أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Para ahli tasawuf berbeda pendapat tentang wajd. Apa sebenarnya wajd itu? Maka Amr bin Utsman al-Makki mengatakan, “Wajd itu tidak mungkin bisa digambarkan dengan ungkapan apa pun, sebab ia merupakan rahasia Allah yang ada pada orang-orang mukmin yang yakin.”
Disebutkan dari al-Junaid —rahimahullah— yang mengatakan: Sebagaimana yang saya kira, bahwa wajd adalah apa yang terjadi secara kebetulan (al-mushadafah). Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan itu terwujud.” (Q.s. al-Kahfi: 49)
Yakni, mereka mendapatinya secara kebetulan. Dan firman Allah Swt.:
“Dan kebaikan apa saja yang kamu lakukan untuk dirimu, tentu kamu akan menemukan pahalanya di sisi Allah.” (Q.s. al-Baqarah:110)
Yakni, mereka temukan (secara kebetulan). Dan firman Allah Swt.:
“Tetapi bila didatanginya air itu, ia tidak mendapatinya suatu apa pun.” (Q.s. an-Nur: 35)
Yakni, ia tidak mendapatkan suatu apa pun.
Maka segala yang ditemukan oleh hati (secara kebetulan), baik duka maupun suka adalah wajd. Allah Swt. telah memberitahu tentang kondisi hati, bahwa ia bisa melihat. Kemampuan untuk melihat itulah yang disebut wajd. Allah Swt. berfirman: “Karena sesungguhnya bukanlah buta mata, tetapi buta hati yang ada di dalam dada.” (Q.s. al-Hajj: 46)
Yakni, buta karena tidak mampu mendapatkannya. Sehingga Allah Swt. membedakan antara hati yang mampu menemukan dengan yang tidak mampu menemukan.
Dikatakan pula, bahwa wajd adalah tersingkapnya tutup hati (mukasyafah) dari al-Haq. Apakah Anda tidak melihat seseorang yang semula tenang kemudian bergerak dan menarik nafas panjang? Tapi kadang di antara mereka ada yang lebih kuat melakukan wajd sehingga ia tetap tenang dan tidak terlihat gerakan apa pun. Allah Swt. berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang apabila Nama Allah disebut maka hati mereka gemetar.” (Q.s. al-Hajj: 35)
Sebagian guru Sufi (syekh) terdahulu mengatakan, ”Wajd itu ada dua: wajd mulk (karena memiliki) dan wajd liqa’ (karena bertemu). Sebab Allah Swt. berfirman, ‘Maka barangsiapa tidak mendapatkan’ (Q.s. al-Baqarah: 196, an-Nisa’: 92 dan alMa’idah: 89). Yakni, tidak memiliki. Dan firman-Nya, “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan itu terwujud.” (Q.s. al-Kahfi: 49). Yakni, bertemu dengan apa yang mereka lakukan.
Sementara itu sebagian kaum Sufi yang lain mengatakan: Setiap wajd yang menemukan Anda lalu menguasai Anda, maka itu wajd mulk (karena memiliki), sedangkan setiap wajd yang Anda temukan maka itu disebut wajd liqa’ (karena bertemu), dimana Anda menemukan sesuatu dengan hati, tapi sesuatu itu tidak menetap dalam hati.
Saya mendengar Abu al-Hasan al-Hushri —rahimahullah— berkata: Manusia itu dibedakan menjadi empat macam: (1) Orang yang sekadar mengaku, dimana ia akan tersingkap; (2) Orang yang terhalangi, dimana suatu ketika akan bermanfaat baginya dan suatu ketika merupakan kerugian; (3) Orang yang mampu memahami secara hakikat (mutahaqqiq), dimana ia cukup dengan hakikatnya; (4) Orang yang dalam hatinya menemukan sesuatu (wajid), dimana ia telah fana dengan apa yang ia temukan.
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah —rahimahullah— yang juga mengatakan, “Setiap wajd yang tidak dilandasi dengan al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah adalah tidak dibenarkan (bathil).”
Abu Said Ahmad bin Bisyr bin Ziyad bin al-A’rabi —rahimahullah— mengatakan, “Awal wajd adalah tersingkapnya hijab (tutup hati), ‘menyaksikan’ (musyahadah) Dzat Yang senantiasa memantau, hadirnya pemahaman, memperhatikan apa yang gaib, percakapan dengan rahasia hati dan tidak gundah dengan sesuatu yang hilang, dimana itu adalah fananya diri (nafs) sebagai identitas Anda.”
Abu Said —rahimahullah— mengatakan, “Wajd adalah tingkatan awal orang-orang khusus. Dimana ia merupakan ‘warisan’ pembenaran terhadap sesuatu yang gaib. Tatkala mereka merasakannya dan cahayanya telah menerangi hatinya, maka semua keraguan akan hilang.”
Ia juga mengatakan, bahwa yang menghalangi seseorang untuk wajd adalah karena ia melihat pengaruh diri (nafsu) dan sangat bergantung pada berbagai keterkaitan dan sarana (sebab). Sebab diri akan tertutup oleh berbagai sebab dan sarananya. Maka tatkala sebab-sebab itu telah terputus, dzikirnya telah jernih, hatinya bersih dan lembut, nasihat dan dzikir bisa bermanfaat, menempatkan munajat pada posisi yang aneh dan ketika diseru maka ia mendengar seruan tersebut dengan telinga yang penuh kesadaran dan hati yang menyaksikan serta rahasia hati yang suci, kemudian ia menyaksikan apa yang sebelumnya tidak ada, maka itulah wajd. Sebab ia menemukan apa yang ada pada dirinya sesuatu yang tidak ada sama sekali.
Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Para ahli tasawuf berbeda pendapat tentang wajd. Apa sebenarnya wajd itu? Maka Amr bin Utsman al-Makki mengatakan, “Wajd itu tidak mungkin bisa digambarkan dengan ungkapan apa pun, sebab ia merupakan rahasia Allah yang ada pada orang-orang mukmin yang yakin.”
Disebutkan dari al-Junaid —rahimahullah— yang mengatakan: Sebagaimana yang saya kira, bahwa wajd adalah apa yang terjadi secara kebetulan (al-mushadafah). Ini berdasarkan firman Allah:
“Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan itu terwujud.” (Q.s. al-Kahfi: 49)
Yakni, mereka mendapatinya secara kebetulan. Dan firman Allah Swt.:
“Dan kebaikan apa saja yang kamu lakukan untuk dirimu, tentu kamu akan menemukan pahalanya di sisi Allah.” (Q.s. al-Baqarah:110)
Yakni, mereka temukan (secara kebetulan). Dan firman Allah Swt.:
“Tetapi bila didatanginya air itu, ia tidak mendapatinya suatu apa pun.” (Q.s. an-Nur: 35)
Yakni, ia tidak mendapatkan suatu apa pun.
Maka segala yang ditemukan oleh hati (secara kebetulan), baik duka maupun suka adalah wajd. Allah Swt. telah memberitahu tentang kondisi hati, bahwa ia bisa melihat. Kemampuan untuk melihat itulah yang disebut wajd. Allah Swt. berfirman: “Karena sesungguhnya bukanlah buta mata, tetapi buta hati yang ada di dalam dada.” (Q.s. al-Hajj: 46)
Yakni, buta karena tidak mampu mendapatkannya. Sehingga Allah Swt. membedakan antara hati yang mampu menemukan dengan yang tidak mampu menemukan.
Dikatakan pula, bahwa wajd adalah tersingkapnya tutup hati (mukasyafah) dari al-Haq. Apakah Anda tidak melihat seseorang yang semula tenang kemudian bergerak dan menarik nafas panjang? Tapi kadang di antara mereka ada yang lebih kuat melakukan wajd sehingga ia tetap tenang dan tidak terlihat gerakan apa pun. Allah Swt. berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang apabila Nama Allah disebut maka hati mereka gemetar.” (Q.s. al-Hajj: 35)
Sebagian guru Sufi (syekh) terdahulu mengatakan, ”Wajd itu ada dua: wajd mulk (karena memiliki) dan wajd liqa’ (karena bertemu). Sebab Allah Swt. berfirman, ‘Maka barangsiapa tidak mendapatkan’ (Q.s. al-Baqarah: 196, an-Nisa’: 92 dan alMa’idah: 89). Yakni, tidak memiliki. Dan firman-Nya, “Dan mereka mendapati apa yang telah mereka kerjakan itu terwujud.” (Q.s. al-Kahfi: 49). Yakni, bertemu dengan apa yang mereka lakukan.
Sementara itu sebagian kaum Sufi yang lain mengatakan: Setiap wajd yang menemukan Anda lalu menguasai Anda, maka itu wajd mulk (karena memiliki), sedangkan setiap wajd yang Anda temukan maka itu disebut wajd liqa’ (karena bertemu), dimana Anda menemukan sesuatu dengan hati, tapi sesuatu itu tidak menetap dalam hati.
Saya mendengar Abu al-Hasan al-Hushri —rahimahullah— berkata: Manusia itu dibedakan menjadi empat macam: (1) Orang yang sekadar mengaku, dimana ia akan tersingkap; (2) Orang yang terhalangi, dimana suatu ketika akan bermanfaat baginya dan suatu ketika merupakan kerugian; (3) Orang yang mampu memahami secara hakikat (mutahaqqiq), dimana ia cukup dengan hakikatnya; (4) Orang yang dalam hatinya menemukan sesuatu (wajid), dimana ia telah fana dengan apa yang ia temukan.
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah —rahimahullah— yang juga mengatakan, “Setiap wajd yang tidak dilandasi dengan al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah adalah tidak dibenarkan (bathil).”
Abu Said Ahmad bin Bisyr bin Ziyad bin al-A’rabi —rahimahullah— mengatakan, “Awal wajd adalah tersingkapnya hijab (tutup hati), ‘menyaksikan’ (musyahadah) Dzat Yang senantiasa memantau, hadirnya pemahaman, memperhatikan apa yang gaib, percakapan dengan rahasia hati dan tidak gundah dengan sesuatu yang hilang, dimana itu adalah fananya diri (nafs) sebagai identitas Anda.”
Abu Said —rahimahullah— mengatakan, “Wajd adalah tingkatan awal orang-orang khusus. Dimana ia merupakan ‘warisan’ pembenaran terhadap sesuatu yang gaib. Tatkala mereka merasakannya dan cahayanya telah menerangi hatinya, maka semua keraguan akan hilang.”
Ia juga mengatakan, bahwa yang menghalangi seseorang untuk wajd adalah karena ia melihat pengaruh diri (nafsu) dan sangat bergantung pada berbagai keterkaitan dan sarana (sebab). Sebab diri akan tertutup oleh berbagai sebab dan sarananya. Maka tatkala sebab-sebab itu telah terputus, dzikirnya telah jernih, hatinya bersih dan lembut, nasihat dan dzikir bisa bermanfaat, menempatkan munajat pada posisi yang aneh dan ketika diseru maka ia mendengar seruan tersebut dengan telinga yang penuh kesadaran dan hati yang menyaksikan serta rahasia hati yang suci, kemudian ia menyaksikan apa yang sebelumnya tidak ada, maka itulah wajd. Sebab ia menemukan apa yang ada pada dirinya sesuatu yang tidak ada sama sekali.
No comments:
Post a Comment