أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
JEJAK WAHDATUL WUJUD: DARI AL HALLAJ HINGGA SYEIKH SITI JENAR
Al- Hallaj
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad
al-Badawi. Beliau lahir di kota Thur, sebelah timur laut Baida, Persia
atau sekarang dikenal dengan Iraq. Dilahirkan pada sekitar tahun 244 H
(857 M) dan meninggal pada tahun 309 H (922 M). Seorang guru, sufi, yang
sangat mashyur di zamannya, iaitu saat al-Hallaj berumur kurang lebih
20 tahun, adalah syeikh Amral al-Maliki. Dari Syekh ini al-Hallaj
mulai mempelajari tasawuf. Beberapa tahun berguru pada syekh al-Maliki,
al-Hallaj memilih untuk melanjutkan menuntutut ilmu kepada syekh
selanjutnya, iaitu syekh al-Junaid al-Baghdadi.
Dari
syekh al-Maliki, al-Hallaj mengenal tasawuf dan zuhud dan kemudian
melaksanakan kehidupan zuhud yang sesungguhnya, namun pemikiran politik
yang berbeza antara al-Hallaj dan syekh al-Maliki membuat mereka harus
berpisah. Yang memotivasikan al-Hallaj hingga menemui syekh al-Baghdadi
di Baghdad adalah rasa kehampaan selama melaksanakan zuhud, al-Hallaj
merasakan bahwa ada sesuatu yang belum dia temukan dan wajib untuk
dicari. Melalui syekh al-Baghdadi, al-Hallaj menemukan jalan untuk
melepaskan dahaga rohaninya, al-Baghdadi menyuruhnya untuk menunaikan
ibadah haji. Disaat melaksanakan ibadah haji, al-Hallaj menemukan sebuah
ilham, bukan inspirasi, yang membawanya pada kesadaran “penyatuan”
antara dia dan Allah. Ilham itu sudah tentunya merupakan hal pribadi
yang tak tersentuh oleh orang yang tidak mengalaminya.Intisari dari
ilham yang dia temukan itulahyang disebut Wahdatul Wujud, untuk pertama
kalinya.
Dengan
kata lain, Wahdatul Wujud lahir pertama kali di Tanah Suci, di saat
al-Hallaj menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, al-Hallaj
mengemukakan pengalaman kerohaniannya, dalam sebuah konsep yang disebut
dengan Hulul. Hulul eartinya bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia ketika manusia itu mengalami Fana’, sebuah proses peleburan indrawi basyariyah.
Tanpa
pemahaman apa-apa tentang hal ini, tanpa membuatperbincangan, golongan
Mu’tazilah dan Syi’ah kemudian menggelar akbar bahwa al-Hallaj telah
menyebarkan kesesatan terhadap umat Islam, khususnya tentang ketauhidan.
Apa yang disampaikan oleh al-Hallaj merupakan apa yang dia ilhami dari
proses tafakkurnya.
Dan
apa yang ditentang oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah adalah bahwa tidak
benar Tuhan menempati diri manusia; tentu saja, jika manusia masih
dengan kesadarannya sebagai manusia, dan terutama karena mereka belum
faham apa yang dimaksud oleh al-Hallaj.
Lagi
pula, menurut beberapa bacaaan, semua ini hanyalah sebuah alasan untuk
mengeliminasi al-Hallaj dari pemunculan politik saat itu. Al-Hallaj
dicurigai dan dituduhbersekongkol dengan sekelompok orang dalam upaya
menjat uhakan pemerintah. Al-Hallaj merupakan pemerhati moral politik,
suatu saat ada sekelompok besar yang melakukan demonstrasi menuntut
adanya reformasi moral politik, dan masa ini mengaku mendapatkan
dukungan dari al-Hallaj, dan hal inimenyebabkan al-Hallaj dipenjara
selama kurang lebih sembilan tahun.
Al-Hallaj,
pendek kata dipenjara karena alasan politik, al-Hallaj dianggap tokoh
yang paling berbahaya karena berupaya menggulingkan pemerintahan;
anehnya, al-Hallaj sebenarnya menghabiskan waktunya untuk zuhud dan
berdakwah, dan tidak ada keuntungan baginya untuk menggulingkan
kekuasaan siapapun karena dia tidak tergolong orang yang cinta dunia.
