أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
I. Pengertian
Wira’i berasal dari kata ‘wara’ yang artinya menjaga diri atau bertakwa. Sehingga wira’i adalah malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia. Selain itu wira’i juga diartikan sebagai suatu sikap menjauhkan
diri dengan hal-hal yang haram dan syubhat. Karena wira’i merupakan
inti agama dan yang berada dikawasan itu merupakan pangkal kebaikan bagi
para ulama yang mengamalkan ilmunya. Jikalau semangat wirai terbangun
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka tidak akan terjadi
tindakan-tindakan tak terpuji seperti pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya.
Nasihat Ulama Salaf :
Diriwayatkan,
bahwa Umar bin Khattab r.a. berkata, “Perbuatan yang paling utama
adalah menunaikan apa yang telah difardhukan (digariskan) Allah swt,
berhati-hati dan menjaga diri (wara’) dari apa yang diharamkan Allah dan
kesungguhan niat untuk mencapai apa yang ada disisi-Nya (diridhai-Nya) (
Ahmad Faried, 1993 : 9-10)
Seorang sufi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (wara’) adalah bahwa
“kamu menahan diri agar hatimu tidak menyimpang sekejap pun dari
mengingat Allah”. Sufi yang lain berkata: “Wara’ adalah bahwa hamba
tidak berbicara melainkan dalam kebenaran, baik dalam keadaan rida
maupun dalam keadaan marah”. Jadi, wara’ itu awal zuhud dan dia adalah
dalil adanya takut kepada azab Allah dan takut itu adalah dalil adanya
makrifat, dan makrifat itu adalah dalil adanya taqarrub (dekat diri
kepada Allah SWT)
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wara’ ialah
sikap seseorang terhadap perkara-perkara yang halal dan yang haram,
seperti yang
( 1 )
telah digariskan dalam syariat. Terhadap perkara tersebut terdapat empat golongan orang wara’
II. Golongan Orang Wara’
1. Wara’ orang awam
Yang
dimaksud dengan golongan ini adalah wara’ orang biasa yang menahan diri
dari melakukan apa yang wajib atasnya hukum fasik atau hilang darinya
sifat adil jika ia melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama atau oleh
fatwa para fukaha. Artinya, wara’ terhadap larangan Allah.
2. Wara’ orang saleh
Yang
dimaksud dengan golongan ini ialah orang yang menahan diri dari
menyentuh atau memakan sesuatu yang mungkin akan jatuh kepada yang haram
separti makan sesuatu yang tidak jelas hukum atas statusnya (syubhat).
3. Wara’ orang bertakwa
Yang
dimaksud dengan golongan ini ialah orang yang menahan diri dari sesuatu
yang tidak diharamkan oleh ajaran agama dan bukan pula termasuk barang
yang syubhat, tetapi dia menahan diri dari perkara tersebut karena takut
jatuh kepada yang haram, yakni “meninggalkan sesuatu yang tidak ada
apa-apa karena takut jatuh kepada apa-apa “. Dalam hal ini, Ibn Majah
meriwayatkan suatu hadis dari Nabi SAW yang artinya:
“Seseorang hamba tidak akan mencapai tingkat orang-orang bertakwa
(muttaqin), sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena
takut akan apa yang berdosa. “
Yakni
orang wara’ dalam tingkat ini selalu menjaga dan mengendalikan diri dan
keinginan dari melakukan sesuatu perbuatan, mengucapkan sesuatu
perkataan ataupun memakan sesuatu makanan karena khawatir akan jatuh ke
dalam dosa.
4. Wara’ orang benar
Yang
dimaksud dengan wara’ golongan ini ialah menahan diri dari berdosa sama
sekali dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, tapi dia menahan diri
melakukannya karena Allah atau karena dapat membawanya kepada
sebab-sebab yang memudahkannya jatuh kepada yang makruh atau maksiat.
Artinya menahan diri melakukan sesuatu yang tidak dilarang dalam agama
karena khawatir tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah SWT. Inilah
jenis wara’ tingkat tertinggi. Karena wara’ dalam tingkat ini, segala
apa yang dilakukan bukan karena untuk ibadah kepada Allah, maka hukumnya
adalah haram.
( 2 )
Demikianlah ulasan Imam ai-Ghazali tentang kedudukan wara’ dalam tasawuf. ( Ahmad Daudy, 1998 : 56-58 )
III. Ruang Lingkup Wira’i
Ada beberapa hadist yang membahas tentan wira’i diantaranya yaitu Rasulullah SAW bersabda :
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka neraka yang pantas menjadi tempatnya.”(HR. Hakim)
Nabi SAW juga bersabda :
“Barang
siapa yang takut menghadap syubhat, berarti ia telah membebaskan
(menjaga) agama dan martabatnya, barang siapa yang jatuh kedalam
syubhat, berarti dia jatuh kedalam haram.”
Ketahuilah,
sesungguhnya orang mengambil dari yang haram dan syubhat, maka kecil
sekali kemungkinannya ia dapat mengerjakan amal saleh. Sekalipun secara
lahir ia dapat mengerjakan amal saleh, akan tetapi tidak bisa tidak, dia
akan menghadapi bahaya-bahaya batin yang merusak amalnya, amaliah orang
yang makan haram, akan dikembalikan kepadanya (ditolak). Karena Allah
SWT itu baik (suci), dia tidak akan menerima apapun, kecuali yang baik
(suci).
Sebagai penjelasannya secara logis adalah bahwa amaliah itu tidak akan tampak adanya, kecuali dengan gerakan angggota tubuh, dan angggota tubuh itu tidak akan mampu berbuat apa-apa, kecuali kekuatan dengan yang hasilkan oleh makanan. Apabila makanan itu didapat dengan cara yang kotor, maka kekuatan dan gerakan yang ditimbulkan akan kotor.
Sebagai penjelasannya secara logis adalah bahwa amaliah itu tidak akan tampak adanya, kecuali dengan gerakan angggota tubuh, dan angggota tubuh itu tidak akan mampu berbuat apa-apa, kecuali kekuatan dengan yang hasilkan oleh makanan. Apabila makanan itu didapat dengan cara yang kotor, maka kekuatan dan gerakan yang ditimbulkan akan kotor.
( 3 )
Abdullah Bin Umar r.a. berkata :
”
Sekalipun anda shalat seperti orang yang bungkuk, atau berpuasa hingga
kurus kering seperti tali, maka hal itu tidak akan di terima oleh Allah
SWT, kecuali dengan wira’i yang benar.”
Diriwayatkan dalam Hadist Marfu’, bahwa Rasul SAW bersabda :
“Barang
siapa yang membeli pakaian dengan harga sepuluh derham, sementara di
dalamnya terdapat satu derham dari harta yang haram, maka Allah tidak
akan menerima shalatnya di sepanjang yang haram itu masih terdapat
padanya.’
(HR. Ahmad)
(HR. Ahmad)
Ketahuilah, bahwa barang yang haram itu ada dua bagian, yaitu:
1. Suatu
yang haram karena memang wujud (zat) aslinya haram, seperti bangkai,
darah, khamar, dan lain sebagainya. Benda-benda sejenis ini ditinjau
dari sisi manapun tidak halal, kecuali pada saat yang terpaksa
(dhurarat), misalnya berpijak pada keharusan untuk mempertahankan jiwa
yang dihormati, lalu mengambilnya, semantara itu tidak di jumpai yang
lain, atau dengan kata lain orang yang sangat kelaparan, bila tidak
makan dia akan mati, padahal mempertahankan hidup adalah sebuah
keharusan baginya, sementara tidak ada makanan yang lain yang bisa di
makan selain bangakai, maka dia boleh memakannya. ( 4 )
2. Sesuatu
yang wujud yang aslinya halal, seperti gandum dan air suci, akan barang
itu milik anda. Barang itu, haram bagi anda, hingga menjadi milik anda
menjadi sah sesuai dengan aturan syara’. Seperti dengan jalan jual
beli, pembelian (hibah) atau warisan yang lain sebagainya.
Adapun pengertian syubhat terdapat beberapa tingkatan, diantaranya ialah :
1. Sesuatu yang diyakini akan diharamkan dan diragukan kehalalnya. Jenis syubhat ini, masuk dalam katogori hukum haram.
2. Suatu
yang dapat diyakini halal, naman diragukan keharamannya. Meninggal atau
menghindari syubhat semacam ini, merupakan sikap wara’.
3. Sesuatu yang berada diantara kedua-duanya, yakni sesutu yang merupakan halal, tetapi juga menyerupai yang haram.
Nabi SAW bersabda :
“Tinggalkan sesuatu yang meragukan anda dan ambillah yang tidak meragukan anda.” (HR. Ahmad)
IV. Sikap yang termasuk wira’i
Wira’i
maksudnya menghindari hal-hal yang kurang layak dilakukan. Termasuk
didalamnya adalah menghindari kekenyangan, banyak tidur, banyak bicara
yang tidak perlu, menghindari makanan pasar karena selain kurang terjaga
kebersihannya, juga dianggap kurang berkah dan lain sebagainya.
( 5 )
Bersikap wira’i ketika sendirian sangat
sulit bagi kebanyakan manusia karena biasanya manusia bersifat baik,
menjaga diri dan menampakkan ketakwaan ketika dihadapan orang lain dan
berubah menjadi tidak baik dan tidak bertakwa ketika sendirian dan tidak
ada orang lain. Karena itu, orang yang bersikap wira’i (wara’ atau
menjaga diri atau bertakwa) ketika sendirian dan tidak sedang dihadapan
orang lain adalah bukti keikhlasan dan kejujuran pelakunya.
Sesungguhnya
yang menunjukkan seseorang wira’i adalah penangguhannya terhadap
masalah yang belum jelas, hingga menjadi jelas, seorang hamba tidak
termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa, hingga ia meninggalkan
sesuatu yang halal, tetapi apabila ia mengambilnya, dikhawatirkannya
dibelakangnya akan terjatuh dalam syubhat atau yang haram. Nabi SAW
bersabda :
“Seorang
hamba tidak akan mencapai tingkat muttaqin, hingga ia meninggalkan yang
tidak bahaya baginya, karena takut terhadap hal yang membahayakannya.
(HR. Tirmidzi)
(HR. Tirmidzi)
Para
sahabat Rasulullah SAW berkata : ”Kami meninggalkan tujuh puluh pintu
halal, karena takut terjatuh dalam yang haram. ”Hal semacam ini, telah
terjadi masa lalu. Kita harus mengetahui semua hal yang diharamkan Allah
agar anda dapat menjauhinya. Sebab, orang yang tidak mengetahui
keburukan, dia akan terjatuh kedalamnya ( Www.sigit wahyu.net )
Seandainya
orang yang beragama itu tidak takut jatuh dalam mendapatkan barang yang
asalnya haram, seperti makan hewan-hewan yang tidak halal dimakan atau
tidak takut mengambil harta orang lain dengan cara memaksa, menganiaya,
mengazab, merampok dan mencuri, ( 6 ) maka umumnya pada semua itu
terjadi sebab kecongkakan seseorang dengan sengaja menentang kebenaran,
sebab tipu daya setan.
Kekaburan
yang telah merasuki orang-orang yang beragama, disebabkan mereka
mengabaikan kebaikan penglihatan terhadap tiga perkara, yaitu:
Pertama, mengabaikan pengamatan terhadap tiga perkara, yaitu :
a. Orang
yang dalam pandangan kita baik dan benar dari semua makan perbuatannya.
Jika anda menginginkan sesuatu padanya, tidak perlu bertanya ini dan
itu (apakah halal atau haram)
b. Orang
yang tidak kita kenali baik-buruknya, jika kita ingin berkerjasama
dengan orang ini atau menerima hadiah darinya, maka termasuk sikap
wira’i, jika kita menanyakannya, tetapi harus dengan cara yang sopan.
Jika misalnya menanyakan itu kita tahu akan menyingung perasaannya, maka
sebaiknya kita diam (tidak menanyakan)
c. Orang
yang jelas kezalimannya, seperti orang yang bekerja secara riba, jual
beli dengan cara kotor, dan tidak peduli ia mendapatkan harta, akan
halnya orang yang semacam ini, hendaklah kita sama sekali tidak berkerja
sama dengannya. Jika ada unsur-unsur yang memaksa, periksa dan tanyakan
dulu. Semua ini adalah sikap wira’i. hingga kita tahu bahwa padanya
sangat langka sekali hal yang halal, maka karena itu pula anda harus
waspada. Apabila datang suatu barang kepada kita, ( 7 ) sementara
kita tidak tahu atau dalam dugaan ada tanda-tanda haram dan syubhat
secara jelas, janganlah kita serta merta mengambilnya, sekalipun barang
itu sampai pada anda melalui orang yang saleh.
Kedua, tidak
memiliki kehati-hatian dan kewaspadaan terhadap perkerjaan yang kotor
dan dilarang, jangan berjual beli, kecuali dengan melakukan transaksi
mengunakan bahasa akad yang benar. Tidaklah mengapa membelikan tambahan
kepada pembeli pada barang yang kurang baik. Menjauhi kerja yang membabi
buta, menipu atau bersumpah agar barang dagang anda laku, yang jikalau
pembeli melihatnya, dia tidak mau beli dengan harga itu. Takutlah dan
jauhilah berkerja dengan cara riba, kerena riba itu termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang sebelum di pungut), jika kamu orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa-ssia riba), maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah :
278-279)
Rasulullah
SAW juga melaknat kepada orang yang memakan riba, mewakili, mencatat
dan menjadi saksi transaksi riba. Secara garis besar riba itu ialah
haram menjual mata uang dengan sejenisya, seperti perak dengan perak,
gandum dengan gandum dan makanan dengan makanan yang sejenis, kecuali
sama nilainya dengan kontan. Jika jenis berbeda, seperti emas dan
perak,dan buah dengan buah, maka boleh selisih, dengan syarat harus
bayar kontan. Tidak termasuk riba, menjual hewan dengan hewan lainnya,
pakaian dengan pakaian lainnya, atau makanan dengan mata uang. ( 8 )
Takutlah kita melakukan penimbunan barang, yaitu anda membeli bahan
makanan (barang) yang sangat dibutuhkan, kemudian menimbunnya dengan
maksud untuk meningkatkan harga jual yang sangat tinggi ketika barang
itu sangat dibutuhkan.
Ketiga, kemauan
keras untuk memenuhi kesenangan dunia dan keleluasaan kenikmatannya.
Jika sudah demikian, maka sulit bersikap wira’i, dan akan mempersempit
keadaan. Karena hal tersebut termasuk sikap hidup berlebihan (israf).
Terhadap yang halal pun jangan sampai membuat anda berlaku
berlebih-lebihan (israf). Adapun orang yang martabatnya menjauhi dunia,
ia akan mengambil dunia ini sekadar yang penting dan dibutuhkan saja,
sehingga mudah baginya untuk bersikap wira’i. Hujjatul Islam Imam
Ghazali r.a berkata :
”Jika
anda qana’ah (rela menerima) dengan pakaian yang kasar (tidak baik)
selama setahun, dan disetiap siang dan malam hanya dengan makan dua
potong roti tawar, tidaklah menjadikan anda miskin dari yang halal, yang
dapat mencukupi anda, karena yang halal itu banyak sekali” .
Bukan
menjadi keharusan bagi kita menyelidiki, terhadap perkara secara
mendasar sampai pada batinnya, hingga membuat kita yakin. Akan tetapi
keharusan kita menjaga dari setiap sesuatu yang dipahami sebagai hal
yang haram, atau menurut perkirakan kita yang semestinya dari
tanda-tanda yang berkaitan dengan harta itu.”
( 9 )
Apabila
ada atau yang mengusik dan membuat hati kita tidak tenang, maka
menjauhinya adalah merupakan sikap yang wira’i, sekalipun secara
pengetahuan lahiriyah halal. Karena dosa itu adalah hal yang selalu
mengusik jiwa dan mengoyak hati menjadi tidak tenang. Sabda Nabi SAW :
”Ini, adalah keistimewaan bagi orang yang hatinya bersinar, sedangkan disisi lain yang tertinggal tidak mengambil .”
Maksudnya
bahwa wira’i itu tidak hanya tertentu pada makanan dan pakaian saja,
tetapi sikap wira’i itu hendaklah secara menyeluruh pada semua perkara.
Akan tetapi apabila kita dihadapkan pada pikiran antara yang halal dengan yang lebih halal atau yang halal dan syubhat, maka hendaknya kita mendahulukan yang lebih halal dan lebih baik, karena sumber segalanya adalah dari makanan yang anda konsumsi .dan makanan halal, sangat berpengaruh sebagai cahaya yang menyinari hati, dan memperkuat dorongan semangat beribadah.
Akan tetapi apabila kita dihadapkan pada pikiran antara yang halal dengan yang lebih halal atau yang halal dan syubhat, maka hendaknya kita mendahulukan yang lebih halal dan lebih baik, karena sumber segalanya adalah dari makanan yang anda konsumsi .dan makanan halal, sangat berpengaruh sebagai cahaya yang menyinari hati, dan memperkuat dorongan semangat beribadah.
Sebagian
ulama salaf berkata : ”Setiap sesuatu yang anda inginkan maka
seleksilah lalu lakukanlah yang terbaik.” Ibrahim Bin Adham r.a. berkata
:
”Perbaikilah
makanan anda (dengan makan yang halal), tentu tidak ada dosa bagi anda,
sekalipun anda tidak sholat malam tidak pula berpuasa (sunah) disiang
hari.”
No comments:
Post a Comment