Monday, June 11, 2012

MAKRIFAT SUNAN KALIJAGA

Jeng Sunan Kalijaga ngling
Amdehar ing pangawikan
Den waspada ing mangkene
Sampun nganggo kumalamat
Den awas ing pangeran
Kadya paran awasipun
Pangeran pan ora rupa

Nora arah nora warni
Tan ana ing wujudira
Tanpa mangsa tanpa enggon
Sajatine nora nana
Lamun ora anaa
Dadi jagadipun suwung
Nora nana wujudira

(Sunan Kalijaga berkata, memaparkan pengetahuannya.
Hendaknya waspada pada yang berikut ini.
Janganlah ragu-ragu. Lihatlah Tuhan secara jelas.
Tapi, bagaimana melihat-Nya.
Karena Tuhan itu tidak memiliki rupa.

Tuhan tidak berarah dan tidak berwarna.
Tidak ada wujud-Nya. Tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Sebenarnya Ada-Nya itu tiada.
Seandainya Dia tidak ada,
maka alam raya ini kosong dan tidak ada wujudnya.)

–Serat Siti Jenar, Tan Khoen Swie Kediri 1922
Pendakian spiritual itu mulai dari mana? Mulai dari syariat dulu, kemudian menuju tarikat, hakikat dan akhirnya sampai pada makrifat? Atau Makrifat (mengenal Tuhan) dulu, kemudian penghayatan hakikat, kemudian menjalankan tarikat dan melaksanakan syariat? Menurut saya, pendakian spiritual bisa dari mana-mana. Kita tidak perlu kebingungan terhadap mana yang harus terlebih dulu kita jalani. Semuanya boleh sebagai titik pijak untuk memulai perjalanan.
Ada banyak teman yang memulai perjalanan spiritual dengan “tidak percaya” terhadap adanya Tuhan. Lalu belajar tentang ilmu ketuhanan, dan setelah kedewasaan intelektualnya mengalami kemapanan dan kemudian dia yakin adanya Tuhan dan kemudian menjalankan syariat. Yang demikian ini hebat.
Ada yang memulai dengan menjalankan syariat agama. Sebab dari kecil dia berada di dalam lingkungan yang taat beragama. Oleh orang tuanya, dia dididik untuk menjalankan syariat agama secara leterluks. Kemudian seiring perjalanan usianya, dia mulai mencari tahu dengan banyak belajar tentang agama, yang telah dijalaninya selama ini. Himngga kemudian pengetahuan dan perenungannya sampai pada hakikat. Kemudian dia menjalani laku suluk/tasawuf dan akhirnya mendapatkan pencerahan Makrifat. Yang demikian ini luar biasa.
Ada pula yang tidak mulai apa-apa. Ya tidak menjalankan syariat agama, ya tidak berusaha mencari tahu tentang Tuhan. Dia skeptis dan agnostik terhadap berbagai wacara agama serta kerokhanian. Dia seakan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Otaknya tidak digunakan untuk berpikir tentang Tuhan. Namun, di tengah hidupnya dia dipaksa untuk menerima banyak hal yang tidak mauk akal hingga suatu ketika kesadarannya mengalami “BYAR”. Tiba-tiba dia sadar apa yang telah dijalaninya selama ini. Dia pun menemukan Tuhan di dalam hidupnya. Sukur alhamdulillah.
Suatu saat dalam hidupnya, Tuhan pasti akan datang membawa cahaya-Nya yang suci. Dia akan menerangi diri pribadi kita sehingga yang sebelumnya hanya mampu melihat fakta-fakta dengan inderanya, maka setelah pencerahan Tuhan itu datang maka dia mampu untuk melihat hubungan antar fakta dan akhirnya menemukan kesimpulan bahwa hanya ada satu Tuhan yang wajib disembah oleh manusia.
Tuhan itu bukan benda-benda. Tuhan ya Tuhan. Adanya berbeda dengan apa yang pernah diketahui oleh manusia. Yang pernah diketahui oleh manusia berasal dari pengalaman inderanya. Nah, wujud Tuhan ini tidak ada di dalam gudang memori manusia. Sehingga mengatakan Tuhan seperti A, B, C pasti jelas bukan Tuhan. Tuhan sebagaimana yang dibayangkan oleh manusia, tentu berbeda dengan Tuhan sebagaimana wujud-Nya yang asli. Anggapan tentang Tuhan beda dengan Tuhan yang sebenarnya. Sama seperti anggapan saya tentang mobil Mercy, tidak sama dengan mobil Mercy yang sebenarnya. Sebab saya buta tentang mobil, apalagi tidak pernah memiliki mercy sebelumnya sehingga penggambaran saya tentang Mercy berbeda dengan Mercy yang sebenarnya.
Dikatakan oleh Sunan Kalijaga, sebenarnya wujud Tuhan sangat jelas… sangat sangat jelas! Nah, kejelasan ini pasti tidak dimaknai sebagaimana kejelasan benda-benda. Benda bisa dilihat oleh indera. Namun wujud Tuhan? Disinilah kita akan semakin beranjak arif bahwa Tuhan yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata manusia itu harusnya tidak dilihat dengan indera. Namun oleh “sesuatu” yang adanya jauh berada di dalam diri manusia. Yaitu batin yang intuitif yang disebut dengan guru sejati. Guru sejatilah yang mampu mengantarkan kita untuk melihat dengan jelas diri pribadi. (sukma sejati) Diri sejati adalah tempat bersemayam Tuhan dalam diri manusia. Di situlah Tuhan duduk di atas arasy.
Sukma sejati atau Diri Sejati berasal dari Cahaya Yang Terpuji yaitu dari NUR MUHAMMAD. Nur Muhammad hanya ada SATU. Dan NUR MUHAMMAD inlah yang selalu mendapatkan PANCARAN ILAHI. Semua yang ada ini pada mulanya satu, termasuk manusia. Asal cahaya itu satu. Pancarannya ke segenap arah inilah yang menyebabkan terjadinya “aku” yang jumlahnya banyak. Meski sekarang kita melihat YANG BANYAK namun itu semua adalah perwujudan dari satu CAHAYA.
Melatih kepekaan batin yang intuitif oleh karenanya sangat penting. Berbagai macam cara dilakukan oleh peradaban manusia untuk menemukan Tuhan di dalam diri manusia. Misalnya dengan berkhalwat, atau mengadakan perjalanan spiritual ke tempat-tempat yang sepi untuk kemudian berdzikir hingga dia merasakan kefanaan.
Dalam kesendiriannya, sang pejalan spiritual akan menemui banyak ilusi/bayangan yang mempesona batin. Namun dia tidak boleh menggap bayangan itulah kenyataan Tuhan. Perjalanan diteruskan hingga pendakian memasuki godaan besar. Dia ditawari berbagai macam kemuliaan dunia. Egonya yang masih melekat pada harta, benda, tahta dan wanita ditantang agar dituruti namun dengan imbalan dia harus menghentikan perjalanannya. Ini tahap berbahaya menuju final.
Bila perjalanan diteruskan lagi, dia akan sampai pada kesendirian dan kesenyapan, Tiba-tiba semua yang nggandoli egonya terlepas begitu saja. Dia tidak butuh apa-apa lagi. Di tahap ini, semua pendamping perjalanan yang selama ini menemaninya satu persatu otomatis terlepas. Pengiring batin terlepas, Malaikat lepas karena tidak sanggup menemani lagi, semua saudara gaib melepaskan dirinya. Ya, dia polos seorang diri menuju Tuhan. Dia kini sudah dituntun oleh Tuhan sendiri untuk melihat Sang Penuntun, yaitu AKU. Ya, manusia sudah bisa melihat AKU SEJATI-NYA tanpa was-was tanpa samar-samar lagi. AKU SEJATI itu begitu terang benderang.
Inilah saat mind/pikiran/budi/rasa sudah tidak lagi digunakan. Atau disebut dengan NO MIND. Dia sampai tahap SUWUNG atau FANA. Kata tidak lagi mampu untuk membahasakan apa fana itu. Sebab kata sangatlah terbatas untuk menggambarkan sesuatu. Apalagi ini menunjuk pada kata yang bukan kata benda, bukan kata sifat, bukan kata keterangan, bukan kata kerja, bukan apa-apa…. ya paling gampang kita sebut saja SUWUNG alias MBUH ORA WERUH. Sebab kita tidak membutuhkan berbagai alat indera dan batin lagi. Kita hanya pasrah, sumeleh, sumarah saja pada Iradat GUSTI. **

Perjalanan Sunan kalijaga mencari Guru Sejati

CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATIDi antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya berkecukupan.
Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban.
Syahid yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.
Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.
Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).
Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA.
MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun

No comments: