أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Shufi, Syi’ah, Pluralisme, Mu’tazilah, dan lain-lain masing- masingnya
jelas berbeda. Namun apa jadinya jika semua kelompok menyimpang ini
dijadikan satu? Jadilah ia Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan Ikhwanul
Muslimin yang mendominasi dakwah pergerakan-pergerakan di Mesir,
gaungnya tidak hanya terdengar di negeri asalnya. Namun “dakwah”-nya
telah mendunia, masuk ke penjuru-penjuru negeri di hamparan bumi ini.
Termasuk tanah air kita, Indonesia, meski tentu saja dengan nama yang
berbeda. Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al- Banna,
Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al- Qardhawi, At-Turabi
tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewar-nai
gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara. Ikhwanul Muslimin, gerakan
ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah
gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya
benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian
senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah
sepeninggalnya. Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari
kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan
Ikhwanul Muslimin. Kelahirannya Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun
1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah
Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah
peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam
Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang
lebih dikenal dengan As-Sa’ati. Pendidikannya Ia mulai pendidikannya di
Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian
hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah
bimbingan Asy- Syaikh Zahran seo-rang pengikut tarekat shufi
Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya
yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan
kepemim-pinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut
meninggalkan madrasah. Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di
Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan
Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal
perke-nalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi,
Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di
madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya.
Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi
Man’ul Muharramat. Kemudian ia melanjutkan pendi-dikannya di Madrasah
Al-Mu’ allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan
tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis
dzikir dan lantunan nasyid yang diden- dangkan secara bersamaan oleh
pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa
di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi,
Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut.
Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamal- kan dzikir-dzikir
Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud
Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke
masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian
kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum
Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari
nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan
dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud
Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh,
1/109) Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah
pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan
mereka tentang kematian dan hisab ( perhitungan amal). Mereka duduk di
depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang
masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih
menghayati hakekat kematian nanti. Al-Banna terus bergabung dengan
tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat
saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan:
“…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu,
sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang
berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh
Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi
ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna
mengungkapkan: “ Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat
Al- Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al- hadhrah di
Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang
memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya
menda- pat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga mem-beri saya wirid dan
amalan tarekat itu.” Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat
ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al- Hashafiyyah
Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari.
Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di
saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan
yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih
sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya
dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.” Al-Banna menghabiskan
waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela
masa itu, ia juga ba- nyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan
oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang
banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka
mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al- Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat
bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini
dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumud-din. Namun bermodalkan
nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan
pendidikan. Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul
Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga
di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk
menjalin hubungan dengan orang- orang yang duduk di warung-warung kopi
dan di desa-desa terpencil untuk mendak-wahi mereka. Pada akhirnya
Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M. Usai pendidikannya di
Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun
mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke
daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40
hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia
dapati banyak terjadi perselisihan di antara masya-rakat, sementara ia
berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan
mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk
menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi
mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun
tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya. Pembentukan Gerakan
Ikhwanul Muslimin Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan
Maret 1928 , enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya,
membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk
menja-dikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah
tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya
meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar
Ikhwanul Muslimin. Dengan bergu-lirnya waktu, jangkauan dakwah semakin
lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan
jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan
khusus untuk melin- dungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna
menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia
mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya,
yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri,
ed.). Dua tahun kemu-dian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris
memanipulasi hasil pemilihan umum. Wafatnya Pada tahun 1949 M, Al-Banna
men-dapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi
Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika
ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu
penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru
beterbangan meng-arah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans.
Namun karena penda-rahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu,
tertutuplah lembaran kehidupannya. Demikian sejarah ringkas Hasan
Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan.
Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai
dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan
kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita
akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita
melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar
belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya,
seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai
pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan,
dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah- ziarah kubur dengan cara bid’ah
sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun
campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab
Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi. Warna-warni sosok pendiri
tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut,
sehingga warna- nyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul
Mustaqim yang Nabi n katakan: “Aku tinggalkan kalian di atas yang putih
bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi
‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul
Jannah no. 33) Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita
simak pembahasan berikutnya. Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul
Muslimin Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri
gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih
gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang
didasari oleh komentar Al- Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini
atau simpatisannya. Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah Tentu
pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama: “Semua
bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002) Kata-kata ini
senantiasa Nabi n ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi n juga
katakan: “Allah melaknati orang yang melin-dungi bid’ah.” (HR. Muslim,
Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096) Yakni ridha
terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain.
Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah
sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul
Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat
shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122) Ini
menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini
adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang
sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan
shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang
diimpor dari Barat. Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “
Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Mereka dari kelompok yang bermacam- macam, paham yang berbeda-beda. Di
antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini
adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya
Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405) .
Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha
Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit
anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna
sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, meng-ungkapkan: “Pada tahun
empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah,
singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu
Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan
antar berbagai paham, sehing-ga musuh tidak menjadikan perpecahan paham
sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan
kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus
Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam
permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah
dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad
Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah
dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara
keduanya adalah pada perkara- perkara yang mungkin bisa didekatkan.”
(Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250 ) Benarkah
dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah
Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali
bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam
mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara- perkara ghaib?
Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa
Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan
kepada Nabi n–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki
Syi’ ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan
segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah. Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan
Al-Bara` Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada
kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip
penting dalam agama kita, Islam. Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H)
mengatakan: “ Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk
merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi
mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan
diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil
Hadits, hal. 123 , no. 175) Tapi prinsip ini menjadi luntur dan
benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti
dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan
aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap
Allah menjadi satu dengan makhluk ( lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin,
1/259 , karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna
mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi
bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk
bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum
syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan
kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin
menying-gung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi,
firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409
dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164 ) Apa yang pantas kita katakan
wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini: “Apakah kamu
beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain?” (Al-Baqarah: 85) Ke mana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang
membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka
membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi
Muhammad n, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi . Apakah ini semua
tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam
pandangannya? Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa
sebagian pena-sehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf
Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban
untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang
mem-punyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan
hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat
diri sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia,
sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni
suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke
dalam departemen politiknya…” ( Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf
Al-Qardhawi, hal. 72 , dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4))
Padahal Allah I berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu,
(karena) mereka tidak henti-hentinya ( menimbulkan) kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat- ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.” (Ali ‘Imran: 11cool Ketiga: Tidak Perhatian terhadap
Aqidah Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim
sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah
segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak
demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti
dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak
beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat- sifat Allah.
Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf
(yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun
Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan
hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan
tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka
menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan
makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah
pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292 ,
324)
Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting
dalam ilmu-ilmu tentang Allah subhanahu wata'ala.
Intinya adalah mengimani nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya sebagaimana
Allah sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi sebutkan dalam hadits yang
shahih. Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam
kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al- Ashbuhi t, ketika
ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘ Arsy-Nya, bagaimana di
atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab:
“Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman
dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!” Ucapan
Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:
1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan
perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan
sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa
Arab yang bisa dimengerti.
2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti
apa tidaklah diketahui, karena Allah tidak memberi- tahukan perincian
tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.
3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam
Al-Qur`an dan Nabi n mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.
4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang
tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak
pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena
Allah I tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan
ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat
tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?
Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …” Semua itu
dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah
penge-tahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran.
Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh
atau Al-Mufaw-widhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang
sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di
awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya. Madzhab
ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi dan
para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat
itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa: “Al- Mufawwidhah
termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan
Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205 , dinukil dari Al-Ajwibah
Al-Mufidah, hal. 71) Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang
kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyi-dah Zainab, lalu
memberikan we- jangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung
kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul
Ikhwan, 1/192) . Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia
mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah I
dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat
yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan
termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al- Banna, hal. 270)
Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada
dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan
tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk
menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama
dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang
sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini,
bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan
menurut Hasan Al-Banna. Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama
Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi n katakan:
“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” ( HR. Muslim,
Kitabul Jum’ah, no. 2002) Oleh karenanya, Nabi n berpesan: “Dan jauhi
oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah
itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan
At-Tirmidzi) Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin,
sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al- Banna. Berbagai macam
bid’ah ia kumpulkan, kelompok- kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah
ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara,
bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud.
Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan
bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang
bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya
pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)
Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba
bandingkan dengan wasiat Nabi n di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah
mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita
sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perse-lisihkan.” Pada
prakteknya, mereka saling memak-lumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim,
bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat
dengan mereka. Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah
idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi
dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah.
Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak
terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi
dalam pelaksanaannya, seseorang mengait-kan dengan tata cara tertentu
dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La
ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada
orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan
beriltizam dengannya. Bid’ah tarkiyyah, adalah mening-galkan sesuatu
yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat ber-taqarrub, mendekatkan
diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang
tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan
pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat
Mukh- tashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72) Kelima: Bai’at Bid’ah Bai’at
adalah sebuah ibadah. Layak-nya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan
kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi n. Dalam
sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah
setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain
khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id
bin Jubair –seorang tabi’in–: “ Sesuatu yang tidak diketahui oleh para
Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian
dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165) .
Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai
agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil
dari Hukmul Intima`, hal. 165) Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya
tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada
waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini
adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (
perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di
satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan
untuk satu pim-pinan…” (Fiqh As- Siyasah As-Syar’iy-yah hal. 281 dan
lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214) . Lebih
rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka Asy-Syariah
edisi-edisi sebelumnya. Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at
kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia
dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at
sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan:
“Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh,
hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6.
Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10 . Percaya.” (Majmu’
Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 26cool Untuk mengkaji kritis secara tuntas
point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk
mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas
bai’ at yang salah.
Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point
keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua
yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode
ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari
sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘ komando’ dan ‘taat’
tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” ( Risalah Ta’lim, karya Al-Banna,
hal. 274) Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan
yang meman-dikan. Sedangkan Nabi n saja, dalam bai’at yang sah
mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat: 1. Pada perkara yang sesuai
syariat. 2. Sebatas kemampuan. (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya
An-Najmi hal. 217) Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham
pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini:
“ Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus
yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau
memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang
kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna,
hal. 356) Pembaca, haruskah seseorang ber-bai’at untuk membenarkan
pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah
kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip
yang ia buat, itu pun bila prinsip- prinsip itu benar? Anehnya juga,
ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut,
salah satunya adalah: “ Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan
minuman- minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il,
karya Al-Banna, hal. 277 , dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya
Al-Hushayyin, hal. 80) , namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan
aqidah. Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda
merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan
yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan
ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi n dan kita
diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya.
Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh
Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ ah yang lain,
Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan
pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan
dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui
prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya
berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid
(yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka
mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan
mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya
An-Najmi hal. 206 , 165 , 208 , 226 , 229 , 117 , 22cool
Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih
Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”,
lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab
lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di
rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera- watnya.
Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib
(Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi n
mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya
katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya
tidak tahu.’ Maka Nabi n mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan
aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah
perlakukan kepadaku dan kepada kalian’. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran....
MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .
Labels
KITAB
(58)
KITAB ISTIQAL
(30)
RAHASIA MAKRIFATULLAH
(26)
SYEH SITI JENAR
(22)
HAKEKAT
(17)
Al muntahi
(15)
Kitab Ta'limul Muta'alim
(15)
MISYAKAATUL ANWAR IMAM AL GHAZALI
(14)
GURU MURSYID
(12)
ULAMA BESAR INDONESIA
(12)
WALI SONGO
(11)
KITAB FUTUHAT AN-NAJHAH
(10)
MENGENAL BID'AH
(10)
PRO DAN KONTRA Yesus Bukan Tuhan
(10)
Di Manakah Allah??
(9)
Futuhat Al Makiyyah
(9)
Ibnu Araby Dalam Kitab Khatamul Auliya'
(9)
MAQAM MUSYAHADAH
(9)
Membongkar Kedok Sufi
(9)
kitab akhir zaman
(9)
Asas Tareqat
(7)
PERANG SALIB
(7)
Kitab Durun Nafis
(6)
DOWNLOAD
(5)
KITAB NASHOIHUL IBAD
(5)
KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU
(5)
Mukjizat Al-Qur'an
(5)
TAUHID MUFADDHAL
(5)
ADAB AS SULUK
(4)
RAHASIA
(4)
Mafahim Yajibu An Tushohhah
(3)
Asia
(1)
Government
(1)
Indonesia
(1)
Islam
(1)
Kali
(1)
Kata
(1)
Tasikmalaya
(1)
Wali
(1)
No comments:
Post a Comment