Al-Hallaj
kemudian dijatuhi hukuman mati, walaupun dari pihak kerajaan sudah
meminta ampun untuk beliau, mengingat jasanya saat mengobati putra
mahkota kerajaan. Pada tahun 922 M, al-Hallaj disalib dan dipukuli
dengan batu hingga darahnya bercucuran dari kepala. Al-Hallaj dibiarkan
separuh mati selama sehari, dan akhirnya al-Hallaj dipenggal kepalanya
.Ajaran al-Hallaj dikenal dengan kata al-Hulul. Menurut al-Hallaj diantara hamba dan Tuhan terdapat garis pemisah yang menegaskan hakikat masing-masing. Garis pemisah itu sangat dekat, yaitu yang menyembah dan yang disembah
(al-Abid wal Ma’bud). Pada keadaan dimana ingatan hanya tertuju kepada
Allah semata-mata, dan menolak selain Allah, termasuk diri sendiri, maka
al-Abid pun lenyap, dan tinggallah al-Ma’bud. Kebaqaan al-Ma’bud
merupakan hasil dari fana’nya al-Abid. Pada titik inilah garis pemisah
dan pembeza hakikat pun hilang, sehingga pada hakikatnya yang menyembah
dan yang disembah adalah satu.
Hanya sahaja, orang tidak memahami bahwa yang dimaksud oleh al-Hallaj adalah al-Abid melebur masuk kedalam al-Ma’bud, dan bukan al-Ma’bud merasuki tubuh al-Abid.
Jika kesadaran al-Abid masih zahir, maka tidak fana’lah dia, dan jika
fana’ maka al-Ma’bud lahyang zahir dan al-Abid menjadi batin atau rahsia
yang tersembunyi dibalik kebesaran Allah Swt.
Ibnu Arabi
Ibnu
Arabi merupakan salah seorang sufi termasyhur di zamannya, di Andalusia
(Spanyol). Beliau lahir di kota Mursiyah pada tahun 560 H (1165 M) dan
meninggal dunia pada tahun 1240 M. Nama asalnya adalah Abu Bakr
Muhammad bin Ali, dan panggilan akrabnya adalah Ibnu Arabi.Hasil
pencarian jati diri dan pengalaman mistiknya, menyimpulkan sebuah
kesadaran kerohanian, yang kelak mendapatkan tantangan keras sebagaimana
yang dialami oleh al-Hallaj, yakni tidak ada yang maujud selain Allah.
Ibnu
Arabi menegaskan bahwa Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu. Hal
ini kemudian ditafsirkan sebagai kekeliruan mistik, padahal yang
dimaksud dengan “Allah adalah kenyataan dari segala sesuatu” adalah
bahwaAllah yang menjadikan segala sesuatu itu nyata, sehingga Allah-lah
kenyataan mutlak yang harus dfahami. Perumpamaan yang boleh diambil
dari Wahdatul Wujud Ibnu Arabia dalah bahwa segala sesuatu ini dapat
terindrai karena cahaya dan udara ,cahaya membuat segala sesuatu
terlihat dan udara membuat segala sesuatu terdengar. Kita akan menolak
bahwa cahaya dan udara merupakan kenyataan mutlak, namun kita tidak
menolak bahwa keberadaan cahaya dan suara untuk “menyatakan” segala
sesuatu adalah mutlak sifatnya. Begitu juga dengan Allah Swt, sudah
barang tentu Allah Maha Nyata (Ad-Zaahir), mana kala keberadaanNya
membuat nyata segala sesuatu (termasuk diri anda) maka apakah anda
keberatan untuk menerima pandangan Ibnu Arabi di atas? Titik Wahdatul
Wujud Ibnu Arabi terletak pada kemesraan Allah dan segala kewujudan
yang ada di dunia ini.
