Tuesday, June 19, 2012

MUKASYAFAH

MUKASYAFAH
Banyak orang menganggap dan mempercayai Nabi Khidir AS adalah salah satu wali Allah yang paling utama, hingga dengan karomah yang dia miliki, dia mampu hidup sejak zaman Nabi Musa AS hingga sekarang.

Namun lebih banyak lagi umat  Islam yang meyakini Khidir sebagai seorang Nabi dan bukan Rasul, dimana umat Islam sering menjadikan panutan dan mendatangi mereka yang butuh kepadanya.







Pendapat para sufi beserta klaimnya tentang ilmu tersebut di satu sisi, dan ulama fiqih dan anggapan mereka juga tentang jenis keilmuan Nabi Khidir di sisi yang lain. Oleh para sufi. Ilmu gaib yang dimiliki oleh Nabi Khidir AS juga disebut sebagai ilmu laduni atau ilham, yang diperoleh melalui terbukanya pengetahuan rahasia ketika seseorang telah sampai pada maqam yang disebut hakikat. Ilham atau laduni ini disebut juga sebagai mukasyafah. Sifat ilmu ini lebih khusus karena tidak banyak orang mendapatkannya.
 

MUKASYAFAH

Secara etomologi, mukasyafah berarti terbukanya tirai atau hijab. Asal katanya kasyafa, berarti tersingkap. Yang dimaksud terbukanya tirai di sini adalah terbukanya rahasia segala rahasia dunia gaib secara mistik atau supranatural.



Rahasia-rahasia alam yang gelap dan tidak terjangkau oleh dunia indrera bisa begitu terang di mata batin orang yang mendapat ilmu mukasyafah ini.


Sementara secara terminologi, ulama berbeda pendapat mengenai pengertiannya. Diantaranya akan kita lihat seperti berikut ini, sebagaimana tercantum dalam kitab Sirajut Tholibin.


Sebagian ulama berpendapat bahwa ilmu mukasyafah adalah nur yang nyata di dalam hati ketika hati itu berada dalam keadaan yang teramat bersih, terbebas dari segala kotoran. Dalam keadaan hati yang teramat suci maka tampaklah di hati itu suatu pengetahuan.


Apabila seorang hamba telah dianugerahi ilmu mukasyafah, dan ilmu itu telah menghujam pada dirinya, maka terbukalah tutup dari segala rahasia semesta sekaligus menjadi tanda bahwa maqam spiritual orang tersebut telah berada sampai kepada hakikat. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan ilmu mukasyafah semua apa yang sebelumnya tersembunyi dan terselubung berubah menjadi nyata dan terang, tak ada lagi hal yang bisa membuatnya terhalang dari dunia gaib.

 Habu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian melihat kiblatku di sini ? Demi Allah aku tidak terhalangi untuk melihat kekhusyukan dan ruku kalian (dari tempatku shalat ini). Aku benar-benar melihat kalian di belakang pungguku". (HR. Bukhari dan Muslim). Mengenai penjelasan hadist diatas Ibn Hajar berkata, "Yang benar adalah bahwa hadist ini diartikan sesuai dengan makna harfiahnya. Artinya "melihat" dalam hadist di atas adalah "melihat" secara hakiki yang khusus bagi beliau di mana penglihatan tersebut sangat beda dai penglihatan umumnya."      Sementara itu DR. 'Abdul Fattah Ahmad dalam karyanya Tasawuf Baina Al-Ghazali; Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa mukasyafah mempunyai dua pengertian :
  1. Mukasyafah adalah keadaan di mana rohani menjadi bersih dan jernih, yang hanya dapat dicapai oleh manusia-manusia yang benar-benar beriman lagi sholeh sehingga tersingkap baginya hal-hal gaib yang memang tidak bisa dilihat dengan mata indera biasa. Ini merupakan maqam spiritual yang penuh dengan kemuliaan dari Allah SWT.
  2. Mukasyafah adalah suatu keadaban jernih yang dicapai oleh hati. Karena kerjernihan itu, Allah SWT membuka salah satu rahasia kegaiban. Mukasyafah termasuk bagian dari karamah yang diyakini oleh kaum muslimin dan ahlussunnah. Ini merupakan bukti kewalian, jika terjadi pada orang saleh yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.

     Menurut Abdul Fattah, keadaan ini tidak terjadi terus menerus, akan tetapi terkadang muncul, dan terkadang tidak. Dalam artian, ilmu ini tidak lantas secara konsisten melekat pada satu orang secara terus-menerus, akan tetapi sifatnya temporer dan sementara. Dalam kondisi spiritual yang jernih seseorang berpeluang untuk mengalami ketersingkapan atau kasyaf, tapi jika kondisi spiritualnya sedang terpuruk orang tersebut tentu tidak akan merasakannya.

MUKASYAFAH RUBBIYAH DAN GHAIBIYAH

      Menurut Al-Ghazali, ilmu mukasyafah ini hanya bisa diperoleh melaui Nur Illahi. Al-Ghazali berpendapat bahwa mukasyafah merupakan tingkatan ilmu yang paripurna dan menduduki level atas dalam deretan pengetahuan lain mampu dicapai manusia.. Al-Ghazali menyebutkan ilmu ini sebagai fauqa thuril 'aqli, ilmu yang berada di puncak atas akal atau melampaui kekuatan pengetahuan yang berada dalam taraf yang dapat dijangkau akal manusia.
     Ilmu mukasyafah terbagi menjadi dua macam : 
  1. Mukasyafah Rubbiyah. Merupakan pengalaman keteringkapan berupa terbukanya tirai yang sifatnya ke Tuhanan. Pada jenis ini seorang hamba telah dibukakan oleh Allah sendiri tirai dan hijab yang bagi orang awam tertutup. Saat itu seorang hamba mampu mengetahui rahasia-rahasia Al-Haq, bahkan pada puncaknya seorang hamba akan mampu melihat-Nya. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan,  "Maka terbukalah hijab atau tutup, lalu mereka melihat kepadaNya. Demi Allah tidak pernah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka kecuali penglihatan itu (Mukasyafah)".
  2. Mukasyafah Ghaibiyah. Yang berarti tirai kegaiban. Mukasyafah ini sebenarnya tidak mempunyai kaitan dengan mukasyafah rubbiyah, karena bukan merupakan anugerah suci yang merupakan rahmat bagi orang-orang sholeh. Jenis mukasyafat ini lebih kepada persoalan bakat sebenarnya. Berdasarkan kenyataan, banyak sekali orang yang merasakan pengalaman mistik atau hal gaib, tapi sebelumnya dia telah melakukan usaha (riyadhah) untuk mengarah ketajaman bakatnya itu.

Sementara itu DR. Abdul Fatah menjelaskan bahwa ilmu dalam sudut pandang syari'at pada dasarnya terdiri dari :

  1. Informasi adalah sesuatu yang berkenaan dengan apa yang telah tercakup dalam Islam, sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Al-Qur'an dan Al-Hadist. Ruang lingkup informasi mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya. Informasi mencakup seluruh apa yang dikabarkan oleh keduanya. Informasi yang dapat kita peroleh dari tuhan melalui Al-Qur'an, secara garis besar terdiri dari pengetahuan akan Tuhan, para malaikat, para nabi, dan para rasul, kitab-kitab suci, hari kiamat, takdir, tentang kebaikan dan keburukan, di samping juga pengetahuan-pengetahuan lainnya. Sedangkan dalam Al-Hadist dapat kita peroleh informasi tentang bagaimana tata cara menjadi muslim yang baik, secara umum telah diperjelas dalam syari'at.
  2. Peraturan adalah sesuatu yang berkenaan dngan segala larangan Allah SWT yang berkaitan dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Disini juga telah banyak diperjelas oleh syari'at. Maka peraturan menjadi suatu landasan yang kedua sebagai amal. 
Sebagaimana Nabi Musa AS setelah dibuka tirai yang menutupi pandangannya terhadap segala hal yang diperbuat oleh Nabi Khidir AS, berarti juga ia telah mengetahui berbagai ilmu yang belum ia ketahui sebelumnya. Hal itu merupakan suatu contoh kecuali suatu bentuk dari "informasi". Kemudian yang menjadi tugas Nabi Musa AS setelah menguasai beberapa ilmu tersebut ialah bagaimana mengamalkannya. Dan itulah yang disebut peraturan. Peraturan seseorang yang telah memperoleh ilmu yang kemudian berproses untuk mengamalkannya. Contoh ini merupakan bagian dari bentuk hubungan antara ilmu dan amal bagi penuntut ilmu.

Nabi Musa AS telah merasakan ilmu mukasyafah atau ilmu laduni yang diperoleh dari Nabi Khidir AS. Ilmu mukasyafah merupakan bentuk dan terobati hasrat. Menurut Abdul Fatah, ilmu mukasyafah dapat memberikan suatu pemahaman yang dalam, kejernihan penglihatan, kepastian, dan sebagainya, yang berkaitan dengan pokok-pokok ajaran agama Islam maupun cabang-cabangnya. Namun Ilmu mukasyafah tidak dapat meberikan sesuatu pun terhadap amal kecuali pemahaman.


Tidak ada seorang pun yang telah mengalami mukasyafah menyatakan sesuatu yang saling bertentangan tanpa mampu membuktikan bahwa dirinya telah tersesat. Seperti Nabi Musa AS yang merasa bahwa ia telah bersalah terhadap segala yang dilakukan Nabi Khidir AS, akibat perbuatan ganjilnya yang menurut pandangan Nabi Musa AS, agama tidak pernah membenarkannya.

 Dalam kesimpulannya mengenal ilmu mukasyafah atau ilmu laduni tentang keilmuan Nabi Khidir AS, Adul Fattah menjelaskan, "Pandangan tentang mukasyafah ataupun laduni hanya sebatas pada suatu hal di mana manusia tidak lagi bodoh tentang yang sebelumnya tidak ia ketahui. Mukasyafah dalam hal ini dapat diartikan sebagai ilmu".

Ilmu dan amal bergantung pada bagaimana ilmu mukasyafah atau laduni itu di jalankan dengan baik. Tetapi manusia akan selalu dihadapkan berbagai ujian sehingga tugas mengamalkan dan menjalankannya dapat teratasi dengan sempurna bila manusia tersebut dapat melalui ujian tersebut dengan hati yang ikhlas dan pemikiran yang jernih dalam segala hal. Agar manusia tersebut selalu bersih hati dan pikirannya dan dapat menikmati ilmu mukasyafah tersebut".


Kelompok sufi menilai ilmu mukasyafah Nabi Khidir AS yang bersumber dari maqam yang lebih tinggi dari syari'at. Sementara ulama tradisional menilai tidak ada yang lebih utama di antara keduanya. Antara maqam hakikat Nabi Khidir AS dan Syari'at Nabi Musa AS sama.


Para ulama yang yang mendukung kesetaraan antara kedua ilmu tersebut beralasan, tidak dapat dibenarkan bahwa Nabi Khidir AS mempunyai status untuk mengklaim keunggulan orang-orang syari'at dan ilmu-ilmu syari'at. Justru Nabi Khidir AS di utus oleh Allah SWT untuk mengajar Nabi Musa AS yang mengaku dirinya paling berilmu di atas permukaan bumi.


Ketika Nabi Musa AS ditanya tentang siapa orang yang paling berilmu,sepatutnya beliau mengatakan bahwa Allah SWT itulah Yang Maha Mengetahui tentang segala-galanya. Oleh karena itu, Allah SWT langsung mengatakan kepada Nabi Musa AS bahwa di sna ada seorang hamba Allah yang tidak dikenalinya yang memperoleh ilmu langsung dari Allah SWT , sebagai teguran langsung dari Allah SWT kepada  Nabi Musa AS.

     Belum sempurna iman seseorang jika hanya melakukan ritual peribadatan tanpa kita mengetahui makna, esensi, seta hakikat dari perbuatan itu. Maka para sufi kemudian mencari makna-makna itu lewat jalan yang tidak terdapat dalam sistem hukum syari'ah, yaitu jalan yang hakikat.

Memang penting kiranya untuk dicatat bahwa hukum Islam dan jalan sufi adalah dua hal yang sama-sama baik, akrena pengetahuan serta pengalaman yang tinggi darinya akan menciptakan pencerahan lahir batin manusia dan tentu saja hal itu menjadi lentera bagi manusia, sehingga ia tahu yang mana ujian dan cobaan yang datang dari Allah SWT serta mana godaan setan yang terkutuk


Hanya manusia tidak biasa melakukan keduanya secara sekaligus, maka tidaklah bijak, jika manusia meninggalkan salah satu dari ilmu-ilmu yang tengah di tempuhnya. Bahwa dua kecondongan nilai-nilai Islam ini dapat disatu padukan dalam diri manusia, sehingga menciptakan hadirnya kearifan yang lebih agung.


Tetapi hal terpenting dari kita sebagai manusia, ialah seberapa banyak peluh mengucur ke bumi dami mencipta kelapangan hati dalam menghadapi kehidupan ini beserta ujian dan cobaannya.

No comments: