WALISONGO
Dulu, ketika
 masih kanak-kanak, saya mengenal cerita tokoh WALISONGO dari guru 
mengaji di kampung. Walisongo dikenal sebagai 9 orang wali yang 
menyebarkan ajaran Islam di Jawa. Setelah membaca beberapa buku sejarah 
Walisongo, ternyata apa yang saya ketahui tentang Walisongo pada saat 
masih kanak-kanak itu sebenarnya bukanlah 9 orang Wali kharismatik yang 
menyebarkan Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian Walisongo yang 
sebenarnya adalah Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh yang bernama 
Walisongo, di dalamnya tergabung 9 para ulama kharismatik yang berdakwah
 di seluruh pelosok pulau Jawa.
Untuk lebih 
mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan sejarahnya yang 
terdapat dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan kali ini saya 
sajikan Kisah Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid, MA. Untuk kisah 
dan pengalaman masing-masing wali yang dikenal masyarakat luas akan saya
 sajikan terpisah. Dalam kisah dan pengalaman Walisongo yang ditulis 
oleh para sejarawan itu melukiskan berbagai karomah yang diberikan Allah
 swt kepada mereka. Bagi sebagian orang -jangankan karomah- mukjizat 
yang diberikan Allah swt kepada Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai 
cerita bohong belaka, walaupun telah jelas tertulis dalam kitab suciNYA.
 Oleh karena itu, membaca kisah Walisongo dengan berbagai karomahnya 
tentu bukan hal yang paling utama untuk diambil sebagai pelajaran. 
Menurut hemat saya, mengenali semangat, upaya, keikhlasan, serta 
ketaatannya kepada Sang Khalik dalam menyebarkan ajaranNYA itulah yang 
lebih penting untuk kita ketahui dan teladani.
Seperti yang
 tertulis dalam buku Kisah Walisongo tersebut, umumnya kita mengenal 
Walisongo hanyalah sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim, 
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, 
Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan GunungJati
Seperti 
tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya 
dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melakukan sidang 
tiga kali, yaitu:
Tahun 1404 M adalah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut KH 
Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melakukan sidang lagi 
membahas berbagai hal. Diantaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, 
meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan 
Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi 
anggota Walisongo.
1. Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.
Sang Sultan 
kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur 
Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim 
ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta 
memiliki karomah.
Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
- Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
 - Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
 - Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
 - Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
 - Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
 - Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
 - Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
 - Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
 - Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
 
2. Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
- Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
 - Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
 - Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.
 
Para wali 
kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil 
Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana 
Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana 
Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian 
tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah 
sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.
3. Walisongo Periode Ketiga
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
- Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
 - Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
 - Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.
 
 4. Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
- Raden atau Raden Fattah (Raden      Patah)
Raden Patah adalah murid Sunan Ampel, beliau adalah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468. - Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, beliau dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.
 
5. Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.
Konon Syekh 
Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota 
Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran 
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti 
Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh 
Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi
 murid Sunan Kalijaga.
Selanjutnya,
 kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal masyarakat 
secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang 
dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati
Para 
peziarah Walisongo, biasanya mendatangi makam sembilan wali tersebut. 
Jika ziarah itu ingin lebih lengkap maka pemimpin ziarah (yang mengerti 
sejarah Walisongo) akan menziarahi pula  Walisongo periode pertama 
hingga periode keempat, termasuk guru-guru atau orang tua dari para wali
 periode kelima. Misalnya, seseorang dari Surabaya yang telah berziarah 
ke makam Sunan Drajad, ia pasti akan menyempatkan diri berziarah ke 
makam Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi di Gresikharjo, beliau 
adalah kakek Sunan Drajad dan ayah dari Raden Rahmat Sunan Ampel.
Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga dapat menambah pengetahuan anda semua. Amin!
Ringkasan Silsilah dari Rasulullah sampai Walisongo
RASULULLAH MUHAMMAD SAW
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim 
Jauh sebelum
 Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada 
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. 
Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama 
Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada 
tahun 1082 M.
Jadi, 
sebelum jaman Walisongo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah 
Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara 
besar-besaran.
Maulana 
Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal 
itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau berdakwah di
 Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada masa 
itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan 
rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat 
Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama 
Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam 
berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang
 tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke 
jalan Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk 
yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara 
yang sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125)
Ada yang 
menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di 
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu
 di Pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negeri India yang kebanyakan 
penduduknya beragama Hindu.
Di Jawa, 
Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan 
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
 terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang
 Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya: beliau tidak 
langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati
 mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian 
akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad saw.
Dari 
huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa 
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir 
miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara 
yang ulung. Hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap 
masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan 
rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.
Keterangan 
yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam Almarhum 
Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran, sendi 
para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang 
berbahagia lagi syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik 
Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan 
RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat 
pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H”
Menurut 
literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. 
Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat 
tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan 
daun-daunan tertentu.
Sifatnya 
lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama
 muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh 
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah 
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong 
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang 
setia.
Sebagai 
misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih 
awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah
 tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang 
mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan 
bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah swt.
Di kalangan 
rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari
 kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi 
masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan 
Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah yang paling rendah
 dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka 
ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di 
dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh 
Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia 
sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang 
lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah 
sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling takwa 
kepadaNYA.
Takwa itu 
letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia
 untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan 
menjauhi segala laranganNYA.
Dengan takwa
 itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak. 
Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia daripada 
mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar 
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa 
lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh 
sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam 
dengan suka cita.
Setelah 
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk 
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau 
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan untuk 
mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan 
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka 
beliau kemudian mendirikan pesantren  yang merupakan perguruan Islam, 
tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian 
Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan 
masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik 
cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah
 satu strategi para Wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang 
mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara 
frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang 
mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk 
menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren
 Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh 
Nusantara.
Tradisi 
Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang, dimana para 
ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang 
bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab 
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang 
sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah,
 tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti 
tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada 
suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang dinamakan 
Allah itu?”
Beliau tidak
 menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga bagi 
hambaNYA yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang 
membangkang kepadaNYA.
Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang diperlukan adaNYA”.
Dua tahun 
sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak 
hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, 
melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan masyarakat 
Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan 
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. 
Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi 
subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan 
mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata 
Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf 
hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik 
dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada 
kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika 
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang 
harus ditiru.
Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu 
diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain 
juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak 
Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain 
datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja 
Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah 
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal 
agama Islam.
Bersama 
Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap 
Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras
 mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia 
bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai 
istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi
 dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak 
keagungan agama Islam.
Rombongan 
dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran
 sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh 
sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan
 dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara 
mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar 
kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang 
memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian 
menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya 
sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan 
untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. 
Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah 
rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu 
Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik 
Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan 
daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama
 Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat raja 
Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. 
Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan 
kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup 
berdampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah 
sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap 
sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H 
atau 1419 M.
2. Sunan Ampel 
Asal-usul
Kenalkah 
anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak 
dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah Islam yang menelorkan
 ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu Imam Bukhari 
yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di Samarqand
 ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail Kubra, 
seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra 
bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian 
mendapat tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan 
Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim 
Asmarakandi.
Syekh 
Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin 
Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini 
dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, 
dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri Cempa
 ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai (Thailand). 
Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi 
mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali 
Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati 
diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya 
adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau 
pangeran kerajaan. Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu 
mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya 
sebutan ini cukup dipersingkat Raden.
Raja 
Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya 
dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya 
diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar 
di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi 
Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di 
Palembang.
Ketika Dewi 
Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil 
tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu 
sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian 
itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama 
Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak 
Bintoro.
Kerajaan 
Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk 
mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya 
perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada 
keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak dan 
upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering 
dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu bersedih 
hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan 
para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
 Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan 
negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan 
betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu 
Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati 
suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada 
suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
 mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?” 
tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari kanda 
Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta 
Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit 
ini”.
“Tentu saja 
aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan 
Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan
 Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah 
dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat 
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
 Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat
 di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana 
Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan 
di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid 
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling ke 
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau mendapat
 sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat 
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali 
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya
 sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar 
yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut 
dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu Dwarawati 
bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat seolah sedang memeluk 
kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah 
keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.
“Nanda 
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum 
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya
 sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. 
Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali 
Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha
 sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.
“Bagus!” 
sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah 
berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para 
bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”.
“Terima 
kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. 
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah 
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah 
putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. 
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran 
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Semenjak 
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka beliau  
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran. 
Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau 
Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan 
sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan 
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama 
dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang 
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau 
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
 tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada 
penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya
 dengan kalimah syahadat.
Penduduk 
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka 
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama 
rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit 
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan 
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan 
agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu 
terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada saat 
itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di sana-sini 
masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA, 
Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat 
sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang 
telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan 
sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.
Di tempat 
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat
 yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu 
bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
Dengan 
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat 
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama 
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. 
Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi pengertian 
sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka 
sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka 
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang 
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah 
sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun
 Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah 
dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena 
beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka
 kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata 
Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat 
setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan 
artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya 
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran
 Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu 
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap
 agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika 
Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka 
Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk 
memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang 
terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat
 diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di 
seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh 
dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan 
dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden Patah 
atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo menggantikan 
kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya 
Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada 
kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan 
pihak Majapahit.
Para wali 
yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo 
secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta 
Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar 
itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak 
Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang 
lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan nasehat 
kepada Raden Patah.
“Mengapa 
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya 
sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja
 Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku 
durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel 
dengan tenang.
“Lalu apa 
yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun 
kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari 
dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak 
warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit 
diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?” 
“Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih 
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah peristiwa itu akan 
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu”,
 Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus merangkap
 Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya 
dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran 
Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada 
orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka 
menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro 
yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden 
Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat
 Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci 
Islam.
Raden Patah 
dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. 
Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga 
diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat 
sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan 
pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai 
pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya 
terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban 
untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa 
Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit 
diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten 
Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri 
menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta 
kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang 
terakhir.
Demak 
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan 
dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara 
pada tahun 1498.
Pada tahun 
1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya 
karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin 
kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan akan 
menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan 
Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada 
tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
Sejarah 
mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui
 Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta 
(gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan Kambayat, 13 
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah 
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta 
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
 Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa 
Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa 
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak 
Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja 
Demak yang pertama.
Sunan Ampel 
juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada 
tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga
 sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan 
Ampel.
Beliau pula 
yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi 
bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan 
ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap 
dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam 
musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju 
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa
 diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. 
Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah 
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang 
kulit, kita bisa  memberinya warna Islam sesuai dengan selera 
masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya 
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang 
menyempurnakannya.”
Sebaliknya, 
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan 
dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki,
 sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama 
secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan 
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah 
menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri.
Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:
Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.
Adalah 
sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga
 sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di 
sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan 
kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan 
Ampel yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya 
demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya 
Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali 
sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada 
debunya.
Ketika Mbah 
Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri 
yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai 
masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid 
itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan 
Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.
Mendadak 
Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh 
lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran 
melihat Mbah Soleh hidup lagi.
Beberapa 
bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya 
dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel 
seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa 
kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada 
delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh 
meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang 
terakhir berada di ujung paling timur.
Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.
Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.
Kisahnya 
demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang 
ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun
 dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak 
menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi 
banyak orang yang meragukan keakuratannya.
“Apa betul 
letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya 
orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, 
melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu 
berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah 
pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?”
Orang-orang 
itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di 
dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. 
Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani 
meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat
 kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
Dari kisah 
karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran 
bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, 
seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah 
Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan 
tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Begitulah 
riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka 
bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, 
dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha 
Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.
3. Sunan Giri 
Di awal abad
 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah 
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan 
rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.
Pada suatu 
hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya 
putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah
 diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri
 belum juga sembuh.
Memang pada 
waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah 
penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah 
Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka 
cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran 
permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang
 dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat 
mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau 
Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari,
 seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang 
menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.
Permaisuri 
makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya 
dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna 
mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih 
Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya 
tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih 
Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.
Patih Bajul 
Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya 
seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah 
Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di 
negeri Blambangan.
Patih Bajul 
Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur
 di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan rakyat 
Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak 
bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu 
ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga 
lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana 
Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati
 untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.
Patih Bajul 
Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror 
pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang
 dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali 
kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan 
sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.
Pada saat 
itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, 
bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya 
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka
 dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan 
Blambangan.
Demikianlah,
 pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri 
tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat 
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar 
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk 
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu 
saja Patih kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak 
menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua bulan 
kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok 
rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa 
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan 
itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya 
terang.
Lain halnya 
dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan 
kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia 
menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit 
berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.
“Bayi itu! 
Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di 
kemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di 
Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi
 itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu 
tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur
 menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya 
menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh
 juga.
Walau 
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu 
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya 
dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.
Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.
Nakhoda 
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, 
mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata 
perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik 
kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda 
memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua 
orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang 
bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan 
jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi 
itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.
Nakhoda 
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau 
Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan 
diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Di hadapan 
Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil 
membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu
 secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata 
sang Nakhoda.
“Bayi…? Bayi
 siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari 
dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab 
Nakhoda kapal.
Bayi itu 
kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai
 anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena 
bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian 
memberinya nama Joko Samodra.
Ketika 
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk 
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut 
beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya 
dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar 
anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi 
dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu 
malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna 
melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat
 agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat 
menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba 
Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang 
santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu 
menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar
 itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.
Esok 
harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
 “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada 
ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra.
Melihat yang
 mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak 
itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng 
Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan 
Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra.
Nyai Ageng 
Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di 
tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang 
bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng 
Pinatih.
Teringat 
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka 
Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak 
itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa 
kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat 
dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran 
Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah 
berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan 
yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.
“Di negeri 
Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama 
besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang 
nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah 
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para 
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak 
bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”.
Pesan itu 
dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai
 di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia 
oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat
 anaknya sejak bayi.
Raden Paku 
menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah 
samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan 
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya 
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat 
berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang 
sangat dicintainya.
Raden Paku 
menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan 
dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu 
tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada.
 Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri 
Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka 
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak 
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda 
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri 
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang 
beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang 
langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada 
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu 
Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di 
negeri Pasai.
Ilmu yang 
dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam 
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu 
tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang 
berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar 
Syekh Maulana A’inul Yaqin.
Setelah tiga
 tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh 
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. 
Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi 
tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah
 tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau 
membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.
Kedua pemuda
 itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya 
kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di 
daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke 
ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah 
kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. 
Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu 
Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang 
sekiranya laku di Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan lain-lain.
 Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi 
kali ini tidak, sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku 
membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada 
penduduk setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi 
cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita pasti akan
 mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita 
diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku. 
“Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang 
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan 
ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu 
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira 
belum, nah sekarang lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk 
membersihkan diri”.
“Itu diluar 
kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh 
uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam 
ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum 
bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu
 dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang 
dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak 
usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng 
isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir”. Memang benar, mereka 
dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati 
Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal 
untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu 
Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi 
mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu. 
“Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak 
bicara, buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung 
kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka
 karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah 
menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, 
seperti rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya
 jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada 
penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.
Memang, Ki 
Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik 
buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya 
yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka 
peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah 
bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi 
Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki 
Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu”, demikian
 kata Sunan Ampel.
“Tapi…bukankah
 saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, 
ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah 
melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan 
melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.
Itulah 
liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali.
 Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul 
seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik 
di Surabaya.
Sesudah 
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar 
pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada 
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan 
Nusantara.
Lama-lama 
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin 
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok 
pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia 
perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. 
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan 
menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang
 kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
 seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas 
melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah 
Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak
 keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku 
bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan 
Kebomas.
Usai 
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di
 negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang 
tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa
 Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya 
sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya 
dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa 
Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu 
adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri. 
Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas 
dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan 
Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri 
sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka 
telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri 
berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh 
Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya
 atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, 
kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang 
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas 
gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat 
dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri 
berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, 
Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut 
Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di 
seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan 
lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama 
besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya 
yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan 
pembentukkan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh 
beliau juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar 
bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan
 sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air 
itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu 
sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
Peresmian Masjid Demak
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan 
Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia 
itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika Sunan 
Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran
 wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk
 setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid 
Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat 
jamaah Jum’at.
Sunan 
Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan 
Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit 
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, 
lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan 
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali. 
Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri 
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan 
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena 
itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. 
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang 
Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata.
Maka 
perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu 
akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan 
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.
Beliau 
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang 
wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan 
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan 
demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
 dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.
Keteguhannya
 dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak 
positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah 
Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat 
istiadat lama.
Di bidang 
kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali 
menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang 
dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, 
Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Diantara 
permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara 
anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya 
menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila 
telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan 
lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan 
tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam 
Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang 
dilambangkan sebagai pemburu.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.
(Malam 
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di 
halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang 
lari terbirit-birit)
Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh 
Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa 
maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila
 seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan 
dari Sunan Giri.
Giri Kedaton
 atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan 
Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya 
yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.
Pangeran 
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan 
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri 
itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh 
Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah 
menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di 
Kediri.
Pemberontakan
 Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan 
Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah 
wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap 
raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan
 Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling 
Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang 
ditentang Walisongo.
Sesudah 
Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri 
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri, 
yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai 
ulama besar, wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu bisa Anda 
buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri 
makamnya.
4. Sunan Bonang 
Brahmana dari India
Agama Islam 
yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari 
belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah 
seorang Brahmana bernama Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama 
beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula 
kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat 
dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
“Aku 
Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu 
kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan
 kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika 
dia yang menang aku akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. 
Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.
Murid-muridnya,
 yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas 
sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang 
ditumpanginya sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya 
tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru  seolah 
berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan badai 
setinggi bukit.
Dengan 
kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak 
menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu dapat dilakukannya namun
 terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya langsung 
tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang
 balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang 
muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera.
Walaupun 
pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun
 kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan 
Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu 
didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. 
Ia harus belajar bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan 
menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di 
perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah 
ditelan air laut.
Tapi niatnya
 untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan 
murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah 
dikenalnya. Ia agak bingung harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia 
menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. 
Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.
Saat hampir 
putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah 
putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya 
segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah 
putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
“Kisanak, 
kami datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan 
Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu 
dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, 
tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan”, 
kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah 
tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. 
Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai bahan perdebatan”.
Tanpa banyak
 bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap di 
pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap,
 membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.
“Itukah 
kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang 
Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar 
miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga 
siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Murid-murid 
sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan langsung aja menyerobot air
 jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa 
kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena meminum air
 di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam.
“Segar! Aduh
 segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain 
segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Brahmana 
Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar.
 Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin 
menjadi-jadi terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah 
putih itu dalam menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap 
kitab-kitab yang telah tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah 
putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk 
mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! 
Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.
Seribu 
Brahmana di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana. 
Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah 
putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?” tanya sang 
Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab 
lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri 
berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah 
lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
“Bangunlah 
untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari 
kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada 
sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha
 Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang 
adanya.
“Ampun! 
Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan 
mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin 
berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. 
“Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak badai yang menyerang 
kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. 
Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah, 
aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya 
Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah 
melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam 
bahaya dan niat jahat seseorang!”
Sang 
Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin 
membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan kesaktian.
Ternyata 
niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang 
telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka
 Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama 
saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.
Ia bergidik 
ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang ombak 
badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya 
mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya 
dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah
 yang bakal binasa.
“Kanjeng 
Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu 
kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus 
mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi. 
Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah
 memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk 
agama lama atau menerima Islam sebagai agamamu terakhir”.
Sekali lagi 
sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan 
bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin. 
Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia akan 
bersujud dan menyembah sepasang kakinya.
“Bawa semua 
kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang 
sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya 
segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah 
Sunan Bonang.
Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang 
mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan 
demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena 
ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja 
Majapahit.
Sebagai 
seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama 
se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.
 Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam 
secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan 
rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat 
daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, 
maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan 
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku 
sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah 
seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh
 Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada 
para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli
 tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.
Sesudah 
belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke 
Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri 
sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan daerah Sempadan Surabaya.
Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih 
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. 
Beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, 
sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para 
pendengarnya.
Setiap Raden
 Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang 
ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar 
membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden 
Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan 
penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal 
mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang
 yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan 
ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari 
agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Murid-murid 
Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau 
Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering 
mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar 
Sunan Bonang.
Karya Sastra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk 
berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan 
(tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang 
biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan 
bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.
Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean.
Berita 
segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala
 penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid 
yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan jenazah beliau di pulau 
Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya 
menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan 
Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenazah 
mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik 
orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam 
harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk 
membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah 
Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena 
tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu.
Kapal layar 
segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan 
Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa 
bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban 
yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.
Sementara 
kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. 
Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.
Dengan 
demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan 
yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan 
di antara murid-muridnya.
Sunan Bonang
 wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di 
kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang 
dari segala penjuru Tanah Air.
5. Sunan Kalijaga 
Diusir Dari Kadipaten
Sunan 
Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu 
Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden 
Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi 
Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil 
Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama 
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan 
yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said 
berontak.
Gelora jiwa 
muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum 
pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat 
jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan 
adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar 
pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan 
jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan 
menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden 
Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, 
yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul 
dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang 
paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel 
itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk 
mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi 
agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi 
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah 
padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya 
sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia 
keluar rumah.
Di saat 
penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian 
hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan
 makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. 
Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu saja 
rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima
 rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa 
gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di 
malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya 
rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. 
Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin 
hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit 
itu makin berkurang.
Ia ingin 
mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu
 malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak 
jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya 
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga 
gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri 
itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk 
melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir 
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang 
saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil 
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said 
tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika
 ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga 
orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang 
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati 
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab
 untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak 
disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi untuk 
itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru
 pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus 
kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh 
keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah 
keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak 
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
 Raden Said selanjutnya?
Dia 
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok 
harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang 
pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta hasil 
rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang 
menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada
 saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada seorang 
pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta 
pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa 
dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng 
Raden Said juga.
Pada suatu 
malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar 
jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.
Dia segera 
mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said 
kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin
 mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said 
mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah 
kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan 
topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia
 sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden Said 
berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil 
melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu,
 penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah 
si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan 
menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan 
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan 
senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa 
yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
 mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi 
terbungkam.
Sama sekali 
tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri 
yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
 perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan 
saksi hidup atas kejadian itu.
Sang kepala 
desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa Raden 
Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja 
sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa 
sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said 
diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi dari 
Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! 
Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding 
istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau 
baca di malam hari!”
Sang Adipati
 Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang 
diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata
 telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang 
Adipati.
Hanya ada 
satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi 
Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa 
bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi 
Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa 
sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban 
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada suatu 
hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh 
Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat 
yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih 
itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi 
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat
 itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh 
tersungkur.
Dengan susah
 payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada
 suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang 
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu 
bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan 
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.
“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya,
 memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata
 kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu 
kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki itu tersenyum. “Demikian
 pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat 
secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian 
dengan air kencing”.
Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
Raden Said 
makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam 
lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya
 sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun 
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada 
lelaki berjubah putih itu.
“Banyak 
hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat
 saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan 
dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para 
penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang 
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat 
meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau
 kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah 
maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata 
demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon 
itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said 
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman 
yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
 Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu 
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi, 
setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas.
 Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran 
dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga 
mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama 
beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba 
memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia 
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan 
itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden 
Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika ia 
sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau 
seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang 
berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ucapan orang
 tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang 
haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang 
berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said 
mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat 
akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya 
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah 
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, 
demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di 
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki 
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan
 di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan 
sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.
“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
Lelaki itu 
kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan
 menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu 
kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.
Selanjutnya 
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak 
heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan 
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon 
gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin 
saja golongan para wali.
Setelah 
lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila 
dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu 
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya 
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya 
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar 
dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi 
sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga
 tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden 
Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda 
itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden 
Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke 
Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu adalah Sunan 
Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan 
tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said 
terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga 
artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. 
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan 
yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan 
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada juga 
yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya 
sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat
 atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, 
membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden Said 
kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu 
artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat 
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada 
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang
 mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan 
sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang
 dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan 
identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan 
saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan 
pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama
 ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu 
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden 
Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir 
anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak 
yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. 
Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat
 tinggal Sunan Bonang.
Untuk 
mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan 
ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya 
dikirim ke istana Tuban.
Suara Raden 
Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana 
Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. 
Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih 
dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia
 kembali  bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa 
bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri 
yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden
 Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan 
Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi 
Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said 
meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa 
Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam 
berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah 
Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat 
menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap 
Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat 
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di 
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. 
Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati 
Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai 
seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai 
seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena 
mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar 
setiap pagi.
Ia pandai 
mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan, 
permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu 
sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya 
banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa 
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat 
di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu
 kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai
 beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas
 Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah 
seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak 
maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk 
santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika
 di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak 
terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah 
seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu
 sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya 
dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual 
rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya 
penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang lebih
 pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki 
Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.
Ki 
Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang 
sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin 
orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”.
 Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng 
di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si 
penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki 
Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu 
sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama 
Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja 
sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai
 Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta 
itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba
 kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi
 orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa 
menghalalkan segala cara!”
“Pak 
tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai 
penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, 
anak istrimu tercukupi?”
“Soal 
harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang 
diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul 
hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh! 
Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu!
 Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya 
berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman 
seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan 
tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan
 ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua
 orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata
 duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari 
lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Ki 
Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
 Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki 
ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. 
Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul 
lelaki penjual rumput itu.
“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau
 begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai 
teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid 
dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang 
berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali 
hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus 
meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau 
laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku
 adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu 
bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang 
telah dihukum mati”.
Mendengar 
nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk 
menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan
 matanya.
Ki 
Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit 
sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang 
memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. 
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus 
untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar 
zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia 
menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan 
ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya 
terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di 
Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah,
 kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta 
hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.
Keduanya 
lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. 
Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya 
berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam 
lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki 
Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena
 ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, 
Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya 
dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan
 setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara 
Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil 
suaminya yang berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya 
Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget 
mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat 
dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai 
Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki 
Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki 
Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”
 jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas
 tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya 
karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”,
 jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan 
membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi 
tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.
Ki 
Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil 
terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih 
mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”
Aneh, 
seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau
 kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki 
Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat
 air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia 
melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”,
 pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan 
menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. 
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada
 saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki 
Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia 
normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus 
dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah 
bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di
 atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali 
seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan
 itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu 
hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk 
bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud 
semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang 
mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat 
dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar 
Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya 
mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan 
kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan 
gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. 
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai 
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan 
Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk 
menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum  mati karena 
dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi 
wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, 
diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang 
pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar.
 Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, 
karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat 
tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani 
para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa pikir 
panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan 
tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak 
orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang
 masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang 
membeli kue srabi.
Setelah tahu
 bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual
 kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual 
kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
6. Sunan Kudus 
Asal-usul
Menurut 
salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar 
Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang 
Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa, 
disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro 
yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati 
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit.
 Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu
 Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai 
senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya 
sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan 
Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan 
Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa
 dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. 
Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan 
bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat 
merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya 
melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan 
Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin 
lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang 
ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung 
dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara 
Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan 
oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli 
kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari 
negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng 
Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang 
beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan
 dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing 
cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah 
daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai 
Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam, 
melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang 
datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far 
Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina 
itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina 
yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita.
 Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di 
masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan  
masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus 
termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang 
menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
- Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
 - Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
 - Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
 - Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
 - Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
 
Strategi 
dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, 
Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah 
tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka 
disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang
 didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran 
Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu 
hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat 
lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa 
para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman 
rumah Sunan Kudus.
Rakyat Kudus
 yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa 
yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam 
pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para 
Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. 
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan
 Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan 
justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan 
Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo 
singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama 
Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang 
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya
 melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di 
waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, 
hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar 
cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka 
menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka 
bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada 
jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang 
penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah
 satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua 
dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat 
makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu 
lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang 
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah,
 sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk 
mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk 
Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan 
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, 
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
 Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab 
dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna 
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah 
masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan 
pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca 
Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha
 “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya 
itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa 
Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat 
berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan 
keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti 
diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang 
kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di
 kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas 
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, 
dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual 
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam
 bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, 
bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah 
acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila
 anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan 
supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat 
tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan 
diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan 
tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan 
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh 
dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan
 bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, 
dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu 
sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat 
Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum 
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau 
sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga 
sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang 
Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat
 pedesaan.
Berbeda 
dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis 
makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua 
masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak 
boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di 
tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika 
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu 
beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu 
dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus 
yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga 
bulan.
Sebelum 
masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang 
sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah 
banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. 
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan 
syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah 
menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum 
terbina.
Maka pada 
kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini 
masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, 
hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi 
undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam 
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan 
materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan 
perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah 
terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri 
ceramahnya.
Cara 
tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, 
yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan 
lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, 
karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada 
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
 dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan 
demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat 
tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk 
mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui 
ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang 
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam 
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu 
berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada
 wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan 
sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan 
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak
 orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau 
Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut 
dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”, jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya 
mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa 
ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda
 telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga 
doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq
 lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak 
disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa 
amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab 
telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras 
secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. 
