân, penerjemah:
Ali Ashgar Hikmat, hal. 79 dan 81.
[5]
. Ibid.
[6]
. Ibid.
[7]
. Ibid.
[8]
. Bradly, 'Aql wa 'Itiqâd-e Din, hal 18.
[9]
. Ibid.
[10]
. Ruwil, Mâhiyat wa Mansyâ'-e Din, hal. 112.
[11]
. John Paul William,
Jame' Syenâsi Adyân,
penerjemah: Abdul Karim Gawahy, hal 171 dan 172.
[12]
. Ibid.
[13]
. Ibid, hal. 168.
[14]
. Ibid.
[15]
. Yâd Nameh Syahid Murtadha Muthahhari, hal.
117.
[16]
. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,
Âmuzesy Aqâid,
jilid 2, hal. 28.
[17]
. Muhammad Husain Thabathabai,
al-Mizân,
jilid 15, hal. 8.
[18]
. Muhammad Husain Thabathabai, Syi'ah dar Islâm,
hal. 3.
[19]
.
Ja'far Subhani,
Fashl Nâmeh Naqd wa Nazhar, nomor 3, hal. 19ٱ
.
[20]
. Abudullah Jawadi Amuli,
Syariat dar Âyine-ye Ma'rifat, hal, 93-95.
[21]
. Abu Hayyan Tauhidi,
al-Imta' wa al-Muânasah,
jilid pertama, bagian kedua, hal. 15.
[22]
. Abul Hasan 'Amiri,
al-Amad 'ala al-Abad,
hal 87.
[23]
. Abul Hasan 'Amiri,
as-Sa'adah wa al-Is'ad,
hal. 180.
[24]
. Abul Hasan 'Amiri,
as-Sa'âdah wa al-Is'âd,
hal 180.
[25]
. Ibnu Maimun, Dilâlah al-hairîn, hal 722.
[26]
. Ibnu Rusyd, Manâhij al-Adillah fi Aqâid al-Millah,
hal 133.
[27]
. Allamah
Muhammad Husein Thabathabai, Ali as wa Falsafe-ye
Ilahi, penerjemah: Sayyid Ibrahim Sayyid Alawi,
hal. 11-12
No comments:
Post a Comment