أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
LAILATUL KADAR (malam
qadr/kemuliaan) adalah malam di mana Allah swt untuk kali pertama
menurunkan wahyu Alquran, yakni lima ayat pertama dari Surah Al’alaq,
kepada Rasulullah Muhammad saw.
Peristiwa itu direkam dalam Surat ”Alqadr” ([97] : 1): ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan.” Pada dasarnya Surat Alqadr bukan surah yang turun beriringan dengan Surat Al’alaq, surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Peristiwa itu direkam dalam Surat ”Alqadr” ([97] : 1): ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan.” Pada dasarnya Surat Alqadr bukan surah yang turun beriringan dengan Surat Al’alaq, surat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Mayoritas
(jumhur) ulama menyatakan bahwa surat itu urutan ke duapuluh lima.
Sebagian ulama lain berpendapat surat pertama yang turun saat
Rasulullah hijrah ke Madinah.
Namun
dalam urutan penyusunan Alquran surat Alqadr diletakkan berurutan
dengan Surah Alíalaq. Alíalaq menempati urutan ke 96, dan Alqadr
menempati urutan ke 97. Demikian ini untuk memberi kejelasan bahwa
pembahasan dalam Surah Alqadr berkenaan dengan malam mulia di mana
Alquran untuk pertama kali diturunkan.
Dalam
Alquran Lailatulkadar ini diberi penjelasan dengan sejumlah
keistimewaan: pertama dia adalah malam yang lebih baik dari pada seribu
bulan QS Alqadr [97]: 0 3; kedua, dia adalah malam yang diberkati
(mubarakah). QS Addukhon [44]: 03; ketiga dia adalah malam diputuskannya
segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar dari sisi
Allah swt. QS Addukhon [44]:04; kelima ia adalah malam di mana para
malaikat, dipimpin oleh malaikat Jibril, turun ke bumi atas izin
Tuhannya, dengan membawa segala urusan yang besar (pahala-pahala ibadah
di malam itu). QS.Alqadr [97]: 04; keenam ia adalah malam penuh
kedamaian hingga terbit fajar. QS. Alqadr [97]: 05.
Di
sini perlu disampaikan bahwa bacaan yang paling pas adalah
Lailatulkadar seperti bacaan dalam Surah Alqadr, bukan Lailatul Qadar
sebagaimana lazim dalam ucapan kita sehari-hari. ”Qadr”memiliki makna
kemuliaan dan kemurahan (syaraf wa fadhl), diambil dari kata fulaan dzuu
qadrin adzÓmin, seseorang yang berkedudukan mulia. Sementara ”qadar”
adalah putusan, seperti dalam rangkaian kata ”qadh‚`-qadar”. Pemaknaan
ini sejalan dengan penjelasan dalam ayat lain dalam Surah Addukhon, QS
.[44]: 03: ”sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi”. Namun penggunaan kalimat Lailatul Qadar, yakni malam
keputusan, tidak sepenuhnya salah, karena pada malam itu Allah
memutuskan segala urusan yang penting di sisi-Nya, sebagaimana dalam QS.
Addukh‚n/ [44]: 04.
Dua
kalimat ini, qadr dan qadar, mengantarkan kita pada pengertian bahwa
ibadah di malam itu sangat penting bukan saja karena kemuliaannya
(qadr), namun juga karena malam itu Allah SWT. menitahkan amarnya
(qadar) untuk putaran satu tahun ke depan. Dengan beribada di malam itu
seseorang berharap mendapatkan rahmat-Nya, agar semua amar keputusan
yang ia terima merupakan keputusan yang membawa kemaslahatan bagi
dirinya di dunia dan di akhirat. Titah amar yang tampak secara lahir
tidak sesuai dengan keinginannya, akan tetapi karena penyikapan yang
baik, yakni dihadapi penuh sabar dan tetap berbaik sangka (husnuzan)
kepada Allah swt, Insya Allah justru akan membawa berkah tersendiri
untuk kebaikan dirinya.
Kapan Lailatulkadar?
Alquran
tidak menjelaskan setara pasti kapan Lailatulkadar, hanya ada
penjelasan bahwa Alquran diturunkan pada malam tersebut: QS. Alqadr/
([97] : 1): ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alqur’an) pada malam
kemuliaan.” Dan pada ayat yang lain dijelaskan bahwa Alquran
diturunkan pada bulan Ramadan: ”Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang batil).” QS. Albaqarah: [02]: 185.
Dari
sini lalu disimpulkan bahwa Lailatulkadar berada di bulan Ramadan,
tanpa ada penjelasan definitif di hari ke berapa. Ada sejumlah riwayat
mengenai penentuan yang definitif, di antaranya ada yang menyampaikan
bahwa Lailatulkadar jatuh pada hari ke tujuh belas, lalu ada yang
menentukan hari ke dua puluh tiga, dua puluh lima, dan dua puluh tujuh.
