Allah
menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat
Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut
sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis
qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan
karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak
akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi
pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama
(ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta,
maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan.
Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek
sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman.
Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk
dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis
qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal,
maka kuciptakan Dunia.”
Tetapi
kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam
sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa.
Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini
diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami
sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi,
yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad
yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan”
(ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan,
tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis
tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur
Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe
aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah wadah
tajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang
mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis
masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql
al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa
dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah
alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan
Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini
berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya
Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus
berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad
atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad
terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur,
“Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos,
kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang
tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah,
hingga akhir zaman.
Di
dalam Nur Muhammad ini termuat al-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas
yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk
alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum
tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi
Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad
yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat
Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil.
Allah
tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih,
tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur
Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang
penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad (lihat kembali bab satu)
menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap
wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah
(penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan
sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan
penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke
nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi
Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa
Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia
mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan
gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi
terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad
adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan,
sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu
matahari.
Dalam
konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap
dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam
ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang
lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya
atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna”
maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia
disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku
(Muhammad).”
Bagian
kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari
ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan
Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah,
yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih),
bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena
merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari
manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni
Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip
(Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul”
adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri.
Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal.
Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia
yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut
Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia
bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari
Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti
termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi,
yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk
manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal.
Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad
Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat
(shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang
Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan
dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada
saat ia berhadapan dengan Tuhan.
Pengangkatan
Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya”
kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr
(Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah
dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah,
atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang
menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau
kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya
adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina
Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang
Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya
saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga
mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada
hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.”
Di
sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air,
Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah.
Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah
manifestasi, atau tajalli sempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja
Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan
bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan
antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia
paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling
sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad
Saw.
Al-’abd
adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang
abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh
keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau
keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah
ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan
tatkala ia menjadi hamba (Allah).
Derajat
‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu
Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika
mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan
gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam
(QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab
hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya
di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya.
Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang
diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat
akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki,
dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada
Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk
memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya
pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang
disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang
dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat,
menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang
dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.”
Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya
hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba
sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj.
Penurunan
dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan
hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat
pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti
jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui
Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu
dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim
adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah
wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum
kafir.
Shalat
adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan,
sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari
mata rantai kenabian. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa shalat akan
mengangkat hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga hamba-Nya berdiri di
hadapan-Nya. Rasulullah juga berkata, “Di dalam shalatlah terletak
kesenanganku.” Sebab, shalat adalah bentuk percakapan rahasia antara
Allah dengan hamba. “Percakapan” ini terutama melalui bacaan Induk Kitab
Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini terdiri dari dua bagian: yang pertama
dikhususkan bagi Allah dan yang kedua dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua
bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan
Sufi:
Aku membagi shalat
menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku dan
setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap
alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika
hamba berucap Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’
Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Allah berkata ‘Hamba-Ku
mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in, Allah berkata ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba
berkata ihdinash shiratal mustaqim—sampai akhir ayat, Allah berkata ‘Ini
bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’
Shalat bisa dilihat dari dua
sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan
sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan
merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk
tentang hakikat dirinya guna mengenal Allah, dan Muslim melakukan
shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan
shalat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti
sebuah pena yang mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang
“ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa
manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul
adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad.
Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan
huruf alif; posisi rukuk melambangkan huruf dal; dan sujud melambangkan
huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif bernilai
numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang
mengangkat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan
“mengorbankan” diri dalam kesatuan. Jika kesadaran tertentu telah
dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk, yang mencapai
puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih
rendah daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek
sekunder dalam mendekati Tuhan, sebab “alam semesta tak bisa menampung
Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis qudsi).
Sujud melambangkan penghapusan
diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuhan yang Esa dan
bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri.
Maka dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap
rakaat, yang berarti sang hamba tenggelam dalam fana al-fana,
penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama dihapuskan lagi, dan
jadilah dia pada baqa. Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,”
yang merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada
dalam pandangan Allah maka ia hapus dalam keabadian Allah, baqa,
sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab, pelenyapan diri
dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain,
seorang yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari
kesementaraa dunia, dan masuk ke hari-hari di sisi Tuhan, atau
yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanlah
waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat
ini”. Sufi adalah putra waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu
prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “melampaui ruang dan
waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat
daim”.
Di sisi lain, yakni dalam
pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat,
maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon
(berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai
permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau
perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada
Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan
ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau
pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi
shalawat.
Dalam shalawat terkandung doa,
pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju
cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang
lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur
Muhammad.
\
Shalawat
adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam).
Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan untuk
“menghidupkan” hati dan membersihkan hati agar terserap dalam Nur
Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan
demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa
seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit
tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat
kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan
masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu
akan dikembalikan kepada pemohonnya.”
Shalawat yang diamalkan oleh
Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat amat banyak macamnya—bisa
mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan sebagian di antaranya dalam
kitabnya yang terkenal, Dala’il Khairat. Sebagian lafaz shalawat ini
tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih), dan karenanya sebagian
fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah bidah. Ini tidak
mengherankan karena para fuqaha, yang gagal, atau bahkan tidak mau
melampaui sudut pandangnya sendiri, tidak mengakui kasyaf yang menjadi
dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian shalawat Sufi diperoleh
dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau dari mimpi yang benar
(ru’ya as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu para Sufi bertemu atau
bermimpi bertemu dengan Nabi dan diajarkan lafaz shalawat tertentu dan
disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan kata dalam shalawat
Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung kalimat yang indah,
puitis, yang mengandung misteri dari hakikat Muhammad, Nur Muhammad,
atau misteri fungsi kerasulan dan kenabian Muhammad pada umumnya.
Penulis pernah ditunjukkan oleh
seorang kyai, yang oleh sebagian sudah dianggap berkedudukan Wali Allah,
sebuah buku catatan berisi banyak sekali lafaz shalawat yang khusus,
misalnya, ada shalawat yang menjadi wasilah untuk mendapatkan ilmu
ladunni dan ada juga shalawat untuk menggapai mukasyafah (menyingkap
tirai kegaiban spiritual).
Salah satu contoh lain shalawat
khusus adalah shalawat terkenal, shalawat Al-Fatih, yang menjadi amalan
penting bagi beberapa tarekat seperti Syadiziliyyah dan Tijaniyyah.
Menurut sebagian keterangan, Lafaz shalawat ini diilhamkan kepada Syekh
Muhammad Al-Bakri r.a., dalam bentuk tulisan di atas lembaran cahaya,
ketika Syekh Al-Bakri melakukan khalwat di Kakbah untuk mencari petunjuk
cara terbaik bershalawat kepada Nabi. Terjemahannya kira-kira sebagai
berikut:
Ya Allah, curahkan rahmat dan
keselamatan serta berkah atas junjungan kami Nabi Muhammad saw yang
dapat membuka sesuatu yang terkunci, penutup dari semua yang terdahulu,
penolong kebenaran dengan jalan yang benar, dan petunjuk kepada jalan-Mu
yang lurus. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada beliau, keluarganya
dan semua sahabatnya dengan sebenar-benar kekuasaan-Nya Yang Mahaagung.
Dalam shalawat ini terangkum
banyak hal yang melambangkan misteri kerasulan Muhammad Saw. Sebagian
shalawat lain bahkan lebih jelas lagi dalam susunan katanya yang
mengakui fungsi hakikat risalah kenabian, seperti: nabi sebagai cahaya
Dzat-Nya (shalawat nur al-dzati); yang melapangkan rezeki dan
membaguskan akhlak (shalawat litausil arzaq); pengumpul atau kumpulan
kesempurnaan (shalawat jauhar asy syaraf); yang memecah-belah barisan
orang kafir (shalawat al-muffariq); pemenuh hajat, pengangkat derajat,
pengantar ke tujuan mulia (shalawat munjiyat); penghilang keruwetan,
pencurah hujan rahmat (shalawat nariyah); penyembuh penyakit hati dan
jasmani, cahaya badan (shalawat syifa dan tibbul qulub); dan sebagainya.
Bahkan ada shalawat khusus yang hanya untuk penerimanya saja, dan
karenanya tak diajarkan kepada orang lain. Shalawat semacam ini biasanya
berkaitan dengan kedudukan atau maqam sang Sufi atau Wali itu sendiri.
Shalawat rahasia ini mengandung doa dan pujian yang “mengerikan” dari
perspektif apapun. Penulis pernah mendengar keterangan shalawat dari
seorang Wali Allah, yang dalam artinya mengandung pernyataan “penyatuan
atau pencampuran” ruh seseorang dengan ruh Muhammad.
Semua shalawat mengalirkan
barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung”
dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya,
atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh
berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus
nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi
diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah
tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai
dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya.
Misalnya, shalawat Fatih di atas diyakini memiliki pelebur dosa,
meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan
terjaga, dan dibebaskan dari api neraka. Contoh lainnya yang masyhur
adalah Shalawat Nariyyah, yang menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga
umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat ini bisa dengan cepat
mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk.
Seorang putra dari Wali Allah menyatakan bahwa jumlah bacaan shalawat
ini tergantung pula pada niatnya. Misalnya, masih menurut beliau, jika
kita membacanya dengan niat agar bisa mukasyafah (terbuka hijab gaib),
dianjurkan sering-sering membaca 4444 kali dalam sekali duduk, atau
setiap malam 313 kali secara istiqamah.
Proses
kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua
nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan
(barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu aspek dari fana fi-rasul. Seorang
Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, atau
“menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad
bahkan dalam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya. Imam
al-Haddad, sang penyusun amalan “Ratib Haddad” yang termasyhur itu,
menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan mengucapkan
salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir
bisa mendengarkan jawaban itu.
Bahkan
dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui
penglihatan batinnya (kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi
sama persis dengan sosok Muhammad, baik dalam bentuk tubuh maupun
parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengatakan “Aku
adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli
dalam rupa Muhammad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan
kasyafnya. Maka mendengar sang guru berkata seperti itu, secara spontan
ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” Hal yang sama
juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Samman
sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat
yang menguraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada
keadaan ini kadang beliau berucap, “Aku adalah Muhammad yang dituju”
atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhammad,” dan “jasadku mirip
dengan jasad Muhammad.”
Salah
satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami
oleh salah seorang murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah
Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia
melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki bentuk tubuh dan
paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia
selalu menyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut
muridnya, dalam beberapa perbincangan dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah,
tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulullah. Bahkan di
beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase,” Syekh ini
menyatakan dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat)
alam, sebuah tugas Nabi Muhammad.
Tetapi tentu saja semua contoh
di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, sebab
hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya
dipahami oleh orang-orang yang memang diberi izin dan diberi hak untuk
memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persatuan dengan Nur Muhammad ini,
secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah mencapai
kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab
(Rajanya Para Kutub) atau Sulthanul Awliya.
Ini
adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara
Allah, Nur Muhammad, Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin).
Sebuah misteri yang tak bisa diselami makna hakikinya hanya melalui
kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawat
agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang
pendiri tarekat Sammaniyah:
Ya Allah, semoga Engkau
sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah asal-usul
dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit)
yang tinggi; huruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir
pada setiap molekul; huruf ha pada ahmad artinya hidupnya makhluk dari
awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti tahta kerajaan
ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian
yang tanpa akhir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad
yang Engkau cintai. Ia adalah tahta kehormatan yang padanya Engkau
percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (kepadanya) dengan
Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindahan-Mu,
memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan
matahari kesempurnaan yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di
alam, yang telah Engkau bentuk seluruh alam ini dari padanya (yakni
dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muhammad akan
Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau
tetapkan (berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang
agung; kunci itu gaib dan tersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci
perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau dan
hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad
(Muhammad Saw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga
bagi keluarganya yang mengalirkan ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya
yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi setiap insan. Shalawat
ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah
keutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya
tajalli-Nya. Shalawat yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia
batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita dan melimpahkan berkah
kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara
kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari
Engkau Ya Allah, hingga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya
tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan juga kepada keluarganya dan
para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa.
Dengan mengaktualisasikan
potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita dan
menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti
majaz (kias), dengan demikian kita kembali ke sifat asli kita yakni
ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi cermin yang bening
kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat
Tuhan, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala
suratihi (Sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan
Citra-Nya)—atau insan kamil.
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
No comments:
Post a Comment