أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Sang hamba, sama seperti garam larut dalam air. Dan jika eksistensi tersendiri dari garam ini dicari, maka ia tidak akan diketahui lagi. Dalam pengertian inilah Bayazid Bisthami mengatakan :
Sang hamba, sama seperti garam larut dalam air. Dan jika eksistensi tersendiri dari garam ini dicari, maka ia tidak akan diketahui lagi. Dalam pengertian inilah Bayazid Bisthami mengatakan :
Kucari diriku sendiri dan tak kutemukan diriku,
Bahkan justru kutemukan Allah !
Ketika sedang melakukan kontemplasi, sang
penempuh jalan spiritual — disebabkan mabuk secara spiritual — mungkin
tidak sadar akan keterbatasan atau “ketertentuan” nya sendiri. Akan
tetapi, “ketertentuan” itu tidak bisa dihilangkan. Sang ‘abd
tidak berubah menjadi Yang Maha mutlak. Wujud yang mungkin tidak berubah
menjadi Zat Mahaabadi. Yang disebut fana’ berarti keadaan di mana
kesadaran akan keterbatasan diri sendiri tidaklah tetap ada. Akan
tetapi, manakala seseorang turun kebawah, maka kesadaran akan
keterbatasan diri pun kembali. Semua kaum Sufi dan arif sepakat bahwa
kualitas keharusan (yakni, Kemestian) dan Kemutlakan adalah sifat-sifat
Allah, dan sang ‘abd tidaklah mempunyai sifat-sifat ini. Sifat-sifat sang ‘abd adalah terbatas dan membutuhkan. Dan semuanya ini tidak terpisah dari dzat atau “esensi”-Nya. Pada esensinya sang ‘abd bersifat tertentu dan terbatas, dan ia tidak pernah bersifat mutlak dan mesti !
Keadaan fana’ dihasilkan manakala
sang penempuh jalan spiritual kehilangan kesadaran tentang dirinya
sendiri dan tentang semua makhluk tertentu serta mendapatinya tercampur
dalam Realitas Mutlak. dan manakala kesadaran datang kembali, ia pun
mengetahui bahwa kemestian dan kemutlakan adalah sifat-sifat penting
Allah saja, Zat Mahabenar.
Keadaan fana yang lebih rendah bisa
juga dialami. ini terjadi manakala sang penempuh jalan spiritual
menegetahui “keterbatasan”-nya sendiri tersembunyi dalam Wujud Zat
Mahabenar, seperti cahaya bintang ditelan oleh cahaya matahari sehingga
yang tampak adalah yang hakiki dan yang tersembunyi adalah sang ‘abbd.
Ada kenyataan fana’ lainnya. Ini
dipandang sebagai lebih rendah bahkan dari tipe kedua yang baru saja
disebutkan. ini terjadi manakala sang penempuh jalan spiritual memandang
sifat-sifatnya sendiri sebagai sifat-sifat Allah. Melalui sifat-sifat
ini, ia melihat, mendengar, dan berbicara. Ia mengidentifikasikan
dirinya dengan Allah dan, seperti Al-Hallaj, menyatakan Ana Al-Haqq
atau “Akulah Allah”, sebab ia tidak melihat keterbatasan dirinya
sendiri dan menisbatkan dirinya dengan sifat-sifat Allah, padahal
sesungguhnya ia terbatas dan tidak mutlak.
Kenyataan ini dengan jelas dikemukakan oleh Syaikh Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali (Ibn al-Arabi) dalam karyanya yang terkenal, Fushush al-Hikam, dalam bab “Hikmah Adam” atau Fashsh Adam. Ia mengatakan bahwa dalam keadaan fana’ fi Allah atau “fana dalam Allah”, sesungguhnya ‘abdiyat
tidaklah berhenti mengada. Yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa sang
hamba kehilangan kesadaran tentang keterbatasan dan tentang
sifat-sifatnya. Akan tetapi, sesungguhnya, sang ‘abd tidak menjadi Rabb (Tuhan) dan hijab keterbatasan tak pernah tersingkap, sekalipun tidak dirasakan (ada ketika seseorang berada) dalam keadaan fana’. Ibn al-’Arabi mengatakan :
‘Abbd akan tetap ‘abd apa pun kemajuan yang dibuatnya,
Tuhan akan tetap Tuhan betapapun Dia turun ke bawah.
Syabistari, pengarang Ghulsyan-i-Raz, mengatakan :
Jangan katakan bahwa yang mungkin melampaui batas-batasnya,
Yang mungkin menjadi mesti, tetapi yang mesti tidak berubah menjadi yang mungkin,
Ia yang melampaui dalam berbagai rahasia spiritual tidak berkata demikian,
sebab hal ini akan bertolak belakang dengan segenap kebenaran.
Dalam keadaan fana’, apa yang
terjadi dalam diri sang penempuh jalan spiritual tidak bisa diungkapkan
dalam kata-kata. Yang hanya bisa dikatakan adalah :
Inilah kegembiraan dalam kegembiraan, keterhapusan dalam keterhapusa,
dan kefanaan dalam kefanaan.
Ini berarti bahwa dzat atau “esensi” dari ‘abd
berikut segenap kualitas dan sifatnya pun hapus dan lenyap, dan tak ada
sesuatu pun tersisa dari dirinya. Ia tidak sadar akan seluruh perilaku
dan tindakannya, akan segala sesuatu yang diketahui dan tak diketahui,
dan juga tidak sadar akan esensi atau sifat-sifat dari segenap wujud
mungkin lainnya. Ia pun tidak sadar akan dirinya sendiri. Alih-alih,
dalam keadaan fana‘ ini, jika sang penempuh jalan spiritual sadar akan kefanaannya, maka yang demikian itu akan menafikan keadaan fana’ itu sendiri. Demikianlah, kebenaran Alquran terjewantahkan bahwa :
Segala sesuatu yang ada di bumi bakal binasa, tetapi kekal (selama-lamanya) wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan (QS. Ar-Rahman, 55 : 26-27).
No comments:
Post a Comment