Ka’bah
أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ka’bah adalah
kiblat seluruh kaum muslimin dunia yang menjadi simbol kesatuan
mereka dibawah Ikatan Tauhid dan keimanan kepada Allah swt. Ka’bah
adalah bangunan pertama di bumi, sebagaimana firman Allah swt :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ
Artinya
: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat
beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang
diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Al Imron/3 :
96)
Pembangunan ka’bah hingga seperti yang sekarang ini telah melalui beberapa tahapan.
Para ahli sejarah mengatakan, setidaknya ada 12 (dua belas) generasi yang ikut berjasa dalam membangun Ka’bah yang ada sampai saat sekarang ini. yaitu:
1. Generasi pertama:para malaikat.
Kaum
muslimin meyakini bahwa pembangunan ka’bah pertama kali dilakukan
oleh para malaikat, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu adh Dhiya bahwa
telah diriwayatkan dari Ali bin al Husein bahwa dia telah ditanya
tentang awal mula thawaf mengelilingi baitullah beliau menjawab
Sesungguhnya Allah swt telah berfirman :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء
Artinya
: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
(QS. Al Baqoroh/2 : 30)
Para malaikat berkata,”Wahai Allah
bukankah khalifah itu dari selain kami adalah yang selalu membuat
kerusakan di bumi dan menumpahkan darah.’ Maka Allah pun marah
terhadap mereka lalu mereka pun melarikan diri ke arsy, mengangkat
kepala, jari jemari mereka mengisyaratkan ketundukan dan menangis
karena takut akan kemurkaan-Nya. Mereka mengeilingi arsy sebanyak tiga
kali.” Di dalam riwayat : “tujuh kali” mengaharapkan kridhoan Tuhan
mereka dan Allah pun meredhoi mereka. Kemudian Allah berkata kepada
mereka,”Bangunlah oleh kalian di bumi sebuah rumah yang menjadi tempat
kembali setiap orang yang Aku murka terhadapnya dari makhluk-Ku dan
dia mengelilinginya (thawaf) sebagaimana kalian lakukan terhadap
arsy-Ku maka Aku akan mengampuninya sebagaimana Aku telah mengampuni
kalian.” Lalu mereka pun membangun ka’bah.
Terdapat riwayat pula
yang menyebutkan bahwa Allah swt telah mengutus malaikat dan berkata
kepada mereka,”Bangunlah oleh kalian sebuah rumah seperti al baitul
ma’mur lalu mereka pun melakukannya. Allah swt memerintahkan agar
rumah itu dikelilingi (thawaf) sebagaimana al baitul ma’mur. Ini
terjadi sebelum penciptaan Adam as serta 2000 tahun sebelum penciptaan
bumi. Dan sesungguhnya bumi dibentangkan dibawahnya karena itulah
Mekah disebut dengan Ummul Quro yaitu asal negeri (bumi, pen).
Terdapat
pula riwayat yang menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sebelum
diturunkannya Adam as ke bumi… (Tarikh Makkah al Musyarrafah hal 4)
2. Generasi kedua: nabi Adam as.
setelah
nabi Adam as keluar dari dalam surga dan kemudian turun serta menetap
di bumi, beliau melaksanakan tawaf dan merenofasi bangunan ka’bah,
memohon ampun kepada Alloh swt.
3. Generasi ketiga: nabi syts as. (putra nabi Adam as)
Syts
adalah penerus dari Nabi Adam as yang diberikan wasiat oleh ayahnya
untuk senantiasa beribadah siang dan malam. Ibnul Atsir menyebutkan
bahwa Syts senantiasa melakukan haji dan umroh hingga ajal
menjemputnya dan dia juga mengumpulkan lembaran-lembaran yang diturunkan
kepadanya dan kepada ayahnya lalu mengamalkan isinya. Syts telah
membangun ka’bah dengan batu dan tanah. (Al Kamil Fii at Tarikh juz I
hal 17)
4. Generasi keempat : nabi Ibrahim dan Ismail as.
As
Suddiy mengatakan bahwa tatkala Allah swt memerintahkan Ibrahim dan
Ismail agar membangun sebuah rumah lalu mereka berdua tidak mengetahui
dimana tempat akan dibangunnya hingga Allah mengirimkan angin, ada
yang menyebutkan angin itu adalah al khajuj yang memiliki dua sayap
sementara kepalanya berbentuk ular. Lalu ular itu membersihkan daerah
sekitar ka’bah sebagai tempat dibangunnya rumah pertama. Keduanya pun
mengikutinya dengan membawa alat penggali dan melakukan penggalian
sehingga mereka berdua berhasil meletakkan pondasinya, sebagaimana
firman Allah swt
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah.” (QS. Al Hajj/22 : 26)
Setelah
mereka berdua meletakkan dasar-dasarnya maka dibangunlah
rukun-rukunnya. Dan Ibrahim mengatakan kepada Ismail,”Wahai anakku,
carikanlah untukku batu hitam dari daerah India, dahulunya ia adalah
batu yakut yang paling putih. Dahulu batu itu dibawa oleh Adam as
tatkala diturunkan ke bumi dari surga namun kemudian berubah warnanya
menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Ismail pun membawa sebuah batu
namun ia mendapatkan batu hitam itu sudah berada disalah satu sudut. Ia
pun bertanya kepada ayahnya,”Wahai ayahku siapa yang mendatangkan
batu itu kepadamu?’ Ibarahim menjawab,”Dia adalah yang lebih rajin
darimu.” Maka mereka berdua membangunnya dan sambil berdoa,”
Artinya
: “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqoroh/2
: 127)
5. Generasi kelima: Suku Amaliqah
Suku
amaliqah berasal dari Yaman, hampir tidak ada perombakan pada
bangunan ka’bah, karena suku amaliqah ini hanya memperbaiki yang runtuh
dan rusak saja. sebab itu para ahli sejarah ada yang mengatakan bukan
termasuk membangun, akan tetapi pendapat yang lebih meyakinkan,
amaliqah termasuk generasi kelima pembangun ka’bah.
6. Generasi keenam: suku jurhum
Suku
jurhum ini dipimpin oleh raja mereka yang bernama Madhad bin Umar bin
Haris bin Madhad bin Umar Al-Jurhum. mereka memperbaiki bangunan yang
roboh yang pernah diperbaiki oleh Amaliqah.
7. Generasi ketujuh: Qushai bin Kilab dari Bani Kinanah.
Beliau
adalah seorang raja yang ditaati oleh rakyatnya, pembangunan ka’bah
yang dilakukannya adalah perubahan pada dinding ka’bah dan memberi
atap ka’bah berupa pelepah-pelepah tamar.
8. Generasi kedelapan: Abdul Muthalib (kakek Rasulullah Muhammad saw).
9. Generasi kesembilan: Suku Quraisy.
Pada
usia Rasulullah Muhammad saw mencapai 35 (tiga puluh lima) tahun,
orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi ka’bah. Ka’bah adalah
susunan batu-batu yang lebih tinggi dari badan manusia, sekitar
sembilan hasta yang dibangun sejak masa Ismail tanpa memiliki atap
sehingga banyak pencuri yang mengambil barang-barang berharga yang
disimpan didalamnya.
Lima tahun sebelum tahun kenabian, Mekah
dilanda banjir besar sehingga meluap ke Masjidil Haram dan
dikhawatirkan sewaktu-waktu akan dapat meruntuhkan ka’bah. Orang-orang
Quraisy merasa bimbang antara merenovasi atau membiarkannya seperti
apa adanya.
Akhirnya al Walid bin al Mughirah al Makhzumiy
mengawali perobohan bangunan ka’bah lalu diikuti oleh orang-orang
setelah mereka mengetahui tidak terjadi sesuatupun menimpa al Walid.
Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan ka’bah hingga sampai
rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.
Tatkala pembangunan sampai di bagian Hajar Aswad,
mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat
kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu ditempatnya semula. Perselisihan
ini terus berlangsung selama empat atau lima hari, tanpa ada
keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja
menjurus kepada pertumpahan darah di tanah suci.
Abu Umayyah
bin al Mughirah al Makhzumiy datang dan menawarkan solusi dengan
menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat
pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang
berhak atasnya adalah Muhammad Rasulullah saw. Tatkala mengetahui hal
itu, mereka berbisik-bisik,”Inilah al Amin. Kami ridho kepadanya,
inilah dia Muhammad.”
Atas dasar kepintaran, kecerdikan, keadilan
dan kebijaksanaan Muhammad “Al-Amin” pada saat itu, beliau membuka
dan menghamparkan serbannya di tanah, kemudian meletakkan batu Hajar
Aswad ditengah-tengah serban tersebut. kemudian beliau menyuruh semua
kepala suku/kabilah arab (quraisy) yang hadir pada saat itu untuk
memegang masing-masing ujung serban, kemudian mengangkatnya secara
bersama-sama ke tempat hajar aswad, kemudian beliau sendirilah yang
meletakkan kembali batu Hajar aswad ke tempatnya semula. sehingga
semua kabilah arab (quraisy) merasa puas atas cara penyelesaian yang
ditetapkan oleh Muhammad “Al-Amin” tersebut.
Orang-orang
Qiraisy kehabisan dana dari penghasilan mereka, maka mereka menyisakan
di bagian utara, kira-kira enam hasta, yang kemudian disebut al Hijr
atau al Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan
tanah, agar tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang memang ingin
melewatinya. Setelah bangunan ka’bah mencapai ketinggian lima belas
hasta, mereka memasang atap dengan disangga enam sendi.
Setelah
jadi, ka’bah itu berbentuk segi empat, yang ketinggiannya kira-kira
mencapai lima belas hasta, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan
sebaliknya adalah sepuluh meter. Hajar Aswad itu sendiri diletakkan
dengan ketinggian satu setengah meter dari permukaan pelataran untuk
thawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi dua belas
meter. Adapun pintunya setinggi dua meter dari permukaan tanah, di
sekeliling luar ka’bah ada pagar dari bagian bawah ruas-ruas bangunan,
di bagian tengahnya dengan ketinggian seperempat meter dan lebarnya
kira-kira sepertiga meter. Pagar ini dinamakan Asy Syadzarawan. Namun
kemudian orang-orang Quraisy meninggalkannya. (ar Rakhiqul Makhtum hal
84 – 85)
10. Generasi kesepuluh: Abdullah bin Zubair bin Awwam.
Abdullah
bin Zubair bin Awwam (putra Asma’ binti Abu Bakar Ash-shiddiq. pen)
memutuskan perenovasian ka’bah seperti yang diinginkan Rasulullah saw
ketika beliau masih hidup. Dia pun merobohkannya dan membangun kembali
serta menambahkan bagian yang masih kurang ketika orang-orang Quraisy
kehabisan dana dari enam hasta menjadi sepuluh hasta. Dia juga
menjadikan ka’bah memiliki dua pintu, satu di sebelah timur dan
lainnya di sebelah barat sehigga orang yang memasukinya dari satu
pintu dan keluar di pintu yang lainnya. Dia menjadikannya dalam bentuk
yang paling baik dan megah sehingga seperti yang disifatkan Nabi saw
sebagaimana diberitakan oleh Aisyah ra ibu orang-orang beriman yang
juga bibinya.
11. Generasi sebelas: Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah).
Pada
masa Abdul Malik bin Marwan (74 H) ini al Hajjaj bin Yusuf ats
Tsaqofiy menulis surat kepadanya atas apa yang diperbuat Abdullah bin
Zubair bin Awwam dengan ka’bah, tentang perenovasian dan penambahan
bagian ka’bah, dia mengira bahwa hal itu adalah hasil fikiran dan
ijtihadnya.
