أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
KITAB FADHAIL AL-A’MAL
Membicarakan
Fadha’il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi,
tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah
yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah
Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah
Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam
mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu
sehabis shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam
sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat.
Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya
secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini
dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut
Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentunya akan
diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu
untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan
timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan
dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya. Secara umum, kitab
ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak penukilan
perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat
menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah
berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah
At-Tabligh (hal. 11-12): “Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadhail
Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama
Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian
besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah
mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab
hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini
sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa
‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini
termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali
hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab
jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai
referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta
menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih
sesat jalannya dari hewan ternak.” (Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12)
Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:
Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya
Sebagaimana
yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits
lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian
riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan,
takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana
kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia
Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak
mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan
menyangka bahwa semuanya boleh dijadi-kan sebagai hujjah. Selanjutnya
mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Maka
terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula
ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia,
tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan
simpatisannya (di Indonesia terutama, karena kebanyakan mereka
berbekal semangat belaka tanpa ilmu bahasa arab yang memadai-admin)
membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa
diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa
contoh tentang apa yang kami sebutkan:
1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr (Hal.
497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban
tahun 1421 H. Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam
penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi
lainnya) hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا
أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى
السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ
اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ فَإِذَا
فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ،
فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ
جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ
إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا
خَلَقْتُكَ
Ketika
Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit
kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad,
ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad
(yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika
engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu,
dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun
Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih
agung kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan
namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya:
“Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu,
kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini
diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang
disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang
keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam
Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam
Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku
kenal. Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang
masyhur: “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya
ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”
Cobalah
pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah diketahui oleh
penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,
bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan
ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka
bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian
kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits
Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua
kitab tersebut karya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.
2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang sama (Hadits no. 32, hal. 503), hadits dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi awasallam dalam keadaan bersedih. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi awasallam
bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab,
“Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan
yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau
mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan,
wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab,
“Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih
hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu
merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa
mereka.”
Hadits
ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal
Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan:
“Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi
Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri,
namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya. Demikian yang
terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id.”(Fadhilah Dzikr, hal 504.)
Perkataan
ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para
pembacanya. Ditambahkan disini bahwa Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya
melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam
Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya
adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut,
sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam
Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits
maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119,
tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)
3. Disebutkan pula pada bab yang sama (Hal. 507, hadits ke-35) hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000 kebaikan.”
Hadits
ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang
mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam At-Targhib dan
Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid
Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan
hal yang seperti ini (yakni penyebutan hadits tanpa takhrij yang telah
ditulis oleh penulisnya sendiri yaitu Muhammad Zakaria
Al-Kandahlawi-admin) sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini (yaitu
terutama kitab terjemahannya di Indonesia dan Malaysia -admin).
Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya
Di samping
poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali
termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya
dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian
menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran
riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan
sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat shallallahu ‘alaihi wasallam)
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)
Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah
ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas
Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak
ada asalnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka
barangsiapa yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucap-kan
kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang
aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam
neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah) (Al-Makhraj
minal Fitnah, hal. 96)
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini:
1.
Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan
punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam
kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya: “Shalat itu
menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan
punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena
dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin
Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk
(ditinggalkan haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin
Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits
ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir,
no. 3560.
2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal
hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat
yang shahih, dengan lafadz:
لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.
3.
Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644,
bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat
akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang
menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga
pagi hari.
Padahal
hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan Al-’Allamah
Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.
Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah
Kitab
ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat
menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni
kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh
karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang
tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun
di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah,
Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah. (Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min
Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11)
Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
1. Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a (demikian tertulis, maksudnya mungkin radhiallahu anhu,
padahal tidak ada yang menjamin bahwa Allah meridhai seseorang kecuali
yang sampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun selain mereka cukup didoakan rahimahullah atau hafizhahullah-red), seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada
suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga
beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam
mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat
cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis
tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk
memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait
syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak
akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau
shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.
Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah subhanahu wata’ala
telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam
beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai
dengan kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim
mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga
mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna
mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka dianjurkan
baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab [1], jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”
Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan dalam
haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud ‘alaihissalam. Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud ‘alaihissalam, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah
saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu
nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus
kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa
barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali,
ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya
membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab (nishab artinya bahagian
-red) tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya
sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai
ahli kasyaf (adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib,
karena hijab telah diangkat darinya.
Begitulah
anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka
-red). Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak
meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan
bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil
berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan
keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir
untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan
ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya.
Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya
baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya
meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang
mendengar niat saya ini kecuali Allah k.
Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman,
wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman
itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang
keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena
sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda
tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”
Cobalah
perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita
khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan,
di antaranya:
Pertama:
Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu
menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa
syariat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini
jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca
kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya
Dzikir Berjamaah)
Kedua:
Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak
seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah
dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan
Allah subhanahu wata’ala kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
Dan
penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam
kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga,
hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari
kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang
untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan
yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan
Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau
seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Kalim
Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (yang keduanya telah
ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah), dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.
Wallahu a’lam.
_________________
[1]
Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits
ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul
Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki
nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan
nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)
Sumber:
Kitab Fadha`il Al-A’mal dalam Timbangan As-Sunnah. Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi.
No comments:
Post a Comment