Dari
berbagai riwayat ini disimpulkan bahwa Lailatulkadar tidak jatuh pada
malam yang sama di setiap tahun, namun ia berubah-ubah waktunya. Tahun
ini boleh jadi jatuh pada tanggal dua puluh tujuh Ramadan, namun bisa
jadi tahun yang akan datang jatuh di tanggal yang berbeda. Demikian ini
menurut para ulama disengaja oleh Allah swt agar hambanya tidak hanya
rajin beribadah pada satu malam yang telah ditentukan saja.
Namun
begitu, ada satu petunjuk dari Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa
umumnya Lailatulkadar jatuh pada sepuluh hari terakhir, dimulai malam
ke dua puluh satu. Kata Rasulullah: ”Ia (Lailatulkadar) berada di
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan”. Riwayat lain menyatakan:
”Carilah dengan sungguh-sungguh Lailatulkadar di sepuluh hari terakhir
(dari bulan Ramadan). Dan di antara sepuluh hari ini, ada sebuah riwayat
yang menekankan untuk mencarinya pada hari-hari ganjil: ”Carilah ia
(Lailatulkadar) di tiap-tiap hari ganjil (dari sepuluh hari terakhir).”
Riwayat lain menjelaskan bahwa di antara hari-hari ganjil ini, malam ke
dua puluh tujuh paling ditekankan berdasarkan riwayat dari Ubay bin
Ka’b: ”Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dirinya, sesungguhnya ia
(Lailatulkadar) berada di bulan Ramadan, dan demi Allah saya tahu pada
malam apa ia berada, ia berada di malam dimana Rasulullah saw
memerintahkan untuk mendirikan ibadah di malam itu, yaitu malam ke dua
puluh tujuh.”.
Ada
dua cara seorang hamba bertaqarrub (mendekat) kepada Allah SWT.
Pertama melalui in‚bah, yakni kembali kepada Allah SWT. Ia menghadapkan
hatinya secara pelan-pelan, dengan niat yang sungguh-sungguh, menuju
cinta hakiki kepada Allah swt. Jalan ini tak bisa dipangkas dalam waktu
yang singkat, akan tetapi harus ditempuh melalui jalan yang panjang.
Cara ini adalah jalan yang lazim diikuti oleh umumnya hamba-hamba Allah.
Berkenaan dengan Lailatulkadar, seorang hamba yang ingin menggapainya
sudah harus memulai upayanya sejak hari-hari awal bulan Ramadan, bahkan
sebaiknya sejak hari-hari menyambut bulan Ramadan.
Cara
yang kedua melalui jalan ijtib, yakni melalui pemilihan dari Allah swt
yang dalam hal ini sepenuhnya merupakan rahasia-Nya. Jalan ini
menggambarkan bahwa bukan seorang hamba yang mendekat kepada Allah
secara langsung, akan tetapi justru Allah yang mengenalkan Dirinya
kepada seorang hamba tersebut. Jalan ini sengaja dibuka oleh Allah swt
agar seorang hamba tidak kehilangan asa berkomunikasi dengan Allah swt.
Hamba-hamba Allah yang pada awal-awal Ramadan tidak sepenuhnya, atau
bahkan lalai sama sekali, beribadah kepada Allah swt melalui jalan ini
masih punya kesempatan untuk merengkuh Lailatulkadar.
Dua
jalan ini disebutkan dalam Alquran, Surah Asy-Syu’ara [42]:13: Allah
memilih kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Dengan
memahami dua jalan ini, bisa dikatakan bahwa mereka yang memiliki
kesempatan lebih untuk mendapatkan Lailatulkadar adalah hamba-hamba
Allah yang dari sejak awal Ramadan telah kembali kepada Allah dengan
banyak beribadah dan berdzikir, namun begitu ada sejumlah hamba-hamba
Allah yang secara khusus dipilih-Nya untuk mendapatkan anugerah
Lailatulkadar walau tidak dari awal kembali kepada-Nya.
Dengan
demikian, kita dengan arif mengetahui bahwa seorang hamba tak boleh
mengandalkan jalan ijtib‚` untuk merengkuh Lailatulkadar, bahkan untuk
itu dia harus memulainya sejak dari awal Ramadan. Karena inilah jalan
yang lazim, yang telah menjadi sunnatullah.
Bulan
Ramadan ini sangat istimewa bukan saja karena di dalam bulan ini
terdapat Lailatulkadar, di mana beribadah di situ lebih baik dari pada
beribadah selama seribu bulan, atau yang setara dengan delapan puluh
tiga tahun lebih kira-kira empat bulan. Namun juga karena tanggal 17
Ramadan kali ini jatuh bertepatan dengan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan
Republik Indonesia. Hal ini karena siklus pertemuan antara matahari
dengan bulan adalah tiga puluh tiga tahun. Setiap tiga puluh tiga tahun
sekali, tanggal dan bulan untuk tahun Qamariyah dan Syamsiyah akan
kembali terulang. Dan tahun ini adalah siklus yang kedua, yakni enam
puluh enam tahun, yang berarti untuk kedua kalinya siklus demikian
terulang. Ini seperti sebuah tanda bahwa Negeri kita, Indonesia, adalah
negeri yang telah digariskan oleh Allah sebagai negeri yang sangat
dekat dengan rahmat-Nya. (34)
No comments:
Post a Comment