Hanya
saja saya perlu meluruskan pandangan anda tentang hal ini, bahawa yang
dimaksudkan dengan “tidak ada yang maujud kecuali ujud Allah” adalah
bahwa Ujud Allah merupakan kemutlakan yang wajib untuk menyatakan segala
yang maujud. Jika Allah tidak ada, maka kita tidak ada. Untuk
mengatakan bahwa pepohonan merupakan Ujud Allah itu sangat naif,
kesadaran kerohanian tidak demikian, tetapi sesungguhnya yang membuat
pepohonan itu berwujud adalah adanya kewujud an Allah, sekaligus
kewujudan dan kita yang mengamati dan menyaksikan kenyataan pepohonan
tersebut. Ini bukanlah ramalan filsafat, ini merupakan misal-misal bagi
anda yang suka salah faham dan salah tuduh.
Segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan misal tentang kekuasaan
Allah, bagi orang-orang yang berfikir. Tidak benar bahwa Ibnu Arabi
menemukan bahwa “wujud selain Allah adalah wujud bayangan”, karena
sesungguhnya dengan Ujud Allah maka wujud selainnya menjadi berwujud,
Bukankah segala sesuatu berasal dari kehendakNya? Sehingga yang ada itu
hanya berasal dari kehendak dan kehendak berasal dari yang Berkehendak.
Jika kita hanya wujud bayangan, maka tidak dikenakan hukum apapun,
karena bayangan hanya mengikuti gerak Ujud Allah. Tetapi Wujud merupakan
kenyataan Ujud. Alam semesta, termasuk manusia, merupakan kenyataan
Ujud Allah; dengan kata lain, Wujud selain Allah merupakan bukti nyata
Ujud Allah Ada pergerakan pemahaman Wahdatul Wujud antara al-Hallaj dan
IbnuArabi, jika al-Hallaj menemukan bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ketika manusia tersebut fana’,
maka Ibnu Arabi menemukan bahwa bukan hanya manusia, tetapi alam
semesta. Namun Ibnu Arabi menegaskan pada aspek “kenyataan” dan bukan
aspek “penempatan” sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj. Al-Hallaj
menegaskan kesadaran , yaitukesadaran dalaman kerohanian seorang hamba
dalam keadaan fana bahwa Allah adalah satu-satunya Ujud; sedangkan Ibnu
Arabi menegaskan bahwa Ujud Allah merupakan kenyataan mutlak bagi Wujud
selain Allah.
Abu Yazid al-Busthami
Nama
beliau adalah Abu Yazid Taifur ibn Isa al-Bustami. Beliau dilahirkan di
Bistam, Persia (Iraq) pada tahun 804 M. Menurut beberapali bacaan, Abu
Yazid merupakan pencetus pertama konsep fana’ dan baqa’. Salah satu
teorinya adalah al-Ittihad. Abu Yazid berguru kepada salah seorang Syekh yang bernama Syekh Shaddiq
yang mengajarkan beliau prinsip-prinsip dasar tasawuf. Dari Syekh
Shaddiq, Abu Yazid mempelajari bahwa syariat dan hakikat merupakan
pasangan yang tak terpisah antara satu dan yang lain ;begitu pula
sebaliknya, syariat dan hakikat.
Persoalan
fana dan baqa akan saya paparkan pada bagian kemudian secara ringkas.
Ittihad, sebagaimana Hulul-nya al-Hallaj, merupakan kesadaran rohani “bersatunya” hakikat Allah dan hakikat hamba dalam prosesfana. Bahkan, penyatuan yang dimaksud bukanlah pernyatuan rohani, apalagi jasmani. Penyatuan yang dimaksud adalah peleburan hakikat hamba kepada hakikat Allah,
laksana setetes air laut terjatuh ke dalam samudra; atau dengan
kacamata Ibnu Arabi kenyataan hamba yang hanya merupakan titik melebur
pada kenyataan Allah yang “menyamudra.”Pandangan Abu Yazid ini dianggap
menyesatkan, karena meniscayakanadanya penyatuan Allah dan hamba. Ini
dianggap sebagai menrunkan derajatAllah yang maha Mulia; menganggap
Allah sederajat dengan hamba merupakan pelecehan terhadap Allah.
Disinilah
kesalah tafsiran para ulama pada saat itu (hingga saat ini). Yang
dimaksud dengan Hulul dan Ittihad bukanlah menyamakan derajat Allah dan
hamba, melainkan justru meniadakan hamba sehingga yang ada hanyalah
Allah semata. Diri sendiri merupakan sesuatu yang boleh menghalangi
kita sampai kepada Allah, sehingga untuk menyatakan Ujud Allah, maka
Wujud diri harus melebur, atau disebut dengan fana.
Syekh Siti Jenar
Biografi
Syekh Siti Jenar masih merupakan kontroversi hingga saat ini, bahkan
ada atau tidaknya beliau masih merupakan misteri. Sebuah bacaan
menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 1426 M di Cirebon dan
meninggal pada tahun 1517 M. Bapak beliau bernama Syekh Datuk Shaleh dan
beliau masih tergolong keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib KW.
Syekh
Siti Jenar memiliki sejumlah nama (sebutan), beliau hampir memiliki
satu nama di setiap tempat di mana beliau menjalankan dakwahnya. Nama
yang sangat jelas, selain Siti Jenar, adalah Syekh Abdul Jalil dan
SyekhLemah Abang. Syekh Siti Jenar tumbuh remaja di sebuah rumha Giri
AmparanJati, milik bapak saudaranya beliau. Rumah ini berada di atas
Gunung Jati. Pada usia15 tahun, Syekh Siti Jenar berhasrat untuk “turun
gunung” untuk melihatkeadaan luar.
Disinilah
perjalanan kerohanian Syekh Siti Jenar bermula. Syekh Siti Jenar
berangkat ke Baghdad (Iraq) untuk memperdalam agama Islamnya. Dia
berkenalan dengan seorang sufi masyhur, yang kemudian menjadi gurunya
mengenai tasawuf, yakni Syekh Ahmad Tawalud. Syekh Ahmad memiliki puluhan kitab ma’rifat yang merupakan peninggalan Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi.Syekh
Siti Jenar diperbolehkan untuk tinggal di rumah Syekh Ahmad, dan dari
sekian banyak kitab ma’rifat yang ada di rumah itu, beberapa diantaranya
adalah kitab milik al-Hallaj, yang dipelajari secara sangat hati-hati
oleh Syekh Siti Jenar. Bukan hanya itu, kitab-kitab Ibnu Arabi dan
al-Ghazali juga dipelajari sama hati-hatinya. Syekh Siti Jenar juga
melaksanakan perjalanan menuntu ilmu di India, dan kembali ke Ceribon
pada tahun 1463 M.
Syekh
Siti Jenar menjadikan Wahdatul Wujud sebagai pedomannya, namun sama
sekali bukan sebuah keputusan yang benar bahwa beliau membelangkangkan
syariat. Kembalinya dia ke Cirebon membawa dia kepada suatu posisi
dalam Wali Songo, beliau menjadi salah satu penyebar agama Islam di
Jawa, di Indonesia. Sebagai salah satu anggota penyebar Islam, Syekh
Siti Jenar dipercayakan untuk mengajarkan Syahadat (Persaksian).
Pemikiran Syekh Siti jenar yang didominasi oleh hakikat itu kemudian
membawanya kepada sebuah penjelasan bagaimana mengalami hal tersebut,
karena Syekh SitiJenar tahu betul bahwa santrinya masih baru .
Ajaran
Syekh Siti Jenar memang sangat kuat dengan hakikat dan tasawuf yang
pada saat itu boleh dikira baru, karena para wali, meskipun menguasai
hal yang sama, tetapi sama sekali tidak mengajarkan hal tersebut. Ini
dapat dimaklumi, karena tugas yang diberikan adalah berbeza-beza. Apa
yang harus diajarkan lagi jika tugas yang diberikan adalah mengajarkan
Syahadat? SebuahHadits menyebutkan bahwa “Awal dari Agama adalah
mengenal Allah.” Dan ini merupakan titik tolak Syekh Siti Jenar, bahwa
jika mereka tidak ma’rifat maka mereka sebenarnya tidak menyembah Allah,
melainkan menyembah budisemata. Menyadari hal ini, Syekh Siti Jenar
kemudian mengajarkan kepada para santrinya tentang hakikat ketuhanan,
baik dari sumber-sumber yang dipelajarinya, maupun dari hasil perjalanan
kerohaniannya. Ini dikatakan oleh para wali dan pemerintah setempat
sebagai upaya penyesatan, namun sekali lagi, ini tidak benar.
Sunan
Kalijaga sendiri memahami apa yang diajarkan oleh SyekhSiti Jenar,
hanya saja Sunan Kalijaga keberatan jika manunggaling Kawula Gusti
diwejang kepada para santri yang masuh “bodoh” itu. Syekh Siti Jenar
menolak apa yang disebut-sebut oleh para wali sebagai“sesat” itu. Karena
dia tahu benar bahwa apa yang dia ajarkan itu penting, demi benarnya
arah peribadatan para santri. Lucunya, apa yang dialami oleh al-Hallaj
kembali terulang, dengan alasan politik, Syekh Siti Jenar akhirnya
dihukum penggal. Misteri kematiannya juga sampai saat ini belum terlerai
dengan jelas.
Para
pejabat kerajaan Demak Bintoro menjadi gelisah, mereka khawatir jika
ajaran Syekh Siti Jenar ini menimbulkan pemberontakan terhadap
pemerintah. Salah satu murid Syekh Siti jenar adalah Ki Ageng Pengging
yang Wahdatul Wujud Sebagai Kesadaran kerohanian dan Bukan Spekulasi
Filsafat
Dari
apa yang telah dipaparkan secara singkat diatas, sudah barang tentu
Wahdatul Wujud merupakan salah satu kesadaran kerohanian yang ditemukan
atau terangkat ke permukaan hati melalui perjalanan kerohanian, dan
bukan hasil pemikiran semata-mata. Adapun upaya untuk menjabarkannya
dengan kata-kata dan fikiran bukanlah sebuah alasan untuk mengatakan
bahwa Wahdatul Wujud adalah spekulasi filsafat. Meskipun demikian,
memangnya apa yang salah jika para filsuf (baik muslim maupun yang
non-muslim) menemukan sesuatu yang sama melalui pemikiran? Bukankah
ilmu dan akal mereka juga merupakan rahmat Allah? Bukankah Allah
memerintahkan kepada manusia untuk merenungi, memikirkan, mentafakkuri
apa yang ada di langit dan di bumi? Dan Allah tidak mendegradasi mereka
yang non-muslim; surat al-Maidah ayat 69 menyatakan hal tersebut.
Hanya saja, keimanan merupakan faktor yang menyebabkan pertolakan
antara kita dan mereka, tetapi persoalan ilmu lain lagi ceritanya, ilmu,
amal dan iman tidak dapat disamakan. Mereka memiliki ilmu,namun tidak
memiliki iman dan amal, maka ilmunya bermanfaat. Yang penting untuk saya
sampaikan bahwa Wahdatul Wujud bukan merupakan hasil spekulasi para
sufi dengan filsafat Yunani tentang kewujudan. Wahdatul Wujud merupakan
hasil atau buah dari perjalanan kerohanian, dan bila perlu saya akan
mengatakan bahwa para sufi seperti al-Hallaj, Ibnu Arabi, AbuYazid
al-Busthami, Syekh Siti Jenar, al-Ghazali, dan lain-lainnya, merupakan
para filsuf Islam yang dalam istilah kita disebut mutakallimin (pakar
ilmu kalam). Hasil pemikiran mereka merupakan ilmu, namun sekali lagi, WahdatulWujud bukan ditemukan lewat berfilsafat tetapi berhakikat dan bertarikat.Adapun
istilah yang nantinya dirumuskan seperti Fana’, Baqa’, Ittihad, Hulul,
Manunggaling kawula lan Gusti, merupakan istilah untuk mengidentifikasi
apa yang mereka alami; pengistilahan dan pengkonsepan itu menjadi
penting karena jika tidak maka tidak ada cara lain untuk mengajarkannya
kepada ummat.
Akan
tetapi kenyataan jadi lain, ketika para pembaca dan peneliti Wahdatul
Wujud lebih menitik beratkan pada proses konsepsinya yang
terkesanfilosofis, mereka tidak memperhatikan dan tidak menyadari bahwa
konsep-konsep tersebut merupakan upaya untuk pengalaman kerohanian para
sufi tersebut. Ibaratnya mereka tidak melihat plot cerita dengan baik,
sehingga mereka hanya menyalahkan seorang pendakwah dengan “filsafatnya”
tanpa melihat asal-usulnya sebagai sebuah kesadaran kerohanian. Sangat
penting untuk disadari bahwa mula-mula para sufi melakukanapa yang
diistilahkan dengan takhalli atau penyucian jiwa, sebahagian
menyebutnya tazkiyatunnafs. Kemudian tahalli, yakni menghiasi diri
dengan amal shalih. Takhalli bagi para sufi adalah zuhud dan tahalli
adalah bertarikat. Bertarikat dan berzuhud merupakan esensi dari
kehidupan sufi. Mereka berzuhud demi menolak segala sesuatu selain
Allah, dan bertarikat demi mendekatkan diri kepada Allah, dengan melalui
amal shalih tentunya. Akan tetapi tingkatan beramal mereka bukan pada
tataran menggugurkan kewajiban semata, melainkan karena cinta dan
kerinduan kepada Allah. Sebagai hasilnya adalah tahalli, atau ma’rifat.
Apa
susahnya bagi Allah untuk mengilhami sebuah pertemuan manis bagi
hambaNya yang melakukan pekerjaan berat dan getir ini? Para sufi
Wahdatul Wujud, termasuk saya sendiri, mengalami hal ini dengan awal
lumpuhnya segala ilmu bahkan diri sendiri sirna, dengan kata lain
terlempar pada tataran bawah sadar lebih ke bawah lagi dimana kesadaran
insaniyah sirna dan kesadaran ilahiyah menjadi nyata. Bagaimana
menjelaskannya jika kita tidak merumuskan apa yang dirasakan dalam
sebuah konsep? Celakanya, banyak orang di dunia ini hanya melihat konsep
yang miripfilsafat dan tidak mempertimbangkan asal-usul dan alasan
untuk pengkonsepkantersebut. Memang benar bahwa anda harus mengalaminya
barulah anda memahami konsep tersebut, jika tidak kami sampaikan maka
itu akan menjadi ilmu yang tidak kami amalkan.
Hilangnya
kesadaran insaniyah bukan serta merta mengupgrade status kita dari
hamba menjadi Tuhan, tetapi merasa hadirnya Tuhan di dalam diri dan
bukan di luar diri. Ingatlah, bahwa Tuhan memilih hati hambaNya sebagai tempat bersemayam;
dengan catatan sudah bersih dari segala sesuatu selain dia. Akan tetapi
persemayaman ini sifatnya time release, atau sistem lepas. Maksudsaya
adalah kesadaran ilahiyah ini menjadi nyata saat kesadaran insaniyah
lebur, hilang. Ketika sang sufi kembali kepada kesadaran insaniyahnya,
maka kesadaran ilahiyah itu pun segera ghaib. Dengan demikian, Wahdatul
Wujud bukanlah hasil spekulasi filsafati, seperti yang dilakukan oleh
para filsuf Yunani yang berfikir keras tentang eksistensi seperti
postulat Cartesian cogito ergo sum, tetapi Wahdatul Wujud merupakan
hasil pergumulan upaya hamba dan kasih sayang Tuhan. Tidak selalu
sempurna dalam menjelaskan fenomena Wahdatul Wujud, karena hanya pengalamanlah yang akan menjadi penjelas sejati.
Pada
bahagian ini, saya harap anda sudah memiliki gambaran dan secerah
cahaya kesiapan untuk melanjutkan pada kajian Wahdatul Wujud yang akan
saya sampaikan. Saya harapkan anda geser sedikit saja pedang anda dan
duduk tenang untuk merenungi apa yang akan saya sampaikan, saya memohon
ampunan kepada Allah dan rahmatNya agar kita semua boleh mendapatkan
pencerahan sejati. Kesimpulan akan selalu berada di tangan anda sebagai
pembaca.
No comments:
Post a Comment