Sunday, July 8, 2012

Mengosongkan Sirr :Takhalliyyah As-Sirr

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله




Mengosongkan Sirr : Takhalliyyah As-Sirr

Sibukkan aku sedemikian rupa dalam memikirkan-Mu sehingga, karena kefanaan diri,
Aku tak melihat orang yang masuk atau meninggalkan medan kesadaranku.
Sesudah membersihkan hati, atau ketika masih dalam proses pembersihan hati, mengosongkan sirr adalah langkah yang diperlukan dalam suluk, perjalanan menuju al-Haqq atau Zat Mahabenar. Ini berarti mengosongkan diri sendiri dari segenap pikiran yang bisa mengalihkan perhatian dari Allah—pikiran-pikiran tentang segala sesuatu selain Allah. Sirr mestilah dijaga sedemikian rupa agar pikiran tentang sesuatu selain Allah tidak bisa melintas masuk ke dalamnya. Dan jika dalam setiap kesempatan pikiran itu berusaha masuk, maka ia harus segera dihilangkan. Seorang penyair Sufi memberikan nasihat kepada kita :
Jagalah fakultas sirr senantiasa dan dalam keadaan apa pun,  
Agar tak ada bisikan pikiran bisa memasukinya,  
Pandanglah segala pikiran ihwal segala sesuatu selain Allah sebagai pencuri,
Upaya ini adalah kewajiban atas kekasih-kekasih Allah.
Untuk mengosongkan sirr, diperlukan “kontemplasi” (muraqabah). Kata muraqabah berasal dari kata raqib, yang berarti seorang penjaga, atau seorang pengawal. Sirr mestilah dijaga sedemikian rupa agar tak ada pikiran tentang segala sesuatu selain Allah bisa memasukinya dan mestilah sepenuhnya disibukan dengan merenungkan Allah semata. Bagaimana kontemplasi ini dilakukan, akan dijelaskan nanti.
Menurut para Sufi terkemuka, sirr adalah sebuah organ penglihatan mistis, persis seperti hati (qalb) mempunyai fakultas pengetahuan Ilahi atau gnosis (ma’rifah), dan ruh (ruh) adalah tempat cinta Ilahi. Mereka memandang lathifah as-Sirr lebih halus dan lebih lembut ketimbang ruh dan berpandangan bahwa asrar (jamak dari sirr) dianugerahkan kepada mereka yang terbebas dari belenggu segala sesuatu yang ada antara yang terbatas dan Yang Tak Terbatas, ‘abd dan Rabb (hamba dan tuan, atau wujud yang mungkin dan Penciptanya). Itulah sebabnya dikatakan bahwa dada jiwa-jiwa yang terbebaskan adalah pusara asrar (berbagai komunikasi rahasia yang terjadi antara mereka dan Pencipta mereka serta tak seorang pun mengetahui mereka). Jika kita memahami sirr sebagai fakultas atau organ yang menyertainya, maka akan jelaslah bahwa sirr bukanlah sesuatu atau subtansi, melainkan sebuah konsep. Dalam pengertian ini, dikatakan bahwa ada sirr antara ‘abd dan Rabb, dan sirr as-sirr atau “rahasia segala rahasia”, atau yang dikenal dengan nama lain sebagai akhfa. Alquran menyebutkan :
Jika engkau berbicara nyaring (yang demikian itu tidaklah apa-apa), karena sesungguhnya Dia mengetahui apa yang rahasia dan apa yang lebih tersembunyi, (QS 20 : 7).
Dengan demikian, sirr bermakna rahasia antara ‘abd dan Rabb. Dan yang dimaksud dengan sirr as-sirr adalah rahasia yang tidak diketahui bahkan oleh ‘abd tetapi diketahui oleh Allah saja yang mengetahui segala rahasia dan sesuatu yang tersembunyi.
Para Sufi, yang berpandangan bahwa sirr adalah sesuatu atau substansi yang khusus, percaya bahwa sirr adalah fakultas yang lebih tinggi dari pada hati dan ruh. Akan tetapi, sebagian lainnya berpendapat bahwa sirr lebih tinggi dari hati tetapi lebih rendah dari ruh.
Syaikh al-Islam, Syaikh Syihabuddin Suhrawardi, berpandangan bahwa sirr bukanlah sesuatu yang berbeda dari “hati” atau “ruh”. Ia tidak memiliki wujud tersendiri atau terpisah. Menurutnya, orang-orang  yang memandang sirr sebagai berkedudukan lebih tinggi dari ruh berbuat demikian karena mereka sudah mengetahui bahwa ruh — manakala telah terbebas dari belenggu Nafs, atau “diri yang sombong” dan berbagai hasrat dalam hati — memperoleh sifat baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, mereka memandangnya sebagai sebuah entitas tersendiri, yang sangat berbeda dari ruh. Mereka tidak memperhatikan bahwa hal itu adalah entitas, ruh yang sama dan memperoleh sifat baru yang kelihatan seperti entitas tersendiri. Begitu pula, mereka yang memandang sirr, sebagai lebih rendah daripada ruh dan lebih tinggi daripada hati tidaklah memahami bahwa jika hati telah mencapai kesempurnaan dan sepenuhnya terbebas dari perbudakan nafs, dan terlepas dari cengkeraman hawa nafsu dan kemunafikan setan dalam hati, maka ia pun memperoleh kualitas luar biasa. Itulah sebabnya mereka memandangnya sebagai sebuah lathifah atau “fakultas” tersendiri, yang berbeda dari hati dan ruh dan bahwa tempatnya ada di atas hati dan di bawah ruh.
Sebagian Sufi berpandangan bahwa sirr bermakna konsepsi lembut dan halus yang tersembunyi di relung-relung kedalaman ruh. Sirr tidak bisa dipahami oleh akal maupun diungkapkan dalam bahasa. Karena lidah adalah penafsir hati, maka begitu pula akal adalah penafsir ruh. Makna dari segala sesuatu yang gaib, yang terungkap oleh ruh, dan yang hendak diungkapkan oleh ruh pada hati, ditafsirkan melalui perantaraan akal. Akan tetapi, ada banyak hal lembut dan halus yang diintuisi secara langsung oleh ruh yang tidak bisa dinyatakannya pada hati melalui akal. Demikian pula, hati juga mempunyai instuisi-intuisinya sendiri yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa. Makna dari segala sesuatu yang diintuisi oleh ruh, tetapi tidak bisa ditafsirkan oleh akal, dan hati tidak menyadarinya, disebut asrar ar-ruh atau “rahasia-rahasia ruh”. Dan makna, yang tetap tersembunyi dalam hati dan yang tidak sanggup diterjemahkan oleh kata-kata, disebut asrar al-qalb atau “rahasia-rahasia hati”. Itulah sebabnya para pendukung akal, umpamanya saja para filosof di kalangan mazhab rasionalis, tetap luput dari intuisi yang dipahami oleh ruh-ruh para nabi dan tidak mau meyakini keberadaannya. sesungguhnyalah, intuisi ruh tidak bisa dipahami oleh akal atau intelek. Tak pelak lagi, akal menempati kedudukan paling tinggi dalam tatanan penciptaan. Ruh menempati kedudukan lebih tinggi ketimbang akal. Hanya saja, kemudian, ruh termasuk dalam ‘alam al-amr atau “, alam perintah”,  dan bukan dalam ‘alam al- khalq atau “alam penciptaan”. Akal terus mengada melalui ruh, dan ruh tidak terus mengada melalui akal. Akal dalam bandingannya dengan ruh laksana cahaya matahari dibandingkan dengan matahari itu sendiri. Keberadaan cahaya matahari, meskipun sangat berguna dan bermanfaat, berasal dari, dan bergantung pada, matahari itu sendiri. Sebagaimana bentuk-bentuk dari segala sesuatu yang kasat mata bisa dilihat dengan cahaya matahari, maka begitu pulalah bentuk-bentuk dari segala sesuatu yang diketahui atau dipahami bisa dilihat oleh hati dengan cahaya akal.
Seorang arif dengan jelas membedakan antara berbagai fungsi dari lathifah-lathifah atau “fakultas-fakultas” ini. Katanya, “fungsi nafs ialah mengabdi, fungsi hati ialah mencintai, fungsi ruh ialah mencari kedekatan dengan Allah dan fungsi sirr ialah melenyapkan diri dalam pandangan Allah, Zat Mahabenar.”
Entah kita memandang sirr sebagai sebuah fakultas tersendiri, atau memandangnya sebagai bentuk ruh yang berkembang, atau bentuk hati, mengosongkan sirr adalah sebuah langkah penting dalam suluk. Kami akan menguraikan beberapa metode yang digunakan oleh kaum Sufi guna mengosongkan sirr.
Sebagaimana dinyatakan di atas, mengosongkan sirr di capai dengan muraqabah atau “kentemplasi”. Ia adalah sebuah laku jiwa atau pikiran. Sebelumnya, kami telah menjelaskan bahwa kata muraqabah berasal dari kata raqib yang bermakna seorang pengawal, penjaga, dan seorang yang menunggu. Allah berfirman:
Maka tunggulah olehmu. Sungguh, mereka pun sedang menunggu. (QS Ad-Dukhan, 44 : 59).
Allah juga berfirman :
..…Sungguh, Allah selalu mengawasi kamu. (QS An-Nisa, 4 : 1).
Dalam artian teknis, muraqabah bermakna penalaran, perenungan, dan idealisasi. Syah Waliyullah, dalam catatan pinggir dalam bukunya yang sangat berharga Qawl al-Jamil, mengatakan :
Esensi muraqabah adalah memusatkan fakultas persepsi pada hal tertentu, misalnya saja, salah satu sifat Allah, atau pada kondisi sesudah jiwa meninggalkan raga, atau pada keadaan atau kondisi mental lainnya. Konsentrasi ini mestilah disertai oleh segenap kekuatan jiwa, pikiran, dan imajinasi, agar apa yang tidak dipersepsi atau dirasakan bisa diintuisi dan diketahui dengan jelas.
Sesuatu yang dipersepsi atau dirasakan adalah sesuatu yang dirasakan oleh pancaindera. Begitu pula, sesuatu yang tidak bisa dipersepsi adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan pancaindera. Umpamanya saja, kematian baru bisa dirasakan setelah terjadi. Akan tetapi, jika kita menutup mata kita dan membayangkan bahwa nyawa kita telah meninggalkan raga kita, dan mata serta mulut kita tetap terbuka, kemudian — kendatipun kita tidak merasakan kematian — maka dalam cara tertentu kita mungkin mengetahui apa itu kematian. Inilah mungkin apa yang dimaksudkan, “Apa yang tidak dirasakan oleh Syah Shahib ketika mengatakan, “Apa yang tidak dirasakan, bisa diintuisi dengan jelas.”
Jika kita memahami hal yang sangat ditekankan oleh Syah Waliyullah ini, maka praktik kontemplasi tentang uraian apa pun menjadi mudah.
Untuk menjelaskan hakikat muraqabah itu sepenuhnya, Imam al-Qusyairi, dalam karyanya Ar-Risalah al-Qusyayriyyah, menukil kasus seorang anak yang pernah dijumpai oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar dalam suatu perjalanan ketika menggembalakan sekawanan biri-biri di bawah sebuah bukit kecil. Ibn ‘Umar bertanya kepada anak itu apakah ia mau menjual salah satu anak biri-biri dalam gembalanya. “Tidak,” tukasnya dengan cepat. “Mengapa ?” tanya Ibn ‘Umar, “Sebab anak biri-biri itu bukan kepunyaanku,” jawab anak itu.” jawab anak itu. “Anak biri-biri ini milik tuanku dan aku adalah budaknya.” “Ada apa ?” kata Ibn ‘Umar, “ambilah uang ini, berikan anak biri-biri itu kepadaku dan katakan pada tuanmu bahwa ada seekor srigala menerkam dan membawa lari anak biri-biri ini.” Anak itu menatap Ibn ‘Umar dan berkata, “Fa ayna Allah (lalu, di mana Allah) ? ” Makna diungkapkannya sangat jelas. Ia bisa saja mengelabui tuannya yang ada di sisi lain bukit itu. Namun, ia tidak bisa mengelabui Tuhannya yang senantiasa mengawasi dan mendengarkan mereka berdua. Ibn ‘Umar amat menghargai jawaban anak itu dan biasa mengulang-ulang kisah ini kepada sahabat-sahabatnya, seraya mengingat kata-kata anak itu “fa ayna Allah” yang dengan jelas menunjukkan bahwa ia merasakan kehadiran Allah bersama dirinya. Inilah esensi muraqabah itu sendiri, yakni bahwa Allah senantiasa mengawasi kita.
Muraqabah adalah kesadaran tentang Allah yang senantiasa mengawasi kita di saat kita tenggelam dalam berbagai kesibukan sehari-hari. Allah melihat segala amal lahiriah dan batiniah kita serta segenap pikiran kita. Dia mengetahui apa yang dibisikkan jiwa manusia kepada dirinya sendiri. Dia juga lebih dekat kepada manusia ketimbang urat lehernya sendiri. Karena itu, Nabi Muhammad menganjurkan kepada kita untuk beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya.
Syah Waliyullah memandang hadis ini sebagai sumber tindakan muraqabah atau kontemplasi. karenanya, muraqabah pun didefinisikan demikian :
Muraqabah adalah mencamkan dengan tegas dalam pikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dirimu.
Muraqabah terjadi pada dua tataran : lahiriah dan batiniah. Kontemplasi bermakna :
Memalingkan segenap pancaindera dari dunia berikut segala isinya, dan memutuskan diri dari keduanya dalam keramaian, dan dari pikiran-pikiran muluk dan sia-sia di saat sendirian.
Hal ini dijelaskan oleh penulis terkemuka Al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub demikian :
Orang yang menjauhkan diri dari hawa nafsu pasti melihat Allah dengan mata-batinnya.
Dan penyair Sa’di mengungkapkan pengalamannya demikian :
Sa’di menutup mata seluruhnya pada dunia,
Agar ia sadari bahwa seluruh alam ini adalah
buah-pikiran Sang Kekasih.
Dengan menghambat segenap indera lahiriah, seluruh indera batiniah pun terbangkitkan. Artinya, jika Anda menghentikan fungsi seluruh indera lahiriah, maka segenap indera batiniah akan mulai berfungsi secara lebih efisien. Itulah sebabnya kontemplasi batiniah dipandang sebagai hasil dari kontemplasi lahiriah. Dan “kontemplasi batiniah” tak lain dan tak bukan adalah “mengawasi hati” (mura’at al-galb).
Kontemplasi batiniah adalah mencegah hati dari memikirkan segala sesuatu apa pun, membebaskannya dari segenap pikiran sia-sia, di saat duduk atau berbaring, dalam keramaian atau sendirian, dan menjauhkannya dari memikirkan masa lampau atau masa depan. Di saat melakukan kontemplasi, jika datang pikiran tentang salat atau ibadah sekalipun, hal ini harus segera dihilangkan, sebab yang demikian ini akan menurunkan kontemplasi dari tataran yang lebih tinggi ke tataran yang lebih rendah.
Sangat boleh jadi juga bahwa, dalam penampilan lahiriah, seseorang mungkin tampak sibuk dengan berbagai urusan duniawi, tetapi hatinya terbebas dari segala belenggu hal-hal ini dan sepenuhnya terserap dalam diri Allah. seorang hamba seperti ini disebut masyghul farigh, yakni “seorang yang sibuk tetapi bebas”, sebagai lawan dari seorang hamba yang meskipun kelihatan melakukan kontemplasi, tetapi pikirannya gelisah oleh bisikan-bisikan setan yang jahat dan kotor. Kaum Sufi menyebut orang seperti ini farigh masyghul, “bebas tetapi sibuk”. Demikianlah Sa’di melukiskan kondisi mental seorang hamba yang “sibuk tetapi bebas” :
Hatiku bersama-Mu tetapi mataku entah melihat ke mana,
Agar tak seorang pun curiga kalau aku tengah menatap-Mu.
Terima kasih Tuhan, hatiku pedih karena cinta-Mu,
Dan terbebas berbagai tumpukan kesedihan dan kedukaan.
Bila hati merasakan kepedihan cinta Allah, maka ia pun terbebas dari tumpukan kesedihan dan kedukaan lainnya di dunia dan sepenuhnya tenggelam dalam memikirkan sang Kekasih Hakiki, serta menemukan kedamaian dan kesenangan di dalamnya. Seorang pencinta Allah melukiskan keadaan tenang ini sebagai berikut :
Pikiranku menjelajah seluruh semesta dan kembali.
Sebab, ia tidak seperti tempat apa pun yang lebih baik dari kehadiran-Mu.
Dalam kontemplasi, konsentrasi sangatlah penting, tanpanya, kontemplasi mustahil dilakukan. Musyahadah (penyaksian) mustahil dilakukan tanpa kontemplasi, dan konsentrasi diperlukan untuk kedua-duanya. sebagian kaum arif billah membedakan antara penyaksian dan kontemplasi. akan tetapi, yang lain berpandangan bahwa keduanya adalah sama. Mereka yang membuat perbedaan berpandangan bahwa, dalam kontemplasi, Anda menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi diri Anda. namun dalam penyaksian, Andalah yang melihat Allah.


No comments: