أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
JEJAK WAHDATUL WUJUD: DARI AL HALLAJ HINGGA SYEIKH SITI JENAR
Al- Hallaj
Nama
 lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad 
al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia 
atau sekarang dikenal dengan Iraq. Dilahirkan pada sekitar tahun 244 H 
(857 M) dan meninggal pada tahun 309 H (922 M). Seorang guru, sufi, yang
 sangat mashyur di zamannya, iaitu saat al-Hallaj berumur kurang lebih 
20 tahun, adalah syeikh Amral al-Maliki. Dari Syekh ini al-Hallaj
 mulai mempelajari tasawuf. Beberapa tahun berguru pada syekh al-Maliki,
 al-Hallaj memilih untuk melanjutkan menuntutut ilmu  kepada syekh 
selanjutnya, iaitu syekh al-Junaid al-Baghdadi. 
Dari
 syekh al-Maliki, al-Hallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian 
melaksanakan kehidupan zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik 
yang berbeza antara al-Hallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus 
berpisah. Yang memotivasikan al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi 
di Baghdad adalah rasa kehampaan selama melaksanakan zuhud, al-Hallaj 
merasakan bahwa ada sesuatu yang belum dia temukan dan wajib untuk 
dicari.  Melalui syekh al-Baghdadi, al-Hallaj menemukan jalan untuk 
melepaskan dahaga rohaninya, al-Baghdadi menyuruhnya untuk menunaikan 
ibadah haji. Disaat melaksanakan ibadah haji, al-Hallaj menemukan sebuah
 ilham, bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran “penyatuan” 
antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan hal pribadi 
yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya.Intisari dari 
ilham yang dia temukan itulahyang disebut Wahdatul Wujud, untuk pertama 
kalinya. 
Dengan
 kata lain, Wahdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat 
al-Hallaj menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj 
mengemukakan pengalaman kerohaniannya, dalam sebuah konsep yang disebut 
dengan  Hulul. Hulul eartinya bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana’, sebuah proses peleburan indrawi basyariyah. 
Tanpa
 pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa membuatperbincangan, golongan 
Mu’tazilah dan Syi’ah kemudian menggelar akbar bahwa al-Hallaj telah 
menyebarkan kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan.
 Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami dari 
proses tafakkurnya. 
Dan
 apa yang ditentang oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah adalah bahwa tidak 
benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika manusia masih 
dengan kesadarannya sebagai manusia, dan terutama karena mereka belum 
faham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj.
Lagi
 pula, menurut beberapa bacaaan, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk 
mengeliminasi al-Hallaj dari pemunculan politik saat itu. Al-Hallaj 
dicurigai dan dituduhbersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya 
menjat uhakan pemerintah. Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik, 
suatu saat ada sekelompok besar yang melakukan demonstrasi menuntut 
adanya reformasi moral politik, dan masa ini mengaku mendapatkan 
dukungan dari al-Hallaj, dan hal inimenyebabkan al-Hallaj dipenjara 
selama kurang lebih sembilan tahun. 
Al-Hallaj,
 pendek kata dipenjara karena alasan politik,  al-Hallaj dianggap tokoh 
yang paling berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan; 
anehnya, al-Hallaj sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan 
berdakwah, dan tidak ada keuntungan baginya untuk menggulingkan 
kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang cinta dunia.
Al-Hallaj
 kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah 
meminta ampun untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra 
mahkota kerajaan. Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli 
dengan batu hingga darahnya bercucuran dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan 
separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal kepalanya 
.Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj  diantara hamba dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah
 (al-Abid wal Ma’bud). Pada keadaan dimana ingatan hanya tertuju kepada 
Allah semata-mata, dan menolak selain Allah, termasuk diri sendiri, maka
 al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Ma’bud.  Kebaqaan al-Ma’bud 
merupakan hasil dari fana’nya al-Abid. Pada titik inilah garis pemisah 
dan pembeza hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah 
dan yang disembah adalah satu. 
Hanya sahaja, orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah al-Abid melebur masuk kedalam al-Ma’bud, dan bukan al-Ma’bud merasuki tubuh al-Abid.
 Jika kesadaran al-Abid masih zahir, maka tidak fana’lah dia, dan jika 
fana’ maka al-Ma’bud lahyang zahir dan al-Abid menjadi batin atau rahsia
 yang tersembunyi dibalik kebesaran Allah Swt.
Ibnu Arabi
Ibnu
 Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur di zamannya, di Andalusia
 (Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M) dan 
meninggal dunia  pada tahun 1240 M. Nama asalnya adalah Abu Bakr 
Muhammad bin Ali, dan panggilan akrabnya adalah Ibnu Arabi.Hasil 
pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya,  menyimpulkan sebuah 
kesadaran kerohanian, yang kelak mendapatkan tantangan keras sebagaimana
 yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah.
Ibnu
 Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal 
ini kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang 
dimaksud dengan “Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu” adalah 
bahwaAllah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata, sehingga Allah-lah 
kenyataan mutlak yang harus dfahami.  Perumpamaan yang boleh diambil 
dari Wahdatul Wujud Ibnu Arabia dalah bahwa segala sesuatu ini dapat 
terindrai karena cahaya dan udara ,cahaya membuat segala sesuatu 
terlihat dan udara membuat segala sesuatu terdengar. Kita akan menolak 
bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak, namun kita tidak 
menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk “menyatakan” segala 
sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah Swt, sudah 
barang tentu Allah Maha Nyata (Ad-Zaahir), mana kala keberadaanNya 
membuat nyata segala sesuatu (termasuk diri anda) maka apakah anda 
keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di atas? Titik Wahdatul 
Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala kewujudan 
 yang ada di dunia ini.
Hanya
 saja saya perlu meluruskan pandangan anda tentang hal ini, bahawa yang 
dimaksudkan  dengan “tidak ada yang maujud kecuali ujud Allah” adalah 
bahwa Ujud Allah merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala
 yang maujud. Jika Allah tidak ada, maka kita tidak ada. Untuk 
mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu sangat naif, 
kesadaran kerohanian tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang membuat 
pepohonan itu berwujud adalah adanya kewujud an Allah, sekaligus 
kewujudan dan kita yang mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan 
tersebut. Ini bukanlah ramalan filsafat, ini merupakan misal-misal bagi 
anda yang suka salah faham dan salah tuduh. 
Segala
 sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan 
Allah, bagi orang-orang yang berfikir. Tidak benar bahwa Ibnu Arabi 
menemukan bahwa “wujud selain Allah adalah wujud bayangan”,  karena 
sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud selainnya menjadi berwujud, 
 Bukankah segala sesuatu berasal dari kehendakNya? Sehingga yang ada itu
 hanya berasal dari kehendak dan kehendak berasal dari yang Berkehendak.
 Jika kita hanya wujud bayangan, maka tidak dikenakan hukum apapun, 
karena bayangan hanya mengikuti gerak Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan
 kenyataan Ujud.  Alam semesta, termasuk manusia,  merupakan kenyataan 
Ujud Allah;  dengan kata lain, Wujud selain Allah merupakan bukti nyata 
Ujud Allah Ada pergerakan pemahaman Wahdatul Wujud antara al-Hallaj dan 
IbnuArabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ketika manusia tersebut fana’,
 maka Ibnu Arabi menemukan bahwa bukan hanya manusia, tetapi alam 
semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan pada aspek “kenyataan” dan bukan 
aspek “penempatan” sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj.  Al-Hallaj 
menegaskan kesadaran , yaitukesadaran dalaman kerohanian seorang hamba 
dalam keadaan fana bahwa Allah adalah satu-satunya Ujud; sedangkan Ibnu 
Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah merupakan kenyataan mutlak bagi Wujud 
selain Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama
 beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di
 Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapali bacaan,  Abu
 Yazid merupakan pencetus pertama konsep fana’ dan baqa’. Salah satu 
teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq
 yang mengajarkan beliau prinsip-prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh 
Shaddiq,  Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan hakikat merupakan 
pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain ;begitu pula 
sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan
 fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara ringkas. 
Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran rohani “bersatunya” hakikat Allah dan hakikat hamba dalam prosesfana.  Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat hamba kepada hakikat Allah,
 laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan 
kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur 
pada kenyataan Allah yang “menyamudra.”Pandangan Abu Yazid ini dianggap 
menyesatkan, karena meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba. Ini 
dianggap sebagai menrunkan derajatAllah yang maha Mulia; menganggap 
Allah sederajat dengan hamba merupakan pelecehan terhadap Allah. 
Disinilah
 kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang 
dimaksud dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan 
hamba,  melainkan justru meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah 
Allah semata. Diri sendiri merupakan sesuatu yang boleh menghalangi 
kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud Allah, maka 
Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.
Syekh Siti Jenar
Biografi
 Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini, bahkan 
ada atau tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah bacaan 
menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 1426 M di Cirebon dan 
meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama Syekh Datuk Shaleh dan
 beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib KW.
Syekh
 Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir memiliki 
satu nama di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya. Nama 
yang sangat jelas, selain Siti Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan 
SyekhLemah Abang. Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di sebuah rumha Giri 
AmparanJati, milik bapak saudaranya beliau. Rumah ini berada di atas 
Gunung Jati.  Pada usia15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk “turun
 gunung” untuk melihatkeadaan luar. 
Disinilah
 perjalanan kerohanian Syekh Siti Jenar bermula. Syekh Siti Jenar 
berangkat ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam agama Islamnya. Dia 
berkenalan dengan seorang sufi masyhur, yang kemudian menjadi gurunya 
mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud. Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab ma’rifat yang merupakan peninggalan Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi.Syekh
 Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad, dan dari 
sekian banyak kitab ma’rifat yang ada di rumah itu, beberapa diantaranya
 adalah kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati 
oleh Syekh Siti Jenar. Bukan hanya itu, kitab-kitab Ibnu Arabi dan 
al-Ghazali juga dipelajari sama hati-hatinya. Syekh Siti Jenar juga 
melaksanakan perjalanan menuntu ilmu di India, dan kembali ke Ceribon 
pada tahun 1463 M.
Syekh
 Siti Jenar menjadikan Wahdatul Wujud sebagai pedomannya, namun sama 
sekali bukan sebuah keputusan yang benar bahwa beliau membelangkangkan 
 syariat.  Kembalinya dia ke Cirebon membawa dia kepada suatu posisi 
dalam Wali Songo, beliau menjadi salah satu penyebar agama Islam di 
Jawa, di Indonesia. Sebagai salah satu anggota penyebar Islam, Syekh 
Siti Jenar dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat  (Persaksian). 
Pemikiran Syekh Siti jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian 
membawanya kepada sebuah penjelasan bagaimana mengalami hal tersebut, 
 karena Syekh SitiJenar tahu betul bahwa santrinya masih baru .
Ajaran
 Syekh Siti Jenar memang sangat kuat dengan hakikat dan tasawuf yang 
pada saat itu boleh dikira baru, karena para wali, meskipun menguasai 
hal yang sama, tetapi sama sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini 
dapat dimaklumi, karena tugas yang diberikan  adalah berbeza-beza. Apa 
yang harus diajarkan lagi jika tugas yang diberikan adalah mengajarkan 
Syahadat? SebuahHadits menyebutkan bahwa “Awal dari Agama adalah 
mengenal Allah.” Dan ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa 
jika mereka tidak ma’rifat maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah,
  melainkan menyembah budisemata. Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar 
kemudian mengajarkan kepada para santrinya tentang hakikat ketuhanan, 
baik dari sumber-sumber yang dipelajarinya, maupun dari hasil perjalanan
 kerohaniannya. Ini dikatakan oleh para wali dan pemerintah setempat 
sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini tidak benar. 
Sunan
 Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh SyekhSiti Jenar, 
hanya saja Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula Gusti 
diwejang kepada para santri yang masuh “bodoh” itu. Syekh Siti Jenar 
menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali sebagai“sesat” itu. Karena
 dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi benarnya 
arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj 
kembali terulang, dengan alasan politik,  Syekh Siti Jenar akhirnya 
dihukum penggal. Misteri kematiannya juga sampai saat ini belum terlerai
 dengan jelas.
Para
 pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir jika 
ajaran Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap 
pemerintah. Salah satu murid Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging 
yang Wahdatul Wujud Sebagai Kesadaran kerohanian dan Bukan Spekulasi 
Filsafat
Dari
 apa yang telah dipaparkan secara singkat diatas, sudah barang tentu 
Wahdatul Wujud merupakan salah satu kesadaran kerohanian yang ditemukan 
atau terangkat ke permukaan hati melalui perjalanan kerohanian, dan 
bukan hasil pemikiran semata-mata.  Adapun upaya untuk menjabarkannya 
dengan kata-kata dan fikiran bukanlah sebuah alasan untuk mengatakan 
bahwa Wahdatul Wujud adalah spekulasi filsafat.  Meskipun demikian, 
memangnya apa yang salah jika para filsuf  (baik muslim maupun yang 
non-muslim) menemukan sesuatu yang sama melalui pemikiran?  Bukankah 
ilmu dan akal mereka juga merupakan rahmat Allah?  Bukankah Allah 
memerintahkan kepada manusia untuk merenungi, memikirkan, mentafakkuri 
apa yang ada di langit dan di bumi?  Dan Allah tidak mendegradasi mereka
 yang non-muslim; surat al-Maidah ayat 69 menyatakan hal tersebut. 
 Hanya saja, keimanan merupakan faktor yang menyebabkan pertolakan 
antara kita dan mereka, tetapi persoalan ilmu lain lagi ceritanya, ilmu,
 amal dan iman tidak dapat disamakan. Mereka memiliki ilmu,namun tidak 
memiliki iman dan amal, maka ilmunya bermanfaat. Yang penting untuk saya
 sampaikan bahwa Wahdatul Wujud bukan merupakan hasil spekulasi para 
sufi dengan filsafat Yunani tentang kewujudan. Wahdatul Wujud merupakan 
hasil atau buah dari perjalanan kerohanian, dan bila perlu saya akan 
mengatakan bahwa para sufi seperti al-Hallaj,  Ibnu Arabi,  AbuYazid 
al-Busthami, Syekh Siti Jenar,  al-Ghazali, dan lain-lainnya, merupakan 
para filsuf Islam yang dalam istilah kita disebut mutakallimin (pakar 
ilmu kalam). Hasil pemikiran mereka merupakan ilmu, namun sekali lagi, WahdatulWujud bukan ditemukan lewat berfilsafat tetapi berhakikat dan bertarikat.Adapun
 istilah yang nantinya dirumuskan seperti Fana’, Baqa’, Ittihad, Hulul, 
Manunggaling kawula lan Gusti, merupakan istilah untuk mengidentifikasi 
apa yang mereka alami; pengistilahan dan pengkonsepan itu menjadi 
penting karena jika tidak maka tidak ada cara lain untuk mengajarkannya 
kepada ummat. 
Akan
 tetapi kenyataan jadi lain, ketika para pembaca dan peneliti Wahdatul 
Wujud lebih menitik beratkan pada proses konsepsinya yang 
terkesanfilosofis, mereka tidak memperhatikan dan tidak menyadari bahwa 
konsep-konsep tersebut merupakan upaya untuk  pengalaman kerohanian para
 sufi tersebut. Ibaratnya mereka tidak melihat plot cerita dengan baik, 
sehingga mereka hanya menyalahkan seorang pendakwah dengan “filsafatnya”
 tanpa melihat asal-usulnya sebagai sebuah kesadaran kerohanian. Sangat 
penting untuk disadari bahwa mula-mula para sufi melakukanapa yang 
diistilahkan dengan takhalli atau penyucian jiwa,  sebahagian 
menyebutnya tazkiyatunnafs. Kemudian tahalli, yakni menghiasi diri 
dengan amal shalih. Takhalli bagi para sufi adalah zuhud dan tahalli 
adalah bertarikat. Bertarikat dan berzuhud merupakan esensi dari 
kehidupan sufi. Mereka berzuhud demi menolak segala sesuatu selain 
Allah, dan bertarikat demi mendekatkan diri kepada Allah, dengan melalui
 amal shalih tentunya.  Akan tetapi tingkatan beramal mereka bukan pada 
tataran menggugurkan kewajiban semata, melainkan karena cinta dan 
kerinduan kepada Allah.  Sebagai hasilnya adalah tahalli, atau ma’rifat.
 
Apa
 susahnya bagi Allah untuk mengilhami sebuah pertemuan manis bagi 
hambaNya yang melakukan pekerjaan berat dan getir ini?  Para sufi 
Wahdatul Wujud, termasuk saya sendiri, mengalami hal ini dengan awal 
lumpuhnya segala ilmu bahkan diri sendiri sirna,  dengan kata lain 
terlempar pada tataran bawah sadar  lebih ke bawah lagi dimana kesadaran
 insaniyah sirna dan kesadaran ilahiyah menjadi nyata. Bagaimana 
menjelaskannya jika kita tidak merumuskan apa yang dirasakan dalam 
sebuah konsep? Celakanya, banyak orang di dunia ini hanya melihat konsep
 yang miripfilsafat dan tidak mempertimbangkan asal-usul dan alasan 
untuk pengkonsepkantersebut. Memang benar bahwa anda harus mengalaminya 
barulah anda memahami konsep tersebut, jika tidak kami sampaikan maka 
itu akan menjadi ilmu yang tidak kami amalkan. 
Hilangnya
 kesadaran insaniyah bukan serta merta mengupgrade status kita dari 
hamba menjadi Tuhan, tetapi merasa hadirnya Tuhan di dalam diri dan 
bukan di luar diri. Ingatlah, bahwa Tuhan memilih hati hambaNya sebagai tempat bersemayam;
 dengan catatan sudah bersih dari segala sesuatu selain dia. Akan tetapi
 persemayaman ini sifatnya time release, atau sistem lepas. Maksudsaya 
adalah kesadaran ilahiyah ini menjadi nyata saat kesadaran insaniyah 
lebur, hilang.  Ketika sang sufi kembali kepada kesadaran insaniyahnya, 
maka kesadaran ilahiyah itu pun segera ghaib. Dengan demikian, Wahdatul 
Wujud bukanlah hasil spekulasi filsafati, seperti yang dilakukan oleh 
para filsuf Yunani yang berfikir keras tentang eksistensi seperti 
postulat Cartesian cogito ergo sum, tetapi Wahdatul Wujud merupakan 
hasil pergumulan upaya hamba dan kasih sayang Tuhan. Tidak selalu 
sempurna dalam menjelaskan fenomena Wahdatul Wujud, karena hanya pengalamanlah yang akan menjadi penjelas sejati.
Pada
 bahagian ini, saya harap anda sudah memiliki gambaran dan secerah 
cahaya kesiapan untuk melanjutkan pada kajian Wahdatul Wujud yang akan 
saya sampaikan. Saya harapkan anda geser sedikit saja pedang anda dan 
duduk tenang untuk merenungi apa yang akan saya sampaikan, saya memohon 
ampunan kepada Allah dan rahmatNya agar kita semua boleh mendapatkan 
pencerahan sejati. Kesimpulan akan selalu berada di tangan anda sebagai 
pembaca.
 
 
No comments:
Post a Comment