Lalu Abdullah bin Malik membalas suratnya agar
mengembalikan ka’bah seperti sedia kala. Al Hajjaj pun merobohkan
bagian utaranya dan mengeluarkan al Hijr sebagaimana yang telah
dibangun orang-orang Quraisy serta menjadikan ka’bah memiliki satu
pintu saja yang lebih ditinggikan serta menutup pintu yang lainnya.
Tatkala
Abdul Malik bin Marwan mendapatkan hadits Aisyah maka ia pun
menyesali perbuatannya sehingga mengatakan,”Kami sangat berkeinginan
mengembalikan seperti orang yang membangun sebelumnya.” Maksudnya
Abdullah bin Zubair bin Awwam. Lalu ia pun bermusyawarah dengan Imam
Malik dalam permasalahan ini dan beliau pun mencegahnya agar kemuliaan
ka’bah tidak lenyap. Dan dikhawatirkan setiap raja akan melakukan
perobohan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sebelumnya sehingga
dapat menodai kehormatan ka’bah.
12. Generasi keduabelas: Sultan Murad Khan (Kekhilafahan Utsmani).
Tatkala
Mekah dilanda banjir besar yang menenggalamkan Masjidil Haram, maka
Sultan Murad Khan (yang berkuasa pada saat itu tahun 1040 H) menyuruh
Muhammad Ali Pasya—Gubernur Mesir saat itu—yang kemudian memerintahkan
para arsiteknya yang ahli dan para pekerjanya agar merobohkan ka’bah
dan merenovasi kembali. Pembangunan itu memakan waktu setengah tahun
penuh dan memakan biaya yang sangat mahal hingga rampung
pembangunannya.
Demikianlah awal mula pembangunan ka’bah hingga
hari ini yang tetap kokoh, megah dan menggetarkan setiap orang yang
melihatnya dan mengembalikan kebesarannya kepada Allah swt Yang Maha
Agung lagi Maha Mulia.
Berikut ini gambar dan denah ka’bah (interior dan eksterior).
Catatan: gambar-gambar tersebut diperoleh dari berbagai sumber.
Hajar Aswad, Batuan dari Surga
Hajar Aswad adalah
batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah
kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia
tertanam di dinding Ka’bah.
Dahulu, Hajar Aswad berupa satu batu yang berdiameter ± 30 cm. Akibat berbagai peristiwa yang menimpanya selama ini, sekarang Hajar Aswad tersisa delapan butir batu kecil sebesar kurma yang dikelilingi oleh bingkai perak. Namun, tidak semua yang terdapat di dalam bingkai adalah Hajar Aswad. Butiran Hajar Aswad tepat berada di tengah bingkai. Butiran inilah yang disentuh dan dicium oleh jamaah haji.
Hajar Aswad berasal dari surga. Awalnya batu ini berwarna putih. Namun, dia menjadi hitam disebabkan oleh dosa manusia. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Hajar Aswad turun dari surga dalam keadaan lebih putih daripada susu. Lalu, dosa-dosa Bani Adam lah yang membuatnya hitam.” Demikianlah, bagian dalam Hajar Aswad berwarna putih, sedangkan bagian luarnya berwarna hitam.
Hajar Aswad selalu dimuliakan, baik pada masa Jahiliah, maupun setelah Islam datang.
Hingga, pada musim haji tahun 317 H, saat dunia Islam sangat lemah dan bercerai berai, kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abu
Thahir Al-Qurmuthi, seorang kepala salah satu suku Syi’ah Ismailiyah di
Jazirah Arab bagian timur, untuk merampas Hajar Aswad. Dengan 700 anak buah bersenjata lengkap dia
mendobrak Masjid Al-Haram dan membongkar Ka’bah secara paksa lalu
merebut Hajar Aswad dan mengangkutnya ke negaranya yang terletak di kota
Ahsa’ yang terletak di wilayah Bahrain, kawasan Teluk Persia sekarang.
Kemudian, ia membuat maklumat dengan menantang umat Islam. Inti dari
maklumat itu, jika ingin mengambil Hajar Aswad, tebuslah dengan sejumlah
uang yang pada saat itu sangat berat bagi umat Islam atau dengan
perang. Baru setelah 22 tahun (tahun 339 H) batu itu dikembalikan ke
Mekah oleh Khalifah Abbasiyah Al-Muthi’ lillah setelah ditebus dengan uang sebanyak 30.000 Dinar.
Mereka membawanya ke Kufah, lalu menggantungkannya ke tiang ke tujuh
Masjid Jami’. Setelah itu, mereka mengembalikannya ke tempat semula.
HUKUM MENCIUM HAJAR ASWAD UNTUK MENCARI TABARRUK
Hikmah thawaf telah dijelaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dengan sabdanya,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللهِ.
“Sesungguhnya Thawaf di Ka’bah, Sa’i di antara Shafa dan Marwah, dan melontar jumroh itu dijadikan untuk menegakkan dzikrullah.”
Pelaku Thawaf yang mengitari Baitullah itu dengan hatinya ia
melakukan pengagungan kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala yang
menjadikannya selalu ingat kepada Allah, semua gerak-geriknya, seperti
melangkah, mencium dan beristilam kepada hajar dan sudut (rukun) yamani
dan memberi isyarat kepada hajar aswad sebagai dzikir kepada Allah
Ta’ala, sebab hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya. Dan setiap ibadah
adalah dzikir kepada Allah dalam pengertian umumnya. Adapun takbir,
dzikir dan do’a yang diucapkan dengan lisan adalah sudah jelas merupakan
dzikrullah; sedangkan mencium hajar aswad itu merupakan ibadah di
mana seseorang menciumnya tanpa ada hubungan antara dia dengan hajar
aswad selain beribadah kepada Allah semata dengan mengagungkan-Nya dan
mencontoh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam hal itu, sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mu’minin, Umar bin Khattab Radhiallaahu anhu ketika beliau mencium hajar aswad mengatakan, “Sesungguhnya
aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya,
tidak juga manfa’at. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Adapun dugaan
sebagian orang-orang awam (bodoh) bahwa maksud dari mencium hajar aswad
adalah untuk mendapat berkah adalah dugaan yang tidak mempunyai dasar,
maka dari itu batil. Sedangkan yang dinyatakan oleh
sebagian kaum Zindiq (kelompok sesat) bahwa thawaf di Baitullah itu sama
halnya dengan thawaf di kuburan para wali dan ia merupakan penyembahan
terhadap berhala, maka hal itu merupakan kezindikan (kekufuran) mereka,
sebab kaum Muslimin tidak melakukan thawaf kecuali atas dasar perintah
Allah, sedangkan apa saja yang perin-tahkan oleh Allah, maka
melaksanakannya merupakan ibadah kepada-Nya.
Tidakkah anda tahu bahwa melakukan sujud kepada selain Allah itu
merupakan syirik akbar, namun ketika Allah Subhannahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam, maka
sujud kepada Adam itu merupakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala
dan tidak melakukannya merupakan kekufuran?!
Maka dari itu, thawaf di Baitullah adalah merupakan salah satu ibadah
yang paling agung, ia merupakan salah satu rukun di dalam haji,
sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Maka dari itu orang
yang thawaf di Baitullah pasti akan merasakan ketentraman karena
lezat-nya melakukan thawaf dan hatinya merasakan kedekatannya kepada
Rabb (Tuhan)nya, yang dengannya (thawaf itu) dapat diketahui
keagungan-Nya dan amat besarnya karunia-Nya. Wallahul musta’an.
No comments:
Post a Comment