Thursday, July 5, 2012

SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA - SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA -
SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M
 Agama Islam telah muncul di kepulauan Nusantara sekitar abad ke-8 dan 9 M dibawa oleh para pedagang Arab dan Parsi. Namun baru pada abad ke-13 M, bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai (1272-1450 M), agama ini mulai berkembang dan tersebar luas. Di kerajaan Islam besar tertua inilah peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan Nusantara, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi. Tetapi juga menarik perhatian para ulama dan cendekiawan dari negeri Arab dan Parsi untuk datang ke kota ini dengan tujuan menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Dalam kitab Rihlah (Paris 1893:230), Ibn Batutah yang mengunjungi Sumatra pada tahun 1336 M, memberitakan bahwa raja dan bangsawan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai dari Arab dan Parsi untuk membincangkan berbagai perkara agama dan ilmu-ilmu agama di istananya. Karena mendapat sambutan hangat itulah mereka senang tinggal di Pasai dan membuka lembaga pendidikan yang memungkinkan pengajaran Islam dan ilmu agama berkembang.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam antara lain ialah: (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Selain ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam pada masa itu ialah kesusastraan Arab dan Parsi (Ismail Hamid 1983:2)


Salah satu karya intelektual Islam tertua yang dihasilkan di Pasai ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Dilihat dari sudut corak bahasa Melayu dan aksara yang digunakan, karya ini rampung dikerjakan pada waktu bahasa Melayu telah benar-benar mengalami proses islamisasi dan aksara Jawi, yaitu aksara Arab yang dimelayukan, telah mulai mantap dan luas digunakan. Selanjutnya bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi inilah yang digunakan oleh para penulis Muslim di kepulauan Nusantara sehingga akhir abad ke-19 M sebagai bahasa pergaulan utama di bidang intelektual sebagaimana di bidang perdagangan dan administrasi (Collin 1992).

Karya-karya intelektual Muslim awal yang dilahirkan di lingkungan kerajaan Samudra Pasai ialah saduran beberapa hikayat Parsi, seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dua hikayat yang pertama adalah cerita kepahlawanan (epos) yang didasarkan atas sejarah kepahlawanan Islam pada periode awal penyebaran agama ini. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) Tun Sri Lanang menyebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M dan orang-orang Malaka membacanya untuk membangkitkan semangat perang mereka melawan Portugis. Tun Sri Lanang juga menyebutkan kegemaran orang-orang Malaka dan sultan mereka terhadap tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).


Adapun Hikayat Budiman, merupakan cerita berbingkai termasuk ke dalam jenis pelipur lara seperti Kisah Seribu Satu Malam. Karya Islam lain yang sangat populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang biasa dinyanyikan secara bersama dalam perayaan Maulid Nabi. Kitab ini dikarang oleh Syekh al-Busiri, seorang penyair sufi Mesir abad ke-13 M dan telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-15 M. Dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin, sejarawan Muslim abad ke-15 M Zainuddin al-Ma`bari yang pernah berkunjung ke Sumatra mengatakan bahwa para pendakwah Islam menjalankan dakwahnya dengan menuturkan cerita-cerita sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhamad dan hasilnya sangat efektif (Ismail Hamid 1983:27).


Setelah Pasai mengalami kemunduran, pusat kegiatan kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah ke Malaka (1400-1511 M) dan setelah Malaka ditalukkan Portugis maka pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam pindah pula ke Aceh Darussalam (1516-1700 M).

Tetapi disayangkan bahwa naskah-naskah Melayu Islam yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M hampir tidak ada yang sampai kepada kita sekarang Naskah-naskah yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan atau gubahan yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 M, khususnya di kota-kota pesisir di lingkungan kesultanan Aceh seperti Barus, Pasai dan lain-lain. Hanya saja yang jelas, sebagaimana pada zaman Hindu, sastra tampi media utama penyampaian gagasan dan ilmu-ilmu keagamaan. Kecenderungan ini terus melekat dalam perkembangan sastra Melayu hingga abad ke-18 dan 19 M.

Dari kenyataan itu pula kita mengetahui bahwa sejak awal terdapat beberapa jenis sastra yang digemari, yaitu karya bercorak sejarah, cerita nabi-nabi, khususnya kisah di sekitar kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w., cerita berbingkai yang berfungsi sebagai pelipu r lara dan sekaligus media pengajaran budi pekerti. Juga dari kenyataan tersebut kita mengetahui bahwa tasawuf sangat mempengaruhi jiwa kaum terpelajar Muslim Melayu.

Zaman Peralihan:

Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang.

Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.

Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700).

Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.

Gelombang Pertama yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain.

Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam. Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala.

Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.

Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan, sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.

Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalah Cerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra dan Hikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.


Sayang sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami perubahan.

Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunnya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.

Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”).

Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan:

1. Karya sastra, sebagaimana wacana keagamaan dan intelektual lain,
dianggap sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.

2. Wawasan estetika yang dijadikan asaspenciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 13 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali dan Jalaluddin al-Rumi. Mengikuti sistem metafisika sufi, yang membagi alam kewujudan jadi empat, realitas dan tatanan keindahan atau kebenaran yang disajikan dalam karya juga terdiri dari empat lapis yang tersusun secara hirarkis. Empat alam atau tatanan wujud itu dari atas ke bawah ialah Alam Ketuhanan (alam lahut),Alam Keruhanian (alam jabarut), Alam Kejiwaan (alam malakut) dan Alam Jasmani (alam nasut).

3. Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.

4. Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental (`ishq) seorangsalik (penempuh jalan ruhani) dalam menjumpai Kekasihnya, Yang Satu.



Hikayat-hikayat Zaman Peralihan:


Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, astra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.

Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam.

Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam.

Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.

Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(1) Hikayat Nabi-nabi;
(2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.
(3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi;
(4) Kira Wali-wali Islam yang masyhur, termasuk sufi terkemuka, para pendiri tariqat sufi
dan lain sebagainya;
(5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam;
(6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia
Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan;
(7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi;
(8) Cerita Berbingkai;
(9) Kisah-kisah Jenaka.

Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.

1. Hikayat Nabi-nabi.

Hikayat jenis ini lazim disebut Hikayat Anbiya’ atau Surat Anbiya’. Termasuk ke dalamnya ialah kisah tentang Nabi Adam, Idris, Nuh, Saleh, Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub, Yusuf, Syuaib, Musa, Daud, Sulaiman, Ayub, Yahya dan Isa a.s. Di samping itu terdapat kisah nabi-nabi secara secara perorangan. Yang paling populer di antaranya ialah Hikayat Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Raja Jumunah (dan Nabi Isa), Hikayat Zakaria, Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Nabi Allah Ayub, Hikayat Nabi Musa Bermunajat, dan lain-lain. Nabi-nabi ini sering muncul sebagai tokoh dalam kisah lain. Misalnya Nabi Sulaiman a.s. dimunculkan sebagai tokoh bayangan dalam kisah binatang (fabel) seperti Cerita Pelanduk Jenaka.

Versi Melayu dari kisah para nabi itu digubah berdasarkan sumber Arab dan Parsi seperti Kitab al-Mubtada wa Qisas al-Anbiya’ (Buku tentang Kejadian Alam dan Cerita Para Nabi) karangan Wahb ibn Munabba (w. 730 M), Ara`is al-Majalis: Qisas al-`Anbiya’ (Para Pengantin dalam Majlis: Kisah Para Nabi) karangan Tha`labi (abad ke-10 M), dan Qisas al-`Anbya’ karangan Ibn Khalaf dari Nisyapur, Iran (Ismail Hamid 1983:19).

Di Perpustakaan Nasional Jakarta terdapat dua belas versi dari hikayat ini. Di antaranya yang digubah oleh Ahmad bin Muhammad al-Syilabisi (dari Sulawesi), Encik Husein dari Bugis dan Muhammad Syam dari Lingga, Riau. Pada pendahuluan kitab ini dipaparkan kisah permulaan kejadian alam semesta yang diawali dengan kejadian Nur Muhammad. Sejarah kejadian manusia, menurut penulis kitab ini, tidak dimulai dari munculnya Adam, tetapi dari kejadian Nur Muhammad di alam ketuhanan.

2. Kisah-kisah berkenaan dengan riwayat dan kehidupan Nabi Muhammad s.a.w.

Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Rasulullah, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi Wafat, Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, Hikayat Nabi Mengajar Ali, Hikayat Putri Salamah (yang mendapat pelajaran dari Nabi, Hikayat Nabi dengan Orang Miskin, dan Hikayat Nabi dan Iblis Melalui kisah-kisah ini pengarang menyampaikan ajaran Islam. Dalam Hikayat Putri Salamah misalnya Nabi mengajarkan bagaimana tugas seorang istri dalam Islam.

Dalam Hikayat Nur Muhamad atau Hikayat Kejadian Nur Muhamad dikisahkan bahwa sebelum menciptakan segala sesuatu di dalam semesta Tuhan menjadikan Nur Muhamad terlebih dahulu sebagai asas kejadian. Nur Muhamad, yang artinya ialah cahaya yang tepuji, merupakan konsep sufi tentang unsur ruhani segala ciptaan, khususnya manusia, yang digambarkan sebagai cahaya terpuji yang berkilau-kilauan. Konsep ini dihubungkan dengan pribadi Nabi Muhamad, yang akhlaq dan pengetahuannya terpuji serta menerangi alam semesta.

Sebuatan Nur Muhamad diperkenalkan mula-mula pada abad ke-9 oleh Ibn Ishaq, penulis riwayat Nabi Muhamad paling awal. Pada abad ke-10 M konsep itu dipopulerkan oleh sufi terkemuka Sahl al-Tustari. Konsep nur dirujuk pada hadis qudsi dan surah al-Nur al-Qur’an. Dalam versi Melayu hikayat ini sering dimasukkan sebagai pendahuluan karya bercorak sejarah seperti Bustan al-Salatin karangan Nuruddin al-Raniri, Hikayat Anbiya’ dan Tambo Minangkabau.Versi terkenal dari hikayat ini ialah gubahan Ahmad Syamsudin dari Aceh pada tahun 1646 M dengan judul Tarikh Mukhtasar (Ringkasan Sejarah), yang disadur dari naskah Parsi Rawdat al-Anbah (Syurga Para Kekasih) karangan Husaini pada tahun 1495 M. Salinan terbaru ialah karangan Ki Agus Haji Khatib Thaha dari Palembang yang ditulis pada tahun 1856.

Dalam bentuk puisi, hikayat ini muncul dalam syair-syair tasawuf karangan Hamzah Fansuri pada abad ke-16 M.

Hikayat berkenaan dengan Nabi Muhamad yang juga tidak kalah penting ialah Hikayat Seribu Masalah yang memaparkan masalah eskatologi Islam, yang diuraikan melalui berbagai perumpamaan. Salah satu versi terkenal ialah yang ditulis di Aceh pada akhir abad ke-17 M berdasarkan versi Arab Masa`il Abdullah bin Salam li Nabiyyin (Pertanyaan-pertanyaan Abdullah bin Salam kepada Junjungan Nabi kita). Ringkasan ceritanya adalah sebagai berikut: Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah), seorang pemimpin Yahudi bernama Abdullah bin Salam menyatakan akan memeluk agama Islam bersana 700 pengikutnya apabila Nabi dapat menjawab berbagai pertanyaan. Abdullah bin Salam kemudian menanyakan soal-soal di sekitar kejadian alam, kehidupan di akhirat, syurga dan neraka, pahala dan siksaan. Nabi menjawab semua persoalan itu dengan memuaskan (Edwar Djamaris 1982).

3. Kisah Para Sahabat.

Menceritakan kehidupan dan perjuangan para sahabat Nabi Muhamad yang muncul sebagai tokoh penting Islam setelah Nabi. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Abu Bakar, Hikayat Amir al-Mu`minin Umar, Hikayat Sayidina Ali, Hikayat Usman bin Affan, Hikayat Abu Syamah, Hikayat Abu Bakar dan Rahib Yahudi,Hikayat Ali Kawin, Hikayat Raja Handak, Hikayat Hasan dan Husein, Hikayat Salman al-Farsi, Hikayat Tamim al-Dari dan lain-lain.

Hikayat para sahabat ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Misalnya Hikayat Abu Bakar yang menceritakan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam yang jarang diketahui umum. “Diceritakan setelah Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah, seorang tokoh bernama Marwan dipecat dari jabatannya karena didapatkan menyebarkan fitnah. Setelah beliau wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Dalam masa pemerintahannya terjadi peperangan hebat antara tentara Islam di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib melawan tentara Khusraw dari kemaharajaan Parsi di bawah pimpinan Rustam. Dalam peperangan tersebut kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Putri Maharaja Khusraw Syahrbanu kawin dengan Husein bin Ali dan Nurbayan kawin dengan Muhamad bin Abu Bakar”.

Hikayat Abu Syamah menceritakan keadilan Umar bin Khattab sebagai
khalifah. “Diceritakan Abu Syamah putra Umar bin Khattab sakit parah sekembalinya dari medan perang di Khalwan. Setelah sembuh dari sakitnya ia berjalan-jalan mengitari kota Madinah untuk menghirup udara. Seorang Yahudi yang mengetahui keadaan Abu Syamah menemuinya dan menawarkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Abu Syamah menerima tawaran itu dan pergi ke rumah orang Yahudi itu. Di rumah orang Yahudi itu dia diberi minuman keras yang dikatakan sebagai obat, sehingga ia mabuk. Dalam keadaan mabuk Abu Syamah menggauli anak gadis orang Yahudi itu sehingga hamil. Orang Yahudi mengadu kepada Umar tentang perbuatan anaknya. Abu Syamah dihukum rajam sampai mati”.

4. Hikayat Para Wali.

Di antaranya yang masyhur ialah Hikayat Rabiah al-Adawiyah, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adam, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Kadir Jailani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syekh Naqsabandi dan lain-lain.

5. Hikayat Pahlawan atau Epos.

Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Malik Saiful Lizan, Hikayat Saif bin Dhi Yazan, Hikayat Semaun dan lain-lain. Para pahlawan Islam ini diperkenalkan agar sejarah perjuangan kaum Muslimin di negeri Arab dan Parsi tidak asing dan menjadi bagian dari sejarah kaum Muslimin secara keseluruhan. Tokoh Hikayat Iskandar Zulkarnain didasarkan atas legenda Iskandar Agung dari Macedonia yang telah menaklukkan banyak negeri dari Balkan hingga India. Penulis Muslim menghubungkan kisah raja ini dengan kisah Iskandar Zulkarnain yang terdapat dalam al-Qur’an. Winstedt (193 mengemukakan bahwa sastrawan Arab yang mencampurkan legenda Iskandar Agung dan Iskandar Zulkarnain ialah Umara. Versi Arab dari kisah ini ialah karangan Mubasyir (1503), tetapi versi Melayu digubah berdasarkan hikayat yang ada dalam sastra Parsi, yaitu Iskandar-namah karangan Nizami al-Ganjawi, penulis Iran abad ke-12 M.

Di samping Hikayat Iskandar Zulkarnain, dua hikayat lain yang populer ialah Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhamad Ali Hanafiyah. Hikayat Amir Hamzah sangat populer di kalangan masyarakat Muslim hingga awal abad ke-20 Berbagai versinya dijumpai dalam sastra Melayu, Jawa, Madura, Sunda dan lain-lain. Versi cerita ini seperti yang dikenal hingga sekarang memang berasal dari sastra Parsi, bahkan versinya dalam bahasa Arab juga disalin dan disadur dari naskah Parsi. Versi-versi yang tertulis dalam bahasa Parsi antara lain Dastani Amir Hamzah, Qissah Amir Hamzah dan Asmar Hamzah. Sumber ilham cerita ialah Hamzab bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad s.a. w., lahir pada tahun 569 M. Pada awalnya Hamzah menentang ajaran Islam, tetapi kemudian menjadi penganut yang taat dan gigih memperjuangkan kebenaran risalah agama ini. Dalam Perang Uhud melawan pasukan Quraysh, Hamzah mati syahid. Kisah kepahlawanannya hidup terus dalam jiwa kaum Muslimin dan banyak kisah ditulis mengenai dirinya. Tetapi kemudian di Parsi kisahnya dicampur aduk dengan pahlawan lain yang juga bernama Hamzah bin Abdullah, yang hidup pada zaman Abbasiyah. Ketokohan Hamzah bin Abdullah sangat diagungkan oleh orang Parsi, yang berjuang menentang pemerintahan Abbasiyah di Baghdad (Ismail Hamid 1983:76-7).