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud 
diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia 
hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir 
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di 
pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota 
Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para 
Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah 
di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. 
Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq 
pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Malam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi sampai 
pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk 
penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, 
apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada 
harimaunya.
Dengan 
senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di 
tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang 
santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
Tetua desa 
itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam itu 
dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan 
perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih 
dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu 
udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki 
berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung 
desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil 
mengeluarkan suara khasnya.
Adanya suara
 burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia 
yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal
 mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan 
berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari 
belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada 
beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah 
sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang
 memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.
Adipati 
Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama 
Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal 
dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo 
Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur
 faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi 
Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup 
wajar sebagai petani biasa.
Sungguh 
mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke 
penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak 
Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan.
 Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap 
tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena itu 
Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng 
Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah
 dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan
 mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan 
kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat
 apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri 
Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku 
tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua orang 
utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki 
Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ 
dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun 
menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika 
hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng 
Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera 
lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri
 pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng 
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”.
 Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik 
seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di 
Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang 
utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus
 Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki Wanapala 
adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. 
Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering 
datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai 
pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki Wanapala 
tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa 
yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi 
tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun ketika
 tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat 
para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali 
ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus 
yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu 
terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan 
keempat lagi.
Walaupun 
Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya 
menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar 
memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri 
desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga tahun 
memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah 
menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami
 kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus 
lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia 
kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau 
tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus 
pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia 
kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. 
Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki 
Ageng Pengging.
Hal ini 
disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan 
memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng 
Pengging ini.
Suasana 
Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang 
pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten 
tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu 
kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti 
rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus 
memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia 
sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia 
yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan 
oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang 
dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul 
bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak 
mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di depan 
pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. 
Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya 
untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”.
 Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang 
dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan Kudus 
dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan
 minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu
 Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai 
Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau 
pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan 
Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga 
diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”, kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban itu 
bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya 
maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus 
ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui 
Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya 
pemberontak!
Bahwa Ki 
Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum 
mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng 
Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah 
meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau
 anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau 
anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku
 keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau 
anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop sudah! 
Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang 
berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah 
bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti 
Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus 
juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai 
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun 
juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging 
dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi
 itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati 
tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan 
mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”,
 ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya.
 Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng 
Pengging.
Sunan Kudus 
kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut 
oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak 
Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan
 jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang 
tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya
 dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar 
Sunan Kudus.
200 orang 
bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging 
mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari 
kejauhan.
Sunan Kudus 
berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan 
prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging 
mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di 
sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. 
Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka 
seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan
 turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan 
selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu 
berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak 
ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara Sunan 
Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu
 seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang
 Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam 
kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus. “Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang 
Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke 
rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus 
dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita Ki
 Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. 
Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng 
Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah 
yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau 
Pajang.
7. Sunan Drajad 
Asal-usul
Nama asli 
Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi 
Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan 
Bonang.
Raden Qosim 
yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di 
sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban 
dan Gresik.
Raden Qosim 
mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di 
tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau 
tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur.
 Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum 
menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia 
akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan 
seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang 
punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim 
sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima 
kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu 
maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan 
ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu 
beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan 
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana,
 yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan talang 
itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa
 Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. 
Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias, 
lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan 
Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa 
Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan 
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru 
kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim 
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 
kilometer, di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun 
kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat 
berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem 
Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun 
Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat
 Museum tersebut.
Raden Qosim 
adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, 
dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan 
Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut 
jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan
 lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur 
dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski 
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. 
Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat 
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi 
penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam 
catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali 
yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga 
sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang 
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan 
sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun 
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh 
(buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan). 
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau 
belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang 
yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun 
dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. 
Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di samping 
terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau 
juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta mendukung 
dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di bidang 
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali
 yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut 
masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim, 
diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit 
yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu 
tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan 
Allah swt.
8. Sunan Muria 
Asal-usul
Beliau 
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar 
Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, 
ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang 
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat 
tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. 
Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran 
dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. 
Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan 
dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula
 yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah,
 jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus 
naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk 
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para 
pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat.
 Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai 
tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria 
memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa 
Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam 
kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah 
putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena
 ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu 
hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang 
genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan 
Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. 
Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu
 berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar 
menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
 rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan 
bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan 
Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan 
pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi 
seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak 
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan 
gadis itu.
Sewaktu 
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak 
belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar 
kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat 
Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot 
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena 
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia 
menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih 
setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja 
Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku 
kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas 
disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya 
sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak
 menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. 
Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun 
semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa 
gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari 
tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari 
jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan
 Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat 
memejamkan matanya.
Pathak Warak
 kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. 
Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam 
hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak 
Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi 
Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah 
Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka 
beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke 
Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan 
dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
 Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak 
Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi, di 
tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik 
seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. 
Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju 
arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan 
Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang 
lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria 
merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang 
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat 
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng 
Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami 
hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu
 benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih 
penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria 
akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak 
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus 
menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk 
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri 
ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat 
yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha 
mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari 
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan 
usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati 
Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa 
basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke 
arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan 
tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam 
beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah 
dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, 
tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria 
kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira 
oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur
 bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria 
mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi 
Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan 
Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. 
Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba 
berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak 
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono 
dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh 
kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah 
wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah 
diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. 
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru 
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah 
payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.
 Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan 
matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata 
Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi
 Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak 
terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa 
dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak 
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat 
untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. 
Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri 
berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak 
melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga 
terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar 
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya 
Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian 
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat
 Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di
 malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan 
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian
 ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, 
semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang 
ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik
 dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat 
yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud 
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini 
biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain 
bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut 
Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti 
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama
 lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan 
agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan 
menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk 
agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan 
antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan 
Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat
 istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan 
tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya 
yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu 
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan 
dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju 
Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan 
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi 
Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, 
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik 
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
 membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa 
mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka
 ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana 
pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara 
layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan 
dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati 
Asal-usul
Dalam usia 
masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk 
untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang 
masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud 
pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu 
kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu 
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa 
ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah 
sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia 
tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.
Syarif 
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang
 Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai 
untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh 
Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
 Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan.
 Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im 
minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.
Syarifah 
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh 
Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif
 Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah 
saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi 
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 
1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan 
kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar 
Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, 
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke 
Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu 
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak 
mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di
 wilayah Pajajaran.
Syarif 
Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk 
Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari 
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif 
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi 
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah 
dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran 
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif 
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau 
sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. 
Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.
Dari 
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya 
Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia 
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. 
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti 
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan 
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin 
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain 
seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan 
diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
 Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan 
Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin 
persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga 
istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
 Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina 
makin erat.
Bahkan Sunan
 Gunungjati pernah diundang  ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar
 Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari 
dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar 
ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal
 ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia 
perdagangan.
Sesudah 
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi 
Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali 
putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar 
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina 
itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana 
dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan 
motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Masjid Agung
 Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu 
Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu 
melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli
 yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga 
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang 
persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun 
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah 
Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah 
Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan 
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri 
sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 
1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin 
meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi 
incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu 
bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden 
Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang 
Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan 
Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang 
kuat dim Malaka.
Ketika 
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) 
bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman 
lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin 
menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Pada tahun 
1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang 
ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah 
diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis 
di Sunda Kelapa.
Fatahillah 
yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus 
mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya 
menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda
 Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa 
Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada
 perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis 
menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai 
Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.
Mengapa 
Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati?
 Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya 
sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman 
adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, 
tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu 
sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan 
Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan 
Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran 
cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya 
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak 
yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan 
karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama 
Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini 
menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah 
kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama 
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih 
lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah 
memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di 
Jawa Barat.
Kemenangan 
demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati 
memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan 
Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku
 Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika 
usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya 
yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar
 Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut 
Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. 
Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di 
Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak 
pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia 
mendahului ayahandanya.
Kedudukan 
Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar 
Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
 walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya 
bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah 
menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan 
Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun.
 Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung 
Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah 
dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, 
tanpa diperantarai apapun juga.
Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan Cina
 sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana 
Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu 
pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping 
itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan 
gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang
 mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah 
dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan 
daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima
 waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang 
sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan 
Cina.
Di negeri 
Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan 
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini 
sudah masuk Islam.
Pada suatu 
ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti 
Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati 
berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut 
versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan 
Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam,
 beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di 
rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, 
sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan 
sebaik-baiknya.
Kemudian 
Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai 
Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur 
dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.
Ketika 
beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak 
lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga 
sampai ke negeri Cina.
Di negeri 
Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat 
disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka 
sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse
 atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.
Kabar adanya
 tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan 
Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian 
Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama 
seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang 
Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun 
perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. 
Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga
 nampak seperti orang yang belum hamil.
“Hai tabib! 
Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam
 sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? 
Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina.
“Dia!” jawab
 Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. 
Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula 
seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. 
Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit 
keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah!
 Saya benar-benar hamil!”
Maka 
gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien 
telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu 
benar-benar membesar seperti orang hamil.
Kaisar 
munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan 
Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun 
Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati 
maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan 
Gunungjati ke Pulau Jawa.
Kaisar Hong 
Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau 
Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga 
lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal
 oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri 
negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah 
seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina.
Dalam 
pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu 
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka 
merasa heran.
“Ada apa 
ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua 
masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya 
sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di 
atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana 
Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang 
bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu 
menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan 
Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari 
penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. 
Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.
Dalam 
kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa 
sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya 
Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. 
Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah 
berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau 
Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang
 ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke 
Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia 
menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat 
sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang 
meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama 
kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan 
lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal 
dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara 
itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai
 di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang 
berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri
 Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang 
pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda 
berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa 
heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. 
Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.


No comments:
Post a Comment