Sinopsis cerita: ”Setelah Amir Hamzah masuk Islam, keberaniannya segera diketahui oleh kaum Muslimin. Beliau dipilih menjadi kepala pasukan tentara untuk menaklukkan Yaman. Maharaja Nusyirwan dari negeri Parsi mendengar berita kepahlawanan Amir Hamzah ini. Dia diundang ke istananya di Madain. Di sana Amir Hamzah jatuh cinta kepada putri Muhrnigar. Bakhtik, wazir maharaja Nusyirwan sangat benci pada orang Arab. Dia merancang pembunuhan terhadap Amir Hamzah, yaitu dengan memberi syarat bahwa Amir Hamzah dapat menikahi sang putri apabila sanggup pergi ke Mesir, Rum dan Yunani untuk mengumpulkan upeti. Amir Hamzah menyanggupi syarat tersebut. Dia berangkat ke Mesir. Namun malang, di sana dia ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara. Tetapi karena kelihaiannya, Amir Hamzah bisa melarikan diri dari penjara, kemudian mengembara ke berbagai negeri, terutama Asia Tengah. Setelah pulang dari pengembaraan, oleh maharaja Nusyirwan dia diperbolehkan menikah dengan putri Muhrnigar. Bakhtik tetap benci pada Amir Hamzah dan berusaha mengalahkannya. Mata Amir Hamzah dibuat buta. Tetapi Nabi Khaidir berhasil memulihkan penglihatan Amir Hamzah. Pada akhir cerita Bakhtik dibunuh oleh tokoh bernama Umar Umayyah. Setelah peristiwa itu Amir Hamzah memimpin pasukan memerangi raja-raja kafir dan menyebarkan agama Islam. Tetapi malang sekali, Amir Hamzah akhirnya gugur ketika berperang dengan Raja Lahad.”

Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Meskipun hikayat ini ditulis berdasarkan sumber Arab, tetapi dikembangkan menjadi sebuah hikayat oleh penulis-penulis Parsi pada abad ke-14 M. Dasar ceritanya ialah legenda yang hidup di kalangan pengikut sekte Kaisaniya, sebuah sekte dari madzhab Syiah yang berbeda dari sekte-sekte Syiah lain seperti aliranImam Duabelas (Imamiya), Imam Tujuh (Ismailiya), Imam Lima (Zaidiya) dan lain-lain. Sekte-sekte Syiah yang lain berpendirian bahwa hanya keturunan Ali bin Thalib dan Fatimah saja yang berhak menjabat Imam, maka sekte Kaisaniya menganggap bahwa jabatan imamah berakhir setelah wafatnya Muhammad Ali Hanafiyah. Hanafiyah adalah putra Ali yang ketiga dari istrinya yang berasal dari suku Hanaf dan yang dinikahi Ali setelah wafatnya Fatimah. Sekte ini dikembangkan oleh Kaisan, pengasuh Hanafiyah yang sangat mengagumi kesalehan tuannya.

Dalam sastra Melayu hikayat ini telah dikenal sejak akhir abad ke-15 M dan digubah besrdasarkan sumber Parsi yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 (Brakel 1975:5). Ringkasan ceritanya sebagai berikut: ”Ketika Ali dipilih menjadi khalifah ke-4 setelah terbunuhnya Usman bin Affan, Mu’awiya – keponakan Usman yang menjabat sebagai gubernur Damaskus – menentang keputusan itu. Dia merancang untuk membunuh Ali. Perang berkobar antara pengikut Ali dan Mu’awiya. Keduanya memiliki kekuatan yang seimbang. Bahkan dalam pertempuran yang menentukan pasukan Ali berada di atas angin. Tetapi melalui cara yang licik, Mu’awiya menawarkan perundingan. Dalam perundingan diputuskan untuk mengadakan tahkim, yaitu melalui sebuah pemilihan yang dilakukan oleh beberapa hakim yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Tahkim memutuskan Mu’awiya berhak menjabat khalifa dan sejak itu resmilah Dinasti Umayya memerintah kekhalifatan Islam. Pemerintahan Umayyah berlangsung antara tahun 662 hingga 749 M. Tidak lama setelah itu Ali dibunuh di Kufa dan para pengikutnya terus melancarkan berbagai pembrontakan terhadap Umayya. Pada masa pemerintahan Yazid, pengganti Mu’awiya, timbul pula pembrontakan yang menewaskan Hasan dan Husein. Muhammad Hanafiya bangkit dan mengumpulkan pasukan, kemudian melancarkan peperangan menentang Yazid. Dalam sebuah pertempuran yang menentukan Yazid terbunuh secara mengerikan, yaitu jatuh ke dalam danau yang penuh kobaran api. Setelah itu Muhammad Hanafiya menobatkan putra Husainn, Zainal Abidin menjabat sebagai imam. Ketika itu dia mendengar kabar bahwa bahwa tentara musuh sedang berhimpun dalam sebuah gua. Dia pun pergi ke tempat itu untuk memerangi mereka. Ketika dia masuk ke dalam gua, dia mendengar suara ghaib yang memerintahkan agar dia jangan masuk ke dalam gua. Tetapi dia tidak menghiraukan seruan itu. Dia terus saja membunuh musuh-musuhnya. Tiba-tiba pintu gua tertutup dan dia tidak bisa keluar lagi dari dalamnya.”


6. Hikayat bangsawan Islam.

Biasanya berbentuk kisah petualangan bercampur percintaan, dan sebagian besar termasuk ke dalam jenis pelipur lara. Namun demikian unsur didaktiknya cukup dominan. Termasuk dalam kelompok ini ialah Hikayat Jauhar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Umar Umayah, Hikayat Raja Khaibar,Hikayat Ahmad Muhamad, Hikayat Siti Hasnah, Hikayat Siti Zubaidah Perang Dengan Cina dan lain-lain. Sebagian dari hikayat-hikayat ini dikembangkan dari kisah-kisah yang terdapat dari cerita berbingkai dan sebagian lagi dikembangkan menjadi alegori sufi. Pada umumnya cerita dalam kisah-kisah ini bermain di wlayah Tiimur Tengah, Asia Barat, Parsi dan India. Nama tempat yang memang ada dalam sejarah seperti Baghdad, Madain dan Turkistan. Tetapi juga terdapat juga nama-nama rekaan bercorak Arab dan Parsi seperti Syarqastan, Sanjatan, Malik al-Ghuyur dan lain sebagainya.


Melengkapi hikayat bercorak Parsi muncul pula hikayat-hikayat yang mengandung baik unsur Hindu maupun Islam seperti Hikayat Jaya Langkara, Hikayat Gul Bakawali, Hikayat Si Miskin, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Berma Syahdan, Hikayah Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Tokoh-tokoh dalam hikayat ini adalah pahlawan tempatan dan lingkungan terjadinya cerita juga di bumi Melayu, kecuali Hikayat Gul Bakawali. Meskipun digubah dari cerita yang sudah ada pada zaman Hindu, namun unsur Islam dari hikayat ini sangat jelas.

Misalnya seperti terlihat pada Hikayat Indraputra. Dalam hikayat ini unsur Islam tampak pada hal-hal seperti berikut. (1) Diceritakan ketika berusia tujuh tahun Inderaputra sudah fasih membaca al-Qur’an; (2) Beberapa naskah hikayat ini dimulai dengan Basmallah; (3) Dalam pengembarannya Inderaputra selalu mengingat keagungan Allah s.w.t., bahkan selalu berdoa dan berzikir; (4) Ia hanya beristri empat orang; (5) Ayahnya Raja Bikrama salat dan berdoa di masjid ketika mengetahui bahwa anaknya hilang (Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad 1993:160).


7. Hikayat Perumpamaan atau Alegori Sufi.

Sebagian dari alegori sufi digubah berdasarkan hikayat yang termasuk dalam kategori roman, seperti misalnya Hikayat Syah Mardan, Hikayat Inderaputra dan lain-lain. Dalam sastra Jawa contoh terbaik ialah Cerita Dewa Ruci. Adapun alegori yang disadur dari sumber sastra Parsi ialah Hikayat Burung Pingai, Hikayat Perkataan Alif dan lain-lain. Yang terkenal ialah Hikayat Burung Pingai yang disadur dari Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar, penyair sufi Parsi abad ke-12 yang masyhur. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini..

Dalam Mantiq al-Tayr diceritakan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang kacau sebab tidak memiliki pemimpin atau raja. Burung Hudhud tampil ke depan bahwa raja para burung sekarang ini berada di puncak gunung Kaf, namanya Simurgh. Jika kerajaan burung ingin kembali pulih, kata Hudhud, burung-burung harus terbang bersama-sama mencari raja diraja mereka. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu: (1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3) Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana’, baqa’ dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Burung Bulbul sudah terlanjur lengket cintanya pada bunga mawar, sehingga menganggap perjalanan itu tidak perlu dilakukan. Elang sudah merasa puas dengan kedudukannya sebagai raja budak duniawi. Kutilang merasa lemah dan tidak berdaya. Merak sudah merasa enak tinggal di taman yang indah. Hudhud tidak putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan. Baru setelah itu burung-burung itu bersedia melakukan penerbangan yang jauh dan sukar. Ternyata yang sampai di tujuan hanya 30 ekor burung. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh.Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur 1972).

Dalam tradisi sastra sufi, burung digunakan sebagai tamsil atau lambang ruh manusia yang senantiasa gelisah disebabkan merindukan Tuhan, asal usul keruhaniannya. Si-murgh bukan saja lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan – yang walaupun kelihatannya jauh letaknya, namun sebenarnya lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubah suai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran `Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah Fansuri menulis syair-syair menggunakan lambang burung, seperti terlihat dalam ”Syair Tayr al`Uryan Unggas Sultani”. Dalam risalah tasalnya al-Muntahi, Hamzah Fansuri mengutip bait-bait matsnawi `Attar dari bukunya itu:

Baz ba’di dar tamasha-tarab
Tan faru daland farigh as talab

(Braginsky 1993:136)

Terjemahannya lebih kurang: ”Ada yang hanya bertamasya dan bersukaria; Begitu bersemangat mereka hingga berhenti (yakni, tidak lagi mencari Simurgh, pen.). Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut: ”Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung. Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk mencapai rahsia dan hakikat kehidupan? Nuri menjawab, melalui jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh (sebagaimana tujuh lembah keruhanian dalam Mantiq al-Tayr). Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan buta dan tuli. Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masing-masing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengutip Hadis qudsi, ’Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya’. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji kearifan burung Nuri” (Braginsky 1993:141).

Demikian penggantian tokoh Hudhud dengan burung Nuri mempunyai alasan. Kata nur dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidakhadiran Hudhud dalam versi Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam al-Qur’an 27:20-28 (Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung kesayangan Nabi Sulaiman.


8. Cerita Berbingkai.

Cerita semacam ini sangat digemari pembaca, sehingga versi dari masing-masing cerita banyak sekali dijumpai dalam sastra Melayu. Sebagian merupakan kisah binatang (fabel), sebagian lagi tidak termasuk fabel. Yang termasuk fabel ialah Hikayat Khalilah dan Dimnah dan Hikayat Bayan Budiman. Yang tidak termasuk fabel ialah Hikayat Seribu Satu Malam, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bibi Sabariah dan lain-lain. Selain sebagai sarana pengajaran, hikayat-hikayat ini berperan sebagai pelipur lara. Cerita berbingkai dan fabel memang berasal dari kesusastraan Sanskerta. Melalui kesusastraan Parsi kisah-kisah semacam itu sampai ke dalam buaian peradaban Islam dan dikembangkan lebih jauh hingga mencapai bentuknya yang lebih sempurna dan mempesona. Para sastrawan Muslim juga meningkatkan bobot cerita-cerita ini, dengan memberinya kandungan falsafah moral, spiritualitas dan pesan kemanusiaan yang universal. Yang paling populer dari hikayat-hikayat tersebut ialah Hikayat Seribu Satu Malam, yang diterjemahkan atau disadur dari salah satu naskah Arab abad ke-14 M. Judul asli hikayat ini ialah Alfa Layla wa Layla, dan di Eropah dikenal denan judul Arabian Nights. Dari kisah-kisah yang terdapat di dalamnya digubah pula cerita-cerita lepas seperti Hikayat Ali Baba, Hikayat Putri Johar Manikam, Hikayat Aladin dengan Lampu Ajaib, Hikayat Sinbad Pelaut dan lain-lain. Versi paling awal dari Hikayat Seribu Satu Malam dalam bahasa Melayu yang dijumpai ialah salinan awal abad ke-18 M. Pada tahun 1895 untuk kesekian kalinya hikayat ini diterjemahkan kembali dari salah satu versi Arab abad ke-15 oleh Datuk Mahakurnia Alang Ahmad dari Perak (Ismail Hamid 1983:123).


9. Kisah Jenaka.

Kisah jenaka yang populer ialah serial Hikayat Abu Nawas dan Hikayat Umar Umayya. Berdasarkan model ini kemudian muncul kisah-kisah jenaka dengan menggunakan tokoh tempatan seperti Pak Belalang (Melayu), Si Kabayan (Sunda), Modin Karok (Madura) dan lain-lain. Termasuk kisah jenaka dan sekaligus fabel ialah Kisah Pelanduk Jenaka.


Kesadaran Diri Baru

Akhir masa peralihan sebenarnya tidak dapat diberi batas yang jelas dalam sejarah kesusastraan Melayu Islam, karena karya-karya yang ditulis atau digubah pada abad ke-15 dan 16 M masih terus digubah kembali pada abad-abad berikutnya, bahkan sampai abad ke-19 M, baik dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Sasak, Banjar, Minangkabau, Makassar, Mandailing dan lain-lain. Tetapi akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M, bersamaan dengan berkembangnya kesultanan Aceh Darussalam sebagai kerajaan besar yang berpengaruh di Asia Tenggara, gelombang kedua pemikiran Islam bermula dalam arti sesungguhnya. Pada masa ini islamisasi realitas benar-benar dijalankan secara penuh dan Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas kehidupan dalam hampir seluruh aspeknya.

Dua gejala dominan yang saling berhubungan muncul pada masa ini, yaitu kecenderungan melahirkan renungan-renungan tasawuf dalam mempersoalkan hubungan manusia dengan Yang Abadi, dan perumusan sistem kekuasaan yang memunculkan kitab tentang teori kenegaraan (Taufik Abdullah 2002).

Pada masa inilah muncul tokoh-tokoh besar di bidang keagamaan dan sastra yang pemikirannya mewarnai dan menentukan perkembangan intelektual Islam pada masa sesudahnya.

Mewakili gejala dominan pertama adalah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani (disebut juga Syamsudin Pasai) bersama murid-muridnya pada akhir abad ke-6 dan awal abad ke-17 M. Mewakili gejala kedua ialah Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri, yang muncul secara berurutan pada paruh pertama abad ke-17 M, ketika Aceh mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat keagamaan, kebudayaan dan kegiatan politik Islam.

Pada masa inilah kitab-kitab keagamaan – fiqih, teologi dan tasawuf – untuk pertama kalinya ditulis secara sistematis, filosofis dan ilmiah. Begitu pula pada masa inilah untuk pertama kalinya dilahirkan puisi-puisi keagamaan, khususnya syair-syair tasawuf, yang benar-benar ekspresif dan membangkitkan kesadaran diri baru. Melalui karya-karya para sufi dan ulama Aceh abad ke-17 M inilah Islam dimaklumkan sebagai bagian dari ’diri yang sah’ dan bagian dari ’sejarah Nusantara’ yang sah pula. Seperti dikatakan Taufik Abdullah, ”Dalam gelombang kedua ini, teori kekuasaan yang bertolak dari pendekatan sufistik mulai dirumuskan. ’Negara’ tidak lagi sekadar refelksi dari kedirian sang raja tetapi juga pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan yang harmonis antara ’raja’ dan ’rakyat’, dan antara makhluq dan Khaliq” (Ibid).

Tokoh utama gejala pertama ialah Hamzah Fansuri, seorang sufi terkemuka, ahli agama, sastrawan besar dan pengembara. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus, dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17 M. Sejak akhir abad ke-16 M tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasymi (1984), bersama saudaranya Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.

Mula-mula Hamzah Fansuri mempelajari tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jilani dan dalam tarekat ini pula dia dibai’at. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Baghdad, Mekkah, Medinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.

Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi. Kitabnya Syarab al-Asyiqin oleh al-Attas (1970) dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid). Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian[1]. Syair-syairnya dianggap sebagai ’syair Melayu’ pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir AAAA pada setiap barisnya (al-Attas 1968; Braginsky 1991 dan 1992). Syamsudin al-Sumatrani (w. 1630 M) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ (Ali Hasymi 1975)

Syair-syairnya mempunyai beberapa ciri khusus yang dikemudian hari sebagian darinya melekat menjadi ciri umum syair-syair tasawuf Melayu. Di samping syair-syairnya menunjukkan bahwa pada zamannya proses islamisasi kebudayaan Melayu mulai mencapai puncaknya. Ciri-ciri penting syair-syair Hamzah Fansuri ialah:

Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, `asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.

Kedua, banyak petikan ayat al-Qur’an, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Parsi. Di citraan konseptual yang diambil dari al-Qur’an dan dijadikan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Ka’bah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan.

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota di mana dia dibesarkan. Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan pengalaman kesufian yang dicapainya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Abdul Hadi W. M. 2001: 136-146).

Keempat, penggunaan tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misal anggur atau arak kemabukan mistik dan gelas anggur; burung (roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk pada persatuan mistik; kekasih, yang lebih sering disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau markab, yang berlayar ke Bandar Tauhid; bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Ka’bah, dan lain sebagainya. Tamsil-tamsil ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur dirubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur dirubah dengan takir dari daun pisang.

Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya dan masih banyak lagi tentunya. Tamsil atau citraan-citraan simbolik ini dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman kesufian penyair di sekitar maqam (peringkat rohani) dan ahwal (keadaan rohani) yang dicapai seorang penempuh jalan kerohanian (suluk). Semua itu menunjukkan luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab dan Persia, serta keakraban penyair dengan budaya masyarakatnya.

Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Penekanan terhadap individualitas berkenaan dengan hakikat pengalaman kesufian itu sendiri. Annemarie Schimmel (1981:17) mengatakan:“Tasawuf berarti, pada periode perumusannya, terutama sebagai pendalaman ajaran Islam secara ruhaniah, suatu pengalaman pribadi tentang rahasia inti dari agama Islam, yaitu tauhid, ‘penyaksian (musyahadah) bahwa Tuhan itu esa”.

Untuk menjelaskan bahwa yang diungkapkannya dalam puisi-puisinya merupakan pengalaman pribadi, dalam bait-bait penutup untaian syairnya (terdiri dari 13 sampai 21 bait) penyair selalu membubuhkan nama dan takhallus-nya. Dalam konvensi sastra sufi ini dimaksudkan sebagai pembebasan jiwa, yang bentuknya antara lain ialah fana’ (hapusnya nafsru rendah disebabkan menyatu dengan Kehendak Yang Abadi. Bentuk lain pembebasan jiawa ialah makrifat. Kutipan berikut ini menunjukkan hal tersebut:

Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam di manakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

(Ikat-ikatan XV)

Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus

(Ikat-ikatan XXVI)


Dalam syair “Hamzah Fansuri di negeri Melayu/Tempatnya kapur di dalam kayu…” dia menggunakan tamsil pohon barus yang merupakan penghasilan utama kota kelahirannya. Tamsil itu digunakan untuk menggambarkan pengalaman fana’, seperti dikatakannya “Seperti kayu sekalian hangus”. Kadang-kadang ia menggantikan citraan kayu dengan tubuh jasmaninya sendiri sebagai tempat yang batin (jiwa) melakukan `uzlat sehingga akhirnya mendapat pencerahan dan menyaksikan bahwa dirinya sebenarnya lebih merupakan makhluq ruhani dibanding makhluq jasmani:

Hamzah `uzlat di dalam tubuh
Ronanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(Ikat-ikatan XVIII)

Kadang perjalanan seorang ahli tasawuf digambarkaan sebagai pelayaran menuju Bandar Tauhid. Perjalanan tasawuf pada hakikatnya juga merupakan penyelaman ke dalam lautan wujud. Untuk itu ditampilkan tamsil-tamsil penyelaman ke dalam lautan. Penyir menggunakan tamsil kenaikan di antaranya juga memperlihatkan akrabnya penyair dengan budaya dan kehidupan masyarakat Melayu. Keindahan pakaian wanita Melayu yang tinggal di rumah yang berpatam birai dan pintu-pintunya penuh dengan ukiran indah, dijadikan tamsil untuk menyampaikan gagasan tasawufnya.

Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya da’im Ia washil
Itulah mahbub yang bernama adil

Mahbubmu itu tiada berlawan
Lagi alim lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan

Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu ber(sem)bunyi di dalam sakai (=makhluq)
Olehnya itu orang terlalai

Ingat-ingat kau lalu lalang
Berlekas-lekas jangan kau mamang
Suluh Muhammad yogya kaupasang
Supaya salim jalanmu datang

Rumahnya `ali berpatam birai
Lakunya bijak sempurna bisai
Tudungnya halus terlalu pingai
Da’im ber(sem)bunyi di balik tirai

Jika sungguh kau `ashiq dan mabuk
Memakai khandi pergi menjaluk
Ke dalam pagar yogya kaumasuk
Barang ghayr (=yang selain) Allah sekalian kau amuk

(Ikat-ikatan II)

Gambaran perjalanan naik dari tempat rendah ke tempat tinggi untuk melukiskan perjalanan ruhani sufi dari nafsu rendah menuju Diri Hakiki ini sesuai dengan gambaran tentang tatanan wujud dalam ontologi sufi. Tatanan tersebut dari bawah ke atas ialah: Pertama, alam nasut (alam jasmani, disebut juga alam al-mulk, alam syahadah); kedua, alam malakut (alam kejiwaan, psyche, disebut juga alam misal; ketiga, alam jabarut (alam ruhani); dan keempat alam lahut (alam ketuhanan) (Md. Salleh Yaapar 2002:83). Seseorang yang mengenal tatanan alam yang sedemikian itu akan dapat menyempurnakan dirnya dan berpeluang pula mengenal hakikat dirinya.

Taj al-Salatin

Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam dan merupakan satu-satunya karangan Bukhari al-Jauhari yang dijumpai sampai saat ini. Ketika itu kesultanan Aceh masih berada di bawah pemerintahan Sultan Alauddin Ri`aayat Syah gelar Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab ini digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,

Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah (Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.

Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya dan kemudian dimasukkan ke dalam penjara; pada waktu itu Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya. Beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. Dalam bukunya Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memerintah sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya.

Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.

Kadang-kadang cerita berperan sebagai pangkal penafsiran teks suci dan memberi pengertian/ makna terhadap pokok yang dibicarakan. Kadang-kadang pada akhir pembicaraan diselipkan puisi, yang merupakan ungkapan ringkas atau kesimpulan mengenai pokok yang dibicarakan. Ada dua asas pokok mendasari kitab ini: (1) Asas usul atau asal-usul pembahasan dan furu’, yaitu cabang-cabang pembahasan; (2) Asas estetik, yaitu penggunaan sarana estetik seperti kisah-kisah dan sajak yang digunakan dalam menjelaskan pokok pembicaraan. Asas estetik ini dibangun dari sebuah titik sentral pembahasan, yaitu masalah keadilan. Dan keadilan dipandang sebagai pintu menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan dalam berpikir atau menggunakan akal.

Buku ini dibagi ke dalam 24 bab.Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.

Menurur Bukhari, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, tetapi dunia memiliki nilai dan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Dunia merupakan tempat ujian di mana amal perbuatan manusia sangat menentukan bagi kehidupannya di akhirat. Hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang dhalim dan tidak adil, karena mereka memiliki kekuasaan yang lebih dibanding orang lain, sehingga leluasa mengatur dan memerintah manusia lain. Raja yang baik dan adil merupakan bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah, bersifat al-rahman dan al-rahim sebagaimana Khaliqnya.

Dalam membicarakan keadilan, Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral, melainkan juga memberinya makna ontologis atau metafisis. Di sini raja yang baik, sebagai Ulil albab. Secara etis seorang ulil albab diartikan sebagai orang yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal, dalam bahasa Arab, dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal ma khalaqa`lLahu’l- `aql. Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan pikiran yang baik ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat;.(2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3) Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji.;(4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5) Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

Dalam bab ini Bukhari al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassab, yang ketika ditanya seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan bahwa akal budi merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Persia. Orang berakal budi dan adil diumpamakan sebagai pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak berakal budi adalah sebaliknya, bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada buah, karena itu dijauhi dan tidak disukai orang. Diajuga mengutip Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa akal dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

Kemudian juga dikutip pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa `l-`aql. Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri, menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan pikiran dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang raja yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.
Sedangkan dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar. (1) Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan; (2) Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat; (3) Menteri-menteri yang diangkat mesti dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya; (4) Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik; (5) Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad; (6) Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan; (7) Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara; ( Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara; (9) Tidak senang bermain perempuan; (10)Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kecuali dalam keadaan terpaksa.


Fasal ke-6 dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perrbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan. Pengarang juga mengutip Hadis yang menyatakan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan seorang raja dan pangkal kebajikan insan. Menurut Kitab al-Khairat al-Mulk: Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik

Karya Bercorak Sejarah

Sebagai buah dari kesadaran baru itu, maka pada masa ini dimulai penulisan karya bercorak sejarah (historiography) dan perundang-undangan.

No comments: